Saturday, 9 January 2016

What A Wonderful World, Mencari Dunia yang Indah



Ketika musim kering yang berkepanjangan mendera desa kami, kata bahagia sangat begitu jauh dari kehidupan kami. Dari waktu ke waktu sumber air tanah semakin menipis. Air bersih seringkali hanya muncul dan tercurah dalam mimpi. Sawah dan ladang telah terlanjur menjadi hamparan kosong yang tandus, tanpa tetumbuhan hijau. Wajah-wajah muram pun terlihat di sana-sini. Sungguh, begitu sulit untuk berharap.

Meski begitu, pengharapan masih tersisa di dalam rumah kami. Pengharapan itu berasal dari ayah. Saban pagi, setelah bangun tidur, ia segera menengok dedaunan pohon yang hampir mengering seluruhnya. Dipegang dan disekanya tubuh beberapa daun itu dengan jarinya. Hal demikian dilakukan ayah untuk memastikan apakah ada embun yang tertempel di atas tubuh daun-daun tersebut.

Bagi ayah, embun pagi adalah sebuah optimisme di tengah musim kering. Embun adalah tanda yang terkirim dari sorga untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia dalam kesulitan. Namun, optimisme secemerlang apapun kerap terpuruk sebagai utopia atau lamunan belaka manakala frustasi telah merusak mental. Alhasil, pengharapan yang ditawarkan ayah tidak kami tanggapi secara serius. Kami hanya melihat gagasan itu sebagai cara ayah untuk menghibur dan menguatkan semangat kami yang mulai tenggelam.

Akan tetapi, ia tidak pernah putus asa untuk meyakini pengharapan itu. Seolah-olah pengharapan itu akan hadir. Seolah-olah air yang kami tunggu akan segera tercurah di atas desa kami. Dalam hal ini ayah mirip dengan nabi dalam Kitab Perjanjian Lama sebagai seorang pelihat atas apa yang akan diberikan Tuhan bagi manusia. Akan tetapi, sebagaimana kisah nabi-nabi lainnya, optimisme dan pengharapannya ternyata tidak pernah diterima di wilayahnya sendiri. Ia dicibir dan dianggap sebagai orang yang aneh, dan mungkin gila.

Demikianlah, setiap hari, dedaunan pohon yang telah mengering selalu ditengok, dipegang, dan disekanya. Hingga pada bulan ke-14, ia datang tergopoh-gopoh dan berteriak bahwa dalam dua hari ke depan hujan akan turun. Frekuensi kehadiran embun di atas tubuh dedaunan semakin intens. Menurutnya hal itu menjadi pratanda bahwa hujan akan segera jatuh ke bumi. Dan benarlah! Dua hari kemudian, hujan yang diprediksi ayah, turun deras, menyiram tanah dan hati kami yang kerontang. Selama satu hari penuh, hujan tidak berhenti. Kami bersyukur, tapi kami pun merasa berdosa karena selama masa kering kami tidak memiliki pengharapan dan keyakinan yang teguh seperti ayah. Masa kering yang berkepanjangan telah membutakan dan menutup mata batin kami untuk melihat sekaligus menerima anugerah Tuhan yang sebenarnya hadir di depan mata. Kami menyepelekan makna embun yang begitu kecil dalam kehidupan kami. Kami lupa bahwa kasih karunia Tuhan kerap muncul dalam hal-hal yang kecil.

Arnold J. Toynbee (1889-1975), seorang pakar sejarah dunia dari Inggris, pernah menyatakan bahwa kemajuan peradaban manusia sesungguhnya sangat bergantung kepada usaha yang dilakukan segelintir komunitas yang kecil, bukan kelompok masyarakat besar. Kelompok masyarakat kecil ini disebut Toynbee sebagai Minoritas Kreatif. Mereka hadir sebagai kelompok yang menyelamatkan dan merestorasi peradaban-peradaban besar yang hancur karena persoalan internal. Tentu saja, selain kreatif, mereka juga tampil sebagai kelompok optimis. Tanpa disadari, pada awalnya, apa yang mereka tawarkan dianggap sebagian besar orang sebagai hal yang aneh dan tidak masuk akal. Teknologi atau ilmu pengetahuan yang mereka hasilkan dianggap aneh dan bahkan dikutuk sebagai bid’ah. Padahal apa yang ditawarkan itu merupakan antisipasi di masa depan. Dan benar, ketika krisis terjadi, Minoritas Kreatif inilah yang menopang keruntuhan peradaban-peradaban besar sehingga tidak hancur atau hilang sama sekali.

Pengharapan dan optimisme yang muncul di tengah masa krisis ternyata tidak selalu direspon secara positif. Kadang pengharapan dan optimisme itu hanya menjadi suara di tengah padang gurun. Tidak terdengar. Diabaikan. Gemanya tidak lebih kuat beresonansi dibandingkan neurosis dan frustasi yang diakibatkan krisis. Lagu What A Wonderful World yang diabadikan di Grammy Hall Fame sebagai lagu klasik sepanjang masa pun pernah dicibir banyak orang. Padahal kendati politis, liriknya menampilkan wajah kemanusiaan yang begitu optimis. Lagu yang ditulis oleh Bob Thiele dan George David Weiss itu dirilis pada tahun 1968 ketika kerusuhan rasial merebak dari Newark dan Detroit ke 100 kota lainnya. Kerusuhan rasial yang berpotensi untuk memunculkan perang sipil kedua ini semakin membuat gaduh suasana politik Amerika Serikat yang pada saat bersamaan sedang sibuk untuk melakukan aneksasi kepada Vietnam dan negara sekitarnya yang diduga sebagai sarang komunisme di Asia Tenggara. Karena itulah, banyak pihak menolak untuk membawakan dan merekam lagu itu. Hingga pada akhirnya, lagu itu didendangkan oleh Louis Armstrong.   

"What A Wonderful World"

I see trees of green,
red roses too.
I see them bloom,
for me and you.
And I think to myself,
what a wonderful world.

I see skies of blue,
And clouds of white.
The bright blessed day,
The dark sacred night.
And I think to myself,
What a wonderful world.

The colors of the rainbow,
So pretty in the sky.
Are also on the faces,
Of people going by,
I see friends shaking hands.
Saying, "How do you do?"
They're really saying,
"I love you".

I hear babies cry,
I watch them grow,
They'll learn much more,
Than I'll ever know.
And I think to myself,
What a wonderful world.

Yes, I think to myself,
What a wonderful world.
Oh yeah …

Louis Armstrong adalah pemusik kulit hitam yang cukup disegani. Ia tidak hanya diterima di dalam komunitasnya, tetapi juga dihormati dalam komunitas masyarakat kulit putih. Karena itu, tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa Louis Armstrong merupakan pribadi yang tepat untuk menyampaikan pesan lagu ini. Dengan lagu ini, penyanyi yang sangat piawai memainkan trumpet ini pun seolah-olah menjadi duta perdamaian bagi dua kelompok ras yang saling bertentangan. Kendati begitu, pada awal kemunculannya, What A Wonderful World ternyata tidak dipromosikan secara gencar di Amerika Serikat.  Konon, pimpinan ABC Records tidak menyukai pesan lagu ini sehingga tidak mendukung pengembangannya. Akibatnya, lagu ini pun terpuruk di pasaran dan tidak pernah menjadi hit di Amerika Serikat. Namun, kondisi yang sebaliknya justru terjadi di Inggris. Lagu ini muncul sebagai singel terlaris tahun 1968. Hal yang paradoks pun terjadi. What A Wonderful World baru dapat diterima sebagian besar masyarakat Amerika setelah menjadi fenomena kultural di negeri orang.

Lagu yang telah menjadi klasik ini mulai dibicarakan kembali pada tahun 1987 setelah hadir dalam film Good Morning Vietnam yang diperankan oleh aktor legendaris, Robin Williams. Menariknya, lagu ini ditampilkan secara ironis. Ia menjadi pengiring adegan kekejaman perang di Vietnam. Gemanya beresonansi di antara ribuan ledakan bom-bom napalm yang dijatuhkan pesawat bomber Amerika di tengah pematang sawah. Lagu ini tidak lagi ditampilkan sebagai sebuah bentuk pengharapan akan dunia yang lebih indah, tetapi justru ditampilkan sebagai sebuah mimpi buruk yang panjang bagi kemanusiaan!

Tidaklah berlebihan bila pesan lagu ini pun bernada utopis pada masa kini. Dari waktu ke waktu, secara deskriptif, sosok dunia ternyata tidak lebih indah. Peperangan demi peperangan, kekerasan demi kekerasan, atau penghancuran demi penghancuran telah menjadi ritual yang tidak dapat dihentikan. Krisis Timur Tengah, eskalasi terorisme yang semakin meningkat, atau perdamaian dunia yang mulai berada di dalam krisis menjadi pusat keprihatinan bersama. Dari waktu ke waktu, dalam dunia ini pun tampak begitu sulit untuk menemukan pohon dengan daun yang hijau, bunga mawar yang semerbak,  langit yang biru,  senyum yang tersimpul di setiap wajah manusia, jabat tangan yang erat, cinta yang tulus, atau tangis kehidupan para bayi. Budaya kehidupan telah disuksesi secara telak oleh budaya kematian. Peradaban manusia sedikit demi sedikit mulai goyah karena dihancurkan oleh manusia sendiri!  

Mungkinkah lagu What A Wonderful World serupa dengan embun pagi yang selalu diamati ayah dalam masa kering yang berkepanjangan? Mungkinkah lagu itu menjadi semacam petunjuk yang bersifat apokaliptis bahwa pada suatu saat nanti wajah dunia akan menjadi lebih baik, lebih indah?  Ah, berapa lama, jika demikian? Jujur, kondisi dunia yang begitu memprihatinkan secara tidak langsung membuat kita jatuh pada kecemasan, rasa frustasi, dan mungkin neurosis. Akibatnya, kita tidak dapat memahami segala makna yang tersirat dalam sejumlah teks secara jernih. Kita bahkan tidak dapat memahaminya sebagai sebuah kesadaran yang sesungguhnya dapat membimbing kita untuk melihat dunia ini sebagai entitas yang diciptakan Allah dalam kebaikan-Nya. Semoga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita dapat dengan rendah hati belajar kembali untuk berpengharapan dan bersikap optimis sehingga kita bisa berujar dengan hati yang sungguh lapang sebagaimana dilakukan Louis Armstrong di akhir lagu itu. “Oh yeah…

Sumber gambar : www.amazon.com   


No comments:

Post a Comment