God Bless/Semut Hitam |
Sebentar
lagi Hari Raya Idul Fitri akan tiba! Jakarta akan mendadak sepi karena banyak
orang berbondong-bondong mudik ke kampung halamannya. Saya punya prediksi bahwa
dalam minggu ini media sosial seperti Facebook, Twitter, atau Path pasti akan
dibanjiri sejumlah status yang begitu epik seperti “Akhirnya, tiba di rumah!”
atau “Terima kasih Tuhan, kumpul keluarga terlaksana.” Semua status berbicara
tentang sebuah ruang yang selalu dirindukan, yaitu rumah.
Tentu saja,
bagi saya yang tidak pergi kemana-mana selama liburan, membaca status seorang
teman ketika ia tiba di rumah setelah melakukan perjalanan panjang adalah
sebuah kebahagiaan tersendiri. Saya dapat membayangkan bagaimana rasa khawatir,
takut, dan bahkan letih dalam perjalanan terhapus dengan mudah ketika berada di
dalam rumah, bertemu dengan orang-orang tercinta. Seolah-olah ada semacam
kekuatan magis yang tersimpan di dalamnya, yang tidak hanya mengubah mood, melainkan juga karakter seseorang.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa dengan kekuatan itu, rumah ternyata mampu memberikan
kenyamanan yang tidak dapat diberikan hotel atau villa semewah apapun. Rumah
memiliki aura yang sanggup menarik para pelancong dan petualang tujuh samudera
kembali bercengkrama di dalamnya. Ratusan dan ribuan kilometer rela ditempuh,
kocek ratusan ribu dan bahkan puluhan juta rupiah dihabiskan, asalkan mereka
dapat tiba di rumah dan berkumpul dengan sanak saudara dan orang-orang
tercinta.
Itulah
mengapa dalam bahasa Inggris kata
/House/ dan /Home/ dibedakan dengan sangat filosofis kendati keduanya merujuk
kepada rumah. House dipakai untuk menunjukkan rumah sebagai properti fisik
semata, sebuah bangunan yang bentuknya bisa dirombak kapan saja. Akan tetapi,
Home dipakai untuk menunjukkan rumah sebagai ruang emotif tempat segala
ketakutan dilebur, segala kepenatan dihancurkan, dan segala kesedihan dilumat.
Home adalah ruang kebahagiaan sekaligus ruang sakral sebagaimana rahim bagi
setiap jabang bayi merelung.
Itulah
mengapa ketika gunung Merapi meletus beberapa tahun lalu, ada begitu banyak
penduduk sekitar gunung itu yang tidak mau beranjak pergi. Mereka terlanjur
terlatih untuk menerima kondisi alam dan mencintai rumah mereka. Meski ada
himbauan yang diberikan pemerintah daerah untuk mengungsi dan meninggalkan
rumah, mereka tidak akan pernah bergeming dari tempat dimana harapan dan impian
selalu disegarkan. Mereka bahkan rela memilih mati bersama memori yang berdiam
teguh di dalam rumah mereka.
Benar, pepatah
Inggris mengatakan “Home is where the
heart is.” Dalam khazanah budaya
popular, pepatah ini telah menjadi sumber inspirasi munculnya film, lagu, atau
karya sastra yang legendaris. Rumah selalu dibayangkan sebagai tempat hati
berada. Sejelek-jeleknya façade yang ditampilkan, sesempit-sempitnya tanah yang
diukur, dan sekecil-kecilnya ruang yang dibangun, rumah bukanlah sekadar
properti fisik, melainkan mental. Di rumah, segala memori dirajut dan
dikekalkan. Di sana terpampang sejumlah foto keluarga, orang-orang yang paling
kita sayangi dan kita doakan setiap waktu. Di sana terpampang momen-momen yang
paling membahagiakan dalam denyut kehidupan.
Suasana sentimental
inilah yang saya rasakan setiap mendengarkan lagu Rumah Kita milik God Bless yang dirilis pada tahun 1988. “Hanya
bilik bambu, tempat tinggal kita,tanpa hiasan tanpa lukisan. Beratap jerami,
beralaskan tanah. Namun, semua ini punya kita.Memang semua ini milik kita,
sendiri.” God Bless memandang rumah bukan semata-mata sebagai ruang
bertembok dengan hiasan dan lukisan di sana-sini, melainkan sebagai ruang
eksistensial dimana kesederhanan hidup penghuninya tercermin secara tulus. Dalam konteks tahun 80-an, lirik lagu ini menjadi semacam kritik terhadap urbanisasi masyarakat desa secara besar-besaran ke ibukota. Bagi Ian Antono dan kawan-kawan, tidak ada tempat sebaik kampung halaman sendiri. Tidak
pernah ada rumah lain, selain rumah kita. Karenanya, bersyukurlah kita atas hal itu!
Namun, menjelang
hari kemenangan, kondisi dunia akhir-akhir ini justru membuat saya harus
berdiam sejenak untuk mengontemplasikan kembali makna rumah. Berita pertempuran
sengit yang terjadi di jalur Gaza selama 2 minggu terakhir atau penembakan
pesawat MH-17 milik Maskapai Malaysia Airlines membuat saya gamang untuk
membaca kembali korelasi antara rumah dengan kebahagiaan hati. Sungguh, betapa
memilukan!
Saya tidak
dapat membayangkan bagaimana mereka yang terperangkap di tengah gempuran
artileri dan bayang-bayang maut dapat memaknai rumah sebagai tempat
perlindungan sebagaimana kita alami pada saat Idul Fitri nanti. Di dalam
peperangan yang begitu kejam, tidak ada tempat yang dapat membuat kita merasa
aman. Rumah-rumah mereka telah hilang dan berubah menjadi puing-puing yang
berserakan. Karena tidak ada tempat untuk berlindung, mereka pun kini menjadi
kumpulan target hidup yang dapat dilumat timah panas sewaktu-waktu. Dan benar,
mereka tidak pernah tiba di pagar halaman rumah mereka.
Saya tidak
dapat membayangkan pula bagaimana mereka yang secara mendadak kehilangan nyawa
setelah pesawat yang mereka tumpangi diroket oleh para jahanam! Harapan,
impian, dan rasa kangen untuk bertemu dengan sanak saudara, untuk menginjakkan
kaki kembali di kampung halaman, yang telah dipupuk bertahun-tahun sirna dalam
hitungan detik. Pesawat itu hancur berkeping-keping di udara! Kepingan-kepingan
tersisa yang jatuh ke tanah itu hanya mampu menorehkan luka dan derita yang
cukup dalam kepada keluarga yang menanti kedatangan mereka.
Dalam setiap
tragedi, tidaklah berlebihan untuk dikatakan bila keluarga korban yang masih
hidup menjadi pihak yang akan menderita secara mental dalam waktu lama.
Kehilangan salah satu anggota keluarga dapat diibaratkan seperti kehilangan
sebuah tiang dalam rumah. Kendati berdiri, rumah telah goyah, tidak kuat. Ia
begitu rentan untuk hancur. Saya ingat
bagaimana hal ini pernah pula menjadi kontemplasi rohani bagi seorang Paus
Yohanes Paulus II.
Ketika
melakukan kunjungan ke tanah Palestina pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II pernah
disambut dengan bunyi-bunyian Mars Kunci ratusan anak sekolah dari kamp
pengungsi Dheisheh di luar Betlehem di jalan Hebron. Mars itu berasal dari kunci-kunci
yang merupakan milik kakek-nenek mereka yang kehilangan rumahnya bertahun-tahun
silam. Kunci tersebut diserahkan
turun-temurun sebagai pengingat akan masa hilangnya dan terbuangnya keluarga
mereka.
Sungguh,
saya mulai merasakan betapa sulit untuk menyanyikan lagu Rumah Kita di zaman seperti ini. Bagaimana kita bisa mengatakan
dengan kelegaan seluas samudera bahwa kita sungguh beruntung dapat berdiam di
rumah kita sendiri justru ketika banyak orang terusir dan teralienasi dari
rumahnya sendiri, ketika banyak orang tiba-tiba menjadi gelandangan atau target
hidup dalam peradaban yang mengerikan seperti ini? Tidak ada hal lain yang
dapat saya lakukan, selain doa tulus agar Tuhan dapat siapkan rumah dengan
lukisan, hiasan, anyelir, dan melati bagi mereka di ladang sorga.
Tuhan,
berkatilah….
Sumber gambar : athaaqilrafif.blogspot.com