Monday 29 December 2014

Kepada Para Sahabat yang Telah Berpulang

Sejak tahun 1995, keluarga kami tinggal di sebuah desa perbatasan antara Prambanan dan Klaten , antara propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dengan posisi ini, saya sebenarnya sangat dimudahkan untuk melawat ke Solo. Kendati begitu baru tiga kali saya sempat mengunjungi kota itu. Kunjungan kedua dan ketiga berkaitan dengan urusan bisnis. Akan tetapi, kunjungan pertama adalah kunjungan yang sangat singkat. Kunjungan itu berkaitan dengan sebuah urusan yang sangat emosional yang kita sebut sebagai pertemanan.

Ya kunjungan itu terjadi pada tahun 1997 ketika saya dan teman-teman fakultas Sastra harus mengantarkan jenazah seorang teman. Pagi itu, ketika ia hendak menuju kampus, sebuah bus dengan sopir yang sangat ceroboh, dengan sangat tiba-tiba menabraknya tanpa ampun. Tubuhnya yang mungil terlempar dan  terjerembab sejauh beberapa meter. Darahnya bersimbah di tepi trotoar Fakultas Filsafat, sementara si sopir mencoba segera berlari. Mau dikata apa, nyawa teman kami sudah tidak tertolong lagi.

Ya, pagi itu menjadi salah satu pagi yang kelabu. Suasana berkabung segera menyelimuti ruang-ruang kelas fakultas kami. Sungguh kami sangat bersedih karena kematiannya yang mendadak. Selama 2 tahun terakhir, kami mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik hati, ramah, ceria, optimis, dan tekun. Meski saya belum terlalu lama berteman dengannya, tapi ia kerap mengutarakan cita-citanya yang luhur dan luar biasa. Ia ingin menjadi seorang ahli sejarah yang bisa menulis ulang sejarah Indonesia yang menurutnya begitu kelam dan penuh korupsi. Ia ingin memberikan perubahan yang berarti bagi negaranya!

Dalam perjalanan ke Solo, seorang teman mengatakan bahwa ia telah menangkap firasat yang tidak biasa pada diri almarhum di kelas agama. Sehari sebelum peristiwa itu, almarhum mengenakan baju yang sangat indah. “Ia sangat cantik dengan baju itu. Tidak seperti biasanya, “ katanya. Di antara raungan mobil ambulans yang terburu-buru, saya hanya terdiam. Saya mencoba mengenang kembali pertemuan dengannya di waktu pekan orientasi mahasiswa. Kami ada di kelompok yang sama. Meski mungil,  ia bukanlah seorang gadis biasa. Ia adalah seorang Goliath. Ia berani menentang dan bahkan melawan beberapa kakak kelas karena bersikap terlalu kasar pada salah satu peserta, kendati konsekuensi harus ia tanggung.

Kini, sudah 17 tahun peristiwa itu berlalu. Ia tentunya sudah bahagia berada di sorga. Mungkin ia kerap berbincang-bincang dengan sejumlah dosen kami yang juga telah dipanggil Tuhan tentang  Indonesia yang semakin kelam. Namun, saya tetap tidak dapat melupakan bagaimana reaksi kedua orang tuanya yang menyambut jenazahnya di halaman depan rumah mereka 17 tahun lalu. Hati mereka pasti telah hancur. Anak gadis yang baru saja mereka lepas itu ternyata tidak akan pernah menjejakkan kembali kakinya di rumah. Jika pada saat itu mereka tampak tegar, mereka tak ubahnya seperti balon yang dipenuhi tambalan di sana-sini. Kematian orang yang dikasihi tidak hanya mengeringkan air mata, melainkan juga semangat hidup mereka. Sungguh tidak mudah memperoleh kembali kesegaran semangat itu. Orang harus kembali meniti tangganya dari jurang kesedihan yang menyesakkan.

Hari ini saya kembali mendengarkan I Will Remember yang dilantukan Steve Lukather, vokalis band Toto. Lagu yang dirilis tahun 1995 ini merupakan sebuah ode bagi Jeff Porcaro, drummer Toto yang meninggal pada tahun 1992 karena serangan jantung. Bagi Steve, Jeff bukanlah sekadar mastermind di belakang kesuksesan Toto di blantika musik, tetapi ia juga merupakan sahabat dan teman seperjuangannya sejak masa-masa SMA. Jeff adalah orang yang mampu meyakinkan Steve untuk berdiri sebagai seorang gitaris. Maka, dapat dipahami bahwa meninggalnya Jeff adalah sebuah masa yang paling berat bagi Steve. Kondisi demikian, tak disangkal, sempat pula membuat Steve dan awak Toto lainnya berpikir untuk membubarkan diri. Namun, pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka harus tetap menghidupi semangat yang pernah digelorakan Jeff Porcaro. Sebagai bentuk ekspresi penghargaan terhadap almarhum, Steve pun menciptakan I Will Remember .

Lirik lagu I Will Remember  memang tampak begitu personal karena merangkum sejumlah momen yang pernah dijalani Steve dan Jeff.  Namun, bagi kita pun lirik itu terasa begitu kuat karena berbicara banyak hal tentang arti persahabatan sejati. Hal demikian tampak terlihat dalam refrain lagu ini. “Even when love has come and gone, and our hearts have moved along, I will remember. There was a time we had the trust, and that always was not enough, I will remember. I will remember you.” Dari lagu itu, kita belajar bahwa ternyata kematian seseorang tidak akan pernah menghapus ingatan akan kebaikan, keteguhan, dan banyak hal yang positif tentangnya. Kematian seorang sahabat akan menjadi semacam monumen indah. Monumen itu tidak akan pernah diabaikan tetapi justru akan selalu disambangi. Dirawat. Dihidupi. Seolah-olah kematian bukanlah hal yang menakutkan. Pasalnya kematian hanya bisa memutus ruang dan jarak pertemuan, tetapi tidak mampu memusnahkan ingatan batin.

Kendati begitu, bahasa yang dipergunakan mereka yang masih hidup pun memang cukup terbatas untuk menyatakan perasaan kepada mereka yang telah meninggal. Ingatan akan persahabatan yang dijalani Steve dan Jeff selama lebih dari 30 tahun bisa saja ditulis sebagai sebuah buku tebal dengan ribuan atau ratusan ribu halaman. Akan tetapi, sekali lagi, hal itu pun tidak akan dapat mewakili perasaan yang sesungguhnya.

Saya kira, satu kalimat yang diungkapkan Steve, I Will Remember You, adalah saripati dari ekspresi yang dapat ia nyatakan. Dengan satu kalimat itu, Steve tidak hanya meyakini bahwa ia akan selalu mengenang Jeff sebagai sahabat terbaik yang pernah ia miliki, tetapi juga memastikan bahwa Jeff akan selalu tinggal dan hidup dalam dirinya. Kalimat itu pun mengajak saya untuk mulai memperhatikan memori yang kadang terselip di antara rutinitas kehidupan. Celakanya, tanpa disadari, rutinitas yang kita jalani itu sering membuat kita alpa betapa bermaknanya kehidupan ini. Dengan demikian, kalimat I Will Remember You sesungguhnya adalah penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.

Ya, melalui kalimat itu, saya diajak kembali untuk  merawat kenangan akan gadis dari Solo itu dan juga sejumlah sahabat yang telah dipanggil Tuhan beberapa tahun terakhir ini. Tanpa disadari, budi baik mereka telah menjadi semacam cindera mata yang tak akan pernah lekang, tak akan pernah lapuk oleh waktu. Dan tentu saja apa yang baik itu perlu dikabarkan kepada siapapun sebagai permata yang berguna bagi kehidupan yang lebih baik.

Teman, sahabat! Beristirahatlah dalam damai Tuhan. Banyak doa kami sampaikan. We will remember you …  

Sumber gambar : www.dayfornight.com     

Monday 15 December 2014

Bob Marley dan Secangkir Kopi Manis


Selain matahari, secangkir kopi manis yang hangat adalah sebuah anugerah di pagi hari. Para pencinta kopi paham bahwa secangkir kopi punya daya magis yang luar biasa. Ia bisa memutuskan mantra jahat yang menjebak kita dalam mimpi-mimpi buruk di malam hari. Ia bisa menyulap rasa pesimis menjadi jembatan harapan satu hari penuh. Ia pun bisa menjadi sahabat setia dalam perjuangan melawan arus zaman yang semakin gila. Dan itulah mengapa secangkir kopi dapat membuat kita tetap memiliki akal sehat untuk menghadapi dunia!

Ternyata secangkir kopi memiliki aspek religius yang sangat kental. Secangkir kopi bisa menjadi sebuah perikop yang membuat kesadaran akan kehidupan sebagai ruang pengharapan menjadi lebih terbuka. Bukankah kesadaran demikian akan membimbing orang untuk mencintai kehidupan? Dan bukankah mencintai sekaligus merawat kehidupan adalah sikap mahapenting yang diamanatkan kepada setiap umat dalam kebersamaan? Dari sudut pandang itu, saya mulai menghargai teman-teman pencinta kopi sebagai para penyintas kehidupan di tengah-tengah hilangnya akal sehat dan kemanusiaan kita pada hari ini.

Pagi ini, pemahaman saya mengenai makna secangkir kopi bertambah. Ada sesuatu yang menggelitik dalam lirik lagu One Cup of Coffee yang didendangkan Robert Nesta Marley alias Bob Marley.  Lagu ceria ini memang lagu lawas yang pernah dipopulerkan Bob Marley pada awal tahun 1960-an sebelum menjelma sebagai figur yang didewakan para Rastafari. Lagu yang diedarkan di bawah label rekaman Beverley milik Leslie Kong itu menarik dan mudah diingat.

One cup of coffee, then I’ll go
Though I just dropped by to let you know
That I’m leaving you tomorrow
I’ll cause you no more sorrow
One cup of coffee, then I’ll go

I brought the money like the lawyer said to do
But it won’t replace the ‘eartache I caused you
It won’t take the place of lovin you, I know
So one cup of coffee, then I’ll go

 Tell the kids I came last night
And kissed them while they slept
Make my coffee sweet and warm
Just the way you used to lie in my arms

Meski musiknya ceria, lirik lagu One Cup of Coffee ingin bercerita tentang tragedi pernikahan yang patah. Sebuah perceraian baru saja terjadi. Seorang suami harus pergi meninggalkan isteri dan anaknya. Kendati dilakukan, perceraian itu bukanlah sebuah keputusan yang mudah. Sang suami sebenarnya masih terombang-ambing dengan perasaannya. Di satu sisi ia sebenarnya tidak mau menjalani perceraian, tetapi di sisi lain perceraian itu mau tidak mau menjadi jalan terbaik bagi mereka untuk menghentikan penderitaan yang mereka alami selama ini.

Dalam situasi demikian, secangkir kopi yang manis dan hangat menjadi semacam jeda bagi sang suami untuk mengenang kembali kebahagiaan yang pernah dirajut bersama istri dan anak-anaknya. Secangkir kopi yang manis dan hangat itu menjadi sebuah kesempatan terakhir baginya untuk berpikir waras dan bersikap benar. Namun secangkir kopi yang manis dan hangat itu  juga menjadi sebuah pijakan baginya menuju kehidupan yang baru.

Menurut hemat saya, lirik lagu ini sebenarnya merupakan sebuah ratapan manusia modern terhadap institusi keluarga yang dari hari ke hari semakin retak. Bukanlah sebuah fakta yang baru bahwa angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu pemicunya berkaitan erat dengan krisis ekonomi yang terjadi berlarut-larut. Dalam lagu ini Bob Marley jelas tidak menghadirkan sebuah suasana yang secara dominan dihidupi masyarakat putih kelas menengah atas. Apa yang dilantunkan Bob Marley dalam lagu itu sungguh memiliki kemiripan dengan genre blues yang kerap bercerita tentang balada yang dramatik. Dalam lagu itu dihadirkan gambaran dari kemiskinan yang ditemukan dalam kehidupan urban sebagai pangkal masalah.

Tentu saja, bila kita melihat makna lirik berdasarkan konteksnya, secangkir kopi yang dimaksud itu seolah-olah hadir secara eksklusif sebagai sebuah dunia yang tidak berhubungan dengan perceraian dan kemiskinan. Secangkir kopi itu hadir sebagai ruang dimana kebebasan dapat dinikmati secara mewah.  Secangkir kopi itu hanya dapat dinikmati dalam kesendirian, bukan dalam kebersamaan. Hal demikian jelas hadir sebagai sebuah ironi. Bukankah cita rasa kopi begitu erat dengan kehidupan sebagai perayaan akan kebersamaan dan kesatuan? Benar, kopi yang ia teguk bukanlah kopi yang manis dan hangat melainkan kopi yang pahit dan penuh ampas!

Ah, meski hanya secangkir, kopi yang manis dan hangat, bagaimanapun, harus menghidupkan. Namun, bila diseruput dan dinikmati dalam kesendirian dan kesedihan, ia tidak akan pernah menjadi inspirasi, harapan, kekuatan, dan semangat. Secangkir kopi di pagi hari seharusnya merupakan sebuah anugerah, sebuah ucapan syukur tentang kebersamaan dan cinta kasih sebagaimana kerap diperjuangkan Bob Marley dan kaum Rastafari.  Mereka mahfum, niscaya, kehidupan yang lebih baik ditemukan di sana. 

Sumber gambar : www.youtube.com