Wednesday, 15 June 2016

Winners Take All : Ketika Hidup bukan Arena Pertandingan



Setiap menjelang kenaikan kelas, kedua orangtua saya selalu cemas. Mereka sangat khawatir kalau-kalau saya tidak naik kelas. Kekhawatiran mereka itu sangat beralasan. Pasalnya, sejak kelas 1 SD, hampir semua nilai matematika, IPA, dan bahasa Indonesia selalu berada di bawah rata-rata kelas. Saya begitu lemah untuk berhitung dan menghafal informasi. Celakanya, saya juga tidak lancar dalam mengeja dan membaca. Teman-teman telah dapat membaca pada saat duduk di kelas 1, sedangkan saya baru dapat membaca dengan lancar ketika duduk di kelas 4!
Saya  kira, sebagai orang tua mereka berdua pasti sangat tersiksa. Harga diri mereka sebagai pengajar pun tampaknya dipertaruhkan di hadapan wali kelas atau bahkan kepala sekolah. Meski salah satu dari mereka tidak pernah mengumpati saya sebagai anak yang dungu, entah mengapa, saya sudah terlanjur merasa rendah diri dan tidak percaya diri. Sungguh setiap tahun saya harus terus menyesal karena telah mempermalukan mereka. Akan tetapi, sebagai seorang anak kecil, saya tidak dapat melakukan hal lain, kecuali hanya menangis sambil berdoa agar ada mukjizat Tuhan yang dapat membantu saya.
Pernah pada suatu sore, ayah saya bertanya kepada saya. “Jika sekolahmu berat, mungkin kamu harus pindah sekolah. Tapi jika kamu tidak mau bersekolah, setidaknya ada orang yang mengurus telur-telur ayam ini.” Mendengar hal itu, saya hanya terdiam. Saya tidak berani melihat matanya yang menyipit. Sore itu, aku tahu, ayah memang tidak sedang marah. Nada suaranya begitu datar. Memang, sekilas apa yang dikatakannya tadi terdengar seperti sebuah pesimisme. Namun, setelah direfleksikan kembali, saya merasa bahwa pada saat itu ayah sebenarnya sedang menantang saya untuk tidak menyerah. Ayah menantang saya untuk bersikap optimis.
Memang, sampai kapanpun, saya tidak akan pernah mau pindah sekolah. Bagi saya, sekolah ini sudah menjadi bagian yang sangat penting dalam perjalanan hidup saya. Saya enggan berpisah dengan teman-teman dan juga para guru-meski beberapa guru begitu gemar memberikan hukuman kepada saya. Tidak dapat terbayangkan apa jadinya jika saya harus pindah sekolah. Saya pasti sedih. Namun, saya belajar untuk berani kehilangan. Tidak semua hal dapat terus kita pertahankan kendati segenap usaha telah dikerahkan. Secara diam-diam perjalanan waktu membentuk saya untuk siap menjalani skenario yang terburuk sekalipun.
Meski saya sudah siap, kenyataan selalu berbicara lain. Selalu ada banyak mukjizat yang menghampiri. Saya selalu dapat naik kelas. Para wali kelas selalu memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada saya untuk memperbaiki diri. Entah berapa kali kesempatan itu diberikan. Namun, hal yang saya ketahui adalah bahwa mereka membantu saya untuk berharap.Harapan itu mulai terwujud ketika saya duduk di kelas 4. Di tahun itu saya sudah mampu membaca beberapa buku paket bahasa Indonesia dan soal cerita matematika. Meski tidak terlalu lancar dalam melakukannya, saya sungguh bersyukur.
Pengenalan saya terhadap huruf begitu serakah. Setiap istirahat sekolah saya berusaha untuk menghabiskan waktu di dalam perpustakaan. Tempat itu menjadi sebuah sorga yang sungguh sangat menentramkan.Di sana  saya mengenali banyak hal yang selama ini tidak pernah saya ketahui. Kebiasaan membaca itu menuntun saya untuk dekat pula dengan dunia tulis-menulis. Ketika berada di sekolah lanjutan pertama, menulis menjadi aktivitas sampingan selain bermain musik. Saya mulai tertarik untuk menuliskan kisah-kisah petualangan serupa kisah-kisah yang ditulis Enid Blyton dan Alfred Hitchcok. Baru ketika duduk di SMA, saya mulai belajar untuk menulis esai, opini, atau resensi buku. Saya pun lebih aktif untuk mengikuti sejumlah kompetisi atau kejuaraan menulis. Kendati tidak pernah dimuat atau memenangkan lomba, tulisan-tulisan itu menjadi semacam bukti bahwa saya sungguh mencintai dunia tulis-menulis.
Dari waktu ke waktu, segala hal yang tampaknya pernah hadir sebagai sebuah pesimisme, mulai hilang dan bahkan berganti menjadi sebuah harapan yang menjanjikan. Puji Tuhan, prestasi belajar saya semakin membaik. Di tingkat SMA, saya tidak hanya menyenangi dunia membaca dan tulis-menulis, tetapi saya juga menemukan keindahan matematika sebagai sebuah cara menalar dan disiplin yang mengajarkan saya ketekunan dan kegigihan. Kondisi demikian, tidak dapat disangkal, membuat rasa percaya diri saya mulai terasah. Saya merasa berani untuk menghadapi proses kehidupan selanjutnya.
Rasa percaya diri adalah hal yang cukup penting dalam perkembangan setiap manusia. Memiliki rasa percaya diri berarti memiliki kesadaran untuk bertahan dalam setiap ujian kehidupan. Meski begitu, rasa percaya diri tidak dapat dihadirkan secara instan di dalam diri setiap individu. Dibutuhkan proses yang cukup panjang, latihan yang intens, ketabahan yang mendalam, dan daya yang cukup kuat untuk melakukan refleksi sepanjang kehidupan. Rasa percaya diri tidak sekadar dapat dilihat dalam acara audisi calon selebriti, tetapi justru dibuktikan melalui setiap keputusan yang harus diambil dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa berita terakhir tentang bunuh diri yang terjadi di kalangan remaja memberikan gambaran rendahnya rasa percaya diri itu. Di luar pelbagai alasan yang cukup sentimentil dan emosional, mereka yang membunuh dirinya secara sengaja, menurut hemat saya, seringkali tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dalam penderitaan. Padahal ketabahan untuk menghadapi penderitaan adalah bagian penting dalam pengolahan rasa percaya diri. Akan tetapi, hilangnya kemampuan untuk bertahan dalam penderitaan dalam kehidupan remaja bukanlah semata-mata kelalaian yang hanya disebabkan mereka. Pengaruh pendidikan dalam keluarga dan perkembangan gaya hidup masyarakat modern menjadi dua penyebab penting yang perlu dicermati.
Orang tua masa kini tampaknya lebih menyukai untuk memberikan ikan ketimbang pancing kepada anak-anaknya. Gaya hidup yang dijalani masyarakat modern pun adalah gaya hidup praktis dan hedonis sehingga masyarakat tidak terbiasa untuk bertahan dalam penantian atau melakukan refleksi atas berbagai pengalaman. Segala hal yang sifatnya menyenangkan menjadi tujuan utama, padahal kehidupan ini tidak selalu menawarkan kondisi tersebut. Kerap kali hal yang sulit, rumit, berat, atau menyedihkan bahkan menjadi santapan utama dalam kehidupan ini. Memperoleh kebahagiaan dan kesenangan hanyalah sebuah celah dan kado istimewa yang cukup singkat bagi mereka yang berhasil melewati sejumlah hal tadi.
Dari sekian banyak lirik lagu populer yang membicarakan tentang rasa percaya diri untuk memenangkan perjuangan hidup, saya tertarik kepada lirik lagu yang dilantunkan Kevin DuBrow, vokalis band Hard Rock, Quiet Riot. Lagu itu mengambil judul yang cukup provokatif, Winners Take All. Lirik yang ditampilkan cukup sederhana dan mudah dimengerti. Lagu ini memang pernah dikenang para pencinta musik rock sebagai lagu balada yang pernah sukses di awal tahun 1980-an.  Namun, hari ini, lagu tersebut kerap diputar sebagai ode untuk mengenang dan menghormati sang vokalis yang meninggal pada tahun 2007.         

Life’s been good
Life’s been bad
Now I know
What I had
Has taken it’s toll on me

Yes we give
And we take
What we get
Is what we make
Believe that dreams come true

Life is crazy
We’re not fools, no, no

The price is high
When you keep the score
Take your souls
And your goals
To the top

Together we stand
We won’t take no more
Cause we’re winners
And winners take all

We have loved
Burned by fate
But for once
Set the record straight
Time does heal all wounds

You have laughed
We have cried
Paid our dues
Yes, we’re turned the tide
Mistakes are far and view

We need no guidance
Our aim is true

Down the road
There are many fools
But we know
Cause we’ve grown
What we need

Secara umum lirik Winners Take All berbicara tentang prinsip hukum tabur dan tuai yang harus diperhatikan dalam kehidupan; what we get is what we make. Apa yang kau tuai pada hari ini adalah apa yang pernah kau tabur di masa lalu. Apa yang kau nikmati pada hari ini adalah apa yang telah kau usahakan di masa lalu. Tanpa kesungguhan, kerja keras, ketabahan, kesabaran, dan kerendahan hati, tidak ada kesuksesan. Disadari atau tidak, menjadi sukses sekalipun sangat bergantung kepada upaya kita untuk menaklukkan diri kita. Kerap kita harus melakukan sejumlah hal yang tidak kita sukai demi sesuatu yang kita inginkan. Dengan cara demikian, kita dapat mengubah keberuntungan kita menjadi lebih baik.
Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang besar dalam khazanah sastra Indonesia pernah berujar demikian. “ Hidup itu sederhana. Namun, banyaknya interpretasi terhadap hidup membuatnya rumit.”  Jika hidup memang sederhana, maka kesuksesan hidup tidak lagi diukur oleh kepemilikan materi, uang, dan barang. Jika hidup itu memang sederhana,  maka kesuksesan hidup begitu dekat dengan persahabatan dan persaudaraan. Sayangnya, masyarakat modern bukanlah masyarakat yang berani untuk mengatakan tidak dan cukup dalam pemenuhan kebutuhannya. Kepemilikan materi, uang, dan barang masih menjadi hal yang sangat didewakan, sedangkan persahabatan dan persaudaraan begitu mudah diabaikan. Bagi manusia modern, sahabat atau saudara tidak lebih diperlukan daripada uang atau barang!
Tidak dapat disangkal bahwa bagi manusia modern, hidup adalah sebuah perlombaan atau kompetisi. Maka untuk menjadi pemenang dalam kompetisi itu,mereka melakukan pelbagai cara. Sayangnya, manusia modern juga melakukan cara-cara yang tidak terpuji demi tujuan itu. Memperkaya diri dengan aksi korupsi adalah salah satu kegilaan yang begitu populer pada abad ini. Memanipulasi anggaran yang seharusnya dapat dipergunakan untuk membantu masyarakat yang tidak mampu adalah salah satu contoh kongkret yang mudah ditengarai.  Dengan cara yang tidak bermoral, manusia modern begitu meyakini bahwa kebahagiaan atau kesuksesan hidup dapat dicapai. Meski mengetahui konsekuensi etis yang dapat mereka peroleh, kegilaan itu toh tidak pernah surut. Mereka tidak takut untuk menggadaikan harga diri dan martabat mereka di bawah tumpukan uang haram. Tanpa merasa malu, mereka berlagak seolah-olah merekalah sang pemenang dalam perjuangan hidup ini.
Demikianlah, manusia modern saat ini mengalami krisis dalam pemaknaan hidup. Krisis tersebut dapat digambarkan sebagai sebuah paradoks. Di satu sisi, manusia modern bisa bersikap jumawa untuk menyatakan bahwa mereka bukanlah kumpulan orang yang pongah. Mereka bisa menyelesaikan persoalan dalam kehidupan ini melalui pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan. Akan tetapi, di sisi lain, mereka juga tidak dapat menyangkal bahwa di balik sikap jumawa itu, mereka adalah makhluk yang rentan, ringkih. Pengetahuan dan kemajuan teknologi yang dapat membawa mereka untuk memasuki peradaban yang lebih baik ternyata memiliki potensi untuk menjauhkan mereka dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Atas nama kemajuan, manusia menjadi makhluk asing bagi dirinya sendiri.
 Lirik lagu Winners Take All memang tidak menyuarakan paradoks itu secara eksplisit. Sebaliknya, menurut hemat saya, lirik lagu itu justru dapat dibaca sebagai sebuah memoar tentang tragedi kesombongan manusia. Dengan usaha yang gigih, manusia memang dapat tampil sebagai pemenang. Dengan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, manusia dapat hadir sebagai penguasa bumi. Dengan materi dan kekayaan yang dikumpulkannya, manusia dapat menjadi raja di atas bumi. Akan tetapi, manusia tidak pernah dapat tampil seutuhnya sebagai pemenang, penguasa bumi, atau raja sekalipun. Ada batas-batas eksistensial yang mampu menahan kebebasan, kemampuan, atau kepandaiannya. Tidak semua hal dapat diraup oleh sang pemenang. Tidak mungkin samudera yang tak berbatas dapat diraup ke dalam sebuah gelas anggur yang kecil. Tidak mungkin alam semesta nan raya dan penuh misteri ini dapat dipahami melalui interpretasi yang dimunculkan oleh segumpal otak sebesar kepalan tangan.
Kevin DuBrow, sang penyanyi, pun tak sanggup untuk terus bertengger sebagai sang pemenang . Sebagai manusia modern yang dekat dengan kemajuan zaman, dia ternyata begitu rentan dan ringkih. Dia memang pernah berada di puncak kejayaan sebagai rockstar. Harta kekayaannya sangat berlimpah-ruah.  Dengan hartanya itu, ribuan pesta gila pun sanggup ia jalani setiap malam. Namun, hidupnya tetaplah hampa. Kevin DuBrow adalah sosok yang kosong dan sedih. Beberapa hari setelah ulang tahunnya, Kevin ditemukan mati karena overdosis kokain. Riwayatnya berakhir dengan cara yang tidak elegan.  
Saya hanya berharap, lirik lagu itu dapat pula ditafsirkan secara tersirat sebagai sebuah warning bagi para pendengarnya agar tidak cepat merasa puas dan jumawa atas kesuksesan kecil yang telah diperoleh, agar tidak bersikap tinggi hati atas perjuangan yang dilalui. Ya, hidup bukanlah arena pertandingan yang dipenuhi kompetisi, melainkan ruang perziarahan yang dihayati secara kontemplatif.  Kadang kesuksesan yang pernah kita raih pada masa lalu tidak dapat menjadi patokan yang sahih bagi segala rencana yang akan kita capai hari ini dan besok. Setiap hari selalu menawarkan banyak hal baru. Bukankah setiap waktu memiliki cerita tentang kesuksesan dan kesulitannya? Syukurlah, kesuksesan dan kesulitan hari ini memang hanya cukup untuk hari ini!       

Sumber gambar : metal-archivesdotcom