Monday, 15 February 2016

Tian Mi Mi : Madu yang Tak Diharapkan



Bagi anak-anak madu adalah obat yang paling menyenangkan. Selain menawarkan khasiat yang menakjubkan bagi kesehatan tubuh, rasa manisnya dapat memancing selera makan mereka. Saya tidak pernah lupa bagaimana setiap pagi ibu selalu mengolesi roti tawar dengan madu. Sebagai bekal sekolah, roti itu pun menjadi sangat istimewa bukan hanya untuk saya, melainkan juga beberapa teman. Mereka tidak sungkan-sungkan untuk bersikap ramah kepada saya agar roti dengan olesan madu itu dapat pula mereka nikmati pula. Padahal mereka pun sebenarnya telah dibekali oleh orang tua mereka dengan makanan lain yang tampaknya lebih lengkap, bergizi, dan mahal. Namun, demi olesan madu, mereka pun rela untuk meminta-minta.
Rasa manis tiada terkira yang ditawarkan madu ternyata tidak hanya memberikan khasiat bagi kesehatan tubuh. Dari abad ke abad rasa manis itu juga memberikan khasiat bagi kesehatan mental manusia. Citranya hadir sebagai simbolisme dan metafora dalam puisi-puisi di dunia  Makna di balik kata madu dipergunakan untuk menunjukkan keindahan alam yang tiada terkira, kecantikan yang dimiliki seorang kekasih, kekayaan material yang begitu berlimpah, atau spiritualitas yang begitu tinggi. Semua arti kata ini secara implisit menyepakati bahwa secara sosial-historis madu telah memiliki makna yang begitu kaya dalam kehidupan manusia.
Kita sungguh memuja madu! Sebagai bagian dari sejarah selera, madu tampak begitu sempurna. Seolah-olah madu merupakan anugerah cita rasa yang pernah diberikan para dewa bagi manusia. Celakanya, kesempurnaan madu itu kerap membuat kita melupakan darimana asal madu itu. Keberadaan madu ternyata tidak terlepas dari kerja keras para lebah pejantan. Guna menyenangkan hati sang ratu lebah, para pejantan rela untuk mempertaruhkan nyawanya. Mereka saling bersaing untuk memperoleh perhatian sang ratu. Maka, mati bagi sang ratu yang dicintai adalah sebuah patriotisme, sebuah sacrifice! Sebaliknya, bagi ratu lebah, kematian pejantan lebah adalah hal biasa! Dalam konteks itu, kematian itu hanya merupakan konsekuensi tragis dari kehidupan asmara yang tak berbalas. Kematian ini sama sekali tidak membawa duka atau kesedihan. Sebuah kematian yang begitu hening.
Berdasarkan fakta demikian, dapat kita pahami pula bahwa di balik manisnya madu, terdapat derita yang luar biasa. Berbicara tentang madu tidak hanya berbicara tentang kesempurnaan atau keindahan, melainkan juga berbicara tentang chaos dan ketakharmonisan. Madu tidak hanya menghidupkan, melainkan juga mematikan! Sayangnya, kedua sisi yang berbeda ini seringkali tidak dipandang manusia modern sebagai kenyataan yang harus diterima. Manusia modern lebih melihat madu sebagai sebuah hasil, bukan proses!
Masih berkaitan dengan manisnya madu, saya menemukan sebuah lagu Mandarin populer yang juga memuja madu sebagai inspirasi asmara. Judul lagu itu adalah Tian Mi Mi yang dilantunkan oleh biduanita  cantik asal Taiwan, Teresa Teng. Dalam bahasa Indonesia, lagu itu dikenal dengan judul Semanis Madu.

Tian Mi Mi (Semanis Madu)

Semanis madu, senyummu semanis madu
Seperti bunga-bunga mekar dalam angin musim semi yang sepoi-sepoi
Dalam angin musim semi yang sepoi-sepoi
Aku menerka di mana, di mana aku pernah melihatmu
Senyummu tidak asing bagiku
Tapi masih aku tak bisa mengingat di mana            

Ah di dalam mimpiku

Di dalam mimpiku, di dalam mimpiku aku bertemu denganmu
Dengan senyummu yang begitu manis
Begitu manis seperti madu
Itulah kamu, itulah kamu, yang aku lihat dalam mimpiku

Semanis madu, senyummu semanis madu
Seperti bunga-bunga mekar dalam angin musim semi yang sepoi-sepoi
Dalam angin musim semi yang sepoi-sepoi
Aku menerka di mana, di mana aku pernah melihatmu
Senyummu tidak asing bagiku
Tapi masih aku tak bisa mengingat di mana

Ah di dalam mimpiku

Di dalam mimpiku, di dalam mimpiku aku bertemu denganmu
Dengan senyummu yang begitu manis
Begitu manis seperti madu
Itulah kamu, itulah kamu, yang aku lihat dalam mimpiku
Aku menerka di mana, di mana aku pernah melihatmu
Senyummu tidak asing bagiku
Tapi masih aku tak bisa mengingat di mana

Ah di dalam mimpiku
Ah di dalam mimpiku
Ah di dalam mimpiku

Konon, kelahiran lagu Tian Mi Mi berhutang pada sebuah lagu daerah di wilayah Kalimantan yang berjudul Dayung Sampan. Teresa Teng sangat terkesan terhadap lagu itu sehingga menggubahnya kembali menjadi sebuah lagu cinta. Di dalam lirik yang ditulisnya, biduanita cantik itu menggambarkan senyum pria yang menarik hatinya sebagai madu yang manis. Kesan terhadap senyuman itu begitu kuat terekam di dalam kepala, seperti rasa manis madu yang tidak dapat dilupakan dari lidah.  Senyum itu adalah senyum yang sangat memesona hatinya meski ia jumpai di dalam mimpi.
Kendati didominasi nada-nada gembira, menurut hemat saya, lagu Tian Mi Mi adalah lagu yang meratap. Lagu ini dilantunkan oleh hati yang sungguh mendambakan asmara. Namun, asmara yang ia dambakan hanyalah sebuah kisah sementara dalam mimpi. Dalam ruang itu ia memang dapat menjumpai sang pemilik senyum semanis madu, dambaan hatinya. Perjumpaan itu membuatnya begitu bahagia. Namun, kebahagiaan itu ternyata semu. Tidak nyata. Kebahagiaan itu sama sekali tidak pernah terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Senyum semanis madu itu hanyalah sebuah ingatan dalam mimpi yang cepat berlalu. Seperti arus sungai, mimpi itu cepat hilang. Tidak tergapai.
Citra madu yang ditampilkan lagu Tian Mi Mi mungkin dapat ditafsirkan sebagai simbolisme dari kebahagiaan yang diangan-angankan. Kebahagiaan itu memang sungguh didambakan, tetapi belum juga diperoleh. Karena itu, menurut hemat saya, lagu Tian Mi Mi tampaknya sama sekali tidak berpretensi untuk mengajak pendengarnya berharap pada kebahagiaan. Lagu itu justru mau mengatakan betapa tersiksanya orang-orang yang telah menetapkan kebahagiaan berdasarkan gambarannya, terutama mereka yang sedang dirundung rasa kasmaran. Faktanya, tidak semua hal yang diangankan dapat terbukti. Tetapi tidak semua hal yang tidak diangankan juga tidak dapat terbukti atau terealisasi. Dalam aktifitas kehidupan sehari-hari, ketegangan dilematis inilah yang sebenarnya terus kita pergumulkan.
Dalam konteks ketegangan dilematis itu, cita rasa madu bisa pula hadir sebagai racun. Tantangan terbesar dalam hubungan asmara pada abad ini adalah betapa sulitnya kita melihat asmara sejati. Apakah asmara itu hadir sebagai madu atau hadir sebagai racun? Senyum semanis madu pun dapat menjadi racun yang  menjebak. Kebingungan pun berlangsung cukup panjang. Kondisi demikian digambarkan dengan sangat apik oleh lirik lagu Madu dan Racun yang dilantunkan Ari Wibowo dan Bill and Brod-nya pada tahun 1980-an

Madu dan Racun

Engkau yang cantik
Engkau yang manis
Engkau yang manja
Selalu tersikup, rawan sikapmu
Di balik kemelutmu
Di remang kabutmu
Di balik punggungmu

Madu di tangan kananmu
Racun di tangan kirimu
Aku tak tahu
Mana yang akan kau berikan padaku
Aku tak tahu
Mana yang akan kau berikan padaku
 
Dari lagu itu kita dapat melihat bahwa asmara bukanlah sekadar kekaguman terhadap sensasi manis sebagaimana ditawarkan dalam mimpi. Tak jarang pula asmara menjadi begitu beracun dan menjadi sumber bencana. Madu yang dijanjikan kerap menjadi hambar dan bahkan melukai! Celakanya, manusia modern sama sekali tidak terlatih untuk mengantisipasi hal itu dalam terang diskresi atau pemilihan terhadap apa yang dianggap bermakna.
Pada awalnya asmara memang bisa semanis madu, tetapi dalam perjalanan waktu rasa manis itu bisa surut karena pelbagai faktor.Salah satu faktor penyebab yang cukup penting adalah ketidaksetiaan manusia modern terhadap proses. Dalam hal ini manisnya asmara cenderung dianggap sebagai hasil jadi yang tidak memerlukan proses pengendapan yang lebih dalam. Tentu saja, menganggap kehidupan asmara sebagai sebuah hasil jadi yang tak perlu dipupuk dan disiram merupakan sebuah kejahatan! Maka tidaklah mengherankan bila kehidupan asmara yang dijalani manusia modern adalah kehidupan yang serba bimbang, galau, tak menentu. Manisnya madu asmara justeru menjadi mimpi buruk. Ah, semoga bukan di dalam mimpimu…  

Sumber gambar : gb.cri.cn