"But every tree is known by its own fruit. So also is love known by
its own fruit and the love of which Christianity speaks is known by its own
fruit—revealing that it has within itself the truth of the eternal. All
other love, whether humanly speaking it withers early and is altered or
lovingly preserves itself for a round of time—such love is still
transient; it merely blossoms. This is precisely its weakness and tragedy,
whether it blossoms for an hour or for seventy years—it merely blossoms;
but Christian love is eternal. Therefore no one, if he understands himself,
would think of saying of Christian love that it blossoms; no poet, if he
understands himself, would think of celebrating it in song."
(Søren Kierkegaard, Works of Love: Some Christian Deliberations in the Form of Discourses, p.25f)
Salah satu orang yang patut bertanggungjawab dalam pembicaraan tentang
cinta sejati, saya rasa, adalah Shakespeare. Melalui kisah Romeo dan Juliet, repertoire drama yang ditulisnya,
manusia modern menempatkan cinta sejati sebagai tema paling populer dalam panggung
hiburan. Tak dapat dipungkiri bahwa tema tersebut cukup membius dan melenakan
gagasan rasionalitas tentang cinta itu sendiri. Keputusan Romeo dan Juliet
untuk mati bersama digambarkan sebagai bentuk cinta ideal yang hanya dapat
dilakukan oleh sepasang kekasih yang sungguh saling mencinta.
Namun, manusia modern sesungguhnya sangat membenci kematian sebagai batas
eksistensial. Kendati Romeo dan Juliet dipahami sebagai bentuk estetika cinta
yang ultimat, manusia modern menginginkan agar cinta sejati tidak berujung pada
kematian. Kehadiran media baru seperti film memberikan harapan baru untuk
menciptakan suatu bentuk estetika cinta yang mutakhir tanpa kematian. Dalam tuntutan
seperti itu Walt Disney hadir sebagai pemberi harapan. Mantan ilustrator yang
berbakat ini menghadirkan narasi-narasi cinta yang sungguh disukai manusia
modern. Di dalam narasi itu, cinta sejati tidak diekpresikan melalui kematian,
tetapi dinyatakan secara lugas dalam akhir
cerita yang membahagiakan.
Apa yang ditawarkan Walt Disney itu,
celakanya, telah tercetak begitu lekat di dalam kepala manusia modern. Cinta
tanpa kematian terlanjur menjadi topik yang paling disukai budaya populer. Melalui
sejumlah media baru, manusia modern pun dipaksa untuk percaya bahwa cinta
sejati selalu berakhir dengan kebahagiaan. Pendek kata, cinta sejati tidak
pernah berjalan beriringan dengan kesedihan. Tentu saja, hal demikian
bertentangan dengan kenyataan sehari-hari bahwa cinta justru seringkali menjadi
pintu masuk hadirnya kedukaan. Kematian karena persoalan cinta juga selalu
menghiasi berita sehari-hari. Kondisi yang tidak menentu seperti itu secara
diam-diam menggiring hilangnya pemaknaan terhadap cinta sebagai bentuk
komunikasi yang intens. Konsep tentang cinta pun menjadi begitu sederhana
karena penafsiran terhadapnya terlanjur bersifat monolitik
Tanpa menafikan perkembangan makna cinta yang didesiminasikan oleh media
baru pada masa kini, manusia modern ternyata masih memiliki kerinduan yang
cukup mendalam untuk menemukan cinta yang tulus dan jujur. Bagaimanapun, ada
semacam kepekaan yang mulai berkembang bahwa kehadiran sejumlah media baru
hanya menawarkan kesadaran palsu. Kehadiran media baru hanya menumbuhkan
wawasan dunia yang instan dan dangkal sehingga refleksi kehidupan hanya
dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia. Dalam kondisi demikian, disadari atau
tidak, cinta, sebagai salah satu obyek refleksi kehidupan yang cukup serius,
pun terlewatkan begitu saja. Akibatnya, ada orang yang berusaha mengejar cinta
sejati, namun ia justru menuai nafsu sehingga jatuh ke dalam pencobaan. Ada
orang yang berusaha menemukan cinta sejati, namun ia justru tersesat jauh ke
dalam kepalsuan demi kepalsuan.
Seorang Denmark yang bernama Søren Kierkegaard mungkin salah satu dari
segelintir orang yang mencoba untuk menuliskan permenungan tentang cinta
sejati. Permenungan ini didasarkan pergumulannya atas cinta yang pernah
dijalaninya. Pertunangannya dengan sang pujaan hati, Regine Olsen, kandas di tengah
jalan, bukan karena rasa cinta terhadap wanita itu pudar, tetapi karena sifat
melankolisnya yang begitu dominan membuatnya ragu untuk menikahi wanita yang
sungguh ia cintai. Hingga pada suatu saat Kierkegaard pun harus rela melepaskan
Regine yang dipinang oleh Friedrich von Schlegel, seorang pegawai pemerintah
yang memiliki karir yang cemerlang. Secara diam-diam Kierkegaard merasakan
bahwa melepaskan Regine adalah sebuah kebodohan terbesar yang pernah
dilakukannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perpisahan itu meninggalkan luka
yang teramat dalam untuknya.
Namun, kegagalannya untuk menjalani cinta lambat laun justru menjadi
kesempatan baginya untuk memaknai cinta dari sudut pandang yang berbeda. Dalam
bukunya, Works of Love: Some Christian Deliberations in the Form of Discourses yang diterbitkan pada tahun 1847 Kierkegaard
menggambarkan cinta serupa pohon yang berbuah lebat. Namun, cinta bukanlah
sekadar apa yang dihasilkan pohon itu, tetapi juga berbicara tentang proses
merawat pohon itu sehingga dapat berbuah lebat. Salah satu tahap yang tidak
boleh terlewatkan dalam proses perawatan pohon itu adalah terluka dan menderita
karenanya. Bagi Kierkegaard, adalah mustahil untuk tidak terluka dan menderita
ketika dua orang menapaki cinta. Justru luka dan derita itu menjadi bukti bahwa
cinta mereka sungguh layak diperjuangkan sehabis-habisnya.
Apa yang diserukan Kierkegaard itu tersirat dalam sebuah lagu berjenis
balada yang berjudul The Long and Winding
Road, yang diciptakan Paul McCartney pada tahun 1968 Bukanlah kebetulan
jika lagu tersebut hadir tatkala krisis komunikasi yang begitu serius mulai tumbuh
dalam tubuh The Beatles. Para personil band legendaris itu tidak lagi seia
sekata seperti dulu. Maka, dapat dipahami bahwa kehadiran The Long and Winding Road yang diciptakan McCartney itu seolah-olah menjadi
oase yang dapat menyegarkan hati para pendengarnya. Para pengamat musik pada
masa itu bahkan menggadang-gadang lagu itu sebagai jembatan yang mampu menyatukan
kembali para personil The Beatles. Lagu itu pun menjadi sebuah lagu
pengharapan, yang secara diam-diam serupa dengan isi dari lirik lagu ini.
The long and winding
road
That leads to your door
Will never disappear
I've seen that road before
It always leads me here
Lead me to you door
The wild and windy night
That the rain washed away
Has left a pool of tears
Crying for the day
Why leave me standing here
Let me know the way
Many times I've been alone
And many times I've cried
Any way you'll never know
The many ways I've tried
But still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long long time ago
Don't leave me waiting here
Lead me to your door
But still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long long time ago
Don't keep me waiting here
Lead me to your door
Yeah, yeah, yeah, yeah
That leads to your door
Will never disappear
I've seen that road before
It always leads me here
Lead me to you door
The wild and windy night
That the rain washed away
Has left a pool of tears
Crying for the day
Why leave me standing here
Let me know the way
Many times I've been alone
And many times I've cried
Any way you'll never know
The many ways I've tried
But still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long long time ago
Don't leave me waiting here
Lead me to your door
But still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long long time ago
Don't keep me waiting here
Lead me to your door
Yeah, yeah, yeah, yeah
Lagu ini sekilas tampak sebagai ratapan seseorang yang rasa cintanya
diabaikan. Namun, apabila dicermati kembali, lagu ini menunjukkan hal
sebaliknya. Lagu ini justru menampilkan optimisme. Secara implist dikisahkan bahwa pada masa lalu orang
itu pernah mencoba mengetuk pintu hati sang pujaan hati. Dengan cukup intens,
dia mencari cara agar memperoleh perhatian darinya. Akan tetapi, pintu hati
yang diketuknya itu tidak pernah jua terbuka baginya. Sang pujaan hati sama
sekali tidak menghiraukannya. Cintanya yang tulus sama sekali tak berbalas.
Hatinya hancur remuk redam. Kendati banyak air mata yang tertumpah pada waktu
itu, dia tidak menyerah. Dengan ketabahan yang besar, dia masih percaya bahwa pada
akhirnya pintu yang diketuknya itu dapat terbuka.
Ketabahan hati seseorang yang sungguh memperjuangkan cinta telah menjadi
peristiwa yang langka pada masa kini. Kita mungkin tidak pernah mengetahui
bahwa di balik ketabahan hati itu, ada banyak luka dan kesedihan yang harus ia
tanggung. Namun, ketabahan itu bukanlah hal yang sia-sia. Bukankah cinta selalu
menghadirkan tujuan yang pasti? Atas alasan cinta, Tuhan selalu menganugerahi
rahmat dan karunia kepada manusia, ciptaan-Nya. Atas alasan cinta, seseorang
dapat mengorbankan waktu, tenaga, harta, dan bahkan nyawanya bagi tambatan
hatinya. Atas alasan cinta, seseorang yang tersesat dapat kembali untuk
menemukan jalan pulang. Atas alasan cinta, kemalangan apapun dapat menjadi
sesuatu yang indah dan bermakna.
Bagi Kierkegaard, setiap manusia harus mengalami setiap cinta sebagai
sebuah kenyataan yang harus dijalani, tanpa khawatir apakah cinta itu sejati
atau tidak. Untuk itu Kierkegaard mengingatkan kepada kita agar kita jangan
hanya terjebak kepada konsep tentang cinta sejati sebagaimana kerap
dibincangkan para penyair besar. Pasalnya, menurut Kierkegaard, para penyair
itu tidak dapat sepenuhnya memahami kondisi kesepian tanpa cinta. Mereka tidak
dapat sepenuhnya memahami kematian yang memisahkan sepasang kekasih, kehidupan
yang menjauhkan para teman sebagai para musuh. Tidak dapat dinafikan bahwa
cinta adalah bentuk komunikasi yang paling tulus sebab hanya dalam cinta itu
sendiri, kisah cinta dapat didengarkan. Meski jalan untuk menuju ke sana
sungguh panjang dan berliku, cinta itulah yang membuat hidup kita semakin
berdaya.
Sumber
gambar : beatlescovers.bizerks.com