Tuesday, 31 May 2016

The Long and Winding Road : Meniti Jalan Cinta yang Berliku


"But every tree is known by its own fruit. So also is love known by its own fruit and the love of which Christianity speaks is known by its own fruit—revealing that it has within itself the truth of the eternal. All other love, whether humanly speaking it withers early and is altered or lovingly preserves itself for a round of time—such love is still transient; it merely blossoms. This is precisely its weakness and tragedy, whether it blossoms for an hour or for seventy years—it merely blossoms; but Christian love is eternal. Therefore no one, if he understands himself, would think of saying of Christian love that it blossoms; no poet, if he understands himself, would think of celebrating it in song."
                     (Søren Kierkegaard, Works of Love: Some Christian Deliberations in the Form of Discourses, p.25f)

Salah satu orang yang patut bertanggungjawab dalam pembicaraan tentang cinta sejati, saya rasa, adalah Shakespeare. Melalui kisah Romeo dan Juliet, repertoire drama yang ditulisnya, manusia modern menempatkan cinta sejati sebagai tema paling populer dalam panggung hiburan. Tak dapat dipungkiri bahwa tema tersebut cukup membius dan melenakan gagasan rasionalitas tentang cinta itu sendiri. Keputusan Romeo dan Juliet untuk mati bersama digambarkan sebagai bentuk cinta ideal yang hanya dapat dilakukan oleh sepasang kekasih yang sungguh saling mencinta.
Namun, manusia modern sesungguhnya sangat membenci kematian sebagai batas eksistensial. Kendati Romeo dan Juliet dipahami sebagai bentuk estetika cinta yang ultimat, manusia modern menginginkan agar cinta sejati tidak berujung pada kematian. Kehadiran media baru seperti film memberikan harapan baru untuk menciptakan suatu bentuk estetika cinta yang mutakhir tanpa kematian. Dalam tuntutan seperti itu Walt Disney hadir sebagai pemberi harapan. Mantan ilustrator yang berbakat ini menghadirkan narasi-narasi cinta yang sungguh disukai manusia modern. Di dalam narasi itu, cinta sejati tidak diekpresikan melalui kematian, tetapi dinyatakan secara lugas dalam  akhir cerita yang membahagiakan.
 Apa yang ditawarkan Walt Disney itu, celakanya, telah tercetak begitu lekat di dalam kepala manusia modern. Cinta tanpa kematian terlanjur menjadi topik yang paling disukai budaya populer. Melalui sejumlah media baru, manusia modern pun dipaksa untuk percaya bahwa cinta sejati selalu berakhir dengan kebahagiaan. Pendek kata, cinta sejati tidak pernah berjalan beriringan dengan kesedihan. Tentu saja, hal demikian bertentangan dengan kenyataan sehari-hari bahwa cinta justru seringkali menjadi pintu masuk hadirnya kedukaan. Kematian karena persoalan cinta juga selalu menghiasi berita sehari-hari. Kondisi yang tidak menentu seperti itu secara diam-diam menggiring hilangnya pemaknaan terhadap cinta sebagai bentuk komunikasi yang intens. Konsep tentang cinta pun menjadi begitu sederhana karena penafsiran terhadapnya terlanjur bersifat monolitik
Tanpa menafikan perkembangan makna cinta yang didesiminasikan oleh media baru pada masa kini, manusia modern ternyata masih memiliki kerinduan yang cukup mendalam untuk menemukan cinta yang tulus dan jujur. Bagaimanapun, ada semacam kepekaan yang mulai berkembang bahwa kehadiran sejumlah media baru hanya menawarkan kesadaran palsu. Kehadiran media baru hanya menumbuhkan wawasan dunia yang instan dan dangkal sehingga refleksi kehidupan hanya dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia. Dalam kondisi demikian, disadari atau tidak, cinta, sebagai salah satu obyek refleksi kehidupan yang cukup serius, pun terlewatkan begitu saja. Akibatnya, ada orang yang berusaha mengejar cinta sejati, namun ia justru menuai nafsu sehingga jatuh ke dalam pencobaan. Ada orang yang berusaha menemukan cinta sejati, namun ia justru tersesat jauh ke dalam kepalsuan demi kepalsuan.
Seorang Denmark yang bernama Søren Kierkegaard mungkin salah satu dari segelintir orang yang mencoba untuk menuliskan permenungan tentang cinta sejati. Permenungan ini didasarkan pergumulannya atas cinta yang pernah dijalaninya. Pertunangannya dengan sang pujaan hati, Regine Olsen, kandas di tengah jalan, bukan karena rasa cinta terhadap wanita itu pudar, tetapi karena sifat melankolisnya yang begitu dominan membuatnya ragu untuk menikahi wanita yang sungguh ia cintai. Hingga pada suatu saat Kierkegaard pun harus rela melepaskan Regine yang dipinang oleh Friedrich von Schlegel, seorang pegawai pemerintah yang memiliki karir yang cemerlang. Secara diam-diam Kierkegaard merasakan bahwa melepaskan Regine adalah sebuah kebodohan terbesar yang pernah dilakukannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perpisahan itu meninggalkan luka yang teramat dalam untuknya.
Namun, kegagalannya untuk menjalani cinta lambat laun justru menjadi kesempatan baginya untuk memaknai cinta dari sudut pandang yang berbeda. Dalam bukunya, Works of Love: Some Christian Deliberations in the Form of Discourses yang diterbitkan pada tahun 1847 Kierkegaard menggambarkan cinta serupa pohon yang berbuah lebat. Namun, cinta bukanlah sekadar apa yang dihasilkan pohon itu, tetapi juga berbicara tentang proses merawat pohon itu sehingga dapat berbuah lebat. Salah satu tahap yang tidak boleh terlewatkan dalam proses perawatan pohon itu adalah terluka dan menderita karenanya. Bagi Kierkegaard, adalah mustahil untuk tidak terluka dan menderita ketika dua orang menapaki cinta. Justru luka dan derita itu menjadi bukti bahwa cinta mereka sungguh layak diperjuangkan sehabis-habisnya.
Apa yang diserukan Kierkegaard itu tersirat dalam sebuah lagu berjenis balada yang berjudul The Long and Winding Road, yang diciptakan Paul McCartney pada tahun 1968 Bukanlah kebetulan jika lagu tersebut hadir tatkala krisis komunikasi yang begitu serius mulai tumbuh dalam tubuh The Beatles. Para personil band legendaris itu tidak lagi seia sekata seperti dulu. Maka, dapat dipahami bahwa kehadiran The Long and Winding Road yang diciptakan McCartney itu seolah-olah menjadi oase yang dapat menyegarkan hati para pendengarnya. Para pengamat musik pada masa itu bahkan menggadang-gadang lagu itu sebagai jembatan yang mampu menyatukan kembali para personil The Beatles. Lagu itu pun menjadi sebuah lagu pengharapan, yang secara diam-diam serupa dengan isi dari lirik lagu ini.                  

The long and winding road
That leads to your door
Will never disappear
I've seen that road before
It always leads me here
Lead me to you door

The wild and windy night
That the rain washed away
Has left a pool of tears
Crying for the day
Why leave me standing here
Let me know the way

Many times I've been alone
And many times I've cried
Any way you'll never know
The many ways I've tried

But still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long long time ago
Don't leave me waiting here
Lead me to your door

But still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long long time ago
Don't keep me waiting here
Lead me to your door
Yeah, yeah, yeah, yeah

Lagu ini sekilas tampak sebagai ratapan seseorang yang rasa cintanya diabaikan. Namun, apabila dicermati kembali, lagu ini menunjukkan hal sebaliknya. Lagu ini justru menampilkan optimisme. Secara implist dikisahkan bahwa pada masa lalu orang itu pernah mencoba mengetuk pintu hati sang pujaan hati. Dengan cukup intens, dia mencari cara agar memperoleh perhatian darinya. Akan tetapi, pintu hati yang diketuknya itu tidak pernah jua terbuka baginya. Sang pujaan hati sama sekali tidak menghiraukannya. Cintanya yang tulus sama sekali tak berbalas. Hatinya hancur remuk redam. Kendati banyak air mata yang tertumpah pada waktu itu, dia tidak menyerah. Dengan ketabahan yang besar, dia masih percaya bahwa pada akhirnya pintu yang diketuknya itu dapat terbuka.
Ketabahan hati seseorang yang sungguh memperjuangkan cinta telah menjadi peristiwa yang langka pada masa kini. Kita mungkin tidak pernah mengetahui bahwa di balik ketabahan hati itu, ada banyak luka dan kesedihan yang harus ia tanggung. Namun, ketabahan itu bukanlah hal yang sia-sia. Bukankah cinta selalu menghadirkan tujuan yang pasti? Atas alasan cinta, Tuhan selalu menganugerahi rahmat dan karunia kepada manusia, ciptaan-Nya. Atas alasan cinta, seseorang dapat mengorbankan waktu, tenaga, harta, dan bahkan nyawanya bagi tambatan hatinya. Atas alasan cinta, seseorang yang tersesat dapat kembali untuk menemukan jalan pulang. Atas alasan cinta, kemalangan apapun dapat menjadi sesuatu yang indah dan bermakna.
Bagi Kierkegaard, setiap manusia harus mengalami setiap cinta sebagai sebuah kenyataan yang harus dijalani, tanpa khawatir apakah cinta itu sejati atau tidak. Untuk itu Kierkegaard mengingatkan kepada kita agar kita jangan hanya terjebak kepada konsep tentang cinta sejati sebagaimana kerap dibincangkan para penyair besar. Pasalnya, menurut Kierkegaard, para penyair itu tidak dapat sepenuhnya memahami kondisi kesepian tanpa cinta. Mereka tidak dapat sepenuhnya memahami kematian yang memisahkan sepasang kekasih, kehidupan yang menjauhkan para teman sebagai para musuh. Tidak dapat dinafikan bahwa cinta adalah bentuk komunikasi yang paling tulus sebab hanya dalam cinta itu sendiri, kisah cinta dapat didengarkan. Meski jalan untuk menuju ke sana sungguh panjang dan berliku, cinta itulah yang membuat hidup kita semakin berdaya.    

Sumber gambar : beatlescovers.bizerks.com