Sunday 29 November 2015

Begitulah Hidup, Tuan Sinatra!



Petang hari selepas maghrib adalah saat yang paling saya tunggu. Di ruang tengah yang temboknya mulai pupus, kami semua berkumpul. Di sana  kami berbagi cerita tentang pengalaman yang telah kami lewati di sekolah atau di kantor. Biasanya ibu selalu menjadi orang pertama yang memulai untuk bercerita. Beliau bercerita tentang kondisi harian di sekolah tempat beliau mengajar, murid-murid TK yang menggemaskan, atau pencopetan yang terjadi di bus yang beliau naiki.
Ibu adalah seorang pencerita ulung. Cerita yang beliau sampaikan memang tidak begitu detail. Kadang terasa peristiwa yang diceritakan tidak urut dan melompat-lompat. Namun, di balik itu, beliau selalu menawarkan ruang yang begitu lapang bagi kami untuk berimajinasi. Kami diajak untuk menggambarkan sifat para pelaku cerita, kondisi latar, suasana yang disajikan, dan kejadian dengan cara masing-masing. Kami selalu merasa senang setelah mendengarkannya.
Berbeda dengan ibu, ayah adalah seorang pendengar yang baik. Ia selalu mendengarkan dengan sangat takzim apa yang ibu sampaikan. Meski posisi duduknya begitu santai, mata ayah tidak pernah berkedip sekalipun. Beliau justru selalu mengingatkan kami untuk bersikap serius ketika mendengarkan cerita dari siapapun. Namun, setiap kali ibu menyelesaikan sebuah cerita, ayah selalu merespon dengan sebuah pernyataan, “Begitulah hidup kita!” Respon yang sangat dingin, memang!
Celakanya, selama bertahun-tahun, pernyataan itu pun menjadi semacam kredo dalam keluarga kami manakala kami merespon cerita atau bahkan berita dari televisi dan radio. Ketika Suharto tumbang dan gerakan reformasi unjuk gigi, kami hanya bisa mengatakan, “Begitulah hidup kita!” Ketika seorang eksentrik membakar sebuah pom bensin di Yogyakarta, kami hanya bisa menyatakan, “Begitulah hidup kita!” Ketika Gus Dur dilengserkan para spekulan politik di Senayan, kami hanya bisa berujar, “Begitulah hidup kita!” Dan ketika harga barang semakin naik dan mencekik ekonomi keluarga sekarang ini, saya akhirnya bisa juga mengatakan kepada ketiga anak saya, “Begitulah hidup kita!”
Awalnya, saya belum dapat memahami mengapa ayah selalu mengatakan hal yang sama.  Awalnya, saya merasa bahwa pernyataan itu merupakan representasi wawasan budaya Jawa yang sungguh dipahami ayah. Pernyataan itu menjadi semacam sikap antikonflik terhadap perubahan. Mengatakan “Begitulah hidup kita!” merupakan sikap adaptif agar keharmonisan dan keseimbangan hidup dapat terjaga. Namun, setelah menjadi seorang kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anak saya, saya baru mulai memahami makna di balik kredo yang kami ucapkan pada masa lalu.
Setelah saya renungkan lebih dalam, pernyataan itu bukanlah sekadar isyarat sikap pasrah diri secara pasif. Meski tampak sebagai sebuah ketidakseriusan, pernyataan itu justru merupakan sebuah perlawanan terhadap arus zaman yang memang sungguh tak terbendung. Bukankah peristiwa yang terjadi dalam hidup kita memang kerap tidak dapat kita antisipasi? Rencana yang telah kita persiapkan dengan sangat matang pun dapat berantakan tanpa terduga. Di sanalah kadang timbul rasa putus asa dan frustasi. Kita merasa segala apa yang kita upayakan sia-sia. Untuk itu, segala cerita atau peristiwa yang kita alami hanyalah akan bermakna bila kita melihatnya sebagai realitas yang perlu disadari. Menyatakan bahwa segala peristiwa merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari secara tidak langsung menghindarkan kita dari neurosis, semacam sakit jiwa. Karena itu, pernyataan tersebut dapat disebut pula sebagai sebuah antisipasi agar kesadaran kita tetap berdiri teguh dan tidak tergoyahkan.
Rupanya hal serupa saya temukan pula dalam lirik lagu That’s Life  yang dilantunkan Frank Sinatra sekitar tahun 1966.  Penyanyi yang digelari oleh seorang kritikus musik Amerika, Robert Christgau,  sebagai The Greatest Singer of the 20th Century ini dapat dengan apik membawakan lirik lagu That’s Life sebagai sebuah narasi yang ditujukan kepada manusia modern yang begitu mudah panic dan cemas. Dengan begitu enteng, Sinatra menyitir pendapat masyarakat bahwa hidup ini persis seperti prinsip cakra manggilingan. Kadang Anda berada di atas. Kadang Anda berada di bawah. Anda dapat hadir sebagai pengusaha sukses pada hari ini. Namun, esok hari, siapa yang dapat memastikan bahwa usaha Anda tetap berjalan seperti biasanya?
That's life (that's life), that's what all the people say
You're ridin' high in April, shot down in May
But I know I'm gonna change that tune
When I'm back on top, back on top in June

I said that's life (that's life), and as funny as it may seem
Some people get their kicks stompin' on a dream
But I don't let it, let it get me down
'cause this fine old world, it keeps spinnin' around

I've been a puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king
I've been up and down and over and out and I know one thing
Each time I find myself flat on my face
I pick myself up and get back in the race

That's life (that's life), I tell you I can't deny it
I thought of quitting, baby, but my heart just ain't gonna buy it
And if I didn't think it was worth one single try
I'd jump right on a big bird and then I'd fly

I've been a puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king
I've been up and down and over and out and I know one thing
Each time I find myself layin' flat on my face
I just pick myself up and get back in the race

That's life (that's life), that's life and I can't deny it
Many times I thought of cuttin' out but my heart won't buy it
But if there's nothin' shakin' come this here July
I'm gonna roll myself up in a big ball a-and die

My, my!
Bagi Sinatra, prinsip cakra manggilingan rupanya perlu dikritisi. Dalam lirik lagu itu, jika dicermati, Sinatra justru ingin mematahkan pernyataan “Begitulah hidup kita!” dengan sebuah optimisme yang besar.  Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia adalah pribadi yang dapat segera bangkit dan maju kembali setelah jatuh dan terpuruk. Tidak ada celah baginya untuk bersedih atau putus asa. Menurutnya, dunia ini berputar seperti adanya sejak dulu sampai hari ini sehingga tidak ada alasan apapun untuk menyerah kalah!  But I don't let it, let it get me down cause this fine old world, it keeps spinnin' around.  Terus berusaha untuk menaklukkan nasib!

Lalu mengapa Sinatra begitu mantab dengan keyakinannya itu? Jawabannya singkat! Bukankah ia seorang aktor, yang hidup dari satu layar ke layar lain? Perjalanan hidupnya kerap diisi dengan kisah-kisah petualangan dan romantika fantastis! Kehidupan panggung telah membawanya berperan sebagai tokoh yang beragam, mulai dari boneka, pengemis, bajak laut, penyair, pion, sampai raja. I've been a puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king.I've been up and down and over and out and I know one thing. Each time I find myself layin' flat on my face I just pick myself up and get back in the race

Sebagai aktor, Sinatra mungkin dapat mati berkali-kali. Dan dengan cepat ia dapat bangkit dan hidup kembali. Namun, itulah kehidupan panggung atau layar! Siapapun yang berada di sana memiliki lebih dari 9 nyawa. Kondisi demikian jelas berbeda dengan kondisi hidup sehari-hari! Dalam realitas, setiap orang harus bekerja keras agar dapat bertahan hidup. Orang yang malas tidak akan pernah menjadi pengusaha yang sukses. Dalam realitas, kesalahan kadang tidak dapat ditoleransi. Tidak ada pengulangan. Tidak ada belas kasih, kadangkala.   Dalam konteks ini,  saya pun mulai mempertanyakan optimisme yang Sinatra suarakan dalam lirik lagu That’s Life. Jika disandingkan dengan realitas sehari-hari, optimisme Sinatra hanya menjadi eskapisme dari kenyataan yang dihadapi.
 
Meski begitu, saya dapat memahami bahwa lirik lagu yang dinyanyikan Sinatra pun hanya merupakan sebuah proyeksi terbalik atas kehidupan sehari-hari yang sungguh mengerikan. Lirik lagu yang dinyanyikan Sinatra lebih tepat disebut sebagai sebuah katarsis atas kompleksitas dan ambiguitas yang dihidupi masyarakat modern.  Sebagai katarsis, lirik lagu That’s Life mampu memberikan penghiburan dan pengharapan kepada manusia modern bahwa segala badai kehidupan bagaimanapun akan berlalu. Selama hidup, manusia selalu mencoba untuk menaklukkan badai itu.  Namun, toh jika badai itu tidak juga berlalu, sebagaimana dikatakan Sinatra secara parodis,  kepasrahan untuk menggelinding dan mengikuti arus zaman tetap menjadi satu-satunya pilihan rasional yang dapat diambil!  But if there's nothin' shakin' come this here July. I'm gonna roll myself up in a big ball a-and die. Terkadang kita perlu menyadari bahwa di dunia ini ada begitu banyak hal yang tidak dapat dihindari. Juga ada begitu banyak hal yang tidak dapat dihentikan.  Kita hanya bisa berjalan, mengikuti rambu-rambu kehidupan dan menelusuri jalan ini dengan lebih baik.  Begitulah hidup kita, tuan Sinatra! Mau tidak mau, suka tidak suka! 

Sumber gambar : kickkicksnare.com

Thursday 26 November 2015

Dari Titiek Puspa ke The Police : Mengasihi Mereka yang Tersingkir




Tidak selamanya seni pop berbicara tentang perilaku hedonis yang ditunjukkan masyarakat modern. Tidak selamanya pula seni pop menyerahkan diri untuk melayani impian-impian masyarakat modern yang absurd. Namun, ada saatnya seni pop terpekur dalam kontemplasi khusuk untuk merenungi dunia ini. Ada saatnya pula seni pop bahkan terlibat untuk menyapa orang-orang yang tersingkir dalam peradaban masyarakat modern.

Perhatian seni pop terhadap masalah Lebenswelt, dunia tempat kita hidup sehari-hari, tentu saja bukanlah hal yang baru. Kendati tidak begitu banyak, perhatian yang diberikan seni pop itu selalu menohok kesadaran kita.  Dalam konteks ini, seni pop dianggap efektif untuk menjadi media advokasi bagi situasi kemanusiaan masyarakat modern. Dalam kancah musik, misalnya, lagu-lagu John Lennon pasca Beatles, dianggap berpengaruh terhadap sosialisasi gerakan antiperang Vietnam di Amerika.  Hal yang sama pun ditemukan pada Bono dan U2 yang dikenal sebagai corong gigih yang menyuarakan perdamaian dalam konflik panjang di Irlandia Utara. Selain masalah peperangan, seni pop juga menaruh perhatian terhadap pelbagai isu sosial yang kadang terlihat kontroversial. Salah satu isu yang secara diam-diam diangkat seni pop adalah kehidupan para pelacur yang tersingkir dari peradaban masyarakat modern.

Meski dianggap sebagai hal yang menjijikkan, praktik pelacuran itu tetap dibiarkan tumbuh bagai rumput liar. Bahkan, ibarat jamur di musim hujan, praktik pelacuran dari abad ke abad semakin marak. Dalam sejarah manusia Indonesia, misalnya, menurut kajian yang ditulis oleh Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, dan Gavin Jones, dalam Prostitution in Indonesia Its History and Evolution (1999), praktik pelacuran telah berkembang sejak abad ke-18 ketika kerajaan-kerajaan Jawa menjadikan para wanita sebagai obyek komodifikasi dalam sistem feodal.[1] Semua wanita yang tinggal di wilayah otoritas kerajaan menjadi milik raja. Sewaktu-waktu di antara mereka akan ada yang terpilih sebagai selir. Semakin banyak jumlah selir yang dimiliki seorang raja, maka semakin berkuasalah dia.[2]  

Praktik pelacuran di Indonesia semakin pesat tatkala industri seks berkembang dengan sangat luar biasa selama periode penjajahan kolonial Belanda. Terence Hull dan kawan-kawan menyatakan bahwa sistem perbudakan dan pergundikan tradisional yang pernah berlaku di dalam kerajaan pun disesuaikan dengan kebutuhan dan kebiasaan komunitas Eropa di tanah jajahan. Dalam kondisi demikian, praktik pelacuran semakin meluas dan tidak tertahankan. Apalagi perkawinan antarras sungguh dilarang dan tidak dianjurkan pemerintah kolonial, sedangkan pergundikan antarras sangat didukung. Maka lokalisasi pun menjadi semacam lembaga pelampiasan nafsu di luar pernikahan yang disepakati pemerintah kolonial.

Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik pelacuran yang begitu masif itu menimbulkan ekses yang sangat serius. Salah satunya adalah terjadinya penyebaran penyakit kelamin. Melalui penelitian yang dikerjakan dengan sangat apik oleh Gani A. Jaelani, seorang Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, penyakit kelamin menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi pemerintah kolonial sejak tahun 1812 di Pulau Jawa.[3] Karena itu, pada tahun 1852, pemerintah kolonial pun memberlakukan peraturan tentang pelacuran. Celakanya, peraturan ini bersifat sangat rasialis karena hanya ditujukan untuk menjaga laki-laki Eropa, terutama serdadu, sedangkan para wanita yang berprofesi sebagai pelacur dianggap sebagai sumber penyakit sehingga perlu diperiksa dan diawasi kesehatannya oleh para dokter yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda.[4] Betapa ironis!      

Bagi para seniman, dunia pelacuran sebenarnya telah menjadi lokus penggalian makna kemanusiaan yang cukup mendalam. Beberapa puluh tahun lalu, WS Rendra pernah menulis sebuah balada yang fenomenal, Nyanyian Angsa. Balada ini menceritakan tentang kisah perjalanan seorang pelacur yang bernama Maria Zaitun. Menurut St. Sunardi, salah seorang pengamat budaya yang pernah memeriksa balada itu secara kritis,  Maria Zaitun adalah personifikasi korban masyarakat modern. “Maria Zaitun kehilangan segala-galanya untuk hidup dalam masyarakat modern. Sebagai pelacur, dia kehilangan kecantikannya untuk memikat para pelanggannya; sebagai seorang pekerja seks, dia tidak lagi dapat menghasilkan uang untuk majikannya; sebagai orang sakit, dia tidak mempunyai duit untuk membayar dokter; sebagai seorang beriman, dosanya terlalu memalukan untuk didengar pastor di ruang pengakuan.”[5] Dalam balada itu, Rendra tidak hanya mengajak pembaca untuk melihat persoalan ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat modern. Namun, ia juga menunjukkan secara empatik pengalaman eksistensial yang dialami para pelacur sebagai golongan yang disingkirkan masyarakat.

Bagi Rendra, pelacur seperti Maria Zaitun adalah korban dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat modern.  Maria Zaitun adalah gambaran pribadi yang terhempas oleh tuntutan masyarakat modern akan standard kehidupan yang layak, akan standard kebahagiaan yang terukur secara pragmatis. Dalam konteks inilah Rendra menunjukkan keberpihakannya, tanpa harus menjadi hipokrit. Baginya jelas bahwa perhatian tulus harus diberikan kepada mereka yang dianggap publik sebagai sampah masyarakat. Nyanyian Angsa tidak hanya tampil sebagai sebuah kritik terhadap modernisasi, tetapi juga hadir sebagai teks kemanusiaan. Kendati demikian, Rendra tidaklah seorang diri.

Pada pertengahan tahun 1970-an, Titiek Puspa menggebrak sakralitas seni pop sebagai seni yang melayani keinginan kapitalisme hiburan. Biduanita asal Temanggung ini melantunkan sebuah lagu yang berjudul Kupu-kupu Malam. Lirik lagu ini tidak hanya memiliki kekuatan puitika, tetapi juga dapat menyentuh sanubari pendengarnya.      

Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya
Ada yang berlutut mencintanya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya

Ini hidup wanita si kupu-kupu malam
Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga
Bibir senyum kata halus merayu memanja
Kepada setiap mereka yang datang

Dosakah yang dia kerjakan
Sucikah mereka yang datang
Kadang dia tersenyum dalam tangis
Kadang dia menangis di dalam senyuman

Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya
Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa

Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya
Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa

Alih-alih berbeda dengan tanggapan negatif terhadap para pelaku pelacuran, Titiek Puspa justru menunjukkan empati yang begitu besar terhadap mereka.  Tanggapan yang bersahabat ini tentu saja tidak dapat diartikan bahwa sebagai seorang seniwati, Titiek Puspa, mendukung praktik pelacuran. Sebaliknya, jika dipahami secara mendalam, dapat terlihat bahwa lirik lagunya tampak begitu memihak penderitaan yang dialami para pelacur. Dalam hal ini, ia memang tidak sedang memberikan pengajaran moral agar mereka dapat bertobat dan berpaling dari pekerjaan yang mereka jalani. Justru melalui lirik lagu itu ia sedang memberikan ruang kepada masyarakat modern yang mengaku diri suci dan tidak bercela untuk berefleksi sejenak, untuk memberikan perhatian, compassion kepada para pelacur itu.

Menurut saya, lirik lagu ini berhasil menjebol kesadaran semu yang terlanjur tertanam dalam hati dan  pikiran manusia modern, terutama mengenai prinsip untung dan rugi. Bagaimana mungkin, sebagai manusia modern, kita harus memberikan perhatian, pemahaman, dan kesabaran terhadap mereka yang kita singkirkan secara sistematis?  Apa untungnya? Bukankah memberikan perhatian kepada mereka yang dianggap sebagai sampah masyarakat adalah sebuah kesalahan, sebuah kesia-siaan? Kendati begitu, rasa empati dan belas kasihan terlanjur menggerakkan Titiek Puspa untuk mengangkat kondisi yang sesungguhnya dialami para pelacur dalam seni musik popular. Pesannya begitu jelas, menjadi  penjaja seks tidak pernah merupakan sebuah pilihan. Pekerjaan ini hanyalah sebuah respon instingtif yang terpaksa dilakukan untuk menghidupi diri sebagai bagian dari masyarakat modern.        

Serupa dengan di Indonesia, pelacuran pun merupakan sebuah kisah kemanusiaan  yang begitu tragis dan  panjang di sejumlah negara Eropa seperti Inggris pada masa Victorian Age atau Perancis sejak Revolusi Perancis. Meski dihujat dan diharamkan, komunitas para pelacur justru bertumbuh subur. Mereka tidak hanya ditemukan di ruang-ruang gelap dan tersembunyi, melainkan pula di pelbagai ruang publik secara bebas seperti di mall, di stasiun, atau di depan lampu merah.    

Perhatian yang begitu empatik sebagaimana terdapat dalam lirik Kupu-kupu Malam itu bisa kita jumpai pula di dalam lirik lagu Roxanne yang dilantunkan The Police, sebuah band asal Inggris, pada akhir tahun 1970-an. Dalam lirik lagu itu, Si Aku jatuh cinta dengan Roxanne, seorang pelacur, yang kerap menawarkan dirinya kepada setiap laki-laki di jalanan. Si Aku meminta agar Roxanne, pelacur itu, tidak perlu lagi untuk berdandan atau menjual tubuhnya. Si Aku sungguh sangat mencintai Roxanne sejak awal mereka bertemu. 

Roxanne
You don't have to put on the red light
Those days are over
You don't have to sell your body to the night

Roxanne
You don't have to wear that dress tonight
Walk the streets for money
You don't care if it's wrong or if it's right

Roxanne
You don't have to put on the red light
Roxanne
You don't have to put on the red light

I loved you since I knew you
I wouldn't talk down to you
I have to tell you just how I feel
I won't share you with another boy

I know my mind is made up
So put away your make up
Told you once I won't tell you again
It's a bad way

Roxanne
You don't have to put on the red light
Roxanne
You don't have to put on the red light

Rasa cinta Si Aku dapat kita terjemahkan sebagai bentuk perhatian dan keberpihakan The Police kepada penderitaan Roxanne sebagai wakil para pelacur. Perhatian dan keberpihakan itu bahkan terlihat sebagai simpati dan bentuk solidaritas kasih yang tak bersyarat. Rasa cinta itu pun sebenarnya adalah kata lain dari keterlibatan, sebuah aksi untuk menyatu dengan penderitaan yang lain. Si Aku ingin terlibat penuh dalam kehidupan Roxanne sehingga ia tidak perlu lagi menempuh jalan yang dapat mencederai martabat kemanusiaannya. Disadari atau tidak, cinta si Aku di sini memiliki dimensi keselamatan  dalam kehidupan Roxanne.

Lirik kedua lagu yang dinyanyikan Titiek Puspa dan The Police memiliki keserupaan makna yang mendalam. Baik Titiek Puspa maupun The Police mau mencoba untuk menempatkan mereka yang dianggap sebagai sampah masyarakat bukan sebagai yang lain, melainkan sebagai sesama yang perlu dikasihi dan dicintai. Meski hanya disampaikan dalam lirik lagu dalam seni musik pop, keprihatinan dan perhatian yang mereka munculkan itu menjadi semacam jeda yang cukup bermakna dalam perjalanan manusia modern. Tentu saja, bagi manusia modern yang telah sibuk dengan dirinya, jeda itu seringkali tidak dapat dicermati dan dipahami dengan baik. Setidaknya, dalam Lebenswelt yang begitu rumit dan ambigu, kita dicelikkan bahwa seni pop ternyata masih punya arti yang begitu penting. Saya dan Anda masih ditunjukkan makna manusia, yaitu sebagai sesama bagi yang lain.


Sumber gambar : indolawas.blogspot.com, en.wikipedia.org 


[1] Terence H. Hull, Endang Sulistyaningsih, dan Gavin Jones, 1999, Prostitution in Indonesia Its History and Evolution, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, hal. 2
[2] Ibid.
[3] Gani A. Jaelani, 2013, Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, Bandung: Syabas Book, hal. 50-51
[4] Ibid.
[5] St. Sunardi, 2012, Vodka dan Birahi Seorang Nabi, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 5

Sunday 15 November 2015

After Forever : Ketika Heavy Metal Merenungkan Tuhan


 
Sebagai sebuah ornamen budaya populer, heavy metal sebenarnya berada di wilayah pinggiran. Keberadaannya tidak diterima para politikus karena menyuarakan revolusi kebebasan. Keberadaannya tidak diterima para pendidik karena menyuarakan ketidakmapanan hidup, sebuah adventurir hedonis yang liar. Ia tidak diterima para aparat negara karena menawarkan pemberontakan dan kekerasan. Ia juga tidak diterima para kaum ulama karena dituduh menyebarkan okultisme.

Dalam masyarakat Amerika pascaperang Vietnam, heavy metal pernah dikenang sebagai genre musik yang mampu memproyeksikan pemberontakan kaum muda secara vulgar. Karena itu, tidaklah berlebihan bila heavy metal menjadi genre musik yang paling dicurigai dan dikritik pedas oleh kaum moralis sejak tahun 1970-an sampai akhir 1990-an.

Pada pertengahan tahun 1980-an, ketika MTV menjadi sajian favorit kaum muda Amerika, tekanan terhadap heavy metal semakin menjadi-jadi.  Genre musik yang sesungguhnya lahir di Inggris ini dihujat habis-habisan sebagai musik yang tidak bertanggungjawab.  Musik ini dianggap sangat berbahaya bagi generasi muda Amerika karena berpotensi untuk membujuk mereka berlaku delinkuentif. Bahkan menurut para aktivis gereja di Eropa, heavy metal membawa pendengarnya untuk menyembah iblis secara terang-terangan melalui musik dan liriknya.[1] Melalui metode rekaman backward masking yang diadopsi sejumlah band, misi penyembahan terhadap setan itu dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada para pendengarnya secara efektif.[2]

Puncaknya, pada tahun 1985, Tipper Gore, seorang anggota kongres, mendirikan sebuah organisasi orang tua peduli musik yang disebut sebagai Parents Music Resources Center (PMRC). Melalui PMRC ini, gerak dan langkah ekspresif yang ditunjukkan para pendukung heavy metal di sejumlah media pun mulai terbatas. Salah satunya adalah bahwa PMRC menerapkan Parental Advisory terhadap semua lagu bergenre heavy metal sehingga lirik yang ditampilkan pun dapat disaring sesuai dengan standard moral yang disyaratkan. Dengan cara ini, heavy metal mulai ditundukkan. Seolah-olah ada semacam kesan bahwa tidak ada kebaikan apapun di dalam lirik lagu heavy metal!

Maka menjadi hal yang sangat menarik manakala kita menemukan fakta bahwa ada band pendukung heavy metal yang ternyata pernah menampilkan pesan religi dalam lirik lagunya. Band yang saya maksud adalah Black Sabbath. Band yang didirikan di Inggris oleh sekelompok anak muda dari keluarga buruh  itu sering dianggap sebagai salah satu perintis heavy metal dalam khazanah musik  populer. Kelahiran band ini bertepatan dengan memuncaknya tensi suasana sosial dan politik di Barat seperti revolusi seks di Perancis atau perang dingin antara blok Barat dan Timur yang memunculkan gerakan generasi bunga (flower generation) di Amerika dan sekitarnya. Karena itu, band ini menjadi begitu populer sebagai ikon pemberontakan.
    
Pada tahun 1971, Black Sabbath pernah merekam sebuah lagu yang berjudul After Forever. Lagu yang ditulis oleh sang basis, Geeze Butler, ini menampilkan lirik yang cukup panjang dengan sentuhan religi Kristiani yang cukup emosional. Saya kutipkan liriknya sebagai berikut.

Have you ever thought about your soul – can it be saved?
Or perhaps you think that when you’re dead, you just stay in your grave
Is God just a thought within your head or is He a part of you?
Is Christ just a name that you read in a book when you were in school?

When you think about death, do you lose your breath or do you keep your cool?
Would you like to see the Pope on the end of a rope – do you think he’s a fool
Well, I have seen the truth. Yes I’ve seen the light and I’ve changed my ways
And I’ll be prepared when you’re lonely and scared at the end of our days

Could it be you’re afraid of what your friend might say
If they knew you believe in God above?
They should realize before they criticize
That God is the only way to love.

Is your mind so small that you have to fall
In with the pack wherever they run
Will you still sneer when death is near
And say they may as well worship the sun?

I think it was true it was people like you that crucified Christ
I think it is sad the opinion you had was the one voiced
Will you be so sure when your day is near, say you don’t believe?
You had the chance but you turned it down, now you can’t retrieve

Perhaps you’ll think before you say that God is dead and gone
Open your eyes, just realize that He’s the one
The only one who can save you now from all this sin and hate
Or will you still jeer at all you hear?
Yes, I think it’s too late.

Tidak dapat dipungkiri bahwa  lirik lagu After Forever membuat wajah Black Sabbath tampak berbeda. Lirik ini menyapa sekaligus mengkritik generasi muda yang pada masa itu melihat agama sebagai kesia-siaan. Seiring dengan pemberontakan kaum muda pada masa itu, ateisme pun menjadi sebuah trend yang tidak dapat terbendung di beberapa negara Eropa dan Amerika. Nilai-nilai yang pernah ditanamkan agama Kristen pada peradaban Eropa dan Amerika pun dijungkirbalikkan dan dikritik habis-habisan. Buku-buku karya Karl Marx, Ludwig Feuerbach, atau Friedrich Nietzsche pun laku keras dicetak ulang. Hampir semua band rock pada saat itu, tidak terkecuali The Beatles, pun secara tegas menolak kekristenan. Namun, lirik lagu After Forever seolah-olah sedang melakukan sebuah apologia atau pembelaan pandangan Kristiani tentang Yesus Kristus sebagai jalan kasih dan keselamatan.

Hal demikian jelas menimbulkan pertanyaan dari pelbagai kalangan. Bagaimana mungkin eksponen heavy metal seperti Black Sabbath secara tiba-tiba  berbicara tentang eksistensi Tuhan? Bukankah seharusnya mereka menyebarkan pesan-pesan rahasia milik Aleister Crowley dan sekte okultisme-nya yang mulai populer pada akhir tahun 1960-an itu? Sebagaimana dapat diduga, banyak orang yang terlanjur memandang Black Sabbath secara negatif bahwa mereka adalah pengikut Crowley.  Mereka pun bertanya-tanya tentang kehadiran lagu After Forever itu. Celakanya, tidak sedikit pula orang Kristen yang bersikap curiga dan mempertanyakan lirik lagu tersebut. Jangan-jangan lirik lagu itu merupakan pesan rahasia bagi para okultis yang dibungkus dengan apik agar kita terlena? Jangan-jangan jika lagu itu diputar mundur, muncullah pesan-pesan rahasia!

Jika dicermati lebih mendalam, lirik lagu After Forever itu bukanlah sebuah pasal dogma teologis tertentu, melainkan sebuah refleksi yang sungguh pribadi. Sebagai seorang Katolik keturunan Irlandia, Butler merasa prihatin dengan kondisi dunia pada saat itu. Ia menyesali konflik sosial yang terjadi antara pengikut Katolik dan Protestan yang berlangsung cukup lama di Irlandia. Ia juga begitu prihatin terhadap penolakan terhadap agama yang dilakukan oleh kaum muda yang menuduh agama sebagai sumber kekacauan dan kesengsaraan dunia seperti perang Vietnam. Bagi penganut agama, hal demikian menjadi semacam tantangan yang perlu disikapi dengan bijaksana. Karena itu, Butler pun memberikan penguatan agar mereka jangan sekali-kali takut untuk menghadapi cemooh dan cercaan dari mereka yang menyangkal keberadaan Tuhan. Could it be you’re afraid of what your friend might say if they knew you believe in God above? They should realize before they criticize that God is the only way to love.  

Sebenarnya keprihatinan terhadap kondisi sosial seperti itu selalu muncul dalam lirik-lirik lagu Black Sabbath.  Dalam sebuah wawancara yang berlangsung pada bulan Juni 2015, Geezer Butler pernah mengatakan bahwa Black Sabbath berusaha menampilkan realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Terkadang realitas yang mereka tulis dalam lirik lagu bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi banyak orang, terutama kaum borjuis.  Hal demikian melahirkan opini yang menganggap Black Sabbath sebagai band yang mempromosikan kegelapan dan okultisme. Padahal, menurut pengakuan Butler, semua anggota Black Sabbath dibesarkan dalam tradisi Kristiani dan mempercayai eksistensi Tuhan (http://ultimateclassicrock.com/black-sabbath-satanic/#) .          

Lagu After Forever yang terdapat dalam album Master of Reality  (1971) ini hanya menjadi semacam contoh bagaimana musik dapat hadir sebagai sebuah refleksi religius yang terkadang begitu pribadi. Refleksi ini bertolak dari realitas sosial yang diamati dan dipahami dalam sebuah kontemplasi budaya. Tidak dapat disangkal bahwa dalam refleksi tersebut ketakutan, kecemasan, dan bahkan pengharapan yang dialami manusia modern dapat diekspresikan. Musik heavy metal pun tidak lepas dari pengalaman tersebut. Saya tidak menolak bahwa dalam sejarah perjalanan musik ingar-bingar, ada begitu banyak lirik yang membicarakan erotisme, kekerasan, chaos, atau ideologi tertentu  secara vulgar, kasar, dan hiperbolis. Meski begitu, saya juga tidak menolak bahwa dalam musik tersebut ada begitu banyak  lirik yang membicarakan kehidupan religius secara metaforis dan kontemplatif. 

Bagaimanapun, menggali makna dari lirik lagu yang ditulis sebuah band yang telah dicurigai terlebih dulu sebagai kelompok subversif bukanlah hal mudah. Dibutuhkan kejernihan hermeneutis yang lebih mendalam sehingga prasangka-prasangka yang melingkupinya dapat ditunda terlebih dahulu. Maka, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa prinsip judging the book by its cover yang kerap digelontorkan sebagai sebuah generalisasi tentu merupakan sebuah kecerobohan pula.  Setidaknya, melalui lagu After Forever, Black Sabbath pun bisa menunjukkan bahwa cinta Tuhan masih penting dihayati sebagai jalan kemanusiaan. (PHW)         


Sumber Gambar : www.drownedinsound.com


[1] Schlink, M. Basilea, 1995, Musik Rock Dari Mana dan Mau Ke Mana?, Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, hal. 16-24.
[2] Ibid.