Thursday, 22 December 2016

Kalian Dengarlah Keluhanku : Mencari Jalan Kembali pada Hati Nurani


Masyarakat modern adalah masyarakat yang gemar membangun sejumlah institusi. Institusi-institusi tersebut tidak hanya dibangun sebagai monumen simbolis yang menandakan bahwa manusia modern adalah makhluk yang berasio, tetapi juga difungsikan secara praktis sebagai sarana keteraturan mereka. Di balik pendirian sejumlah institusi terdapat semacam kesadaran kolektif bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung liar dan tidak dapat diatur. Beberapa institusi seperti agama, sekolah, rumah sakit jiwa, dan penjara didirikan untuk menjinakkan, mendidik, dan menjauhkan manusia dari sifat primordial yang tidak teratur itu.

Sejak zaman pencerahan, agama memang disingkirkan dalam kehidupan masyarakat Eropa. Namun, di sejumlah negara  agama masih difungsikan sebagai institusi yang dapat menanamkan kesadaran etis mengenai apa yang baik dan buruk. Sekolah difungsikan masyarakat modern sebagai institusi yang bertugas untuk mendidik warga muda agar memiliki budi pekerti yang sopan dan pengetahuan yang memadai. Rumah sakit jiwa dipergunakan masyarakat modern sebagai institusi yang dapat memberikan kesembuhan dan rehabilitasi jiwa. Penjara difungsikan sebagai institusi korektif yang bertugas untuk mendisiplinkan anggota masyarakat yang dianggap berbahaya, jahat, dan tidak bermoral.

Meski didirikan demi keteraturan dalam masyarakat, beberapa institusi itu  justru kerap dipandang secara peyoratif oleh masyarakat modern sendiri. Institusi agama dipandang sebagai artefak masa lalu yang tidak dapat memberikan keugaharian rohani dan moralitas bagi masyarakat modern. Bahkan pada masa kini agama dipandang sebagai sumber kekerasan yang potensial dalam peradaban masyarakat modern. Agama tidak hanya memunculkan tafsir mengenai keutamaan etis dan spiritualitas yang surgawi, tetapi juga melahirkan tafsir mengenai fanatisme yang berujung pada sikap intoleransi yang celakanya semakin menjamur di mana-mana.

Sekolah tidak dapat dipandang lagi sebagai sumber pendidikan dan pengetahuan. Sejak kemajuan teknologi internet masuk ke dalam kehidupan privat, setiap orang dapat dengan mudah mengakses pengetahuan melalui mesin pencari data seperti google atau yahoo. Sekolah hari ini hanya hadir sebagai institusi bisnis yang mempersiapkan para pekerja industri yang terampil dan patuh. Hal demikian pun membuat sekolah sebagai budak kapitalisme yang melayani kepentingan para pemodal. Sekolah telah dijauhkan dari gagasan kemanusiaan yang sejak awal membentuknya.         

Rumah sakit jiwa tidak lagi dipandang sebagai institusi yang mampu memberikan kesembuhan dan rehabilitasi jiwa. Ada 2 soal yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, kondisi kejiwaan masyarakat modern yang tidak stabil ternyata tidak diiringi dengan sistem perawatan yang lebih memadai di rumah sakit jiwa. Kedua, kondisi kejiwaan masyarakat modern yang tidak stabil itu semakin lama semakin berada di luar jangkauan penanganan kesehatan jiwa karena hadir begitu masif dan tidak terbendung.

Penjara pun telah dicurigai sebagai tempat kaderisasi kejahatan ketimbang ruang pertobatan dan penataan diri. Sudah menjadi rahasia umum bila bagi para penjahat kerah putih penjara bisa dipergunakan sebagai tempat pengendali kejahatan yang paling aman. Beberapa tahun terakhir, masyarakat pernah dikejutkan dengan penjara yang kondisinya mirip dengan hotel mewah. Bagaimana mungkin kejahatan bisa digerus dan keadilan bisa ditegakkan jika penjara terlalu memanjakan para pesakitan sebagai raja di ruang yang sempit?   
Kondisi paradoksal seperti ini membuat masyarakat modern terlanjur melihat secara sempit institusi-institusi tersebut sebagai biang persoalan atas ketidakteraturan yang terjadi dalam peradaban modern. Akibatnya, mereka lupa bahwa dalam institusi-institusi terdapat begitu banyak agen yang terlibat di dalamnya. Sejumlah manusia yang pada awalnya menjadi sasaran atau tujuan kerja dari institusi-institusi tersebut tidak lepas pula dari kritik dan cercaan. Para alim-ulama atau pemimpin agama dianggap sebagai kelompok yang paling bertanggung jawab atas runtuhnya moralitas umat. Para guru diseret ke tengah pengadilan massa karena dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kebodohan dan kebengalan generasi muda masa kini. Para dokter dan perawat dipandang sebagai orang yang bertanggungjawab atas merebaknya neurosis dan sakit jiwa yang diidap banyak orang saat ini. Para penegak hukum dan sipir dicurigai sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab atas gelombang kriminalitas dan kejahatan yang tiada henti.

Karena itu, masyarakat modern kerap bersikap pesimis dan curiga kepada mereka yang pernah bersentuhan dengan sejumlah institusi itu. Bahkan dengan mudah masyarakat modern memberikan predikat yang bernada satir kepada mereka yang bersungguh-sungguh mempelajari agama secara benar sebagai kaum fundamentalis, kepada mereka yang bersungguh-sungguh mereguk pengetahuan di sekolah sebagai kaum pandir, kepada mereka yang bersungguh-sungguh ingin menyembuhkan diri dari neurosis yang menimpanya sebagai orang-orang gila, dan kepada mereka yang sungguh-sungguh mencari hidayah dan metanoia di dalam penjara sebagai pesakitan.

Lagu Ebiet G Ade yang berjudul Kalian Dengarlah Keluhanku secara tersirat menegaskan sifat masyarakat modern yang selalu curiga itu. Lagu ini ingin menggambarkan kondisi seorang mantan narapidana yang telah dibebaskan dari penjara. Akan tetapi di hadapan masyarakat modern, mantan narapidana itu tetap merasa terpenjara. Kebebasan yang diperoleh sang narapidana di luar tembok penjara ternyata tidaklah seindah yang ia bayangkan ketika berada di dalam jeruji besi. Ternyata dunia di balik tembok penjara jauh lebih kejam. Sebagai mantan narapidana, ia dipandang hina oleh masyarakat. Meski ia tidak lagi menyandang sebagai orang terhukum, masyarakat masih saja memberikan sanksi dan hukuman sosial kepadanya. Ia dicurigai dan tidak dimaafkan!

Dari pintu ke pintu
Kucoba tawarkan nama
Demi terhenti tangis anakku
Dan keluh ibunya

Tetapi nampaknya semua mata
Memandangku curiga
Seakan hendak telanjangi
Dan kulit jiwaku

Apakah buku diri ini selalu hitam pekat
Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan
Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum
Dengan sorot mata yang lebih tajam dari matahari

Kemanakah sirnanya
Nurani embun pagi
Yang biasanya ramah
Kini membakar hati

Apakah bila terlanjur salah
Akan tetap dianggap salah
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi 'tuk kembali

Sebagai mantan narapidana yang telah mengalami kehidupan getir dalam penjara, ia berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa kini ia adalah pribadi yang baru, pribadi yang jauh dari kata kejahatan. Ia berusaha untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Akan tetapi, tidak ada pekerjaan yang tersedia baginya. Semua kantor yang ia kunjungi menolaknya karena ia pernah memiliki catatan kriminal tertentu. Sungguh dalam masyarakat modern, tiada kesempatan dan tiada maaf yang dapat diberikan kepada para mantan narapidana.

Balada yang disampaikan Ebiet G Ade bukanlah sekadar fiksi. Balada tersebut menjadi cermin atas realitas yang terjadi sehari-hari. Meski institusi penjara telah mendidik para narapidana menjadi manusia yang lebih baik, masyarakat modern tetap tidak dapat menerima status mereka apa adanya. Kondisi demikian menjadikan mereka sebagai masyarakat tanpa rasa maaf. Masyarakat modern adalah masyarakat mekanik yang mendasarkan dirinya pada dimensi dualisme, hitam atau putih, suka atau tidak suka! Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang tidak memiliki kerendahan hati sehingga berpotensi munafik. Mereka mudah bersembunyi di balik institusi-institusi agama, sekolah, rumah sakit jiwa, atau penjara. Namun, dengan cepat, mereka mudah menghakimi dan mencerca siapapun yang berada di sejumlah institusi itu. Seolah-olah mereka adalah orang-orang tanpa cela. Tanpa dosa.

Masyarakat modern memang telah membangun beberapa institusi agar perilaku masyarakat dapat dikontrol dan diperbaiki sehingga lebih beradab. Namun, kecurigaan masyarakat modern terhadap institusi-institusi tersebut secara tidak langsung telah menyandera semua agen yang berproses di dalam alur tersebut. Gagasan mengenai kebaikan hanya menjadi semacam relativisme. Nyatanya, kecurigaan itu jugalah yang mengkerdilkan dan bahkan menghancurkan eksistensi hati nurani yang seharusnya menjadi benteng pertahanan terakhir dalam kemanusiaan. Jika hati nurani hilang, manusia berada di ambang kepunahannya. Hal demikian terjadi bukan karena ia tidak memiliki tubuh atau kepandaian, tetapi karena ia tidak lagi memiliki kebaikan Tuhan yang tercermin dalam sikap peduli, toleransi, dan welas-asih terhadap sesama.          
Lagu Kalian Dengarlah Keluhanku menyisakan banyak pertanyaan kepada saya. Apakah institusi-institusi modern yang dibangun masyarakat modern itu justru dibangun untuk menghancurkan manusia? Apakah keteraturan yang ingin dicapai masyarakat modern harus dilaksanakan dengan tindak dominatif minus hati nurani? Apakah mantan narapidana harus selamanya terpenjara dalam ruang kebencian dan kecurigaan yang dibangun masyarakat? Dari dalam lubuk hati yang terdalam, saya sungguh mengharapkan agar masyarakat modern dapat menemukan jalan kembali pada hati nurani. Dan semoga esok pagi, kita masih menjumpai setitik embunnya.   

Sumber gambar : www.lagujadul.com

Monday, 21 November 2016

Too Much Love Will Kill You : Menakar Dua Wajah Cinta



Kehidupan adalah sebuah sekolah besar tanpa tembok. Konon, dalam kehidupan kita dapat belajar begitu banyak hal. Berbeda dengan sekolah yang menawarkan hal akademis, kehidupan memampukan kita untuk belajar tentang nilai kehidupan yang bisa dipahami melalui praktik. Celakanya, tidak semua nilai yang diajarkan memuaskan kita. Seringkali kita kecewa karena tidak mendapatkan apa yang sedang kita cari. Misalnya, kita belajar mengenai waktu tetapi kita ditunjukkan bahwa kita sendiri adalah waktu yang berjalan. Kita belajar mengenai ruang tetapi kita ditunjukkan bahwa kita sendiri adalah tempat bertahtanya segala hal. Kita belajar untuk mengenal siapa manusia tetapi kita malah diberi cermin yang kerap retak. Kita belajar untuk mengenal dunia tetapi kita malah ditunjukkan gambar wajah manusia yang muram, terluka, dan sedih.
Sebaliknya, dalam situasi yang tidak diharapkan, kita kerap terkejut karena memperoleh hal yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Kehidupan sungguh seperti sekotak coklat yang menyimpan seribu satu kejutan, selain tragedi dan oksimoron. Apakah hal itu disebut sebagai anugerah, saya bisa saja meyakininya. Apakah hal itu disebut sebagai keberuntungan, saya pun tak menolaknya. Salah satu bentuk anugerah atau keberuntungan itu adalah cinta. Kita tidak pernah mengetahui dengan pasti kapan cinta menghampiri kita. Kita tidak pernah mampu menduganya karena dalam catatan sejarah manusia malaikat asmara tidak pernah datang ke bumi untuk memberi kabar sebelumnya. Konon,  anak panahnya dapat membidik hati siapapun. Tanpa rencana.
Masyarakat modern melihat malaikat asmara sebagai mitos yang berasal dari wilayah fantasia. Namun, melalui iklan, ada kalanya mereka menunggu kehadirannya pada saat hari kasih sayang. Tapi, siapa yang percaya? Di luar sang cupid, pembimbing rohani saya pernah mengatakan bahwa cinta yang menghampiri kita adalah cinta yang dikobarkan Tuhan dalam hati manusia. Hal itu terjadi karena Tuhan adalah sumber cinta. Saya mempercayai apa yang berasal dari Tuhan selalu menguatkan, membahagiakan, dan menghidupkan. Karenanya, jika sungguh berasal dari sumber itu, cinta seharusnya memampukan siapapun yang berdiam di dalamnya mengalami sukacita. Dengan kata lain, cinta tidak mungkin mematikan!
Akan  tetapi, di hadapan kapitalisme, sakralitas cinta dijadikan sebagai salah satu komoditas penting dalam masyarakat modern. Cinta dijatuhkan dari tahtanya dan dilucuti auranya sehingga hanya bertengger di ruang-ruang gelap tempat kemesuman direngkuh, bersandar di layar kaca dan panggung hiburan, atau bercokol di singgasana para politikus yang haus kuasa. Cinta pun diperjualbelikan dengan harga yang teramat murah dan mudah selesai dalam waktu singkat. Tanpa makna, cinta dipuja sebagai ikon masyarakat modern yang merasa telah menaklukkan sorga di bawah teknologi ciptaannya. Maka, kendati yang dikonsumsi masyarakat modern adalah cinta, tapi cinta yang hadir di sini tidaklah menghidupkan. Cinta yang hadir di sini adalah cinta yang mampu membunuh dan memadamkan api yang dikobarkan dalam hati manusia.     
Hilangnya api cinta Allah dalam diri manusia modern membuat hidupnya terombang-ambing, kosong, penuh kepahitan, dan tanpa makna. Manusia modern hidup sebagai makhluk tanpa cinta sejati. Mereka berkelana untuk mencari cinta yang sejati, namun yang mereka temukan adalah cinta yang membunuh diri mereka. Cinta seperti ini mungkin sangat berlimpah dalam diri mereka. Namun, cinta yang terlalu berlebihan itu menjadi monster karena mampu menciptakan kepicikan, kekerdilan hati, dan kejahatan.
Lagu Too Much Love will Kill You yang dilantunkan Brian May, gitaris Queen, kiranya dapat mengutarakan situasi manusia modern yang hidup tanpa cinta sejati. Banyak yang tidak mengetahui bahwa lagu ini diciptakan Brian May pada tahun 1988 tatkala ia harus berpisah dengan isterinya. Kendati pernah direkam Queen pada tahun itu, lagu tersebut tidak pernah dirilis secara resmi. Pada tahun 1992, lagu itu muncul dalam album solo Brian May yang berjudul Back to the Lights. Baru pada tahun 1995, Too Much Love Kill You dirilis dalam album Queen yang berjudul Made in Heaven.
Beberapa pendengarnya kerap menafsirkan lirik lagu ini sebagai sebuah jembatan untuk merefleksikan kisah kematian Freddie yang mengenaskan karena AIDS pada tahun 1991. Pada masa hidupnya, Freddie dikenal kerap menjalin hubungan asmara dengan sejumlah pria. Ketenaran dan gelimang harta membuatnya tidak dapat berpijak pada prinsip hidup yang benar. Hal demikian memudahkan Freddie terinfeksi virus yang sangat mematikan itu. Sampai akhir hayatnya, ia ternyata tidak mampu menemukan cinta sejati. Perempuan yang sungguh ia cintai tidak pernah hidup bersamanya karena ia gagal membangun komitmen. Namun, nasi telah menjadi bubur!

I'm just the pieces of the man I used to be
Too many bitter tears are raining down on me
I'm far away from home
And I've been facing this alone
For much too long

I feel like no one ever told the truth to me
About growing up and what a struggle it would be
In my tangled state of mind
I've been looking back to find
Where I went wrong
Too much love will kill you
If you can't make up your mind
Torn between the lover and the love you leave behind
You're headed for disaster 'cos you never read the signs
Too much love will kill you every time

I'm just the shadow of the man I used to be
And it seems like there's no way out of this for me
I used to bring you sunshine
Now all I ever do is bring you down

How would it be if you were standing in my shoes
Can't you see that it's impossible to choose?
No, there's no making sense of it
Every way I go I'm bound to lose

Too much love will kill you
Just as sure as none at all.
It'll drain the power that's in you
Make you plead and scream and crawl
And the pain will make you crazy
You're the victim of your crime
Too much love will kill you every time

Too much love will kill you
It'll make your life a lie
Yes, too much love will kill you
And you won't understand why
You'd give your life, you'd sell your soul
But here it comes again
Too much love will kill you
In the end...
In the end.

Saya tidak menyalahkan penafsiran itu. Ada benarnya jika hal itu dikaitkan dengan gaya hidup Freddie sebagai manusia modern yang hedonis. Manusia modern menjadi korban dari permainan yang ia ciptakan sendiri. Brian May tampaknya juga melihat hal tersebut pada dirinya. Setelah perceraian dan kematian sahabatnya, Brian May pun menjalani masa yang suram. Ia sempat pula berpikir untuk menyudahi hidupnya. Namun, ia bisa mengatasi hal itu. Lagu Too Much Love Will Kill You mengingatkannya untuk kembali menemukan cinta sejati, cinta yang mampu mengobarkan semangatnya. Ia paham bahwa cinta palsu sangat berbahaya bagi manusia modern karena cinta itu menguras tenaga dan menciptakan kehidupan ini sebagai suatu kebohongan yang besar.
Akan tetapi, saya menyadari bahwa menemukan cinta yang sejati bukanlah perkara yang mudah. Kehidupan yang kita jalani ini terlanjur menawarkan banyak paradoks yang mau tidak mau harus dijalani. Kepenuhan dan kedangkalan kadang kita terima begitu saja dalam waktu bersamaan, tanpa sempat berdebat. Tiada satupun di antara kita yang mampu menghindarkan diri dari kondisi itu. Kita pernah mengalami kedangkalan ketika tiada satupun cahaya cinta menerangi jalan kita. Kita mungkin pernah tersesat dan jatuh justru ketika perhatian dan cinta kasih yang dicurahkan sesama sangat berlimpah. Kita pun pernah merasa betapa penuh dan bermaknanya kehidupan ini tatkala kita dicintai Tuhan melalui pengalaman yang terasa begitu pahit.
Tak dapat disangkal, setiap kita juga pernah juga berjalan di jalur yang pernah Freddie atau Brian May tapaki. Pernah merasa kosong. Pernah merasa asing dengan diri sendiri. Pernah merasa tidak berguna. Pernah merasa tidak dicintai kendati ada begitu banyak orang yang siap menyayangi kita dengan sepenuh hati. Namun, dasar manusia! Hati kita kadang begitu keras seperti baja yang tidak dapat dipatahkan, tetapi juga begitu getas seperti kaca yang  mudah hancur berkeping-keping. Kita paham, cinta dapat menjadi obat, tetapi kita juga mahfum, cinta dapat menjadi racun.

Sumber gambar : www.musicstack.com        

Wednesday, 15 June 2016

Winners Take All : Ketika Hidup bukan Arena Pertandingan



Setiap menjelang kenaikan kelas, kedua orangtua saya selalu cemas. Mereka sangat khawatir kalau-kalau saya tidak naik kelas. Kekhawatiran mereka itu sangat beralasan. Pasalnya, sejak kelas 1 SD, hampir semua nilai matematika, IPA, dan bahasa Indonesia selalu berada di bawah rata-rata kelas. Saya begitu lemah untuk berhitung dan menghafal informasi. Celakanya, saya juga tidak lancar dalam mengeja dan membaca. Teman-teman telah dapat membaca pada saat duduk di kelas 1, sedangkan saya baru dapat membaca dengan lancar ketika duduk di kelas 4!
Saya  kira, sebagai orang tua mereka berdua pasti sangat tersiksa. Harga diri mereka sebagai pengajar pun tampaknya dipertaruhkan di hadapan wali kelas atau bahkan kepala sekolah. Meski salah satu dari mereka tidak pernah mengumpati saya sebagai anak yang dungu, entah mengapa, saya sudah terlanjur merasa rendah diri dan tidak percaya diri. Sungguh setiap tahun saya harus terus menyesal karena telah mempermalukan mereka. Akan tetapi, sebagai seorang anak kecil, saya tidak dapat melakukan hal lain, kecuali hanya menangis sambil berdoa agar ada mukjizat Tuhan yang dapat membantu saya.
Pernah pada suatu sore, ayah saya bertanya kepada saya. “Jika sekolahmu berat, mungkin kamu harus pindah sekolah. Tapi jika kamu tidak mau bersekolah, setidaknya ada orang yang mengurus telur-telur ayam ini.” Mendengar hal itu, saya hanya terdiam. Saya tidak berani melihat matanya yang menyipit. Sore itu, aku tahu, ayah memang tidak sedang marah. Nada suaranya begitu datar. Memang, sekilas apa yang dikatakannya tadi terdengar seperti sebuah pesimisme. Namun, setelah direfleksikan kembali, saya merasa bahwa pada saat itu ayah sebenarnya sedang menantang saya untuk tidak menyerah. Ayah menantang saya untuk bersikap optimis.
Memang, sampai kapanpun, saya tidak akan pernah mau pindah sekolah. Bagi saya, sekolah ini sudah menjadi bagian yang sangat penting dalam perjalanan hidup saya. Saya enggan berpisah dengan teman-teman dan juga para guru-meski beberapa guru begitu gemar memberikan hukuman kepada saya. Tidak dapat terbayangkan apa jadinya jika saya harus pindah sekolah. Saya pasti sedih. Namun, saya belajar untuk berani kehilangan. Tidak semua hal dapat terus kita pertahankan kendati segenap usaha telah dikerahkan. Secara diam-diam perjalanan waktu membentuk saya untuk siap menjalani skenario yang terburuk sekalipun.
Meski saya sudah siap, kenyataan selalu berbicara lain. Selalu ada banyak mukjizat yang menghampiri. Saya selalu dapat naik kelas. Para wali kelas selalu memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada saya untuk memperbaiki diri. Entah berapa kali kesempatan itu diberikan. Namun, hal yang saya ketahui adalah bahwa mereka membantu saya untuk berharap.Harapan itu mulai terwujud ketika saya duduk di kelas 4. Di tahun itu saya sudah mampu membaca beberapa buku paket bahasa Indonesia dan soal cerita matematika. Meski tidak terlalu lancar dalam melakukannya, saya sungguh bersyukur.
Pengenalan saya terhadap huruf begitu serakah. Setiap istirahat sekolah saya berusaha untuk menghabiskan waktu di dalam perpustakaan. Tempat itu menjadi sebuah sorga yang sungguh sangat menentramkan.Di sana  saya mengenali banyak hal yang selama ini tidak pernah saya ketahui. Kebiasaan membaca itu menuntun saya untuk dekat pula dengan dunia tulis-menulis. Ketika berada di sekolah lanjutan pertama, menulis menjadi aktivitas sampingan selain bermain musik. Saya mulai tertarik untuk menuliskan kisah-kisah petualangan serupa kisah-kisah yang ditulis Enid Blyton dan Alfred Hitchcok. Baru ketika duduk di SMA, saya mulai belajar untuk menulis esai, opini, atau resensi buku. Saya pun lebih aktif untuk mengikuti sejumlah kompetisi atau kejuaraan menulis. Kendati tidak pernah dimuat atau memenangkan lomba, tulisan-tulisan itu menjadi semacam bukti bahwa saya sungguh mencintai dunia tulis-menulis.
Dari waktu ke waktu, segala hal yang tampaknya pernah hadir sebagai sebuah pesimisme, mulai hilang dan bahkan berganti menjadi sebuah harapan yang menjanjikan. Puji Tuhan, prestasi belajar saya semakin membaik. Di tingkat SMA, saya tidak hanya menyenangi dunia membaca dan tulis-menulis, tetapi saya juga menemukan keindahan matematika sebagai sebuah cara menalar dan disiplin yang mengajarkan saya ketekunan dan kegigihan. Kondisi demikian, tidak dapat disangkal, membuat rasa percaya diri saya mulai terasah. Saya merasa berani untuk menghadapi proses kehidupan selanjutnya.
Rasa percaya diri adalah hal yang cukup penting dalam perkembangan setiap manusia. Memiliki rasa percaya diri berarti memiliki kesadaran untuk bertahan dalam setiap ujian kehidupan. Meski begitu, rasa percaya diri tidak dapat dihadirkan secara instan di dalam diri setiap individu. Dibutuhkan proses yang cukup panjang, latihan yang intens, ketabahan yang mendalam, dan daya yang cukup kuat untuk melakukan refleksi sepanjang kehidupan. Rasa percaya diri tidak sekadar dapat dilihat dalam acara audisi calon selebriti, tetapi justru dibuktikan melalui setiap keputusan yang harus diambil dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa berita terakhir tentang bunuh diri yang terjadi di kalangan remaja memberikan gambaran rendahnya rasa percaya diri itu. Di luar pelbagai alasan yang cukup sentimentil dan emosional, mereka yang membunuh dirinya secara sengaja, menurut hemat saya, seringkali tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dalam penderitaan. Padahal ketabahan untuk menghadapi penderitaan adalah bagian penting dalam pengolahan rasa percaya diri. Akan tetapi, hilangnya kemampuan untuk bertahan dalam penderitaan dalam kehidupan remaja bukanlah semata-mata kelalaian yang hanya disebabkan mereka. Pengaruh pendidikan dalam keluarga dan perkembangan gaya hidup masyarakat modern menjadi dua penyebab penting yang perlu dicermati.
Orang tua masa kini tampaknya lebih menyukai untuk memberikan ikan ketimbang pancing kepada anak-anaknya. Gaya hidup yang dijalani masyarakat modern pun adalah gaya hidup praktis dan hedonis sehingga masyarakat tidak terbiasa untuk bertahan dalam penantian atau melakukan refleksi atas berbagai pengalaman. Segala hal yang sifatnya menyenangkan menjadi tujuan utama, padahal kehidupan ini tidak selalu menawarkan kondisi tersebut. Kerap kali hal yang sulit, rumit, berat, atau menyedihkan bahkan menjadi santapan utama dalam kehidupan ini. Memperoleh kebahagiaan dan kesenangan hanyalah sebuah celah dan kado istimewa yang cukup singkat bagi mereka yang berhasil melewati sejumlah hal tadi.
Dari sekian banyak lirik lagu populer yang membicarakan tentang rasa percaya diri untuk memenangkan perjuangan hidup, saya tertarik kepada lirik lagu yang dilantunkan Kevin DuBrow, vokalis band Hard Rock, Quiet Riot. Lagu itu mengambil judul yang cukup provokatif, Winners Take All. Lirik yang ditampilkan cukup sederhana dan mudah dimengerti. Lagu ini memang pernah dikenang para pencinta musik rock sebagai lagu balada yang pernah sukses di awal tahun 1980-an.  Namun, hari ini, lagu tersebut kerap diputar sebagai ode untuk mengenang dan menghormati sang vokalis yang meninggal pada tahun 2007.         

Life’s been good
Life’s been bad
Now I know
What I had
Has taken it’s toll on me

Yes we give
And we take
What we get
Is what we make
Believe that dreams come true

Life is crazy
We’re not fools, no, no

The price is high
When you keep the score
Take your souls
And your goals
To the top

Together we stand
We won’t take no more
Cause we’re winners
And winners take all

We have loved
Burned by fate
But for once
Set the record straight
Time does heal all wounds

You have laughed
We have cried
Paid our dues
Yes, we’re turned the tide
Mistakes are far and view

We need no guidance
Our aim is true

Down the road
There are many fools
But we know
Cause we’ve grown
What we need

Secara umum lirik Winners Take All berbicara tentang prinsip hukum tabur dan tuai yang harus diperhatikan dalam kehidupan; what we get is what we make. Apa yang kau tuai pada hari ini adalah apa yang pernah kau tabur di masa lalu. Apa yang kau nikmati pada hari ini adalah apa yang telah kau usahakan di masa lalu. Tanpa kesungguhan, kerja keras, ketabahan, kesabaran, dan kerendahan hati, tidak ada kesuksesan. Disadari atau tidak, menjadi sukses sekalipun sangat bergantung kepada upaya kita untuk menaklukkan diri kita. Kerap kita harus melakukan sejumlah hal yang tidak kita sukai demi sesuatu yang kita inginkan. Dengan cara demikian, kita dapat mengubah keberuntungan kita menjadi lebih baik.
Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang besar dalam khazanah sastra Indonesia pernah berujar demikian. “ Hidup itu sederhana. Namun, banyaknya interpretasi terhadap hidup membuatnya rumit.”  Jika hidup memang sederhana, maka kesuksesan hidup tidak lagi diukur oleh kepemilikan materi, uang, dan barang. Jika hidup itu memang sederhana,  maka kesuksesan hidup begitu dekat dengan persahabatan dan persaudaraan. Sayangnya, masyarakat modern bukanlah masyarakat yang berani untuk mengatakan tidak dan cukup dalam pemenuhan kebutuhannya. Kepemilikan materi, uang, dan barang masih menjadi hal yang sangat didewakan, sedangkan persahabatan dan persaudaraan begitu mudah diabaikan. Bagi manusia modern, sahabat atau saudara tidak lebih diperlukan daripada uang atau barang!
Tidak dapat disangkal bahwa bagi manusia modern, hidup adalah sebuah perlombaan atau kompetisi. Maka untuk menjadi pemenang dalam kompetisi itu,mereka melakukan pelbagai cara. Sayangnya, manusia modern juga melakukan cara-cara yang tidak terpuji demi tujuan itu. Memperkaya diri dengan aksi korupsi adalah salah satu kegilaan yang begitu populer pada abad ini. Memanipulasi anggaran yang seharusnya dapat dipergunakan untuk membantu masyarakat yang tidak mampu adalah salah satu contoh kongkret yang mudah ditengarai.  Dengan cara yang tidak bermoral, manusia modern begitu meyakini bahwa kebahagiaan atau kesuksesan hidup dapat dicapai. Meski mengetahui konsekuensi etis yang dapat mereka peroleh, kegilaan itu toh tidak pernah surut. Mereka tidak takut untuk menggadaikan harga diri dan martabat mereka di bawah tumpukan uang haram. Tanpa merasa malu, mereka berlagak seolah-olah merekalah sang pemenang dalam perjuangan hidup ini.
Demikianlah, manusia modern saat ini mengalami krisis dalam pemaknaan hidup. Krisis tersebut dapat digambarkan sebagai sebuah paradoks. Di satu sisi, manusia modern bisa bersikap jumawa untuk menyatakan bahwa mereka bukanlah kumpulan orang yang pongah. Mereka bisa menyelesaikan persoalan dalam kehidupan ini melalui pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan. Akan tetapi, di sisi lain, mereka juga tidak dapat menyangkal bahwa di balik sikap jumawa itu, mereka adalah makhluk yang rentan, ringkih. Pengetahuan dan kemajuan teknologi yang dapat membawa mereka untuk memasuki peradaban yang lebih baik ternyata memiliki potensi untuk menjauhkan mereka dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Atas nama kemajuan, manusia menjadi makhluk asing bagi dirinya sendiri.
 Lirik lagu Winners Take All memang tidak menyuarakan paradoks itu secara eksplisit. Sebaliknya, menurut hemat saya, lirik lagu itu justru dapat dibaca sebagai sebuah memoar tentang tragedi kesombongan manusia. Dengan usaha yang gigih, manusia memang dapat tampil sebagai pemenang. Dengan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, manusia dapat hadir sebagai penguasa bumi. Dengan materi dan kekayaan yang dikumpulkannya, manusia dapat menjadi raja di atas bumi. Akan tetapi, manusia tidak pernah dapat tampil seutuhnya sebagai pemenang, penguasa bumi, atau raja sekalipun. Ada batas-batas eksistensial yang mampu menahan kebebasan, kemampuan, atau kepandaiannya. Tidak semua hal dapat diraup oleh sang pemenang. Tidak mungkin samudera yang tak berbatas dapat diraup ke dalam sebuah gelas anggur yang kecil. Tidak mungkin alam semesta nan raya dan penuh misteri ini dapat dipahami melalui interpretasi yang dimunculkan oleh segumpal otak sebesar kepalan tangan.
Kevin DuBrow, sang penyanyi, pun tak sanggup untuk terus bertengger sebagai sang pemenang . Sebagai manusia modern yang dekat dengan kemajuan zaman, dia ternyata begitu rentan dan ringkih. Dia memang pernah berada di puncak kejayaan sebagai rockstar. Harta kekayaannya sangat berlimpah-ruah.  Dengan hartanya itu, ribuan pesta gila pun sanggup ia jalani setiap malam. Namun, hidupnya tetaplah hampa. Kevin DuBrow adalah sosok yang kosong dan sedih. Beberapa hari setelah ulang tahunnya, Kevin ditemukan mati karena overdosis kokain. Riwayatnya berakhir dengan cara yang tidak elegan.  
Saya hanya berharap, lirik lagu itu dapat pula ditafsirkan secara tersirat sebagai sebuah warning bagi para pendengarnya agar tidak cepat merasa puas dan jumawa atas kesuksesan kecil yang telah diperoleh, agar tidak bersikap tinggi hati atas perjuangan yang dilalui. Ya, hidup bukanlah arena pertandingan yang dipenuhi kompetisi, melainkan ruang perziarahan yang dihayati secara kontemplatif.  Kadang kesuksesan yang pernah kita raih pada masa lalu tidak dapat menjadi patokan yang sahih bagi segala rencana yang akan kita capai hari ini dan besok. Setiap hari selalu menawarkan banyak hal baru. Bukankah setiap waktu memiliki cerita tentang kesuksesan dan kesulitannya? Syukurlah, kesuksesan dan kesulitan hari ini memang hanya cukup untuk hari ini!       

Sumber gambar : metal-archivesdotcom