Monday, 15 December 2014

Bob Marley dan Secangkir Kopi Manis


Selain matahari, secangkir kopi manis yang hangat adalah sebuah anugerah di pagi hari. Para pencinta kopi paham bahwa secangkir kopi punya daya magis yang luar biasa. Ia bisa memutuskan mantra jahat yang menjebak kita dalam mimpi-mimpi buruk di malam hari. Ia bisa menyulap rasa pesimis menjadi jembatan harapan satu hari penuh. Ia pun bisa menjadi sahabat setia dalam perjuangan melawan arus zaman yang semakin gila. Dan itulah mengapa secangkir kopi dapat membuat kita tetap memiliki akal sehat untuk menghadapi dunia!

Ternyata secangkir kopi memiliki aspek religius yang sangat kental. Secangkir kopi bisa menjadi sebuah perikop yang membuat kesadaran akan kehidupan sebagai ruang pengharapan menjadi lebih terbuka. Bukankah kesadaran demikian akan membimbing orang untuk mencintai kehidupan? Dan bukankah mencintai sekaligus merawat kehidupan adalah sikap mahapenting yang diamanatkan kepada setiap umat dalam kebersamaan? Dari sudut pandang itu, saya mulai menghargai teman-teman pencinta kopi sebagai para penyintas kehidupan di tengah-tengah hilangnya akal sehat dan kemanusiaan kita pada hari ini.

Pagi ini, pemahaman saya mengenai makna secangkir kopi bertambah. Ada sesuatu yang menggelitik dalam lirik lagu One Cup of Coffee yang didendangkan Robert Nesta Marley alias Bob Marley.  Lagu ceria ini memang lagu lawas yang pernah dipopulerkan Bob Marley pada awal tahun 1960-an sebelum menjelma sebagai figur yang didewakan para Rastafari. Lagu yang diedarkan di bawah label rekaman Beverley milik Leslie Kong itu menarik dan mudah diingat.

One cup of coffee, then I’ll go
Though I just dropped by to let you know
That I’m leaving you tomorrow
I’ll cause you no more sorrow
One cup of coffee, then I’ll go

I brought the money like the lawyer said to do
But it won’t replace the ‘eartache I caused you
It won’t take the place of lovin you, I know
So one cup of coffee, then I’ll go

 Tell the kids I came last night
And kissed them while they slept
Make my coffee sweet and warm
Just the way you used to lie in my arms

Meski musiknya ceria, lirik lagu One Cup of Coffee ingin bercerita tentang tragedi pernikahan yang patah. Sebuah perceraian baru saja terjadi. Seorang suami harus pergi meninggalkan isteri dan anaknya. Kendati dilakukan, perceraian itu bukanlah sebuah keputusan yang mudah. Sang suami sebenarnya masih terombang-ambing dengan perasaannya. Di satu sisi ia sebenarnya tidak mau menjalani perceraian, tetapi di sisi lain perceraian itu mau tidak mau menjadi jalan terbaik bagi mereka untuk menghentikan penderitaan yang mereka alami selama ini.

Dalam situasi demikian, secangkir kopi yang manis dan hangat menjadi semacam jeda bagi sang suami untuk mengenang kembali kebahagiaan yang pernah dirajut bersama istri dan anak-anaknya. Secangkir kopi yang manis dan hangat itu menjadi sebuah kesempatan terakhir baginya untuk berpikir waras dan bersikap benar. Namun secangkir kopi yang manis dan hangat itu  juga menjadi sebuah pijakan baginya menuju kehidupan yang baru.

Menurut hemat saya, lirik lagu ini sebenarnya merupakan sebuah ratapan manusia modern terhadap institusi keluarga yang dari hari ke hari semakin retak. Bukanlah sebuah fakta yang baru bahwa angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu pemicunya berkaitan erat dengan krisis ekonomi yang terjadi berlarut-larut. Dalam lagu ini Bob Marley jelas tidak menghadirkan sebuah suasana yang secara dominan dihidupi masyarakat putih kelas menengah atas. Apa yang dilantunkan Bob Marley dalam lagu itu sungguh memiliki kemiripan dengan genre blues yang kerap bercerita tentang balada yang dramatik. Dalam lagu itu dihadirkan gambaran dari kemiskinan yang ditemukan dalam kehidupan urban sebagai pangkal masalah.

Tentu saja, bila kita melihat makna lirik berdasarkan konteksnya, secangkir kopi yang dimaksud itu seolah-olah hadir secara eksklusif sebagai sebuah dunia yang tidak berhubungan dengan perceraian dan kemiskinan. Secangkir kopi itu hadir sebagai ruang dimana kebebasan dapat dinikmati secara mewah.  Secangkir kopi itu hanya dapat dinikmati dalam kesendirian, bukan dalam kebersamaan. Hal demikian jelas hadir sebagai sebuah ironi. Bukankah cita rasa kopi begitu erat dengan kehidupan sebagai perayaan akan kebersamaan dan kesatuan? Benar, kopi yang ia teguk bukanlah kopi yang manis dan hangat melainkan kopi yang pahit dan penuh ampas!

Ah, meski hanya secangkir, kopi yang manis dan hangat, bagaimanapun, harus menghidupkan. Namun, bila diseruput dan dinikmati dalam kesendirian dan kesedihan, ia tidak akan pernah menjadi inspirasi, harapan, kekuatan, dan semangat. Secangkir kopi di pagi hari seharusnya merupakan sebuah anugerah, sebuah ucapan syukur tentang kebersamaan dan cinta kasih sebagaimana kerap diperjuangkan Bob Marley dan kaum Rastafari.  Mereka mahfum, niscaya, kehidupan yang lebih baik ditemukan di sana. 

Sumber gambar : www.youtube.com 

No comments:

Post a Comment