Bagi anak-anak madu adalah obat yang paling menyenangkan. Selain
menawarkan khasiat yang menakjubkan bagi kesehatan tubuh, rasa manisnya dapat
memancing selera makan mereka. Saya tidak pernah lupa bagaimana setiap pagi
ibu selalu mengolesi roti tawar dengan madu. Sebagai bekal sekolah, roti itu
pun menjadi sangat istimewa bukan hanya untuk saya, melainkan juga beberapa
teman. Mereka tidak sungkan-sungkan untuk bersikap ramah kepada saya agar roti
dengan olesan madu itu dapat pula mereka nikmati pula. Padahal mereka pun sebenarnya
telah dibekali oleh orang tua mereka dengan makanan lain yang tampaknya lebih
lengkap, bergizi, dan mahal. Namun, demi olesan madu, mereka pun rela untuk
meminta-minta.
Rasa manis tiada terkira yang ditawarkan madu ternyata tidak hanya
memberikan khasiat bagi kesehatan tubuh. Dari abad ke abad rasa manis itu juga
memberikan khasiat bagi kesehatan mental manusia. Citranya hadir sebagai simbolisme
dan metafora dalam puisi-puisi di dunia Makna
di balik kata madu dipergunakan untuk menunjukkan keindahan alam yang tiada
terkira, kecantikan yang dimiliki seorang kekasih, kekayaan material yang
begitu berlimpah, atau spiritualitas yang begitu tinggi. Semua arti kata ini
secara implisit menyepakati bahwa secara sosial-historis madu telah memiliki
makna yang begitu kaya dalam kehidupan manusia.
Kita sungguh memuja madu! Sebagai bagian dari sejarah selera, madu
tampak begitu sempurna. Seolah-olah madu merupakan anugerah cita rasa yang pernah
diberikan para dewa bagi manusia. Celakanya, kesempurnaan madu itu kerap
membuat kita melupakan darimana asal madu itu. Keberadaan madu ternyata tidak
terlepas dari kerja keras para lebah pejantan. Guna menyenangkan hati sang ratu
lebah, para pejantan rela untuk mempertaruhkan nyawanya. Mereka saling bersaing
untuk memperoleh perhatian sang ratu. Maka, mati bagi sang ratu yang dicintai
adalah sebuah patriotisme, sebuah sacrifice!
Sebaliknya, bagi ratu lebah, kematian pejantan lebah adalah hal biasa! Dalam
konteks itu, kematian itu hanya merupakan konsekuensi tragis dari kehidupan asmara
yang tak berbalas. Kematian ini sama sekali tidak membawa duka atau kesedihan.
Sebuah kematian yang begitu hening.
Berdasarkan fakta demikian, dapat kita pahami pula bahwa di balik
manisnya madu, terdapat derita yang luar biasa. Berbicara tentang madu tidak
hanya berbicara tentang kesempurnaan atau keindahan, melainkan juga berbicara
tentang chaos dan ketakharmonisan.
Madu tidak hanya menghidupkan, melainkan juga mematikan! Sayangnya, kedua sisi
yang berbeda ini seringkali tidak dipandang manusia modern sebagai kenyataan
yang harus diterima. Manusia modern lebih melihat madu sebagai sebuah hasil,
bukan proses!
Masih berkaitan dengan manisnya madu, saya menemukan sebuah lagu Mandarin
populer yang juga memuja madu sebagai inspirasi asmara. Judul lagu itu adalah Tian Mi Mi yang dilantunkan oleh
biduanita cantik asal Taiwan, Teresa
Teng. Dalam bahasa Indonesia, lagu itu dikenal dengan judul Semanis Madu.
Tian Mi Mi (Semanis Madu)
Semanis
madu, senyummu semanis madu
Seperti
bunga-bunga mekar dalam angin musim semi yang sepoi-sepoi
Dalam angin
musim semi yang sepoi-sepoi
Aku menerka
di mana, di mana aku pernah melihatmu
Senyummu
tidak asing bagiku
Tapi masih
aku tak bisa mengingat di mana
Ah di dalam
mimpiku
Di dalam
mimpiku, di dalam mimpiku aku bertemu denganmu
Dengan
senyummu yang begitu manis
Begitu
manis seperti madu
Itulah
kamu, itulah kamu, yang aku lihat dalam mimpiku
Semanis
madu, senyummu semanis madu
Seperti
bunga-bunga mekar dalam angin musim semi yang sepoi-sepoi
Dalam angin
musim semi yang sepoi-sepoi
Aku menerka
di mana, di mana aku pernah melihatmu
Senyummu
tidak asing bagiku
Tapi masih
aku tak bisa mengingat di mana
Ah di dalam
mimpiku
Di dalam
mimpiku, di dalam mimpiku aku bertemu denganmu
Dengan
senyummu yang begitu manis
Begitu manis
seperti madu
Itulah
kamu, itulah kamu, yang aku lihat dalam mimpiku
Aku menerka
di mana, di mana aku pernah melihatmu
Senyummu
tidak asing bagiku
Tapi masih
aku tak bisa mengingat di mana
Ah di dalam
mimpiku
Ah di dalam
mimpiku
Ah di dalam
mimpiku
Konon, kelahiran lagu Tian Mi Mi berhutang pada sebuah lagu daerah
di wilayah Kalimantan yang berjudul Dayung
Sampan. Teresa Teng sangat terkesan terhadap lagu itu sehingga menggubahnya
kembali menjadi sebuah lagu cinta. Di dalam lirik yang ditulisnya, biduanita
cantik itu menggambarkan senyum pria yang menarik hatinya sebagai madu yang
manis. Kesan terhadap senyuman itu begitu kuat terekam di dalam kepala, seperti
rasa manis madu yang tidak dapat dilupakan dari lidah. Senyum itu adalah senyum yang sangat memesona
hatinya meski ia jumpai di dalam mimpi.
Kendati didominasi nada-nada gembira, menurut hemat saya, lagu Tian Mi Mi adalah lagu yang meratap.
Lagu ini dilantunkan oleh hati yang sungguh mendambakan asmara. Namun, asmara
yang ia dambakan hanyalah sebuah kisah sementara dalam mimpi. Dalam ruang itu ia
memang dapat menjumpai sang pemilik senyum semanis madu, dambaan hatinya. Perjumpaan
itu membuatnya begitu bahagia. Namun, kebahagiaan itu ternyata semu. Tidak
nyata. Kebahagiaan itu sama sekali tidak pernah terwujud dalam kehidupan
sehari-hari. Senyum semanis madu itu hanyalah sebuah ingatan dalam mimpi yang cepat
berlalu. Seperti arus sungai, mimpi itu cepat hilang. Tidak tergapai.
Citra madu yang ditampilkan lagu Tian
Mi Mi mungkin dapat ditafsirkan sebagai simbolisme dari kebahagiaan yang
diangan-angankan. Kebahagiaan itu memang sungguh didambakan, tetapi belum juga
diperoleh. Karena itu, menurut hemat saya, lagu Tian Mi Mi tampaknya sama sekali tidak berpretensi untuk mengajak
pendengarnya berharap pada kebahagiaan. Lagu itu justru mau mengatakan betapa
tersiksanya orang-orang yang telah menetapkan kebahagiaan berdasarkan
gambarannya, terutama mereka yang sedang dirundung rasa kasmaran. Faktanya,
tidak semua hal yang diangankan dapat terbukti. Tetapi tidak semua hal yang
tidak diangankan juga tidak dapat terbukti atau terealisasi. Dalam aktifitas
kehidupan sehari-hari, ketegangan dilematis inilah yang sebenarnya terus kita pergumulkan.
Dalam konteks ketegangan dilematis itu, cita rasa madu bisa pula hadir
sebagai racun. Tantangan terbesar dalam hubungan asmara pada abad ini adalah
betapa sulitnya kita melihat asmara sejati. Apakah asmara itu hadir sebagai
madu atau hadir sebagai racun? Senyum semanis madu pun dapat menjadi racun
yang menjebak. Kebingungan pun
berlangsung cukup panjang. Kondisi demikian digambarkan dengan sangat apik oleh
lirik lagu Madu dan Racun yang
dilantunkan Ari Wibowo dan Bill and Brod-nya pada tahun 1980-an
Madu dan Racun
Engkau yang
cantik
Engkau yang
manis
Engkau yang
manja
Selalu
tersikup, rawan sikapmu
Di balik
kemelutmu
Di remang
kabutmu
Di balik
punggungmu
Madu di
tangan kananmu
Racun di
tangan kirimu
Aku tak
tahu
Mana yang
akan kau berikan padaku
Aku tak
tahu
Mana yang
akan kau berikan padaku
Dari lagu itu kita dapat melihat bahwa asmara bukanlah sekadar kekaguman
terhadap sensasi manis sebagaimana ditawarkan dalam mimpi. Tak jarang pula asmara
menjadi begitu beracun dan menjadi sumber bencana. Madu yang dijanjikan kerap
menjadi hambar dan bahkan melukai! Celakanya, manusia modern sama sekali tidak
terlatih untuk mengantisipasi hal itu dalam terang diskresi atau pemilihan
terhadap apa yang dianggap bermakna.
Pada awalnya asmara memang bisa semanis madu, tetapi dalam perjalanan
waktu rasa manis itu bisa surut karena pelbagai faktor.Salah satu faktor
penyebab yang cukup penting adalah ketidaksetiaan manusia modern terhadap
proses. Dalam hal ini manisnya asmara cenderung dianggap sebagai hasil jadi
yang tidak memerlukan proses pengendapan yang lebih dalam. Tentu saja,
menganggap kehidupan asmara sebagai sebuah hasil jadi yang tak perlu dipupuk
dan disiram merupakan sebuah kejahatan! Maka tidaklah mengherankan bila kehidupan
asmara yang dijalani manusia modern adalah kehidupan yang serba bimbang, galau,
tak menentu. Manisnya madu asmara justeru menjadi mimpi buruk. Ah, semoga bukan
di dalam mimpimu…
Sumber
gambar : gb.cri.cn