Thursday 29 January 2015

We Built This City: Menuju Nasionalisme Rock'n'Roll

Nasionalisme tidak lahir dari laku tapa di bawah pohon beringin. Nasionalisme adalah buah dari perjuangan dan ikhtiar yang terus-menerus dari sebuah bangsa, sebuah nasion. Itulah uraian pertama tentang nasionalisme yang pernah saya dengar dari pidato Ir. Soekarno yang dikasetkan. Di balik suara yang menggelegar itu seolah-olah terdapat kesungguhan yang ingin ditularkan Presiden pertama Republik Indonesia ini kepada para pendengarnya. Ya, bagi Soekarno, nasionalisme bukanlah sebuah proses instant, melainkan sebuah proses panjang yang menjadikan sebuah bangsa sebagai bangsa yang berakar pada sejarahnya dan cita-cita masa depan. Nasionalisme bukanlah sebuah produk material, melainkan sebuah spirit yang memampukan sebuah bangsa dapat berdiri tegar dalam percaturan peradaban.

Saya membayangkan nasionalisme yang diikhtiarkan Soekarno lebih dari sekadar sebuah mata air di padang gurun. Mata air itu memang mampu mengatasi rasa dahaga yang mencekik. Namun, mata air itu bukanlah sarana yang mampu menghentikan rasa dahaga secara total. Mata air itu hanya bersifat sementara. Kendati begitu, secara ontologism, ia tetaplah sesuatu yang sangat berharga di tengah padang gurun. Dalam kondisi kritis, ia bisa menjadi hal yang diperebutkan secara emosional dan bahkan brutal sekalipun. Maka, nasionalisme perlu dihadirkan ketika kita merasa kering sebagai bangsa. Nasionalisme perlu dihadirkan ketika kita sedang mengalami krisis kebangsaan!

Celakanya, sebagai manusia modern, kita cenderung percaya pula bahwa nasionalisme itu dapat dihadirkan melalui sejumlah hal simbolik yang berkaitan dengan eksistensi formal sebuah negara seperti bendera, bahasa, atau lagu-lagu nasional. Bahkan dalam budaya populer sejumlah hal simbolik itu dinyatakan pula dalam olah raga, pentas film, fashion, atau teknologi besutan anak bangsa. Karena itu, bila nasionalisme menjadi sebuah euphoria – hanya karena tim nasional sepakbola kita mampu mencukur gundul tim negara lain atau karena film nasional kita berjaya di ajang internasional, bisa dipahami. Akan tetapi, tak jarang, kita juga menyaksikan bagaimana nasionalisme demikian redup dengan cepat manakala tim nasional kita menjadi bulan-bulanan tim negara lain atau film nasional kita dianggap sebagai sebuah seni murahan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep nasionalisme kerap berkaitan erat dengan penilaian secara emosional. Dalam hal ini nasionalisme ditampilkan sebagai benteng pamungkas untuk membendung beberapa pengaruh yang mengancam identitas bangsa. Ketika sebuah bentuk kesenian nasional secara tiba-tiba didaku sebagai milik negara lain, rakyat bereaksi dengan sangat sengit. Dengan sangat cepat, emosi rakyat pun tersulut. Padahal, kalau kita mau kritis, dalam kehidupan sehari-hari, bentuk kesenian tersebut kerap dianggap sebagai artefak usang yang berada di antara garis antara ada dan tiada. Kesenian reog atau batik, misalnya, masih dianggap sebagian besar orang sebagai bagian dari tradisionalisme yang tidak perlu dirawat. Berapa banyak anak muda di negeri ini yang bisa menikmati pertunjukan Reog? Berapa banyak anak muda di negeri ini yang berani mengenakan baju batik sebagai kostum pesta perpisahan kelas?

Tentu saja, nasionalisme bukanlah perkara like atau dislike. Nasionalisme bukanlah soal penilaian baik atau buruk. Nasionalisme juga bukanlah ilusi atau fatamorgana. Nasionalisme adalah energi, daya, roh, dan spirit yang menopang jati diri bangsa, bukan isme-isme yang lain. Di atas spirit itu, Indonesia dibangun, diciptakan, dan dimuliakan sebagai sebuah negara kebangsaan, bukan negara monarki, oligarki, kapitalis, religi, atau komunis. Indonesia adalah negara tempat setiap rakyat dapat hidup sebagai bangsa meski memiliki sejumlah latar belakang yang berbeda-beda. Saling menghormati kebebasan individu dan menjunjung tinggi cita-cita bersama.

Akan tetapi, pernyataan tersebut, tanpa disadari, justru menjadi pertanyaan besar pada hari ini. Apakah sungguh bangsa Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai bangsa yang mengartikulasikan dirinya sebagai nasionalis? Berani hidup bersama dalam sejumlah perbedaan? Berani untuk tidak mendaku isme-isme yang lain selain nasionalisme?

Persoalan nasionalisme ternyata bukan hanya menjadi sebuah debat kusir di negara ini. Amerika yang konon disebut-sebut sebagai role model nasionalisme dan patriotisme pun mengalami hal serupa. Nasionalisme menjadi hal yang kerap diuji dan diperiksa dalam sejumlah teks yang justru sering tidak berhubungan langsung dengan dunia politik.

Lagu We Built This City (1985) yang dibawakan Starship merupakan salah satu teks populer yang menurut hemat saya sedang mempertanyakan makna nasionalisme Amerika pada tahun 1980-an. Akan tetapi, lagu yang ditulis oleh pencipta lagu kondang, Bernard Taupin dan Martin Page, ini tidak menohok nasionalisme sebagai ideologi politik semata-mata, melainkan sebagai sistem penyangga sosial dalam kehidupan bangsa Amerika.

We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll

Say you don't know me, or recognize my face
Say you don't care who goes to that kind of place
Knee deep in the hoopla, sinking in your fight
Too many runaways eating up the night

Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll

We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll

Someone's always playing corporation games
Who cares they're always changing corporation names
We just want to dance here, someone stole the stage
They call us irresponsible, write us off the page

Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll
We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll

It's just another Sunday, in a tired old street
Police have got the choke hold, oh, then we just lost the beat

Who counts the money underneath the bar
Who writes the wrecking ball into our guitars
Don't tell us you need us, 'cause we're the ship of fools
Looking for America, coming through your schools

(I'm looking out over that Golden Gate bridge
Out on a gorgeous sunny Saturday, I'm seein' that bumper to bumper traffic)

Don't you remember (remember)
(Here's your favorite radio station, in your favorite radio city
The city by the bay, the city that rocks, the city that never sleeps)

Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll

We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll

Meski secara eksplisit berbicara tentang kondisi kota Los Angeles pada tahun 1980-an, lagu itu memandang nasionalisme yang pernah dibangun oleh para founding fathers  seperti Abraham Lincoln, pembebas para budak belian, erat berhubungan dengan prinsip kebebasan individu dan rasa hormat terhadap sesama sebagaimana selalu ditanamkan kepada rakyat Amerika sejak kecil. Nasionalisme yang dimaksud di sini adalah nasionalisme yang berpihak kepada semua rakyat, bukan segelintir pihak. Akan tetapi, dalam lagu tersebut, hal yang terjadi justru sebaliknya. Nasionalisme yang dibangga-banggakan Amerika telah mandeg dan digantikan oleh kapitalisme dan modernisme yang akut. Salah satu buktinya adalah bahwa ekspresi musik yang diteriakkan rock’n’roll dibatasi. Di Los Angeles semua tempat pertunjukan live untuk musik ini ditutup dan digantikan korporasi-korporasi kapitalis. Dalam kaca mata lagu itu, nasionalisme Amerika yang dibangun dari waktu ke waktu dalam nama spirit rock’n’roll itu telah tergerus habis!

Berbicara tentang spirit rock’n’roll, saya jadi teringat pada presiden negara ini, Jokowi alias Joko Widodo. Tak dapat dinafikan bahwa sepanjang karirnya Jokowi telah menghadirkan spirit rock’n’roll itu dalam aktivitasnya sehari-hari. Gerakan blusukan yang ia pelopori sejak menjabat sebagai walikota di Solo seolah-olah menegaskan bahwa spirit rock’n’roll yang dinamis, lincah, dan penuh terobosan baru menjadi sumber inspirasinya. Sayangnya, setelah 100 hari menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, menurut hemat saya, spirit itu tampak mengendur. Jokowi tampak terlihat lost the beat! Saat ini, ia sedang diharapkan untuk bersikap tegas dan arif atas sejumlah kasus yang sedang membelenggu kinerja pemerintahannya.

Tentu saja, saya berharap, presiden pilihan kita itu, cepat atau lambat, dapat menghadirkan wajah nasionalisme Indonesia yang lebih nyata sebagaimana diikhtiarkan Ir. Soekarno dan para founding fathers bangsa pada masa lalu. Namun, hal demikian bukanlah usaha yang mudah. Di depan akan terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi dan diatasi beliau. Untuk hal ini, dengan kesadaran penuh, saya percaya bahwa Jokowi dapat menunjukkan pemahaman mengenai nasionalisme yang mandiri, manusiawi, pluralis, bermartabat, dan berdaulat kepada kita dan dunia. Jika sampai saat ini, beliau belum mengupayakan sejumlah hal itu dengan semestinya, marilah kita, atas nama spirit rock’n’roll, tetap berharap agar nasionalisme yang ingin kita bangun bukanlah sebuah fatamorgana.     

Sumber gambar:  www.galleryhip.com 

Wednesday 14 January 2015

Future World : Antara Utopia dan Sisyphus

Berbicara tentang dunia masa depan adalah berbicara tentang prediksi dan tafsiran. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sedemikian cepat, pembicaraan tentang dunia masa depan selalu menyisakan sejumlah potongan puzzle yang kosong. Sejauh ini para penulis fiksi adalah para perintis yang berani menghadirkan gambaran tentang masa depan dengan menerobos batas ruang dan waktu secara imajinatif. Mereka menghadirkan serangkaian petualangan manusia untuk menemukan wilayah yang lebih baik, maju, dan sejahtera melalui cerita tentang mesin waktu, penjelajahan ke tanah antah-berantah, atau dunia serba robot. Tidak dapat disangkal, beberapa hal yang dipikirkan para penulis itu ternyata dapat terwujud nyata dalam kehidupan manusia modern. Kendati demikian, manusia modern tidak berhenti untuk mencari dunia masa depan.

Dalam diskursus filsafat, masa depan menjadi salah satu topik yang menarik. Dalam teori panta rhei yang diungkapkan Heraklitos, masa depan digambarkan sebagai sebuah konsekuensi dari perubahan. Masa depan adalah bagian dari waktu yang mengalir. Dia selalu ada mendahului manusia sehingga sulit untuk ditangkap. Namun, dalam hukum perubahan, perlu pula dicermati bahwa apa yang dianggap sebagai masa depan itu akan surut dan berubah menjadi masa lalu. Pendek kata, masa depan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dilampaui. Di satu sisi, kehidupan merupakan sebuah perjalanan arus waktu yang membimbing kita menuju muara peristiwa-peristiwa yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Di sisi lain, masa depan adalah sebuah kemungkinan yang justru membawa kita untuk meninggalkan masa lalu dan masa kini.

Menarik untuk diperhatikan bagaimana selama ini pandangan mengenai masa depan selalu disikapi dalam 2 ranah yang berbeda, yaitu religi dan ekonomi. Ranah religi memandang masa depan sebagai ruang pemenuhan amal ibadah manusia selama berada di dunia. Dalam hal ini sorga menjadi bentuk masa depan yang paling didambakan. Sementara itu, ranah ekonomi memandang masa depan sebagai sebuah kondisi dimana kesejahteraan dan jaminan ekonomi yang mapan tersedia di masa tua. Maka wajarlah dipahami bila setiap orang punya impian untuk mencukupi kebutuhan sorgawi sekaligus duniawi secara mantab sebelum usia mendekati uzur.

Dari dua ranah itu kita dapat melihat bahwa masa depan sangat dekat dengan pengharapan yang sesungguhnya. Namun, masa depan yang ingin digapai kedua ranah itu, bagi saya, belum dapat terwujud sepenuhnya bila belum dilandasi oleh situasi yang damai. Kedamaian, menurut saya, menjadi kunci  hadirnya masa depan yang lebih baik, sejahtera, makmur, dan manusiawi. Setidaknya apa yang saya idealkan itu tampaknya diamini pula oleh lagu Future World yang dibawakan sebuah band speed metal asal Jerman, Helloween.

Lagu yang diciptakan oleh Ken Hammer dan Ronnie Atkins, mantan personel Pretty Maids, sebuah band asal Denmark era 1980-an itu dapat ditemukan  dalam album Keeper of the Seven Keys Part 1 yang dirilis Helloween pada tahun 1987. Lagu itu bercerita tentang sebuah dunia di masa depan tempat kebahagiaan, kedamaian, dan kebersamaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, dunia masa depan yang dimaksud tidak dibicarakan dalam kerangka apokaliptik yang religius atau perspektif futuristik yang teknologis. Dunia yang dibicarakan sebenarnya adalah hari esok tanpa rasa takut, hari esok tanpa rasa cemas, hari esok yang damai dan penuh cinta. Ya, Future World tidak menempatkan dunia masa depan sebagai utopia atau ruang imajinatif yang jauh dari kenyataan manusia modern sehari-hari. Future World menghadirkan hari esok sebagai sebuah keyakinan yang dapat dijalani dengan lebih baik. Ya, Future World adalah sebuah dunia yang optimistis.

We all live in happiness
Our life is full of joy
We say the word “tomorrow
without fear”

The feeling of togetherness
Is always at our side
We love our life and
We know we will stay …

Meski optimisme muncul di dalam lagu itu, kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bagi masyarakat modern kehadiran hari esok kerap telah dibayang-bayangi kecemasan dan kekhawatiran. Memang banyak kemajuan yang dicapai masyarakat modern, tetapi hal itu tidak dapat membuat manusia merasakan kenyamanan yang sejati. Manusia modern, pada akhirnya, harus menjalani absurditas seperti yang dilakoni Sisyphus sebagai orang terhukum, membawa batu sampai puncak gunung dan menggulingkannya kembali ke bawah terus-menerus. Konsep kedamaian yang dibangun manusia diluluhlantakkan pula oleh tangan yang justru mendirikan cinta dan perdamaian sebagai monumen abadi dalam peradaban manusia. Di bawah atap yang sama, kejahatan dan kebaikan hidup bersama sampai menunggu waktu siapa yang akan menjadi pemenangnya. Inikah model dunia masa depan yang diharapkan manusia?

Peristiwa pembantaian sejumlah jurnalis di Perancis beberapa waktu lalu menjadi sebuah kado tragis di tahun yang baru.  Tentu saja peristiwa itu bukanlah berita pertama tentang hilangnya rasa kemanusiaan dalam kehidupan manusia modern. Bagi saya, peristiwa itu hanya menjadi semacam gema dari sebuah perjalanan peradaban yang dibangun di atas tumpukan demi tumpukan mayat dan aliran sungai-sungai darah. Lihat! Perang dan pertikaian antarbangsa, antarkelompok, antarsuku, antaragama, antarmanusia masih saja berlangsung!  Darah Habel masih juga tertumpah sampai hari ini. Seruan Tuhan “Dimanakah Adikmu?”  hanya terdengar senyap dan samar-samar. Kapankah hal ini akan berakhir?  Masihkah kita optimis untuk menciptakan sebuah dunia masa depan yang damai dan tenteram? Betapa sulit mewujudkan hari tanpa rasa takut!

Kendati ada kekhawatiran demikian, saya percaya, pesan yang disampaikan lagu Future World masih menyiratkan semangat untuk menyuarakan kegembiraan.  Setidaknya sampai detik ini pesan di dalam lagu itu belum menjadi artefak atau relikui tentang impian manusia yang terperosok dan hilang dalam kubangan sejarah penuh air mata.


Sumber gambar : article.wn.com      

Monday 12 January 2015

When I See You Smile : Senyum dan Kekuatannya

Jatuh cinta berjuta rasanya. Tua, muda, siapapun pasti merasakannya. Meski begitu, jatuh cinta kerap jadi peristiwa yang misterius. Kehadirannya tidak dapat ditebak. Bisa mendadak hadir. Bisa lama menunggu. Namun, penyebabnya dapat ditengarai. Dan diperkirakan, ada seribu satu alasan mengapa orang bisa jatuh cinta. Salah satunya adalah senyuman.

Senyum adalah bahasa tubuh yang paling mudah dilakukan setiap orang sehat. Namun, senyum bisa menjadi hal yang sangat menyebalkan tatkala kita sedang mengalami sakit gigi dan sakit hati. Meski kita mencobanya, senyum yang ditampilkan terasa hambar. Kata orang, senyum sangat berkaitan dengan ketulusan. Maka kita tahu mengapa senyum para gadis sales promotion dan para perawat berbeda. Mengapa senyum Pak Polisi di tengah arena razia berbanding terbalik dengan senyum seorang guru di hadapan muridnya yang berhasil lulus. Ketulusan itu terlihat bukan dari lengkungan senyum yang ditunjukkan, tetapi dari efek yang ditimbulkannya. Konon, satu senyuman tulus dapat menjadi obat bagi hati yang terluka.

Kendati ketulusan menjadi prasyarat utama, tidak jarang memang, senyuman menjadi begitu manipulatif. Mereka yang kerap bersandiwara dengan kehidupan akan menjual senyuman sebagai jangkar penjerat. Melalui senyuman itu orang bisa terpesona dan simpatik, tetapi melalui senyuman itu pula orang bisa jatuh dari tebing tinggi. Di satu sisi senyuman menghidupi, tetapi di sisi lain mematikan. Dalam sejarah, kita menemukan bagaimana banyak orang jatuh karena senyuman. Karena senyuman Delilah, Samson takluk dan tidak berkutik. Karena senyuman Cleopatra, Markus Antonius meninggalkan Roma. Karena senyuman Giacomo Casanova, banyak wanita aristokrat abad ke-19 tergila-gila untuk jatuh ke pelukannya. Dan sebagainya.

Ya, tanpa kita sadari, senyuman punya korelasi penting dengan peradaban. Baik senyuman tulus maupun manipulatif tetap punya potensi untuk mengubah jalannya sejarah sebuah bangsa. Sayangnya, dalam masa perang, orang akan sulit tersenyum. Ketika Hiroshima dan Nagasaki dihadiahi bom oleh Amerika, tiada satupun orang di Jepang selama dua dekade lamanya mampu tersenyum lebar. Ya, tragedi mampu memadamkan apapun termasuk senyuman. Celakanya, ketika hal itu terpadamkan, butuh waktu lama untuk menghidupkannya kembali sebagai sebuah pengharapan.

Maka, jatuh cinta adalah juga sebuah persoalan mengenai peradaban. Bagi yang jatuh cinta, senyuman tidak sekadar penting, tetapi merupakan sebuah tanda bermakna yang harus hadir. Senyuman kekasih adalah matahari yang membangunkan semesta. Senyuman kekasih adalah oase penyejuk di padang gurun. Senyuman kekasih adalah sebuah tanda bahwa cinta telah hadir di sana! Pendek kata, senyuman punya makna yang cukup penting. Itulah mengapa senyuman menjadi salah satu obyek yang menarik bagi para penyair untuk ditulis sebagai puisi atau lirik lagu.

Mengenai senyuman, saya ingat dengan sebuah lagu yang berjudul When I See You Smile. Lagu ini dilantunkan dengan sangat apik oleh John Waite, vokalis Bad English pada tahun 1989 dalam album perdana mereka, Bad English. Meski usia band rock itu relatif singkat, 3 tahun, lagu yang mereka bawakan terdengar begitu abadi. Ya, lagu yang diciptakan Diane Warren itu sebenarnya sungguh sederhana. Lagu itu berkisah bagaimana senyuman sang kekasih mampu menjadi energi yang luar biasa bagi pasangannya. Sebegitu besarkah kekuatan yang dipancarkan senyuman? Tentu saja, kita tidak boleh meremehkannya. Jika ditilik secara kritis, lagu tersebut bisa menjadi otokritik bagi wajah percintaan manusia modern yang kerap alpa dengan hal-hal kecil. Bukankah kerap cinta layu sebelum berkembang hanya disebabkan oleh pudarnya perhatian terhadap kebiasaan-kebiasaan kecil? Coba cermati lirik lagunya berikut ini.

Sometimes I wonder how I'd ever make it through
Through this world without having you
I just wouldn't have a clue

'Cause sometimes it seems like this world's closing in on me
And there's no way of breaking free
And then I see you reach for me

Sometimes I wanna give up, wanna give in
I wanna quit the fight
And then I see you baby
And everything's alright, everything's alright

When I see you smile, I can face the world
Oh, oh
You know I can do anything
When I see you smile, I see a ray of light
Oh, oh

I see it shining right through the rain
When I see you smile
Baby when I see you smile at me
Oh, yeah

Baby there's nothing in this world that could ever do
What a touch of your hand can do
It's like nothing that I ever knew
Hay

And when the rain is falling, I don't feel it
'Cause you're here with me now
And one look at you baby
Is all I'll ever need, all I'll ever need

Sometimes I wanna give up, I wanna give in
I wanna quit the fight
Then one look at you baby
And everything's alright
Hay, everything's alright
It's alright

Ya, lagu ini mengingatkan kita kembali betapa hal-hal kecil bisa berpengaruh pada keputusan-keputusan besar. Meski tampak kecil, sederhana, dan mudah untuk dilakukan, senyuman, sekali lagi, tidak dapat diabaikan, bukan hanya dalam hubungan percintaan, melainkan pula dalam kehidupan sehari-hari. Ada sejumlah kekuatan besar yang tersembunyi di baliknya. Senyuman adalah pengharapan bagi mereka yang putus asa. Senyuman adalah kekuatan bagi mereka yang lemah. Senyuman adalah perlindungan bagi mereka yang khawatir. Senyuman adalah terang bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Senyuman adalah sebuah solidaritas!

Mengakhiri tulisan ini, saya jadi teringat lagi kepada seorang penasihat yang berujar bahwa senyum yang kita berikan merupakan bagian dari ibadah yang kita jalankan. Saya tidak tahu seberapa sering kita tersenyum kepada setiap orang yang kita jumpai baik di rumah, tempat kerja, atau ruang publik. Hal yang perlu kita pahami adalah bahwa ada efek sosial dan psikologis yang begitu hebat dari senyuman itu. Namun, bagaimanapun, tetap juga perlu diperhatikan untuk tidak tersenyum sendiri. Bisa berbahaya …

Sumber gambar : www.eil.com    

Monday 5 January 2015

Everybody Hurts, tapi Ora Obah Ora Mamah...

Tahun baru telah kita sambut. Konon, tahun baru itu identik dengan optimisme akan harapan dan impian yang lebih kuat, lebih segar. Itulah mengapa pada setiap malam pergantian tahun ada begitu banyak tradisi yang secara simbolis hendak memutus habis ikatan kenangan buruk dengan harapan cerah di masa depan. Di daerah saya, setiap orang dapat membakar kalender, agenda, atau barang-barang yang berhubungan dengan masa lalu sebagai wujud keseriusan mereka untuk mengusahakan masa depan yang lebih baik.  Maka, lihatlah! Pada setiap 1 Januari pagi ada begitu banyak wajah yang bersemangat dan ceria untuk menjalani aktivitas. Tampaknya tidak ada hari yang lebih menggairahkan dan menyenangkan selain hari itu.

Ya, hari ini adalah hari kesekian di tahun yang baru. Namun, masihkah energi dan semangat yang hadir pada malam pergantian tahun bergelora? Ini bukanlah pertanyaan retoris. Pertanyaan ini perlu diajukan karena faktanya, ritme kehidupan sehari-hari mulai berjalan normal. Segalanya kembali pada rutinitas seperti yang pernah kita jalani pada tahun-tahun sebelumnya. Mungkin harapan yang baru lahir itu tinggal angan-angan ketika kesulitan hidup yang kita alami mulai menyergap. Apakah wajah-wajah yang pernah berseri dan cerah di pagi hari itu masih tersisa?

Saya bukanlah seorang pesimis pada dasarnya. Namun, harga-harga kebutuhan pokok yang sudah melambung pada hari ini membuat saya harus pula bersikap realistis. Saya sadar, apapun harapan dan impian yang pernah saya deklarasikan di malam pergantian tahun itu butuh proses lebih dari satu hari, satu bulan, atau mungkin beberapa tahun untuk diwujudkan.  Maka, ketika harus menghadapi fakta betapa kebutuhan ekonomi telah meningkat, saya mau tidak mau harus memiliki impian dan harapan yang lebih besar ketimbang sebelumnya, bukan justru mematahkan atau meninggalkannya. Dengan cara demikian, setidaknya saya dapat merasa bersikap antisipatif dan tenang secara psikologis.

Dalam sebuah acara televisi, Tukul, seorang komedian kondang, pernah menyatakan sebuah kalimat yang menurut saya begitu bijaksana dan inspiratif. “Selagi gula masih terasa manis, kopi terasa pahit, dan garam terasa asin, kita masih perlu bersyukur kepada Tuhan, “ ujarnya.  Ya, harga kebutuhan pokok yang kita konsumsi sehari-hari pasti akan selalu meningkat dan berbagai problem yang kita hadapi pun akan datang silih berganti. Namun, kita diminta untuk tidak putus asa. Pergulatan kita bukanlah semata-mata pergulatan pribadi. Bagaimanapun, kita tetap diminta untuk selalu bersyukur. Harga dan problem itu tidak akan pernah mengubah apa yang diciptakan dan diberikan Tuhan kepada manusia. Harga dan problem itu tidak akan membuat Tuhan meninggalkan kita. Kita hanya perlu bersyukur. Itu saja.

Apa yang dinyatakan Tukul mengingatkan saya pada lagu Everybody Hurts yang dibawakan sebuah band rock alternatif dari Georgia Amerika, R.E.M. Lagu yang terdapat dalam album Automatic for the People (1992) itu ditulis oleh Bill Berry, mantan drummer R.E.M yang saat ini berprofesi sebagai seorang petani. Dalam lagu itu Berry berpesan kepada mereka yang hilang dan putus harapan serta semangatnya agar tetap bersikap positif untuk melanjutkan hidup. Bagi saya, lagu Everybody Hurts adalah sebuah lonceng yang membangunkan dan mengajak setiap orang untuk tetap mencintai hidupnya meski kesulitan, kesakitan, dan kegagalan harus dialami.  Itulah mengapa ketika menyanyikan lagu ini, Michael Stipe, sang vokalis, bersuara lantang, dengan pengucapan yang sangat jelas. R.E.M ingin agar pesan yang terkandung dalam lagu itu dapat didengar dunia, didengar kita semua.

Everybody hurts
Take comfort in your friends
Everybody hurts
Don’t throw your hand
Don’t throw your hand
If you feel like you’re alone
No, no, no, you are not alone

Ya, jangan menyerah untuk menaklukkan badai yang selalu menerjang kehidupan. Setiap orang pasti mengalami badai itu. Setiap orang harus melewatinya. Berdasarkan pengalaman yang telah saya jalani, kesulitan ekonomi bukanlah satu-satunya perkara dalam hidup ini. Hilangnya cinta pun bukanlah satu-satunya problem dalam hidup ini. Setahu saya, kesulitan dan nestapa hidup hanya dapat dihadapi jika kita mau bergerak, bekerja, atau melakukan sesuatu yang bermanfaat. Semakin banyak kita bergerak, semakin kita didekatkan pada harapan dan impian yang akan kita capai. Itulah usaha pertahanan yang dapat kita usahakan. Saya senang dengan ungkapan Jawa untuk menggambarkan usaha itu secara lugas. Ora obah ora mamah. Tidak bergerak, tidak makan!

Ya, hari ini adalah hari kesekian di tahun yang baru. Tetaplah bangun mimpi dan harapanmu! Jangan pernah menyerah bila target finansial meleset dan tambatan hati belum jua menghampiri.  Jangan pernah putus asa bila mimpi dan harapanmu belum juga terwujud. Ingat, semua orang pasti mengalaminya. Kita tidak pernah sendiri. Tidak pernah sendiri!

Sumber : www.arstechnica.com