Sunday, 20 July 2014

Rumah Kita dan Mereka yang Belum Tiba di Rumah

God Bless/Semut Hitam
Sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri akan tiba! Jakarta akan mendadak sepi karena banyak orang berbondong-bondong mudik ke kampung halamannya. Saya punya prediksi bahwa dalam minggu ini media sosial seperti Facebook, Twitter, atau Path pasti akan dibanjiri sejumlah status yang begitu epik seperti “Akhirnya, tiba di rumah!” atau “Terima kasih Tuhan, kumpul keluarga terlaksana.” Semua status berbicara tentang sebuah ruang yang selalu dirindukan, yaitu rumah.  

Tentu saja, bagi saya yang tidak pergi kemana-mana selama liburan, membaca status seorang teman ketika ia tiba di rumah setelah melakukan perjalanan panjang adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Saya dapat membayangkan bagaimana rasa khawatir, takut, dan bahkan letih dalam perjalanan terhapus dengan mudah ketika berada di dalam rumah, bertemu dengan orang-orang tercinta. Seolah-olah ada semacam kekuatan magis yang tersimpan di dalamnya, yang tidak hanya mengubah mood, melainkan juga karakter seseorang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kekuatan itu, rumah ternyata mampu memberikan kenyamanan yang tidak dapat diberikan hotel atau villa semewah apapun. Rumah memiliki aura yang sanggup menarik para pelancong dan petualang tujuh samudera kembali bercengkrama di dalamnya. Ratusan dan ribuan kilometer rela ditempuh, kocek ratusan ribu dan bahkan puluhan juta rupiah dihabiskan, asalkan mereka dapat tiba di rumah dan berkumpul dengan sanak saudara dan orang-orang tercinta.   

Itulah mengapa dalam bahasa Inggris  kata /House/ dan /Home/ dibedakan dengan sangat filosofis kendati keduanya merujuk kepada rumah. House dipakai untuk menunjukkan rumah sebagai properti fisik semata, sebuah bangunan yang bentuknya bisa dirombak kapan saja. Akan tetapi, Home dipakai untuk menunjukkan rumah sebagai ruang emotif tempat segala ketakutan dilebur, segala kepenatan dihancurkan, dan segala kesedihan dilumat. Home adalah ruang kebahagiaan sekaligus ruang sakral sebagaimana rahim bagi setiap jabang bayi merelung.

Itulah mengapa ketika gunung Merapi meletus beberapa tahun lalu, ada begitu banyak penduduk sekitar gunung itu yang tidak mau beranjak pergi. Mereka terlanjur terlatih untuk menerima kondisi alam dan mencintai rumah mereka. Meski ada himbauan yang diberikan pemerintah daerah untuk mengungsi dan meninggalkan rumah, mereka tidak akan pernah bergeming dari tempat dimana harapan dan impian selalu disegarkan. Mereka bahkan rela memilih mati bersama memori yang berdiam teguh di dalam rumah mereka.

Benar, pepatah Inggris mengatakan “Home is where the heart is.”  Dalam khazanah budaya popular, pepatah ini telah menjadi sumber inspirasi munculnya film, lagu, atau karya sastra yang legendaris. Rumah selalu dibayangkan sebagai tempat hati berada. Sejelek-jeleknya façade yang ditampilkan, sesempit-sempitnya tanah yang diukur, dan sekecil-kecilnya ruang yang dibangun, rumah bukanlah sekadar properti fisik, melainkan mental. Di rumah, segala memori dirajut dan dikekalkan. Di sana terpampang sejumlah foto keluarga, orang-orang yang paling kita sayangi dan kita doakan setiap waktu. Di sana terpampang momen-momen yang paling membahagiakan dalam denyut kehidupan.

Suasana sentimental inilah yang saya rasakan setiap mendengarkan lagu Rumah Kita milik God Bless yang dirilis pada tahun 1988. “Hanya bilik bambu, tempat tinggal kita,tanpa hiasan tanpa lukisan. Beratap jerami, beralaskan tanah. Namun, semua ini punya kita.Memang semua ini milik kita, sendiri.” God Bless memandang rumah bukan semata-mata sebagai ruang bertembok dengan hiasan dan lukisan di sana-sini, melainkan sebagai ruang eksistensial dimana kesederhanan hidup penghuninya tercermin secara tulus. Dalam konteks tahun 80-an, lirik lagu ini menjadi semacam kritik terhadap urbanisasi masyarakat desa secara besar-besaran ke ibukota. Bagi Ian Antono dan kawan-kawan, tidak ada tempat sebaik kampung halaman sendiri. Tidak pernah ada rumah lain, selain rumah kita. Karenanya, bersyukurlah kita atas hal itu!

Namun, menjelang hari kemenangan, kondisi dunia akhir-akhir ini justru membuat saya harus berdiam sejenak untuk mengontemplasikan kembali makna rumah. Berita pertempuran sengit yang terjadi di jalur Gaza selama 2 minggu terakhir atau penembakan pesawat MH-17 milik Maskapai Malaysia Airlines membuat saya gamang untuk membaca kembali korelasi antara rumah dengan kebahagiaan hati. Sungguh, betapa memilukan!

Saya tidak dapat membayangkan bagaimana mereka yang terperangkap di tengah gempuran artileri dan bayang-bayang maut dapat memaknai rumah sebagai tempat perlindungan sebagaimana kita alami pada saat Idul Fitri nanti. Di dalam peperangan yang begitu kejam, tidak ada tempat yang dapat membuat kita merasa aman. Rumah-rumah mereka telah hilang dan berubah menjadi puing-puing yang berserakan. Karena tidak ada tempat untuk berlindung, mereka pun kini menjadi kumpulan target hidup yang dapat dilumat timah panas sewaktu-waktu. Dan benar, mereka tidak pernah tiba di pagar halaman rumah mereka.

Saya tidak dapat membayangkan pula bagaimana mereka yang secara mendadak kehilangan nyawa setelah pesawat yang mereka tumpangi diroket oleh para jahanam! Harapan, impian, dan rasa kangen untuk bertemu dengan sanak saudara, untuk menginjakkan kaki kembali di kampung halaman, yang telah dipupuk bertahun-tahun sirna dalam hitungan detik. Pesawat itu hancur berkeping-keping di udara! Kepingan-kepingan tersisa yang jatuh ke tanah itu hanya mampu menorehkan luka dan derita yang cukup dalam kepada keluarga yang menanti kedatangan mereka.

Dalam setiap tragedi, tidaklah berlebihan untuk dikatakan bila keluarga korban yang masih hidup menjadi pihak yang akan menderita secara mental dalam waktu lama. Kehilangan salah satu anggota keluarga dapat diibaratkan seperti kehilangan sebuah tiang dalam rumah. Kendati berdiri, rumah telah goyah, tidak kuat. Ia begitu rentan untuk hancur.  Saya ingat bagaimana hal ini pernah pula menjadi kontemplasi rohani bagi seorang Paus Yohanes Paulus II.

Ketika melakukan kunjungan ke tanah Palestina pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II pernah disambut dengan bunyi-bunyian Mars Kunci ratusan anak sekolah dari kamp pengungsi Dheisheh di luar Betlehem di jalan Hebron. Mars itu berasal dari kunci-kunci yang merupakan milik kakek-nenek mereka yang kehilangan rumahnya bertahun-tahun silam.  Kunci tersebut diserahkan turun-temurun sebagai pengingat akan masa hilangnya dan terbuangnya keluarga mereka.

Sungguh, saya mulai merasakan betapa sulit untuk menyanyikan lagu Rumah Kita di zaman seperti ini. Bagaimana kita bisa mengatakan dengan kelegaan seluas samudera bahwa kita sungguh beruntung dapat berdiam di rumah kita sendiri justru ketika banyak orang terusir dan teralienasi dari rumahnya sendiri, ketika banyak orang tiba-tiba menjadi gelandangan atau target hidup dalam peradaban yang mengerikan seperti ini? Tidak ada hal lain yang dapat saya lakukan, selain doa tulus agar Tuhan dapat siapkan rumah dengan lukisan, hiasan, anyelir, dan melati  bagi mereka di ladang sorga.


Tuhan, berkatilah…. 

Sumber gambar : athaaqilrafif.blogspot.com

Wednesday, 9 July 2014

The Best of Times : Ayah dan Saya

Dream Theater/Black Clouds and Silver Linings
Saya tidak bisa membayangkan situasi hati macam apa yang dirasakan Mike Portnoy, mantan drummer Dream Theater ketika sedang memainkan lagu The Best of Times. Lagu itu diciptakannya bersama teman-temannya, John Petrucci, John Ro Myung, dan Jordan Rudess untuk mengisi slot lagu nomor 6 dalam album mereka, Black Clouds & Silver Lining. Meski diciptakan bersama, lagu itu tampaknya punya arti yang sangat kuat bagi Portnoy. 

Di dalam lirik lagu itu Portnoy berkisah tentang kenangannya bersama ayah tercinta. Bagi Portnoy, sang ayah adalah seorang idola dan sahabat baik yang pernah ia miliki. Ia sungguh mencintainya karena sang ayah telah terlebih dulu mencintainya tanpa syarat. Namun, sayang, sang ayah kini tidak lagi berada di sisinya untuk bersama-sama menulis kisah dan menikmati melodi kehidupan. Lagu The Best of Times diciptakan Portnoy sebagai sebuah ode, tanda cintanya yang besar kepada ayah tercinta yang meninggal karena kanker beberapa tahun lalu.

Lagu memang diawali dengan nada-nada muram. Piano menghentak pelan seperti detak jantung yang tinggal penghabisan, seperti mesin yang kehilangan dayanya. Suara sang vokalis pun tampak parau dan terseret-seret. Ada ratap tangis dan duka yang membuncah di sana. Namun, lagu bergerak dengan progresif. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Sedikit demi sedikit suasana duka ditinggalkan dan digantikan suasana yang lebih terang, tegas, dan berpengharapan. Ada semacam klimaks yang tak terduga, tentu saja. Dan setelah beberapa saat  lagu ini pun menjelma sebagai daya optimisme, elan vital yang sangat kuat.

Inilah art rock! Dream Theater tidak hanya memainkan emosi pendengar lagunya, tetapi juga secara imajinatif sedang mementaskan sebuah episode dimana kesedihan bukanlah akhir dari segalanya, bahwa dukacita hendaknya jangan menghapus optimisme terhadap kehidupan. Maka, kita temukan lirik lagu yang sangat kuat sebagai berikut. “These were the best of times, I'll miss these days. Your spirit lit my life each day. My heart is bleeding bad but I'll be okay.Your spirit guides my life each day.” 

Secara pribadi, lagu ini
jelas punya magnet yang sangat kuat dalam kehidupan saya. Saya menyadari bahwa magnet ini mungkin terlihat emosional. Ketika ayah saya meninggal 7 tahun lalu, saya merasa bahwa hidup saya akan berbeda. Saya merasa bahwa hidup saya akan hampa. Saya bisa membayangkan betapa sulitnya untuk mendengarkan suara ayah yang kerap menyapa saya melalui telepon. Dari seberang telepon itu, saya sudah tidak dapat lagi merasakan rasa rindunya untuk menjenguk cucu-cucunya. Jujur, hancur hati saya! Jejak kasih sayang yang ditorehkan ayah sangat kuat berakar dalam hidup saya. Bagaimana mungkin? Beliau adalah satu-satunya orang yang selalu mengajarkan banyak hal tentang keutamaan dan kebijaksanaan hidup. Celakanya, beliau tidak pernah mengajarkan perpisahan dan sikap bagaimana menghadapi kematiannya.

Dibutuhkan beberapa tahun, bahkan, untuk menerima kenyataan bahwa ia telah pergi. Dibutuhkan
waktu yang cukup lama untuk menerima kenyataan bahwa tidak lagi terdengar suara yang menyapa. Namun, saya ternyata tidak sendiri. Ada begitu banyak teman yang juga pernah mengalami perasaan hampa setelah ayah-ayah mereka tidak lagi menyapa atau memeluk mereka untuk selama-lamanya. Saya dikuatkan dan lambat laun, meski tidak mudah, saya mulai belajar untuk menerima kenyataan itu. 

Ketika saya mendengarkan lagu The Best of Times pertama kali, saya menitikkan air mata. Saya pejamkan mata saya.
Di dalam gelap saya termenung. Ribuan kenangan yang indah bersama ayah pada masa lalu tiba-tiba muncul di hadapan saya seperti sebuah film yang diputar, seperti album foto yang dibuka. Oh Tuhan, saya tahu bahwa saya tidak berkuasa lagi untuk memiliki ayah selamanya. Namun, saya tahu, bahwa sikap hidup, usaha, ketekunan, kelakar, dan senyum ayah akan selalu hidup di dalam diri saya. Semangatnya tidak pernah mati. Ia menjadi inspirasi yang membawa saya berjalan milyaran kilometer untuk mencapai impian yang ingin saya wujudkan. 

Meski saya tidak pernah tahu apa yang dirasakan Mike Portnoy di belakang drum itu, saya sungguh berterima kasih karena lagu yang ia dan Dream Theater ciptakan membuat saya
dapat mengingat kembali segala kasih sayang yang pernah diberikan ayah saya. Kasih itu sungguh terlalu berharga untuk dilupakan. Itulah hal terbaik yang pernah setiap anak miliki.


Sumber gambar :http://galfdom.blogspot.com/2013/09/dream-theatre-black-clouds-and-silver.html


******* 

Something to Believe in : Tuhan dan Penderitaan Manusia

Poison/Something to Believe in
Di antara banyak teman, ia cukup unik. Deritanya cukup berat. Kisah hidupnya sebenarnya begitu getir. Namun ia tidak pernah jemu untuk menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah tidur ketika manusia dilanda kesulitan dan masalah. Dua hari sebelum kerusuhan 1998 ayahnya meninggal dunia karena sakit paru-paru. Beberapa waktu kemudian toko kelontongnya habis-habisan dijarah massa. Tidak ada satupun yang tersisa, kecuali kobaran api yang melumat  semua perabot toko. Adiknya semata wayang yang pada saat itu sedang menjaga tokonya menjadi salah satu korban perkosaan yang tidak pernah terkabarkan. Gadis muda ini mengalami goncangan jiwa setelah itu. Tidak lama setelahnya ibunya meninggal karena tidak tahan melihat penderitaan anak yang sangat dicintainya itu.

Sebagai manusia biasa, ia jelas sedih. Selama berbulan-bulan, kami cukup kesulitan untuk menghiburnya. Ia masih bisa tersenyum ramah kepada kami. Namun, diam-diam, kami juga melihat ada bongkahan air mata yang menetes tersendat. Ia beruntung karena dalam situasi pahit demikian, masih ada begitu banyak orang yang peduli padanya.  Lambat laun, laki-laki ini mulai berdiri tegap. Rupanya, ia belajar untuk menerima kenyataan meski perlahan-lahan. Ia pun mulai dapat menata dirinya. Kendati terasa begitu berat, energi itu ia coba tularkan kepada sang adik yang telah kehilangan harapan untuk hidup.

Di antara banyak teman, ia memang tampak begitu matang dalam mengolah penderitaan sebagai kekuatan. Kepercayaannya bahwa Tuhan tidak pernah tidur memang terbukti. Tuhan ternyata mendengarkan doa orang yang tertindas dan teraniaya. Dua tahun lalu saya bertemu kembali dengannya dalam sebuah reuni. Wajahnya masih tirus tetapi matanya berbinar-binar. Senyumnya cerah. Kami pun terlarut dalam pembicaraan akrab yang panjang.  Darinya, saya mendengar bahwa  ia kini tinggal di Malang dan telah memiliki dua kios mainan anak-anak yang dikelola bersama isterinya. Sang adik, setelah menjalani rehabilitasi di sebuah pertapaan wanita di Jawa Tengah, telah menikah dengan seorang guru yang baik hati dari Purwokerto empat tahun lalu. Mereka telah dikarunia 2 anak kembar.

Saya sungguh tercenung dengan kabar bahagia yang disampaikannya waktu itu. Sikap pasrah dan sikap positif menghadirkan harapan dalam kehidupannya.  Tuhan telah berpihak pada doa-doanya selama ini. Meski pernah menjalani penderitaan berat, ia tidak pernah sekalipun mengeluh, menyalahkan, apalagi menyangsikan kerahiman Tuhan dalam hidupnya dan keluarganya.

Tentu saja, sikap teman saya itu bukanlah sikap yang mudah ditiru. Pasalnya, dalam kesesakan, kesulitan, dan kepahitan hidup, manusia cenderung menyalahkan dirinya. BahkanTuhan pun kerap dituntut tanggung jawabnya, dipersalahkan, dan bahkan disangsikan oleh mereka yang pada awalnya justru dikenal begitu taat kepadaNya. Itulah citraan yang saya tangkap ketika mendengarkan lagu Something to Believe in milik sebuah band glam rock, Poison pada tahun 1990.

Sebagai lagu bergenre rock balada, Something to Believe in secara umum ingin memotret arti penderitaan dalam masyarakat modern. Lagu itu menyoal bagaimana penderitaan berada di sekeliling kita. Ia datang tanpa permisi kepada siapapun. Tiada pihak yang kebal darinya. Pendeta yang berkotbah tentang harapan kepada umatnya pun kerap bersifat munafik untuk menutupi penderitaan yang sedang ia alami. Ketimpangan sosial yang terjadi di sejumlah kota besar, peperangan keji, pasangan yang berselingkuh, atau kematian sahabat menjadi sumber penderitaan. Namun, secara khusus, lagu ini sesungguhnya didedikasikan Bret Michaels, sang vokalis, bagi Kimo, sahabatnya, yang meninggal di Hotel Palm Spring dan Bob, sepupunya, yang terluka dalam perang Vietnam.

Bagi manusia modern yang terlalu lama dininabobokan oleh hiburan duniawi yang artifisial, penderitaan sekecil apapun menjadi awal dari malapetaka kehidupannya. Manusia modern yang kerap ditunjukkan oleh happy ending yang maya tidak pernah siap untuk menerima penderitaan sebagai bagian dari konsekuensi kehidupan. Celakanya, persepsi terhadap agama yang mereka anut pun cenderung bersifat fungsional dan pragmatis; orang beragama akan bahagia selamanya! Maka, ketika terjadi penderitaan, mereka menganggap bahwa ada sesuatu yang salah dengan Tuhan. Mereka protes dan menganggap Tuhan tidak berpihak kepada mereka. Ateisme pun semakin subur.

Saya tidak tahu apakah melalui lagu itu Poison sedang melantunkan pencarian true faith dalam masyarakat modern atau tidak. Namun, jika kita refleksikan kembali, bukankah kita sebagai orang yang mengaku percaya terhadap penyelenggaraan Ilahi kerap pula bertanya, meragukan, dan bahkan menyangsikan penderitaan yang kita alami sebagai kehendak Tuhan?  Bukankah kita yang kerap bersikap rasional ini juga melantunkan lirik berikut  ketika ada penderitaan yang harus kita tanggung? And give me something to believe in if there's a Lord above.And give me something to believe in Oh, Lord arise.”

Sampai saat ini lagu berdurasi lebih dari 6 menit ini masih menyisakan pertanyaan kepada saya. Setiap kali saya mendengarnya, saya diajak untuk bermeditasi tentang arti penderitaan. Mungkinkah sebagai masa lalu, penderitaan memang menyakitkan, tetapi sebagai masa depan penderitaan bisa menjadi harapan? Tentu saja untuk memahami hal itu kita harus menjadi pengikut Tuhan yang hatinya terbuka, bukan menjadi pengikut Tuhan yang bersifat fungsional apalagi pragmatis meskipun kita masih juga cepat mengeluh terhadap situasi yang tidak menyenangkan, yang membebani hidup kita.

Dalam hal ini, saya mungkin kalah set. Teman saya sudah berlatih dengan keras terlebih dulu untuk menjadi lebih kuat dan lebih berharap. Ia sudah memahami makna penderitaan itu, tanpa perlu mendengarkan lirik lagu itu berulang-ulang kali.

Sumber gambar : http://eil.com/shop/moreinfo.asp?catalogid=319762
  


******* 


   

Hard to Find the Words: Kasih Sayang Ibu

Album Cinderella/ Still Climbing
Sebelum masuk kuliah, saya pernah mengikuti beberapa kursus bahasa Inggris di Yogyakarta. Namun, ada sebuah tempat kursus yang paling berkesan bagi saya. Bukan karena gedungnya dan juga bukan karena materi yang diajarkannya. Tempat itu berkesan bagi saya karena di sana saya bertemu dengan seorang pengajar yang kerap memberikan lagu-lagu rock sebagai materi pelajaran mendengarkan (listening).

Pada suatu waktu, pengajar itu memberikan tugas kepada peserta kursus untuk menuliskan kembali lirik lagu Hard to Find the Words yang dinyanyikan sebuah band glam metal, Cinderella.  Sejak SMP, saya memang telah mengenal band yang didirikan di Pennsylvania, Amerika Serikat itu. Beberapa lagu mereka pun sudah saya dengarkan. Namun, lagu Hard to Find the Words yang ditawarkan pengajar itu sama sekali belum pernah saya dengarkan.

Sebagai orang yang sedang belajar bahasa Inggris, jujur, saya mengalami kesulitan untuk mendengarkan lagu itu. Pertama, ada begitu banyak kata dan idiom baru yang artinya harus saya cari di kamus dengan sabar. Kedua, sungguh tidak mudah untuk mendengarkan suara Tom Keifer, sang vokalis. Di balik suaranya yang begitu tinggi, masih ada geramannya yang sering membuat kata yang dilagukannya tidak jelas terdengar di kuping Jawa saya. Aktifitas mendengarkan lagu  pada akhirnya sesuai dengan judul lagunya. It’s very hard!

Akan tetapi, Tuhan sungguh baik. Setelah melampaui usaha yang keras, saya pun mulai dapat mencicipi makna lagu itu. Secara utuh, lagu itu berbicara tentang perasaan seorang anak kepada ibunya. Di dalam lagu itu, si anak mengutarakan rasa terima kasih kepada sang ibu yang telah mendidik dan membesarkannya. Meski anak itu kerap melanggar nasihat-nasihat yang diberikan, sang ibu tidak pernah mengeluh dan tetap setia mengasihinya. Maka bagi si anak, bukanlah perkara mudah untuk melukiskan cinta kasih yang diberikan sang ibu dengan kata-kata.

Kemarin, sebelum menulis catatan ini, saya menghadiri misa requiem sepupu saya.  Ia adalah seorang wanita yang ramah dan murah hati, dan juga seorang ibu yang tegar, bijaksana, serta sabar bagi anak-anaknya. Setiap Minggu saya dan keluarga selalu bertemu beliau di sudut gedung Gereja, menjajakan makanan yang dimasaknya sendiri. Dari  beberapa kisah yang dibagikan para pelayat yang mengikuti misa, terungkap bahwa sepupu saya sering memberikan barang dagangannya secara cuma-cuma kepada para sahabatnya. Sikapnya begitu tulus dan ikhlas.

Sebelum kematiannya yang sungguh mendadak, ia ternyata sempat sakit dan dirawat di rumah selama satu minggu. Namun, dalam sakitnya, ia tidak pernah mau menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa kondisi badannya semakin lemah. Ia tampak bersemangat untuk melakukan banyak hal. Kepada anak bungsunya yang masih bersekolah di SMA, ia berjanji bahwa dalam waktu seminggu, ia pasti akan sembuh dan akan kembali menemaninya belajar di ruang tamu yang bocor atapnya.

Namun, apa mau dikata. Kehendak Tuhan lebih nyata ketimbang janji ibu kepada anak bungsunya. Di depan peti mati itu, si bungsu menangis sambil berteriak histeris. Banyak pelayat merasa iba dengan peristiwa itu. Beberapa orang bahkan menitikkan air matanya. Mereka paham betapa dekatnya hubungan antara ibu dan anak  selama ini. Saya pun hanya terdiam. Tidak bisa bicara apapun.

Setelah beberapa waktu, saya berusaha menghiburnya. Dengan perlahan saya mengutarakan beberapa nasihat standar untuk menguatkan hatinya. Ia memang sempat tenang. Tapi tidak ada sepatah kata pun yang terucap darinya. Keheningan terlanjur menyelimuti kami berdua. Akan tetapi di balik keheningan itu, saya percaya, ada niat dan kekuatan yang hendak dibangunnya. Ia lebih berhak menentukan apa yang harus dilakukannya ketimbang segala nasihat standard yang saya sampaikan.

Sungguh, di depan kebaikan dan ketulusan seseorang, betapa sulit kita dapat melukiskan segenap pikiran dan perasaan kita dengan kata-kata. Di depan jasad orang-orang yang sungguh mengasihi kita, kata-kata pun mati. Pada tahun 1994, lagu Hard to Find the Words ditulis Tom Keifer saat sang ibu sedang sekarat karena didera kanker. Sungguh, lagu itu hanya menjadi sebuah kesaksian dan jejak tentang kasih sayang ibu kepada anaknya. Sebagai sebuah single, lagu itu sama sekali tidak meledak. Bahkan pada tahun yang sama Tom Keifer harus menghadapi serangkaian kenyataan yang menyakitkan. Penjualan album Still Climbing melorot, Cinderella bubar, pita suaranya rusak, dan sang ibu akhirnya meninggal dunia.

Meski begitu, lagu Hard to Find the Words adalah lagu abadi. Lagu itu terus-menerus bergema dan mengingatkan semua anak betapa kasih sayang ibu tidak dapat dilukiskan kata-kata. Mungkin ini pula yang sedang bergolak dalam diri keponakan saya. Butuh waktu untuk mengungkapkan hal ini. Bagaimanapun, kasih sayang memang harus dipahami dengan tindakan. “And mama I know there's been times. When we didn't see eye to eye. By and by we do some growing up. And we understand the reasons why. But sometimes it's hard to find the words. But I'll do the best I can. Thank you for the love mama. It's what made this boy a man, yeah”

Sumber gambar :http://www.lyrics007.com/Cinderella%20Lyrics/Hard%20to%20Find%20the%20Words%20Lyrics.html 


******* 

   

When The Children Cry: Anak-anak dan Dunia yang Berdarah

Album White Lion/Pride
Ketika RCTI mengudara sebagai stasiun televisi swasta pada akhir tahun 1989, MTV mulai dikenal dan dapat dinikmati oleh warga Ibukota dan sekitarnya. Kehadiran MTV setidaknya membuat saya sedikit beranjak dari sejumlah stasiun radio yang menyiarkan berbagai musik cadas setiap malam minggu. Pasalnya, MTV menghadirkan lagu-lagu yang saya dengar dan saya bayangkan dengan begitu jelas. Tepat di depan mata saya! Kondisi demikian serupa dengan pengalaman saya ketika menonton rekaman konser The Beatles atau Pink Floyd pertama kali dalam format video VHS pada tahun 1987 di rumah seorang tetangga kaya raya. Menonton aksi panggung band-band legendaris di layar kaca itu tidak hanya melahirkan sensasi audio, melainkan juga sensasi visual yang begitu kuat.

Salah satu lagu rock yang kerap dimunculkan RCTI sebagai sisipan musik adalah lagu yang berjudul When the Children Cry. Lagu ini dibawakan oleh White Lion, band rock yang didirikan di Kopenhagen. Lagu yang dilantunkan dengan sangat syahdu oleh Mike Tramp, sang vokalis band, ini dibingkai dalam nuansa visual hitam putih. Tampak sangat klasik, tetapi begitu melankolis . Di tengah lagu, terlihat ayunan kosong dalam gerak slow motion sambil diiringi rangkaian melodi gitar yang menyayat dari jemari Vito Bratta.

Lirik lagu When the Children Cry menggelontorkan tema yang sangat subversif dalam dunia modern, yaitu hilangnya rasa aman yang dimiliki anak-anak sebagai manusia yang berdaulat. Secara lantang, lirik lagu ini mengatakan bahwa peradaban modern dengan segala teknologi militernya telah menjadi monster bagi anak-anak. Dunia yang berdarah oleh serangkaian perang keji telah merenggut keceriaan, kegembiraan, dan bahkan nyawa mereka. Tidak ada satupun presiden di dunia yang bahkan sanggup menghentikan kekejian dan kekejaman ini. Meski begitu, Mike Tramp dan Vito Bratta, pencipta lagu itu, masih percaya bahwa masa depan manusia tetap berada di pundak anak-anak. Merekalah yang kelak menunjukkan masa depan yang lebih baik kepada generasi berikutnya, masa depan penuh cinta dan damai, masa depan yang satu di bawah kuasa Tuhan.

Pada tahun 2003, saya kebetulan pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Mike Tramp pada  sebuah acara di Jakarta. Meski pada waktu itu, White Lion versi klasik telah bubar, saya sempat menanyakan motivasi yang melatarbelakangi penciptaan lagu When the Children Cry. Dengan sangat serius,  ia menjawab bahwa lagu itu terinspirasi dari sejumlah berita yang selalu ia ikuti di sejumlah stasiun televisi setiap jam 5 pagi. Ia merasa bahwa perang yang terjadi pada tahun 1980-an di beberapa negara telah merenggut banyak jiwa yang tak berdosa, termasuk anak-anak. Dengan lagu itu, Mike mau membuka perspektif masyarakat dunia bahwa perang itu mutlak jahat karena menghancurkan masa depan anak-anak.

Pada awalnya, saya berpikir bahwa jawaban yang diberikan Mike adalah  semacam retorika pencitraan agar ia dan White Lion dapat dikenang sebagai salah satu band yang getol menyuarakan antiperang. Namun, apa yang saya pikirkan itu ternyata keliru. Ketika saya berkesempatan mengiringinya bernyanyi lagu itu, saya melihat ekspresi wajah Mike. Ia tampak terlarut dengan lirik lagu itu. Kata-kata yang dilantunkannya terlihat begitu sungguh-sungguh. Dari sudut matanya yang hijau itu, saya melihat pula linangan air mata yang menetes perlahan. Saya merasa, air mata itu bukanlah sekadar penjiwaan atau ekspresi kesenian. Air mata itu adalah kejujuran.

Entah mengapa, sampai saat ini, setiap saya mendengar atau melihat berita mengenai perang, lagu When the Children Cry selalu bermain di kepala saya secara otomatis. Benar apa yang ditulis dalam lirik lagu itu bahwa perang yang terus berkecamuk saat ini merupakan karya agung, masterpiece, yang diwariskan manusia modern. Setiap saat kita membuat tangis dan penderitaan anak-anak di dunia tidak pernah berhenti. Terakhir, mulut saya sungguh terkunci tatkala melihat foto anak korban perang Syria yang tidur di antara makam ayah dan ibunya yang tewas dalam perang.

Dalam situasi yang serba memprihatinkan saat ini, saat bencana alam bertubi-tubi menghantam beberapa daerah di Indonesia seperti Tanah Karo, Manado, Jakarta, Pekalongan, Kudus, Kebumen, dan beberapa kota lainnya, lagu When the Children Cry pun bermain kembali di kepala saya. Koran Kompas, Sabtu lalu, 25/1/2014, pun menyoal tentang minimnya perhatian terhadap penanganan psikologis anak-anak korban bencana alam yang tinggal di tempat pengungsian. Memang, sudah banyak komunitas atau lembaga independen yang datang untuk memberikan bantuan baik berupa dana maupun materi. Namun, penanganan psikologis terhadap anak-anak korban bencana alam itu dirasa sangat kurang.

Saya tidak tahu apakah kunjungan Bapak dan Ibu Presiden beserta beberapa menteri kabinetnya beberapa waktu lalu di Tanah Karo juga memberikan perhatian khusus terhadap anak-anak korban bencana. Pernyataan ini mungkin sedikit bernada pesimistis. Pasalnya, saya sempat melihat tayangan kunjungan ibu negara ke sebuah tempat pengungsian. Pada saat itu saya tidak melihat adanya interaksi dialogis antara ibu negara dan anak-anak, sebagai korban bencana alam, yang menghuni tempat pengungsian itu. Ada jurang yang menganga terlalu lebar. Saya melihat bahwa ibu itu hanya menjadi seorang penonton ketika anak-anak itu menyanyikan lagu daerah Karo. Beliau tampak disibukkan dengan kosakata yang tersirat dalam lagu itu, yang sungguh tidak ia mengerti.

Tentu saja, sebagai warga negara Republik Indonesia, saya berharap kunjungan itu bukanlah kunjungan politis-apalagi basa-basi-, melainkan kunjungan persaudaraan, kunjungan yang sungguh dapat menguatkan dan memberikan harapan. Semoga, menggunakan kata-kata Mike Tramp, kunjungan itu dapat membuka mata para punggawa negeri di tahun-tahun berikutnya bahwa anak-anak harus menjadi prioritas penanganan pascabencana. Jangan sampai, mereka dikecilkan, disepelekan, diabaikan, apalagi dikorbankan. Seperti Mike, kita harus jujur di hadapan mereka, bukan sandiwara.

Sumber gambar : http://wivern.egloos.com/10420181


*******