Setiap menjelang kenaikan
kelas, kedua orangtua saya selalu cemas. Mereka sangat khawatir kalau-kalau
saya tidak naik kelas. Kekhawatiran mereka itu sangat beralasan. Pasalnya,
sejak kelas 1 SD, hampir semua nilai matematika, IPA, dan bahasa Indonesia
selalu berada di bawah rata-rata kelas. Saya begitu lemah untuk berhitung dan
menghafal informasi. Celakanya, saya juga tidak lancar dalam mengeja dan
membaca. Teman-teman telah dapat membaca pada saat duduk di kelas 1, sedangkan
saya baru dapat membaca dengan lancar ketika duduk di kelas 4!
Saya kira, sebagai orang tua mereka berdua pasti sangat
tersiksa. Harga diri mereka sebagai pengajar pun tampaknya dipertaruhkan di
hadapan wali kelas atau bahkan kepala sekolah. Meski salah satu dari mereka
tidak pernah mengumpati saya sebagai anak yang dungu, entah mengapa, saya sudah
terlanjur merasa rendah diri dan tidak percaya diri. Sungguh setiap tahun saya
harus terus menyesal karena telah mempermalukan mereka. Akan tetapi, sebagai
seorang anak kecil, saya tidak dapat melakukan hal lain, kecuali hanya menangis
sambil berdoa agar ada mukjizat Tuhan yang dapat membantu saya.
Pernah pada suatu sore, ayah
saya bertanya kepada saya. “Jika sekolahmu berat, mungkin kamu harus pindah
sekolah. Tapi jika kamu tidak mau bersekolah, setidaknya ada orang yang
mengurus telur-telur ayam ini.” Mendengar hal itu, saya hanya terdiam. Saya
tidak berani melihat matanya yang menyipit. Sore itu, aku tahu, ayah memang
tidak sedang marah. Nada suaranya begitu datar. Memang, sekilas apa yang
dikatakannya tadi terdengar seperti sebuah pesimisme. Namun, setelah direfleksikan
kembali, saya merasa bahwa pada saat itu ayah sebenarnya sedang menantang saya
untuk tidak menyerah. Ayah menantang saya untuk bersikap optimis.
Memang, sampai kapanpun, saya
tidak akan pernah mau pindah sekolah. Bagi saya, sekolah ini sudah menjadi
bagian yang sangat penting dalam perjalanan hidup saya. Saya enggan berpisah
dengan teman-teman dan juga para guru-meski beberapa guru begitu gemar
memberikan hukuman kepada saya. Tidak dapat terbayangkan apa jadinya jika saya
harus pindah sekolah. Saya pasti sedih. Namun, saya belajar untuk berani
kehilangan. Tidak semua hal dapat terus kita pertahankan kendati segenap usaha
telah dikerahkan. Secara diam-diam perjalanan waktu membentuk saya untuk siap
menjalani skenario yang terburuk sekalipun.
Meski saya sudah siap,
kenyataan selalu berbicara lain. Selalu ada banyak mukjizat yang menghampiri. Saya
selalu dapat naik kelas. Para wali kelas selalu memberikan kesempatan dan
kepercayaan kepada saya untuk memperbaiki diri. Entah berapa kali kesempatan
itu diberikan. Namun, hal yang saya ketahui adalah bahwa mereka membantu saya
untuk berharap.Harapan itu mulai terwujud ketika saya duduk di kelas 4. Di
tahun itu saya sudah mampu membaca beberapa buku paket bahasa Indonesia dan
soal cerita matematika. Meski tidak terlalu lancar dalam melakukannya, saya
sungguh bersyukur.
Pengenalan saya terhadap
huruf begitu serakah. Setiap istirahat sekolah saya berusaha untuk menghabiskan
waktu di dalam perpustakaan. Tempat itu menjadi sebuah sorga yang sungguh
sangat menentramkan.Di sana saya
mengenali banyak hal yang selama ini tidak pernah saya ketahui. Kebiasaan
membaca itu menuntun saya untuk dekat pula dengan dunia tulis-menulis. Ketika
berada di sekolah lanjutan pertama, menulis menjadi aktivitas sampingan selain
bermain musik. Saya mulai tertarik untuk menuliskan kisah-kisah petualangan
serupa kisah-kisah yang ditulis Enid Blyton dan Alfred Hitchcok. Baru ketika
duduk di SMA, saya mulai belajar untuk menulis esai, opini, atau resensi buku.
Saya pun lebih aktif untuk mengikuti sejumlah kompetisi atau kejuaraan menulis.
Kendati tidak pernah dimuat atau memenangkan lomba, tulisan-tulisan itu menjadi
semacam bukti bahwa saya sungguh mencintai dunia tulis-menulis.
Dari waktu ke waktu, segala
hal yang tampaknya pernah hadir sebagai sebuah pesimisme, mulai hilang dan
bahkan berganti menjadi sebuah harapan yang menjanjikan. Puji Tuhan, prestasi
belajar saya semakin membaik. Di tingkat SMA, saya tidak hanya menyenangi dunia
membaca dan tulis-menulis, tetapi saya juga menemukan keindahan matematika
sebagai sebuah cara menalar dan disiplin yang mengajarkan saya ketekunan dan
kegigihan. Kondisi demikian, tidak dapat disangkal, membuat rasa percaya diri
saya mulai terasah. Saya merasa berani untuk menghadapi proses kehidupan
selanjutnya.
Rasa percaya diri adalah hal
yang cukup penting dalam perkembangan setiap manusia. Memiliki rasa percaya
diri berarti memiliki kesadaran untuk bertahan dalam setiap ujian kehidupan.
Meski begitu, rasa percaya diri tidak dapat dihadirkan secara instan di dalam
diri setiap individu. Dibutuhkan proses yang cukup panjang, latihan yang
intens, ketabahan yang mendalam, dan daya yang cukup kuat untuk melakukan
refleksi sepanjang kehidupan. Rasa percaya diri tidak sekadar dapat dilihat
dalam acara audisi calon selebriti, tetapi justru dibuktikan melalui setiap
keputusan yang harus diambil dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa berita terakhir
tentang bunuh diri yang terjadi di kalangan remaja memberikan gambaran
rendahnya rasa percaya diri itu. Di luar pelbagai alasan yang cukup sentimentil
dan emosional, mereka yang membunuh dirinya secara sengaja, menurut hemat saya,
seringkali tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dalam penderitaan. Padahal
ketabahan untuk menghadapi penderitaan adalah bagian penting dalam pengolahan
rasa percaya diri. Akan tetapi, hilangnya kemampuan untuk bertahan dalam
penderitaan dalam kehidupan remaja bukanlah semata-mata kelalaian yang hanya disebabkan
mereka. Pengaruh pendidikan dalam keluarga dan perkembangan gaya hidup
masyarakat modern menjadi dua penyebab penting yang perlu dicermati.
Orang tua masa kini
tampaknya lebih menyukai untuk memberikan ikan ketimbang pancing kepada
anak-anaknya. Gaya hidup yang dijalani masyarakat modern pun adalah gaya hidup
praktis dan hedonis sehingga masyarakat tidak terbiasa untuk bertahan dalam
penantian atau melakukan refleksi atas berbagai pengalaman. Segala hal yang
sifatnya menyenangkan menjadi tujuan utama, padahal kehidupan ini tidak selalu
menawarkan kondisi tersebut. Kerap kali hal yang sulit, rumit, berat, atau
menyedihkan bahkan menjadi santapan utama dalam kehidupan ini. Memperoleh
kebahagiaan dan kesenangan hanyalah sebuah celah dan kado istimewa yang cukup
singkat bagi mereka yang berhasil melewati sejumlah hal tadi.
Dari sekian banyak lirik
lagu populer yang membicarakan tentang rasa percaya diri untuk memenangkan perjuangan
hidup, saya tertarik kepada lirik lagu yang dilantunkan Kevin DuBrow, vokalis
band Hard Rock, Quiet Riot. Lagu itu mengambil judul yang cukup provokatif, Winners Take All. Lirik yang ditampilkan
cukup sederhana dan mudah dimengerti. Lagu ini memang pernah dikenang para
pencinta musik rock sebagai lagu balada yang pernah sukses di awal tahun
1980-an. Namun, hari ini, lagu tersebut kerap
diputar sebagai ode untuk mengenang dan menghormati sang vokalis yang meninggal
pada tahun 2007.
Life’s been good
Life’s been bad
Now I know
What I had
Has taken it’s toll on me
Yes we give
And we take
What we get
Is what we make
Believe that dreams come true
Life is crazy
We’re not fools, no, no
The price is high
When you keep the score
Take your souls
And your goals
To the top
Together we stand
We won’t take no more
Cause we’re winners
And winners take all
We have loved
Burned by fate
But for once
Set the record straight
Time does heal all wounds
You have laughed
We have cried
Paid our dues
Yes, we’re turned the tide
Mistakes are far and view
We need no guidance
Our aim is true
Down the road
There are many fools
But we know
Cause we’ve grown
What we need
Secara umum lirik Winners
Take All berbicara tentang prinsip hukum tabur dan tuai yang harus diperhatikan
dalam kehidupan; what we get is what we
make. Apa yang kau tuai pada hari ini adalah apa yang pernah kau tabur di
masa lalu. Apa yang kau nikmati pada hari ini adalah apa yang telah kau
usahakan di masa lalu. Tanpa kesungguhan, kerja keras, ketabahan, kesabaran,
dan kerendahan hati, tidak ada kesuksesan. Disadari atau tidak, menjadi sukses
sekalipun sangat bergantung kepada upaya kita untuk menaklukkan diri kita.
Kerap kita harus melakukan sejumlah hal yang tidak kita sukai demi sesuatu yang
kita inginkan. Dengan cara demikian, kita dapat mengubah keberuntungan kita
menjadi lebih baik.
Pramoedya Ananta Toer,
seorang pengarang besar dalam khazanah sastra Indonesia pernah berujar demikian.
“ Hidup itu sederhana. Namun, banyaknya interpretasi terhadap hidup membuatnya
rumit.” Jika hidup memang sederhana,
maka kesuksesan hidup tidak lagi diukur oleh kepemilikan materi, uang, dan
barang. Jika hidup itu memang sederhana, maka kesuksesan hidup begitu dekat dengan
persahabatan dan persaudaraan. Sayangnya, masyarakat modern bukanlah masyarakat
yang berani untuk mengatakan tidak
dan cukup dalam pemenuhan kebutuhannya.
Kepemilikan materi, uang, dan barang masih menjadi hal yang sangat didewakan,
sedangkan persahabatan dan persaudaraan begitu mudah diabaikan. Bagi manusia
modern, sahabat atau saudara tidak lebih diperlukan daripada uang atau barang!
Tidak dapat disangkal bahwa bagi
manusia modern, hidup adalah sebuah perlombaan atau kompetisi. Maka untuk menjadi
pemenang dalam kompetisi itu,mereka melakukan pelbagai cara. Sayangnya, manusia
modern juga melakukan cara-cara yang tidak terpuji demi tujuan itu. Memperkaya
diri dengan aksi korupsi adalah salah satu kegilaan yang begitu populer pada
abad ini. Memanipulasi anggaran yang seharusnya dapat dipergunakan untuk
membantu masyarakat yang tidak mampu adalah salah satu contoh kongkret yang
mudah ditengarai. Dengan cara yang tidak
bermoral, manusia modern begitu meyakini bahwa kebahagiaan atau kesuksesan
hidup dapat dicapai. Meski mengetahui konsekuensi etis yang dapat mereka
peroleh, kegilaan itu toh tidak pernah surut. Mereka tidak takut untuk
menggadaikan harga diri dan martabat mereka di bawah tumpukan uang haram. Tanpa
merasa malu, mereka berlagak seolah-olah merekalah sang pemenang dalam
perjuangan hidup ini.
Demikianlah, manusia modern
saat ini mengalami krisis dalam pemaknaan hidup. Krisis tersebut dapat
digambarkan sebagai sebuah paradoks. Di satu sisi, manusia modern bisa bersikap
jumawa untuk menyatakan bahwa mereka bukanlah kumpulan orang yang pongah.
Mereka bisa menyelesaikan persoalan dalam kehidupan ini melalui pengetahuan dan
teknologi yang mereka kembangkan. Akan tetapi, di sisi lain, mereka juga tidak
dapat menyangkal bahwa di balik sikap jumawa itu, mereka adalah makhluk yang
rentan, ringkih. Pengetahuan dan kemajuan teknologi yang dapat membawa mereka
untuk memasuki peradaban yang lebih baik ternyata memiliki potensi untuk
menjauhkan mereka dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Atas nama kemajuan,
manusia menjadi makhluk asing bagi dirinya sendiri.
Lirik lagu Winners
Take All memang tidak menyuarakan paradoks itu secara eksplisit.
Sebaliknya, menurut hemat saya, lirik lagu itu justru dapat dibaca sebagai
sebuah memoar tentang tragedi kesombongan manusia. Dengan usaha yang gigih,
manusia memang dapat tampil sebagai pemenang. Dengan pengetahuan dan teknologi
yang dimilikinya, manusia dapat hadir sebagai penguasa bumi. Dengan materi dan
kekayaan yang dikumpulkannya, manusia dapat menjadi raja di atas bumi. Akan
tetapi, manusia tidak pernah dapat tampil seutuhnya sebagai pemenang, penguasa
bumi, atau raja sekalipun. Ada batas-batas eksistensial yang mampu menahan
kebebasan, kemampuan, atau kepandaiannya. Tidak semua hal dapat diraup oleh sang
pemenang. Tidak mungkin samudera yang tak berbatas dapat diraup ke dalam sebuah
gelas anggur yang kecil. Tidak mungkin alam semesta nan raya dan penuh misteri
ini dapat dipahami melalui interpretasi yang dimunculkan oleh segumpal otak
sebesar kepalan tangan.
Kevin DuBrow, sang penyanyi,
pun tak sanggup untuk terus bertengger sebagai sang pemenang . Sebagai manusia
modern yang dekat dengan kemajuan zaman, dia ternyata begitu rentan dan ringkih.
Dia memang pernah berada di puncak kejayaan sebagai rockstar. Harta kekayaannya sangat berlimpah-ruah. Dengan hartanya itu, ribuan pesta gila pun sanggup
ia jalani setiap malam. Namun, hidupnya tetaplah hampa. Kevin DuBrow adalah
sosok yang kosong dan sedih. Beberapa hari setelah ulang tahunnya, Kevin ditemukan
mati karena overdosis kokain. Riwayatnya berakhir dengan cara yang tidak elegan.
Saya hanya berharap, lirik
lagu itu dapat pula ditafsirkan secara tersirat sebagai sebuah warning bagi para pendengarnya agar
tidak cepat merasa puas dan jumawa atas kesuksesan kecil yang telah diperoleh,
agar tidak bersikap tinggi hati atas perjuangan yang dilalui. Ya, hidup
bukanlah arena pertandingan yang dipenuhi kompetisi, melainkan ruang perziarahan yang dihayati secara kontemplatif. Kadang kesuksesan yang pernah kita raih pada
masa lalu tidak dapat menjadi patokan yang sahih bagi segala rencana yang akan
kita capai hari ini dan besok. Setiap hari selalu menawarkan banyak hal baru. Bukankah
setiap waktu memiliki cerita tentang kesuksesan dan kesulitannya? Syukurlah,
kesuksesan dan kesulitan hari ini memang hanya cukup untuk hari ini!
Sumber gambar : metal-archivesdotcom