Sejak tahun
1995, keluarga kami tinggal di sebuah desa perbatasan antara Prambanan dan Klaten ,
antara propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dengan posisi ini,
saya sebenarnya sangat dimudahkan untuk melawat ke Solo. Kendati begitu baru tiga kali saya sempat
mengunjungi kota itu. Kunjungan kedua dan ketiga berkaitan dengan urusan
bisnis. Akan tetapi, kunjungan pertama adalah kunjungan yang sangat singkat.
Kunjungan itu berkaitan dengan sebuah urusan yang sangat emosional yang kita
sebut sebagai pertemanan.
Ya
kunjungan itu terjadi pada tahun 1997 ketika saya dan teman-teman fakultas
Sastra harus mengantarkan jenazah seorang teman. Pagi itu, ketika ia hendak
menuju kampus, sebuah bus dengan sopir yang sangat ceroboh, dengan sangat tiba-tiba
menabraknya tanpa ampun. Tubuhnya yang mungil terlempar dan terjerembab sejauh beberapa meter. Darahnya bersimbah
di tepi trotoar Fakultas Filsafat, sementara si sopir mencoba segera berlari. Mau
dikata apa, nyawa teman kami sudah tidak tertolong lagi.
Ya, pagi
itu menjadi salah satu pagi yang kelabu. Suasana berkabung segera menyelimuti
ruang-ruang kelas fakultas kami. Sungguh kami sangat bersedih karena
kematiannya yang mendadak. Selama 2 tahun terakhir, kami mengenalnya sebagai
seorang gadis yang baik hati, ramah, ceria, optimis, dan tekun. Meski saya
belum terlalu lama berteman dengannya, tapi ia kerap mengutarakan cita-citanya
yang luhur dan luar biasa. Ia ingin menjadi seorang ahli sejarah yang bisa
menulis ulang sejarah Indonesia yang menurutnya begitu kelam dan penuh korupsi.
Ia ingin memberikan perubahan yang berarti bagi negaranya!
Dalam
perjalanan ke Solo, seorang teman mengatakan bahwa ia telah menangkap firasat
yang tidak biasa pada diri almarhum di kelas agama. Sehari sebelum peristiwa
itu, almarhum mengenakan baju yang sangat indah. “Ia sangat cantik dengan baju
itu. Tidak seperti biasanya, “ katanya. Di antara raungan mobil ambulans yang
terburu-buru, saya hanya terdiam. Saya mencoba mengenang kembali pertemuan
dengannya di waktu pekan orientasi mahasiswa. Kami ada di kelompok yang sama. Meski
mungil, ia bukanlah seorang gadis biasa.
Ia adalah seorang Goliath. Ia berani menentang dan bahkan melawan beberapa
kakak kelas karena bersikap terlalu kasar pada salah satu peserta, kendati
konsekuensi harus ia tanggung.
Kini, sudah
17 tahun peristiwa itu berlalu. Ia tentunya sudah bahagia berada di sorga.
Mungkin ia kerap berbincang-bincang dengan sejumlah dosen kami yang juga telah
dipanggil Tuhan tentang Indonesia yang semakin kelam. Namun, saya tetap
tidak dapat melupakan bagaimana reaksi kedua orang tuanya yang menyambut
jenazahnya di halaman depan rumah mereka 17 tahun lalu. Hati mereka pasti telah
hancur. Anak gadis yang baru saja mereka lepas itu ternyata tidak akan pernah
menjejakkan kembali kakinya di rumah. Jika pada saat itu mereka tampak tegar,
mereka tak ubahnya seperti balon yang dipenuhi tambalan di sana-sini. Kematian
orang yang dikasihi tidak hanya mengeringkan air mata, melainkan juga semangat
hidup mereka. Sungguh tidak mudah memperoleh kembali kesegaran semangat itu.
Orang harus kembali meniti tangganya dari jurang kesedihan yang menyesakkan.
Hari ini
saya kembali mendengarkan I Will Remember
yang dilantukan Steve Lukather, vokalis band Toto. Lagu yang dirilis
tahun 1995 ini merupakan sebuah ode bagi Jeff Porcaro, drummer Toto yang
meninggal pada tahun 1992 karena serangan jantung. Bagi Steve, Jeff bukanlah
sekadar mastermind di belakang
kesuksesan Toto di blantika musik, tetapi ia juga merupakan sahabat dan teman
seperjuangannya sejak masa-masa SMA. Jeff adalah orang yang mampu meyakinkan
Steve untuk berdiri sebagai seorang gitaris. Maka, dapat dipahami bahwa
meninggalnya Jeff adalah sebuah masa yang paling berat bagi Steve. Kondisi demikian,
tak disangkal, sempat pula membuat Steve dan awak Toto lainnya berpikir untuk
membubarkan diri. Namun, pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka harus
tetap menghidupi semangat yang pernah digelorakan Jeff Porcaro. Sebagai bentuk
ekspresi penghargaan terhadap almarhum, Steve pun menciptakan I Will Remember .
Lirik lagu I Will Remember memang tampak begitu
personal karena merangkum sejumlah momen yang pernah dijalani Steve dan Jeff. Namun, bagi kita pun lirik itu terasa begitu
kuat karena berbicara banyak hal tentang arti persahabatan sejati. Hal demikian
tampak terlihat dalam refrain lagu ini. “Even
when love has come and gone, and our hearts have moved along, I will remember.
There was a time we had the trust, and that always was not enough, I will
remember. I will remember you.” Dari lagu itu, kita belajar bahwa ternyata
kematian seseorang tidak akan pernah menghapus ingatan akan kebaikan,
keteguhan, dan banyak hal yang positif tentangnya. Kematian seorang sahabat
akan menjadi semacam monumen indah. Monumen itu tidak akan pernah diabaikan
tetapi justru akan selalu disambangi. Dirawat. Dihidupi. Seolah-olah kematian
bukanlah hal yang menakutkan. Pasalnya kematian hanya bisa memutus ruang dan
jarak pertemuan, tetapi tidak mampu memusnahkan ingatan batin.
Kendati
begitu, bahasa yang dipergunakan mereka yang masih hidup pun memang cukup terbatas
untuk menyatakan perasaan kepada mereka yang telah meninggal. Ingatan akan
persahabatan yang dijalani Steve dan Jeff selama lebih dari 30 tahun bisa saja
ditulis sebagai sebuah buku tebal dengan ribuan atau ratusan ribu halaman. Akan
tetapi, sekali lagi, hal itu pun tidak akan dapat mewakili perasaan yang
sesungguhnya.
Saya kira,
satu kalimat yang diungkapkan Steve, I
Will Remember You, adalah saripati dari ekspresi yang dapat ia nyatakan. Dengan
satu kalimat itu, Steve tidak hanya meyakini bahwa ia akan selalu mengenang
Jeff sebagai sahabat terbaik yang pernah ia miliki, tetapi juga memastikan
bahwa Jeff akan selalu tinggal dan hidup dalam dirinya. Kalimat itu pun
mengajak saya untuk mulai memperhatikan memori yang kadang terselip di antara
rutinitas kehidupan. Celakanya, tanpa disadari, rutinitas yang kita jalani itu sering
membuat kita alpa betapa bermaknanya kehidupan ini. Dengan demikian, kalimat I Will Remember You sesungguhnya adalah
penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Ya, melalui
kalimat itu, saya diajak kembali untuk merawat
kenangan akan gadis dari Solo itu dan juga sejumlah sahabat yang telah
dipanggil Tuhan beberapa tahun terakhir ini. Tanpa disadari, budi baik mereka
telah menjadi semacam cindera mata yang tak akan pernah lekang, tak akan pernah
lapuk oleh waktu. Dan tentu saja apa yang baik itu perlu dikabarkan kepada
siapapun sebagai permata yang berguna bagi kehidupan yang lebih baik.
Teman,
sahabat! Beristirahatlah dalam damai Tuhan. Banyak doa kami sampaikan. We will remember you …
Sumber gambar : www.dayfornight.com