Thursday 2 February 2017

Days Gone By : Cerita Kenangan di Antara Kita

Setidaknya ada 2 alasan penting yang mendasari mengapa pada masa lalu saya diwajibkan untuk pergi ke sekolah oleh orang tua. Alasan pertama berkaitan dengan harapan mereka agar saya dapat menjadi insan yang cerdas, tekun,  bijaksana, dan penuh tata krama. Bagi mereka, sekolah merupakan jembatan yang dapat menghantarkan setiap orang menuju masa depan yang lebih baik. Untuk itu, orang tua juga mati-matian untuk memperingatkan agar saya tidak malas atau mangkir dari sekolah. Alasan kedua berhubungan dengan perhatian mereka terhadap pergaulan sosial yang saya lakukan di luar rumah. Mereka mahfum bahwa saya membutuhkan teman-teman sepermainan dalam pengembangan kedewasaan pribadi. Melalui teman-teman di sekolah, saya dapat berjumpa dengan sejumlah pribadi dengan latar belakang yang berbeda dan beragam.
Celakanya, alih-alih menjadikan sekolah sebagai tempat belajar, saya justru menjadikan sekolah sebagai ruang permainan dengan teman-teman. Kendati saya telah duduk di bangku kelas menengah sekalipun, sekolah masih saya pandang sebagai ruang yang membahagiakan serupa Taman Kanak-Kanak. Di ruang itulah saya dan teman-teman dapat bertemu, berteriak-teriak, melompat-lompat, berkejar-kejaran, membicarakan para gadis yang kami idamkan, atau bercanda dengan gelak tawa yang lepas. Pada saat itu, kami sungguh tidak peduli seanarkis apa perilaku yang kami tunjukkan. Seolah kehidupan hanya berlangsung hari ini saja. Carpe Diem! Alhasil, kami kerap diganjar dengan banyak hukuman oleh para guru yang memandang kami sebagai para devian di sekolah. Berlari jongkok mengitari lapangan basket, berdiri tegak di tengah lapangan pada siang bolong, berdiri dengan satu kaki di depan kelas, atau berdiri menghadap tembok sekolah kami yang berwarna kuning pupus!
Seharusnya kami sedih dan menyesali perilaku kami yang sangat anomalis itu. Akan tetapi, status sebagai pesakitan sekolah – demikian teman saya menyebutnya- justru membuat kami bangga di hadapan banyak teman, terutama di depan para gadis idaman. Kenakalan menjadi sebuah sensasi dan pleasure tersendiri bagi lelaki muda. Namun, bagi orang tua, apa yang telah kami lakukan itu menjadi hal yang sangat memalukan. Mereka mungkin sangat kecewa karena kami tidak mengindahkan harapan mereka untuk menjadikan sekolah sebagai ruang belajar dan ruang persiapan bagi masa depan. Untunglah, menjelang Ujian Nasional, saya dan teman-teman mulai mencoba untuk bersikap dewasa. Kami berkomitmen itu menjadi siswa-siswa yang normal. Maka, dengan kesadaran dan tanggung jawab yang cukup tinggi, sedikit demi sedikit kami pun mulai memperbaiki diri dan kembali pada pemahaman bahwa sekolah merupakan ruang belajar yang perlu dihormati.
Tak terasa, tiga puluh tahun sudah pengalaman tersebut berlalu. Seolah-olah segalanya baru saja terjadi kemarin. Meski tembok sekolah sudah berubah warna, lapangan basket tampak menyempit, atau para guru mulai berganti, ingatan akan kebersamaan dengan teman-teman sepermainan tidak pernah hilang. Berbagai hukuman yang pernah dijalani pada masa lalu hanya menjadi cerita yang penuh olok-olok pada masa kini. Seolah-olah hukuman itu menjadi salah satu bagian penting dalam permainan yang kami lakukan. Mengingat kembali segala peristiwa itu serupa dengan mendapatkan dan membuka album foto lapuk yang tersimpan rapi di gudang.
Namun, dalam album foto itu, saya juga menemukan begitu banyak figur yang telah mengisi hari-hari saya pada masa lalu, selain teman-teman di sekolah menengah. Saya melihat  sejumlah foto teman masa kecil ketika kami masih tinggal di Bogor. Saya ingat, hampir setiap hari kami lewati dengan berbagai permainan yang menyenangkan. Lihat, dengan wajah yang tak berdosa, kami semua tersenyum di sana! Ah, betapa jauhnya kenangan itu telah saya tinggalkan. Di manakah mereka saat ini? Saya menemukan pula foto-foto kelas yang diambil ketika kami hendak lulus sekolah dasar. Tidak semua wajah terlihat optimis. Ada pula yang sedang dirasuk oleh kegundahan karena khawatir dengan hasil ujian. Namun, wali kelas kami terlihat begitu gembira dengan senyum cantiknya. Dalam foto itu, saya tidak pernah berada di baris belakang karena baris itu selalu diisi oleh teman-teman yang berbadan tinggi. Selama enam tahun, saya selalu setia berada di depan bersama dengan teman-teman yang berbadan pendek.
Tidak terlupakan juga beberapa foto yang diabadikan bersama teman-teman di sekolah menengah lanjutan. Karya wisata dan ziarah kami ke Borobudur dan Sendang Sono menjadi foto-foto yang sangat monumental. Dalam usia yang bergolak dan masa pubertas yang tak tertahankan, kami menjadi pribadi yang optimis dan bengal, yang percaya bahwa dunia dapat kami taklukkan dengan heavy metal, puisi Rendra, dan sebatang Marlboro. Kami tampak begitu berani dengan rambut gondrong dan tubuh langsing. Itulah masa-masa emas yang tidak dapat terlupa. Bersama mereka, saya mulai didewasakan dan dituntun untuk menemukan diri saya yang sebenarnya. Bersama mereka jugalah, cinta a la anak-anak monyet menjadi paket dari petualangan masa muda. Terlintas beberapa wajah ayu nan simpatik yang sempat mampir di hati. Surat-surat yang berisi pengharapan dan kerinduan selalu dinanti dengan ketegangan tingkat tinggi. Namun, semua berlalu sebagai kepingan memori. Di manakah mereka saat ini?
Lalu bagaimana dengan masa kuliah? Ah, begitu banyak wajah dan nama yang ingin diingat! Terlalu banyak kisah dan legenda yang patut dituturkan tentang mereka. Dengan cara masing-masing, setiap orang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Mereka pernah mengisi ruang batin kita dengan sejumlah canda, ketulusan, renjana, rasa takjub, asmara, kegetiran, penolakan, khianat, dan sakit hati. Kendati demikian, semuanya terajut sebagai rangkaian pengalaman yang tak mungkin terulang kembali. Sebagai pengalaman, rajutan itu sama sekali tidak terpisah dengan eksistensi kita pada masa kini. Keberadaan kita merupakan kumpulan dari berbagai rajutan baik yang tebal maupun yang tipis, yang berasal dari perjumpaan kita dengan sesama kita. Rajutan ini menjadi semacam jejak bahwa setiap manusia tidak dapat sepenuhnya meninggalkan kenangan dan masa lalu sebagai sebuah hal yang tidak berguna. Album foto yang teronggok lapuk di gudang perlu juga untuk dibuka kembali. Siapa tahu di sana kita menemukan kembali jati diri kita yang sesungguhnya, yang mungkin karena suatu hal telah dilupakan sama sekali.
Membuka album foto kenangan merupakan cara mudah untuk menarik diri dari amnesia sejarah yang kerap kita alami. Menarik untuk mengamati sebuah lagu yang berjudul Days Gone By yang pernah dirilis oleh Slaughter, band hard rock asal Amerika, pada tahun 1992 di album mereka, The Wild Life.

Its so good to see you now
Its been so long since we've been together
You kept in touch somehow
You always found a way to be there

I wish that I could stop the hands
Of time between us

All the days gone by
Do you remember when
We were the best of friends
All the days gone by
You know that memories
Never fade
As your watchin all your days go by

Lookin back on younger years
Thats what are hopes and dreams
Are made of
All the laughter and the tears
Its the feelin of love that make us

I wish that I could stop the hands
Of time between us

All the days gone by
Do you remember when
We were the best of friends
All the days gone by

You know that memories never fade
As your watchin all your days go by

Oooo all of the feelins
That we had before
But thru the years

The memories we share
You cant erase them from your mind

All of the days gone by
You know that memories never fade
As your watchin all your days go by

They go by (they go by)
They go by (they go by)
They go by (they go by)
They go by

Memories never fade
As your watchin all your days go by
Oh

Saya sepakat dengan Slaughter bahwa kenangan bersama orang-orang yang pernah mengisi hari dan hati kita perlu dirayakan. Meski waktu terus melaju, kenangan yang pernah kita lalui tidak tertinggal. Sebaliknya, perjalanan waktu justru menguatkan kenangan tersebut sehingga tidak pernah terhapus dalam benak. Semakin kita menyadari betapa cepatnya waktu berlalu dalam kehidupan kita, semakin kita memahami betapa berharganya kenangan yang pernah dilewati. Kenangan menjadi tidak terbeli karena setiap peristiwa hanya hadir satu kali dalam kehidupan kita. Waktu memang membawanya pergi, namun sayangnya gerak waktu tidak mampu menghapus jejak kenangan yang telah ditorehkan peristiwa.
Ingatan akan kenangan di masa lalu termasuk tema yang kerap dibicarakan dan dibahas sebagai sumber inspirasi penciptaan dalam dunia populer. Hal demikian, misalnya, banyak saya temukan dalam novel-novel karya Nh. Dini. Dalam khazanah sastra Indonesia,  Nh.Dini dikenal sebagai seorang penulis wanita yang kerap mengisahkan sejumlah kenangan yang pernah dilaluinya pada masa remaja bersama keluarga dan teman-temannya. Menurut pengakuannya,  novel-novel itu ditulisnya berdasarkan kisah kehidupannya. Beberapa novel yang membahas tentang kenangan itu di antaranya adalah Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), dan Sekayu (1981). Dari perspektif sastra, sebagaimana ditulis Nh. Dini, kenangan akan masa lalu menjadi sesuatu yang sangat bermakna dalam kehidupan seseorang. Saya kutipkan sedikit bagaimana Nh. Dini mengenang seorang pemuda yang bernama Mas Nur, yang pernah hadir di dalam hidupnya.

Pengalaman itu dapat kunamakan sebagai cinta tiga lakon. Hampir selama tujuh bulan kami berlatih bersama, bertemu, dan berbicara untuk saling mengenal lebih dekat. Begitu pentasan berakhir, kami jarang berjumpa lagi, kecuali di hari Minggu. Kadang-kadang keinginan untuk bertemu dengannya terkabul, kadang-kadang tidak. Dapat dikatakan lebih sering terkecewakan. Mas Nur memiliki kegiatan lain, ialah berlatih renang. Tahun itu dia berusaha merebut kejuaraan kota. Di kala aku melihatnya muncul di Eka Kapti, dia tidak tinggal lama bersama kami. Tetapi dia tidak pernah lupa mencari dan menyalamiku, bertanya buku apa lagi yang telah dibaca sejak pertemuan kami yang terakhir, tanaman apa yang baru kudapatkan serta urusan-urusan lain yang sama sekali lepas dari pelajaran sekolah. Semuanya berlangsung singkat, karena terputus oleh teguran kawan-kawan lain, oleh latihan gamelan maupun tari yang kami ikuti.
Kemudian lama sekali aku tidak bertemu dengan dia. Sampai saat harus meninggalkan kotaku, aku tidak pernah lagi berkesempatan mengetahui di mana dia. Kenanganku yang nyaman terhadapnya tetap sedap, tetap kusimpan di dalam hati yang cerah. Kesan yang ditinggalkannya padaku jauh lebih membentuk daripada Dirga. Memang keduanya tidak dapat dibandingkan. Aku pernah merindukan Dirga sebagai seorang pemuda yang menarik jasmaniahnya. Sifatnya dan kelakuannya tidak mempengaruhiku. Sedangkan Mas Nur, aku mengaguminya, aku tertarik kepada keseluruhan wajah dan tubuhnya, aku banyak belajar daripadanya.  (Sekayu, hlm. 150-151)

Di balik setiap kenangan, ternyata ada kisah yang dapat dituturkan. Kendati kita hidup bagi masa depan, tidak dapat disangkal, kita diseret untuk memperhatikan kembali apa yang pernah kita alami pada masa lalu. Namun, sekuat apapun kita merasakan hal itu, kenangan memang tidak dapat dihidupkan kembali. Kenangan hanya bisa menjadi semacam referensi yang membantu kita untuk menjalani hari ini dengan lebih baik sehingga dapat meloncat jauh lebih tinggi di masa depan. Maka, ada baiknya bila kita mengingat-ingat kenangan yang baik, yang menguatkan, dan yang inspiratif yang pernah kita jalani bersama orang lain. Orang bijak mengatakan bahwa apa yang baik pada masa lalu dapat diambil dan dikembangkan untuk hari ini dan masa depan. Akan tetapi apa yang buruk pada masa lalu harus segera ditinggalkan atau jika perlu, diubah dan diperbaiki demi masa depan yang lebih baik.
Kendati begitu, kita perlu juga menyadari bahwa hari yang kita jalani pada hari ini sesungguhnya akan menjadi bagian dari kenangan itu sendiri. Tanpa disadari, waktu pun bergerak sebagaimana kita bergerak pula.Celakanya, sebagai manusia modern, kita kerap alpa bahwa kehidupan kita berjalan dalam waktu yang selalu bersifat sekejap, sementara, dan terbatas. Meski demikian, dalam kesementaraan dan keterbatasan itu, untunglah, manusia masih memiliki memori tempat segala kenangan dirajut dan ditenun sebagai hal yang bermakna dalam kehidupannya.  Sejauh manusia dapat menghidupi kehidupannya sebagai sesuatu yang sangat berharga, memori itu tiada pudar. Memories never fade as your watchin all your days go by.

Sumber : www.metrolyrics.com