Saturday, 23 May 2015

One Step from Paradise : Pengharapan dan Masyarakat Modern



Jika Anda penggemar musik rock dan heavy metal tahun 1980-an, Anda akan paham bahwa banyak band populer pada masa itu menyuarakan pelbagai hal, dari seks yang murahan sampai kisah asmara yang mengharu-biru, dari kisah mengenai teror sampai persoalan hidup sehari-hari, dari pemberontakan terhadap sistem sampai ketertundukan kepada Tuhan. Dan jika Anda sungguh-sungguh pengemar kedua musik itu, Anda akan paham bahwa dari sekian tema itu, lagu-lagu yang menyoal kisah asmara-lah yang  menjadi superhits! Lagu-lagu itu biasanya dikemas dalam bentuk balada yang sahdu dengan lirik-lirik melankolis dan nada lagu yang harmonis, serta solo gitar yang megah dan melodius. Sepanjang tahun 1980-an, lagu-lagu jenis itu seolah-olah menjadi hal yang disyaratkan industri musik agar setiap band rock atau heavy metal mendapat tempat di hati publik. Konon, jika ingin dielu-elukan sebagai rockstar, band Anda harus memiliki setidak-tidaknya 1 buah lagu balada andalan. Dengan cara ini, Anda dapat diterima publik pendengar. Setidaknya wajah Anda akan terpampang di MTV atau masuk ke daftar tangga lagu populer selama beberapa waktu.

Ya, banyak pengamat musik menyatakan bahwa lagu balada menunjukkan sisi feminim dalam musik rock atau heavy metal yang direpresentasikan sebagai bagian dari dunia maskulin seperti drum yang terus bergemuruh, distorsi gitar, dan lengkingan vokal yang bertenaga. Karena itu, bagi sebagian orang yang menyebut diri sebagai pencinta rock dan heavy metal sejati, kehadiran lagu-lagu balada itu justru membuat band-band maskulin itu melemah, menjadi kewanita-wanitaan. Namun, sangkaan demikian sebenarnya tidak beralasan. Sejak musik rock menjadi genre musik yang sangat populer di Inggris dan Amerika pada akhir tahun 1960-an, band-band besar seperti Led Zeppelin, Deep Purple, dan  Black Sabbath sudah memainkan sejumlah lagu balada. Stairway to Heaven milik Led Zeppelin, Soldier of Fortune milik Deep Purple, atau Changes milik Black Sabbath adalah bukti yang tidak terbantahkan betapa lagu balada punya kontribusi luar biasa untuk melejitkan nama mereka.

Namun, pada tahun 1980-an itu, lagu balada rock dan heavy metal memang sungguh meraja. Industri musik rock yang dibangun di Amerika Serikat sedang berada di puncak menara gading. Pada saat bersamaan Amerika Serikat memiliki pengaruh yang sangat besar di sejumlah negara di dunia ini. Amerika hadir bukan hanya sebagai negara yang memiliki kekuatan finansial atau kekuatan militer, melainkan juga hegemoni budaya yang luar biasa. Kita tahu bahwa pada saat itu Amerika menjadi kiblat penting dalam pengembangan budaya populer, baik dalam industri film melalui Hollywood atau Disneyland, komik melalui superhero milik DC dan Marvel, atau musik yang diintroduksi perusahaan rekaman seperti Warner Bross, Capitol dan tayangan MTV. Dalam kondisi demikian, Amerika Serikat bukan hanya dianggap sebagai polisi dunia, tetapi juga diperhitungkan sebagai penghibur dunia. Melalui misi budaya populer yang tersebar ke penjuru dunia, negara tersebut sedang menawarkan modernisasi yang mutakhir, serta citra dan imajinasi Amerika sebagai rumah segala bangsa, rumah kebebasan.

Meski demikian, menurut hemat saya, tidak selamanya apa yang ditawarkan sejumlah band rock dan Heavy Metal dari Amerika Serikat itu secara simultan menjadi corong ideologi yang memuntahkan pesan-pesan politik atau gaya hidup yang terselubung dan simbolis. Kerap kali, hal yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa band yang berasal dari Amerika Serikat itu bahkan ikut memberikan kecaman yang begitu tajam terhadap peran sosial dan politik pemerintah, kekejaman aparat negara, rasialisme yang begitu akut, atau fundamentalisme Kristen yang begitu eksklusif di negara yang disebut sebagai barometer demokrasi itu. Band-band beraliran thrash metal seperti Metallica, Megadeth, atau Testament sering berusaha menyingkapkan kesadaran palsu yang ditawarkan lembaga agama atau praktik bernegara dan berbangsa di Amerika Serikat. Karena itu pula, bukanlah tidak mungkin bila  lagu-lagu balada yang ditampilkan band rock dan heavy metal itu juga menjadi semacam kritik yang halus terhadap kondisi masyarakat Amerika Serikat pada tahun-tahun itu.

Salah lagu balada yang menarik perhatian saya adalah lagu yang berjudul One Step from Paradise (1988) yang ditampilkan band Danger Danger dalam album perdana mereka. Sejauh ini, One Step from Paradise dikenang sebagai salah satu lagu balada terbaik yang disukai banyak pendengar di Amerika Serikat pada tahun 1988. Berdasarkan struktur lagunya, One Step from Paradise sebenarnya telah memenuhi standar yang diberikan industri musik rock pada masa itu sebagai lagu balada superhits! Namun, di balik penampilan repetoire-nya, saya sungguh tertarik dengan  lirik yang disampaikan lagu itu.    

We live like strangers, playing for time
Both of us reaching out for something
Hiding our feelings, afraid what we'll find
Someday I know we'll find the answer

It takes a little time
It doesn't really matter
Don't let it slip away
'Cause we're

One step from paradise
So close, but still so far away
One step from paradise
Together, we'll find paradise some day

Lost in the shadows
We search for a light
Hoping the candle
Burns forever

It takes a little time
It doesn't really matter
Don't let it slip away
'Cause we're

One step from paradise
So close, but still so far away
One step from paradise
Together, we'll find paradise some day

Dibandingkan lagu balada lainnya yang menyajikan emosi kerinduan hati yang meluap-luap, One Step from Paradise tampak berbeda. Lagu balada ini sekilas menyajikan persoalan di seputar asmara yang dirajut sepasang kekasih. Akan tetapi, tampaknya terjadi krisis dalam hubungan asmara itu. Masing-masing pihak menjadi orang asing bagi yang lain. Masing-masing pihak mengejar ambisi dan cita-citanya. Komunikasi dari hati ke hati tidak terjadi. Ada jarak di dalam hubungan itu karena masing-masing menyembunyikan apa yang mereka rasakan. Mereka takut bila perasaan mereka yang sesungguhnya terungkap. Meski begitu salah satu dari mereka yakin dan percaya bahwa suatu saat mereka dapat mengatasi hal ini. Suatu saat mereka dapat menemukan jawaban yang sebenarnya. Tinggal satu langkah lebih dekat dengan kebahagiaan yang mereka sebut sebagai sorga, paradise, sebuah ide tentang kebahagiaan. Sayangnya, hal tersebut belum juga dapat terwujud.

Menurut hemat saya, hubungan asmara sebagaimana digambarkan dalam lirik One Step from Paradise itu merupakan konsekuensi dari komunikasi yang dibangun dalam kebekuan hati manusia pada masa modernitas. Hubungan asmara yang telah terjadi di antara mereka ternyata tidak dapat menjadikan mereka sebagai sesama bagi yang lain, melainkan justru sebagai stranger, orang asing.  Percakapan pun dianggap bukan lagi sebagai hal penting yang dapat membuka pintu-pintu hati secara tulus.  Tidak dapat dipungkiri bahwa cinta yang digambarkan dalam lirik lagu itu tidak selalu menjadi kunci yang dapat membuka hati.

Ya, di balik penjelasan di atas, lagu ini sebenarnya sedang memotret kisah sedih tentang manusia modern dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat.  Keterbukaan hati menjadi sesuatu yang mahal dan langka karena komunikasi dari hati ke hati telah ditinggalkan lama. Apakah paham individualisme yang berlaku di dalam masyarakat Amerika menjadi salah satu penyebab terjadinya kisah murung tersebut harus terjadi?  Maaf, saya tidak dapat menjawabnya. Namun, jika paham individualisme itu dimengerti sebagai sumber penyebabnya, wajarlah bila cinta sejati hanya dapat dibayangkan sebagai sorga yang tidak pernah dapat direngkuh. Sorga itu sungguh dekat dengan genggaman tapi sangat jauh untuk digapai. Dan akhirnya cinta sejati tidak pernah hadir nyata, karena hanya selalu dibayangkan dalam pengertian masa depan yang akan diraih. Bukankah masa depan itu bersifat relatif? Pasalnya masa depan sebenarnya tidak pernah datang karena akan selalu digantikan masa kini. Masa depan, some day, hanya diperlukan bagi mereka yang hendak mengobati rasa kecewa atas hari ini.

Lagu One Step from Paradise, disadari atau tidak, telah menyingkapkan semacam kesadaran baru bahwa masyarakat modern sesungguhnya tidak mampu menawarkan komunikasi yang intens dan hangat. Ketidakmampuan itu terjadi karena dalam benak masyarakat modern sejauh ini, orang lain bukan menjadi prioritas utama. Mereka diletakkan jauh di bawah kepentingan-kepentingan ideologi seperti kapitalisme. Dalam kondisi demikian masyarakat modern seolah-olah dilucuti sehingga mengalami depersonalisasi dan reifikasi!
 
Secara pribadi, lagu ini memang menawarkan salah satu cara untuk menghadirkan pengharapan sebagai sebuah metode sekaligus spirit agar kita dapat memandang setiap hari dengan kacamata yang lebih positif dan segar. Namun, apakah pengharapan seperti itu masih dapat berlaku dalam masyarakat modern yang kadang tidak sabar dengan proses? Masihkah berlaku dalam masyarakat yang mementingkan hasil di atas segalanya? Setidaknya lagu ini mengingatkan kita untuk tetap berpikir optimis sekecil apapun ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan rencana, ketika sebuah harapan tidak berjalan sesuai dengan kenyataan. Ya, memang perlu waktu untuk berani berproses, berani membaca misteri kehidupan, kendati apa yang kita rancang seringkali merupakan proyeksi hasrat yang kadang terwujud sebagai kesia-siaan. 

Sumber gambar : fanart.tv

Saturday, 16 May 2015

Korporasi itu Bernama Frustrated Inc!



Pada hari ini masih perlukah kita bertanya tentang kesehatan mental manusia modern? Jika kita melihat pertanyaan itu sebagai refleksi yang penting dan bermakna, mengapa pembangunan rumah sakit jiwa tidak pernah lebih cepat dari pembangunan rumah sakit umum? Di setiap sudut ibukota, rumah sakit umum yang sangat besar didirikan dengan cepat. Sebagian besar rumah sakit umum itu dibangun sebagai gedung-gedung mewah dengan fasilitas paling mutakhir. Sebagian besar rumah sakit umum itu juga menawarkan teknologi paling modern untuk menangani sejumlah penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup masyarakat modern yang semakin tidak sehat. Sebaliknya, sejumlah rumah sakit jiwa tampak menua, temboknya kusam dan terkelupas, mirip seperti kuburan tua tak terawat.  Suasananya sangat lenggang sehingga aroma kematian seolah-olah tercium dari lantai-lantai aula yang retak.

Dalam bukunya yang berjudul Sickening Mind: Brain, Behaviour, Immunity & Disease (1997), Paul Martin, seorang intelektual dari Cambridge University, telah mengingatkan bahwa kesehatan mental adalah sumber dari kesehatan yang sesungguhnya. Jika mental kita mulai tidak sehat, sejumlah penyakit dan virus akan segera menyerang dengan mudah. Rupanya pernyataan Paul Martin itu pun senada dengan keheranan saya terhadap minimnya kehadiran rumah sakit jiwa bagi masyarakat modern. Ia memandang bahwa dunia kedokteran pada saat ini, misalnya, abai dengan stress yang dialami masyarakat modern. Sejauh ini stress belum menjadi problem yang cukup serius dalam diskursus kedokteran. Padahal menurut Martin, stress adalah monster yang sangat mengerikan dalam kehidupan masyarakat modern.

Saya merasa bahwa Paul Martin sungguh mahfum bahwa masyarakat modern sangat dekat dengan kecemasan, ketakutan, stress, dan frustasi. Di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat, pertumbuhan ekonomi yang semakin dahsyat, dan perkembangan sarana komunikasi yang semakin canggih, masyarakat modern justru tidak dapat hidup dengan nyaman. Kecemasan itu menjalari tubuh mereka dari rambut hingga ujung kaki. Ketakutan itu menekan mereka dari pelbagai aspek dan dimensi sehingga mereka hadir sebagai manusia yang tidak percaya diri. Stress dan frustasi telah menjadi makanan sehari-hari. Masyarakat modern tidak hanya takut menghadapi sejumlah perubahan cepat yang terjadi di dalam lingkungannya, tetapi juga takut menghadapi dirinya. Namun, rasa takut itu ditutupi sedemikian rapat dengan topeng-topeng keculasan sehingga budaya ketulusan pun tampak tergerus.

Percayalah! Bagaimanapun, di balik topeng-topeng tersebut tersua kesengsaraan yang kadang tiada dapat terkatakan, tiada dapat terlukiskan. Kesengsaraan itu membisu dan bisa berlangsung sangat lama sampai muncul kesadaran bahwa semua orang layak untuk hidup bahagia. Semua orang memang tidak layak untuk hidup sengsara meski kesengsaraan itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan ini.

Kesadaran demikian diungkapkan secara menarik oleh Soul Asylum dalam lagu yang berjudul Misery dalam album Let Your Dim Light Shine. Lagu yang diluncurkan pada tahun 1995 oleh band yang berasal dari Minneapolis ini  sebenarnya berkaitan dengan kritik terhadap kapitalisme industri musik alternative/modern rock yang dalam perkembangannya justru membabat habis semangat yang mendasari kelahiran genre musik itu. Namun dalam konteks yang berbeda, lagu tersebut ingin menyatakan bahwa kesengsaraan atau penderitaan tidak pernah lepas dari kehidupan manusia modern. Setiap kita memang berusaha keras untuk keluar dari penderitaan. Sayangnya,setiap kita pun dengan sengaja menciptakan dan menghadirkan penderitaan itu. We’ll create the cure, we made the disease! Manusia modern hidup dalam paradoks yang ia ciptakan dan ia harus tangani sendiri. Demikianlah hal itu terus-menerus berlanjut! Manusia modern terjebak di dalam sistem permainan yang ia buat sendiri. Manusia modern hidup dalam rasa frustrasi terus-menerus yang disadari atau tidak telah melembaga di dalam kehidupannya.

Meski dalam konteks yang berbeda kita dapat menemukan makna lain, melalui lagu itu kita juga dapat melihat hubungan yang sangat signifikan antara manusia modern dan gerak kapitalisme mutakhir. Disadari atau tidak, kapitalisme telah menjadikan manusia masuk ke dalam logika be all and end all, bahwa kapitalisme adalah segalanya dan tujuan akhir.  Dengan daya yang begitu kuat, kapitalisme telah melakukan dehumanisasi sehingga eksistensi manusia tidak lagi dapat dikenali dan diakui, tetapi justru hanya dapat dibayangkan sebagai mesin-mesin yang menggerakkan tujuan kapitalisme. Manusia telah terjerat dalam kemajuan teknologi dan peradaban yang ia ciptakan sehingga kehilangan citranya sebagai individu yang bebas. Dalam situasi demikian, tubuh dan mental manusia bukan lagi menjadi miliknya secara otonom. Keduanya pun telah diprogram untuk ikut mensukseskan proyek kapitalisme, bahkan sejak awal kelahirannya di dunia. 

Selamat datang di peradaban kapitalisme! Peradaban itu telah hadir dekat dengan kita, masyarakat modern, sebagai korporasi besar dimana rasa frustasi terus-menerus dihadirkan, dimana kemerdekaan yang pernah kita miliki sebagai individu yang sebenar-benarnya telah dilucuti, dan dimana kebebasan yang pernah dianugerahkan kepada kita justru telah menjadi rantai yang mengikat. Stress dan depresi yang kita alami saat ini adalah semacam penanda bahwa kita telah berada dalam perangkap korporasi itu. Dan celakanya, kita tidak pernah ditunjukkan bagaimana harus mencari jalan keluar. Put me out of my misery, all you suicide kings and you drama queens. Forever after happily, making misery!  

Sumber gambar : www.45picturesleeves.com