Saturday 18 March 2017

My Friends : Mereka yang Hadir dalam Hidupmu



Pernahkah Anda bertanya kepada pasangan atau teman baik Anda. “Mengapa kita harus berjumpa?” Jika Anda sedang mengalami kepahitan, kekecewaan, dan sakit hati karena masalah komunikasi yang berantakan dengan mereka, saya yakin, pertanyaan itu mungkin dapat Anda ajukan saat ini. Pertanyaan itu tentu saja tidak ingin menelisik alasan yang menyebabkan terjadinya perjumpaan antara Anda dan mereka. Sebaliknya, pertanyaan itu sendiri secara implisit sudah mengandung nada penyesalan yang tidak dapat dipulihkan. Betapa perjumpaan itu seharusnya tidak pernah terjadi! Namun, jika saat ini Anda sedang merasa nyaman dan aman bersama pasangan atau teman baik Anda, pertanyaan itu sebaiknya Anda simpan di sebuah tempat yang sulit Anda temukan kembali sesegera mungkin. Pertanyaan itu akan Anda pandang sebagai sebuah pertanyaan subversif yang begitu jahat!
Tidak mudah untuk menjalin hubungan yang akrab dan berkualitas pada hari ini!  Ketika segala hal menjadi begitu instan dan mudah menghilang seperti pesan-pesan yang viral di media sosial, persahabatan menjadi sebuah hal yang sangat langka. Kita mungkin memiliki begitu banyak follower dan grup dalam account media sosial kita, namun perhatikanlah berapa banyak orang yang sungguh ingin mengetahui kabar Anda saat ini. Hal yang terjadi justru sebaliknya. Di antara percakapan yang begitu riuh dalam media sosial, saya dan Anda seringkali hanya menjadi orang asing, yang hanya mampu membuka pesan dan mengikuti percakapan itu tanpa berpretensi untuk menimpali, selain untuk menghapus cepat-cepat sejumlah pesan itu agar ruang muat gawai kita dapat lebih leluasa! Jikalau pada hari ini pun Anda berulang tahun, amatilah bagaimana ucapan-ucapan yang mereka berikan hanya merupakan duplikasi alias copy dan paste teks dan gambar yang dikirim teman sebelumnya. Sungguh menyebalkan, bukan?
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu manusia modern lebih cenderung memilih untuk memisahkan diri dari kohesi sosial. Intimitas atau persahabatan tidak lagi dipandang sebagai nilai yang menggetarkan hatinya. Hal demikian bahkan lamat-lamat menghilang dalam lingkup sosial yang paling kecil seperti keluarga. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini oleh Philip Zimbardo, seorang psikolog sosial dari Universitas Stanford, misalnya, menyatakan bahwa pada abad ini Amerika Serikat menjadi negara yang tak berayah (fatherless). Banyak remaja, terutama laki-laki,  tidak memiliki hubungan yang akrab dengan ayah mereka. Kalaupun terjadi interaksi antara mereka, apa yang dibicarakan hanya terlihat sebagai basa-basi yang berlangsung kurang dari 30 menit per hari. Remaja Amerika, kata Zimbardo, kini lebih memilih untuk menautkan hatinya pada game online dan pornografi di kamar yang terkunci.
Serupa dengan kecenderungan yang terdapat di Amerika, masyarakat Jepang hari ini pun mengalami masalah dengan interaksi dan kohesi sosial. Kendati generasi tua Jepang pernah berusaha sekeras mungkin untuk menjadi bangsa yang ramah, sopan, dan penuh toleransi sejak kalah dalam Perang Dunia II, pemuda dan pemudi Jepang pada hari ini melihat nilai-nilai yang telah diupayakan selama bertahun-tahun itu bukanlah hal yang dapat dibanggakan. Mereka memandang virtue yang pernah ditegakkan oleh generasi tua sebagai barang lapuk yang harus ditinggalkan karena dianggap tidak cocok dengan pola pemikiran saat ini. Generasi muda Jepang hari ini cenderung tidak membutuhkan kehadiran orang lain. Intimitas dan persahabatan lamat-lamat mulai ditolak dan disingkirkan dalam pergaulan sosial. Mereka lebih memandang teknologi gawai dan internet mutakhir sebagai sahabat yang lebih dapat memahami diri mereka ketimbang orang tua, saudara, tetangga, guru, dan teman di sekolah. Generasi ini dikenal sebagai generasi Otaku yang menempatkan Akihabara, sebuah distrik di kota Tokyo, sebagai kerajaan sorga yang sangat menyenangkan bagi mereka. Di tempat yang penuh dengan teknologi itu mereka tidak hanya menemukan intimitas yang sesungguhnya, tetapi juga menemukan eksistensinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa kini orang yang tidak memiliki teman atau sahabat bahkan bukan merupakan sebuah masalah yang serius. Sebagai pendidik, saya melihat ada perubahan yang cukup drastis dalam kehidupan sosial di sekolah atau perguruan tinggi. Sepuluh tahun lalu, murid atau mahasiswa yang tidak memiliki teman cenderung terlihat tidak begitu bersemangat dalam pelajaran. Meski tampak terisolasi, mereka tetap mendambakan kehadiran seseorang yang dapat menerima mereka sebagai teman. Manakala pada akhirnya mereka dapat memiliki teman, warna kehidupan mereka pun tampak begitu cerah.
Namun, pada masa kini, hal yang terjadi justru sebaliknya. Tidak memperoleh teman bukanlah masalah yang serius. Saya pernah berbicara dengan salah seorang murid yang memiliki prinsip demikian. Sekilas ia tampak terisolasi dan sepi. Tidak ada satupun teman yang pernah terlihat berbicara atau bermain dengannya. Entah mengapa. Ketika saya menanyakan apakah ketiadaan teman menjadi salah satu problem yang harus diatasi dalam kehidupan sehari-hari, ia hanya menjawab bahwa ketiadaan teman bukanlah sebuah masalah. Ia merasa tidak terusik dengan kondisi itu. No problemo, Sir! Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah khawatir jika tidak memiliki seorang temanpun. Akan tetapi, hal yang justru paling ia khawatirkan adalah jika gadget yang ia miliki rusak atau ia dilarang untuk bermain game online. Ia mengatakan bahwa gadget dan game online sudah terlanjur menjadi sahabatnya yang paling setia. Benda-benda itu, menurutnya, tidak pernah memarahi atau membencinya. Mereka tidak cerewet jika ia terlalu banyak meminta. Mereka tidak pernah mengeluh jika ia terlalu banyak bermain!
Maka, bagi saya yang memang tidak dilahirkan sebagai digital natives, adalah sebuah peristiwa yang sangat mengharukan apabila masyarakat masa kini masih merawat makna intimitas, pertemanan, dan persahabatan. Selain sulit untuk dilakukan pada masa kini, berteman atau bersahabat menuntut kepercayaan, ketulusan, dan kerendahan hati dari kedua belah pihak. Kepercayaan diperlukan untuk menekankan bahwa hubungan tersebut tidak dibangun dalam kecurigaan satu sama lain. Ketulusan dibutuhkan untuk mengartikulasikan bahwa hubungan tersebut tidak dibangun berdasarkan prinsip supply dan demand, untung dan rugi. Kerendahan hati diperlukan untuk menekankan bahwa hubungan tersebut tidak didirikan di atas superioritas yang dibawa oleh status duniawi. Kerendahan hati mengandaikan bahwa terdapat posisi yang egaliter di antara kedua belah pihak, kendati status sosial setiap orang berbeda.
Beragam teks populer seperti film atau musik pun secara diam-diam masih berupaya untuk menampilkan beberapa hal di atas sebagai peristiwa yang mengharukan bagi kemanusiaan. Salah satunya adalah lagu yang dinyanyikan oleh sebuah band funk-rock dari Amerika Serikat, Red Hot Chili Peppers, yang berjudul My Friends dalam album One Hot Minute (1995). Lirik lagu ini berbicara tentang bagaimana menjadi teman yang baik. Mempertahankan rasa simpati dan bela rasa (compasion) dalam sebuah intimitas atau persahabatan menjadi salah satu jalan yang dapat dilakukan agar kita dapat menjadi teman yang baik bagi siapapun. Bahkan kendati keintiman dan persahabatan itu sudah tidak berlangsung lagi, masih ada sepenggal hati yang tersisa untuk mereka yang pernah singgah dalam kehidupan kita.
        
My friends are so depressed
I feel the question
Of your loneliness
Confide, 'cause I'll be on your side
You know I will, you know I will

Ex girlfriend called me up
Alone and desperate
On the prison phone
They want, to give her seven years
For being sad

I love all of you
Hurt by the cold
So hard and lonely too
When you don't know yourself

My friends are so distressed
And standing on
The brink of emptiness
No words, I know of to express
This emptiness

I love all of you
Hurt by the cold
So hard and lonely too
When you don't know yourself

Imagine me taught by tragedy
Release is peace
I heard a little girl
And what she said
Was something beautiful
To give, your love
No matter what
Yeah, what she said
 
I love all of you
Hurt by the cold
So hard and lonely too
When you don't know yourself

Bagian yang paling menyentuh dalam lirik lagu ini adalah pernyataan, I heard a little girl, and what she said was something beautiful. To give your love. No matter what. Yeah, what she said.” Pernyataan ini berbicara tentang ketulusan dan juga pengampunan. Tidak semua apa yang kita upayakan agar teman atau pasangan kita berbahagia dapat dipahami atau dimaknai dengan jelas. Kerap cinta dan perhatian yang kita berikan membentur tembok-tembok kosong. Kerap cinta dan perhatian kita dianggap sebagai angin lalu. Kerap cinta dan perhatian kita dipandang dengan sebelah mata. Namun, apa yang dikatakan gadis itu mengingatkan kita bahwa memberikan cinta dan perhatian haruslah tulus. Kita harus melepaskan beban apapun di balik pemberian itu sehingga cinta dan perhatian yang kita berikan tidak memiliki alasan lain kecuali cinta dan perhatian itu sendiri!
Di samping berbicara tentang makna ketulusan, pernyataan itu menyangatkan kekuatan akan pengampunan. Ketika Anda jatuh cinta kepada seseorang, Anda sebenarnya telah masuk ke dalam sebuah konsekuensi bahwa Anda akan terluka oleh cinta. Bagai bunga mawar yang berduri, cinta dan perhatian hidup bersama dengan rasa benci dan sakit hati. Ketika kita memegang bunga tersebut, jari kita dapat terluka oleh duri-duri yang berada di tangkainya. Tanpa disadari, setiap perhatian dan ungkapan cinta kita bisa berubah dengan cepat menjadi sumpah serapah ketika terjadi penolakan. Kita kecewa dan marah. Bahkan putus asa! Namun, gadis yang ditampilkan dalam lirik lagu itu mengatakan kepada kita agar kita harus berani untuk mengampuni mereka yang menyakiti hati. “To give your love. No Matter what!” Pengampunan ini menjadi sarana agar kita dapat berdamai pula dengan diri sendiri. Menurut saya, pernyataan tersebut menjadi hal yang paling penting untuk membangun karakter yang dewasa.
Intimitas dan persahabatan, tidak dapat disangkal, bukanlah sekadar sebuah syarat agar setiap manusia dapat menjadi makhluk sosial, tetapi juga merupakan sebuah jalan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda membuat kita tidak terjerumus pada konsep mengenai cinta diri (amor sui). Berani menerima keterbatasan dan kekurangan orang lain juga menjadi buah yang dapat dipetik dari intimitas dan persahabatan itu. Melalui hal tersebut, kita dapat melihat kehidupan dan gambaran diri kita dengan lebih matang.  Kendati demikian, memang tidak semua intimitas dan persahabatan yang dibangun selalu berbuah manis. Tidak jarang dari intimitas dan persahabatan itu, kita justru memetik tragedi dan kematian. Kita tahu, dalam sejarah manusia, ada begitu banyak orang yang menjadi tidak waras, depresi, dingin, sadis, dan bahkan mati karena terluka oleh duri-duri intimitas dan persahabatan.
Seorang eksistensialis Prancis yang bernama Albert Camus pernah menulis hal yang menarik tentang intimitas dan persahabatan dalam novelnya yang berjudul The Fall. Saya kutipkan beberapa pernyataan berikut.

Friendship is less simple. It is long and hard to obtain but when one has it there's no getting rid of it; one simply has to cope with it. Don't think for a minute that your friends will telephone you every evening, as they ought to, in order to find out if this doesn't happen to be the evening when you are deciding to commit suicide, or simply whether you don't need company, whether you are not in the mood to go out. No, don't worry, they'll ring up the evening you are not alone, when life is beautiful.

Bagi Camus, persahabatan memang terlihat kurang sederhana karena dibutuhkan usaha yang sangat keras untuk membangun dan bahkan merawatnya. Maka kita jangan pernah berpikir bahwa sahabat kita akan selalu menelepon kita di setiap petang, hanya untuk memastikan bahwa pada petang ini kita tidak mencoba untuk bunuh diri, tidak membutuhkan teman, atau tidak ingin bepergian. Mereka bukanlah orang-orang yang hadir hanya karena kita memiliki kekhawatiran akan kehidupan ini. Akan tetapi, mereka akan menelepon kita tatkala kehidupan yang kita jalani dapat kita syukuri sebagai sebuah keindahan, bukan tragedi!  Ya, sahabat adalah pribadi yang dengan rela hati mau merayakan kehidupan ini bersama kita. Sudahkah Anda merayakan kehidupan ini dengan sahabat atau pasangan Anda? Jika belum, hubungi mereka saat ini! Cheers!


 


Tuesday 7 March 2017

Hurt : Derita dan Kesempatan Kedua


Hampir di setiap Minggu pagi, laki-laki kekar itu melintas di depan rumah kami. Meski jalannya terseok-seok, langkahnya terlihat begitu tegar. Tubuhnya atletis. Mungkin pada masa mudanya, ia begitu disiplin menjaga tubuhnya. Dengan kaca mata hitam yang selalu ia kenakan, ia tampak begitu percaya diri. Tongkat ramping dari besi yang dibawanya selalu menghentak sejumlah kerikil dan kerakal yang menghalangi perjalanannya. Seolah ia tidak pernah  takut dan khawatir untuk tersesat atau terjatuh meski ia adalah seorang penyandang tuna netra.
Laki-laki itu bernama Petrus. Sejak berumur 4 tahun, matanya sudah tidak dapat melihat. Pada awalnya pria itu dilahirkan normal. Ia masih dapat mengingat dengan jelas seperti apa bentuk pohon yang tumbuh di depan rumahnya, cahaya sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya di pagi hari, warna cat tembok rumah yang mulai terkelupas, dan tentu saja wajah kedua orang tua yang selalu ia rindukan dalam mimpi, Namun, sebuah demam yang tinggi membuatnya harus kehilangan matanya. Sejak itulah dunianya gelap. Hitam pekat bagai jelaga. Bagi seorang anak, kondisi ini adalah sebuah tragedi. Karena selalu menjadi obyek perundungan teman-teman sebayanya selama bertahun-tahun, pada usia remaja, ia pernah berniat untuk menghabisi dirinya di sebuah jembatan. Ia ingin agar sungai segera mengambil nyawa sekaligus penderitaannya.
Namun, rupanya takdir tidak mengizinkan Petrus untuk mati muda. Seorang bapak yang tidak ia kenal mencegah dan membujuknya untuk mengurungkan niatnya. Pada waktu itu ia sudah menjadi anak yatim piatu. Petrus tinggal bersama neneknya yang selalu sakit-sakitan. Bagai sebuah drama, Petrus yang sedang mengalami frustasi, diangkat anak oleh bapak yang baik hati itu. Bapak dan keluarganya itu sangat menyayangi Petrus. Oleh bapak itu, Petrus didaftarkan ke sebuah sekolah tuna netra di Bandung. Di sana ia mendapat banyak teman yang nasibnya serupa. Babak kehidupan yang segar pun terbentang bagi Petrus. Ia menemukan sebuah kehidupan yang baru.
Banyak teman yang mengira laki-laki yang selalu melintas di depan rumah kami itu adalah seorang tukang pijat. Saya pun pernah berpikir demikian. Namun, pada suatu saat, saya pernah mencegatnya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya ia kerjakan dari pagi sampai sore hari. Pria itu menjawab bahwa ia adalah seorang kasir di sebuah perusahaan garmen, yang jaraknya tidak jauh dari rumah kami. Sebagai kasir, ia telah bekerja selama 15 tahun lebih di tempat itu. Tentu saja, informasi ini sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin seorang penyandang tuna netra mampu mengurus keuangan yang cukup besar? Ah, Petrus hanya tertawa. Ia mengatakan bahwa untuk melakukan pekerjaan itu ia memiliki metode tertentu. Ia mengatur keuangan dengan mata hatinya sehingga ia tidak pernah silau untuk mengurangi hak yang harus diterima para pegawai.
Perjumpaan saya dengan Petrus menjadi sebuah pembelajaran kehidupan yang sangat berharga. Di balik keterbatasan yang ia miliki, Petrus justru  menyimpan kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang yang memiliki penglihatan normal.Ada beberapa hal penting yang perlu saya catat di sini. Pertama, Petrus tidak terfokus pada kekurangan dan keterbatasan yang ia miliki. Sejak bergabung dengan sekolah tuna netra di Bandung, pria itu tidak pernah lagi menangisi atau menyesali kondisinya. Ia merasa bahwa di balik keterbatasannya itu, ia masih merasa berharga. Ia dicintai oleh kedua orang tua angkat dan keluarganya. Ia dihormati oleh teman-temannya sebagai teman yang baik. Status ketunanetraannya sama sekali tidak menghalanginya untuk berbahagia sebagai manusia. Kedua, ia  percaya bahwa ia masih berguna bagi banyak orang. Kepandaiannya dalam berhitung dengan cepat merupakan anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan orang-orang di sekitarnya. Ketiga, ia berani untuk menerobos dan membabat mitos tentang penyandang tuna netra yang kerap dipahami dengan keliru oleh banyak orang. Ia menunjukkan bahwa penyandang tuna netra tidak selalu identik dengan satu jenis pekerjaan informal seperti tukang pijat atau urut. Dengan kepercayaan diri yang dimilikinya, Petrus mampu bersikap optimis untuk menerjemahkan masa depan dengan cara mandiri.
Sayangnya, kisah kehidupan Petrus itu bisa dianggap sebagai sebuah dystopia bagi banyak orang yang lebih memahami penderitaan atau luka yang mereka miliki sebagai trauma yang tak tersembuhkan. Di sekitar Petrus dan kita, terdapat begitu banyak orang yang percaya bahwa masa depan tidak pernah hadir. Banyak orang yang meyakini bahwa kehidupan adalah sebuah kutukan, sebuah nihilisme! Mengapa demikian? Salah satu hal yang menyebabkan hadirnya keyakinan tersebut adalah ketidakmampuan mereka untuk melihat penderitaan sebagai bagian penting dalam pematangan diri. Penderitaan sekadar dipandang sebagai sebuah takdir nestapa yang harus dijalani. Dalam takdir itu, mereka merana sebagai orang-orang kalah yang tidak layak dicintai dan diperhatikan kembali. Seperti pada lirik lagu Hurt yang diciptakan Nine Inch Nails dan dilantunkan kembali oleh Johnny Cash, kita melihat sebuah dunia suram dari seseorang yang kehilangan harapannya karena penderitaan yang menderanya.
  
I hurt myself today
To see if I still feel
I focus on the pain
The only thing that's real
The needle tears a hole
The old familiar sting
Try to kill it all away
But I remember everything

What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt

I wear this crown of thorns
Upon my liar's chair
Full of broken thoughts
I cannot repair
Beneath the stains of time
The feelings disappear
You are someone else
I am still right here

What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt

If I could start again
A million miles away
I would keep myself
I would find a way

Tidak dapat dipungkiri bahwa penderitaan menghampiri setiap manusia. Namun,  puji Tuhan, penderitaan menjadi semacam alarm atau pengingat betapa rentannya manusia. Ia menghadapi berbagai batas eksistensial yang nyata, batas-batas alamiah yang tidak dapat ditaklukkan manusia. Kepasrahan menjadi kata kunci dalam hal ini. Namun, sikap pasrah yang terlalu dihayati akan menjadi sebuah fatalisme. Manusia seolah tidak punya daya untuk mengubah nasibnya karena dipaksa untuk mengamini penderitaannya. Kekuatan untuk berdaya tahan seolah sirna. Rasionalitas pun hilang. Tanpa bekas.
Namun, penderitaan tidak hanya menghilangkan rasionalitas atau pengharapan, tetapi juga menjauhkan manusia dari sesamanya. Penderitaan mampu membuat manusia menjadi lebih introvert sehingga cenderung menutupi dirinya secara rapat dari persentuhan dengan sesamanya. Di mata mereka yang terbelenggu oleh penderitaan, kehadiran sesama hanya menjadi beban yang semakin menghimpitnya. Ketulusan yang ditawarkan pun dimentahkan sebagai kecurigaan. Keramahan dihancurkan berkeping-keping sebagai permusuhan. Dalam penderitaan, manusia mungkin mencari tempat yang dapat memberinya perlindungan bagi dirinya. Sayangnya, tempat yang dimaksud justru bukanlah ruang yang memungkinkan ia dapat berinteraksi dengan sesamanya.
Tentu saja sikap introvert yang ditunjukkan oleh mereka yang menderita seharusnya tidak menyurutkan semangat sejumlah orang yang ingin berbuat baik. Kegigihan dan ketabahan yang luar biasa harus dimiliki oleh mereka yang berusaha mendampingi si penderita. Saya teringat kepada seorang teman yang baru saja sembuh dari kanker yang dideritanya selama bertahun-tahun. Selama ia berjuang dengan kanker, isterinyalah yang selalu berada di sampingnya. Wanita itu sungguh mendedikasikan dirinya bagi kesembuhan sang suami. Dengan cara apapun, ia lakukan agar kondisi suaminya dapat kembali normal. Akan tetapi, semakin wanita itu berusaha keras untuk mengupayakan kesembuhannya, semakin besar penolakan yang dilakukan sang suami. Kemoterapi yang dijalani selama bertahun-tahun membuat emosi sang suami sering tidak terkendali. Wanita itu sering menjadi sasaran amarah dan murka suami. Namun, ia tetap tabah dan tawakal. Ia percaya bahwa suatu saat badai dan kesulitan ini pasti berlalu dari kehidupan mereka.
Kegigihan, ketabahan, dan kesabaran sang isteri ternyata berbuah nyata. Ia menjadi orang yang pertama-tama bergembira karena mengetahui bahwa kanker yang diidap sang suami sudah terangkat dan hilang. Secara literal, kegembiraan yang ia alami juga menghapus rasa letih, frustasi, dan kepenatan yang sempat menghampiri dirinya. Kesetiaannya untuk mendampingi suaminya itu ternyata diamati pula oleh anak-anak mereka. Hal itu menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi mereka bahwa bertahan bersama dalam penderitaan adalah pilihan terbaik yang harus dijalankan. Dalam penderitaan, tiada satupun anggota keluarga yang ditinggalkan. Selain tentang kesetiaan, anak-anak mereka  juga belajar bahwa keluarga merupakan sekolah awal untuk memahami dan mengaplikasikan nilai solidaritas dan keadilan.
Apa yang terjadi pada teman saya mungkin merupakan hal yang langka pada masa kini tatkala lembaga perkawinan digoyang berbagai skandal. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak dapat bertahan hidup bersama mereka yang sedang menderita. Kita pun dapat dengan mudah meninggalkan sahabat yang dilanda kesulitan dan penderitaan hanya karena kita tidak ingin terlibat lebih jauh dengan risiko yang ditimbulkannya. Memang bagi mereka yang menderita sungguh bukanlah perkara yang mudah untuk bangkit dan kembali berdiri. Dibutuhkan mentalitas dan semangat yang sungguh luar biasa untuk mengubah penderitaan menjadi pengharapan, ketakutan menjadi keberanian, atau kegelapan menjadi terang. Akan tetapi, tidak jarang pula kita menemukan optimisme dan keberanian dari mereka yang sesungguhnya dikurung oleh penderitaan. Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam puisi Chairil Anwar, seorang maestro penyair di Indonesia, yang berjudul Aku. 

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

        Dalam puisi itu, si aku telah menetapkan diri untuk tidak bergantung pada siapapun. Meski menderita, ia merasa tidak perlu dikasihi. Baginya, penderitaan adalah hal yang harus dijalani dan bahkan dinikmati. Ia percaya bahwa penderitaan akan sirna dengan sendirinya karena penderitaan tidaklah lebih berarti ketimbang semangat untuk hidup (elan vital). Maka, dengan nada yang sangat optimis, ia menyatakan bahwa ia ingin lebih lama hidup seribu tahun lagi. Namun, apakah puisi ini memang merupakan gambaran realisme dari karakter Chairil yang sangat optimis? Atau apakah puisi ini sebenarnya merupakan sebuah retorika palsu yang diucapkan Chairil karena ia sebenarnya takut menghadapi penderitaan yang sedang menghimpitnya, kesepian dan penyakit kelamin yang dideritanya? Sungguhkah kita mampu menghadapi penderitaan tanpa pertolongan dan perhatian dari orang lain? Sungguhkan Petrus tidak membutuhkan kebaikan hati bapak dan keluarga angkatnya atau teman saya tidak mendambakan kehadiran dan kesetiaan isterinya? Apakah dalam penderitaan, setiap orang membutuhkan kesempatan kedua untuk bangkit dan kembali berdiri?

Sumber gambar : www.amazon.com