Ketika musim kering yang berkepanjangan mendera
desa kami, kata bahagia sangat begitu jauh dari kehidupan kami. Dari waktu ke
waktu sumber air tanah semakin menipis. Air bersih seringkali hanya muncul dan
tercurah dalam mimpi. Sawah dan ladang telah terlanjur menjadi hamparan kosong
yang tandus, tanpa tetumbuhan hijau. Wajah-wajah muram pun terlihat di
sana-sini. Sungguh, begitu sulit untuk berharap.
Meski begitu, pengharapan masih tersisa di dalam rumah
kami. Pengharapan itu berasal dari ayah. Saban pagi, setelah bangun tidur, ia
segera menengok dedaunan pohon yang hampir mengering seluruhnya. Dipegang dan
disekanya tubuh beberapa daun itu dengan jarinya. Hal demikian dilakukan ayah
untuk memastikan apakah ada embun yang tertempel di atas tubuh daun-daun
tersebut.
Bagi ayah, embun pagi adalah sebuah optimisme di
tengah musim kering. Embun adalah tanda yang terkirim dari sorga untuk
menunjukkan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia dalam kesulitan.
Namun, optimisme secemerlang apapun kerap terpuruk sebagai utopia atau lamunan
belaka manakala frustasi telah merusak mental. Alhasil, pengharapan yang
ditawarkan ayah tidak kami tanggapi secara serius. Kami hanya melihat gagasan
itu sebagai cara ayah untuk menghibur dan menguatkan semangat kami yang mulai
tenggelam.
Akan tetapi, ia tidak pernah putus asa untuk meyakini
pengharapan itu. Seolah-olah pengharapan itu akan hadir. Seolah-olah air yang
kami tunggu akan segera tercurah di atas desa kami. Dalam hal ini ayah mirip
dengan nabi dalam Kitab Perjanjian Lama sebagai seorang pelihat atas apa yang
akan diberikan Tuhan bagi manusia. Akan tetapi, sebagaimana kisah nabi-nabi lainnya,
optimisme dan pengharapannya ternyata tidak pernah diterima di wilayahnya
sendiri. Ia dicibir dan dianggap sebagai orang yang aneh, dan mungkin gila.
Demikianlah, setiap hari, dedaunan pohon yang
telah mengering selalu ditengok, dipegang, dan disekanya. Hingga pada bulan
ke-14, ia datang tergopoh-gopoh dan berteriak bahwa dalam dua hari ke depan
hujan akan turun. Frekuensi kehadiran embun di atas tubuh dedaunan semakin
intens. Menurutnya hal itu menjadi pratanda bahwa hujan akan segera jatuh ke bumi. Dan benarlah! Dua
hari kemudian, hujan yang diprediksi ayah, turun deras, menyiram tanah dan hati
kami yang kerontang. Selama satu hari penuh, hujan tidak berhenti. Kami
bersyukur, tapi kami pun merasa berdosa karena selama masa kering kami tidak
memiliki pengharapan dan keyakinan yang teguh seperti ayah. Masa kering yang
berkepanjangan telah membutakan dan menutup mata batin kami untuk melihat
sekaligus menerima anugerah Tuhan yang sebenarnya hadir di depan mata. Kami
menyepelekan makna embun yang begitu kecil dalam kehidupan kami. Kami lupa
bahwa kasih karunia Tuhan kerap muncul dalam hal-hal yang kecil.
Arnold J. Toynbee (1889-1975), seorang pakar
sejarah dunia dari Inggris, pernah menyatakan bahwa kemajuan peradaban manusia sesungguhnya
sangat bergantung kepada usaha yang dilakukan segelintir komunitas yang kecil,
bukan kelompok masyarakat besar. Kelompok masyarakat kecil ini disebut Toynbee
sebagai Minoritas Kreatif. Mereka hadir sebagai kelompok yang menyelamatkan dan
merestorasi peradaban-peradaban besar yang hancur karena persoalan internal.
Tentu saja, selain kreatif, mereka juga tampil sebagai kelompok optimis. Tanpa
disadari, pada awalnya, apa yang mereka tawarkan dianggap sebagian besar orang
sebagai hal yang aneh dan tidak masuk akal. Teknologi atau ilmu pengetahuan
yang mereka hasilkan dianggap aneh dan bahkan dikutuk sebagai bid’ah. Padahal
apa yang ditawarkan itu merupakan antisipasi di masa depan. Dan benar, ketika
krisis terjadi, Minoritas Kreatif inilah yang menopang keruntuhan
peradaban-peradaban besar sehingga tidak hancur atau hilang sama sekali.
Pengharapan dan optimisme yang muncul di tengah
masa krisis ternyata tidak selalu direspon secara positif. Kadang pengharapan
dan optimisme itu hanya menjadi suara di tengah padang gurun. Tidak terdengar.
Diabaikan. Gemanya tidak lebih kuat beresonansi dibandingkan neurosis dan frustasi
yang diakibatkan krisis. Lagu What A
Wonderful World yang diabadikan di Grammy Hall Fame sebagai lagu klasik
sepanjang masa pun pernah dicibir banyak orang. Padahal kendati politis,
liriknya menampilkan wajah kemanusiaan yang begitu optimis. Lagu yang ditulis oleh Bob Thiele dan George David Weiss itu dirilis pada
tahun 1968 ketika kerusuhan rasial merebak dari Newark dan Detroit ke 100 kota
lainnya. Kerusuhan rasial yang berpotensi untuk memunculkan perang sipil kedua
ini semakin membuat gaduh suasana politik Amerika Serikat yang pada saat
bersamaan sedang sibuk untuk melakukan aneksasi kepada Vietnam dan negara
sekitarnya yang diduga sebagai sarang komunisme di Asia Tenggara. Karena
itulah, banyak pihak menolak untuk membawakan dan merekam lagu itu. Hingga pada
akhirnya, lagu itu didendangkan
oleh Louis Armstrong.
"What A Wonderful World"
I see trees of green,
red roses too.
I see them bloom,
for me and you.
And I think to myself,
what a wonderful world.
I see skies of blue,
And clouds of white.
The bright blessed day,
The dark sacred night.
And I think to myself,
What a wonderful world.
The colors of the rainbow,
So pretty in the sky.
Are also on the faces,
Of people going by,
I see friends shaking hands.
Saying, "How do you do?"
They're really saying,
"I love you".
I hear babies cry,
I watch them grow,
They'll learn much more,
Than I'll ever know.
And I think to myself,
What a wonderful world.
Yes, I think to myself,
What a wonderful world.
red roses too.
I see them bloom,
for me and you.
And I think to myself,
what a wonderful world.
I see skies of blue,
And clouds of white.
The bright blessed day,
The dark sacred night.
And I think to myself,
What a wonderful world.
The colors of the rainbow,
So pretty in the sky.
Are also on the faces,
Of people going by,
I see friends shaking hands.
Saying, "How do you do?"
They're really saying,
"I love you".
I hear babies cry,
I watch them grow,
They'll learn much more,
Than I'll ever know.
And I think to myself,
What a wonderful world.
Yes, I think to myself,
What a wonderful world.
Oh yeah …
Louis Armstrong adalah
pemusik kulit hitam yang cukup disegani. Ia tidak hanya diterima di dalam
komunitasnya, tetapi juga dihormati dalam komunitas masyarakat kulit putih.
Karena itu, tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa Louis Armstrong merupakan pribadi
yang tepat untuk menyampaikan pesan lagu ini. Dengan lagu ini, penyanyi yang
sangat piawai memainkan trumpet ini pun seolah-olah menjadi duta perdamaian bagi
dua kelompok ras yang saling bertentangan. Kendati begitu, pada awal
kemunculannya, What A Wonderful World ternyata tidak dipromosikan secara gencar di Amerika
Serikat. Konon, pimpinan ABC Records tidak menyukai pesan
lagu ini sehingga tidak mendukung pengembangannya. Akibatnya, lagu ini pun terpuruk di pasaran dan tidak pernah menjadi hit di Amerika Serikat. Namun, kondisi yang sebaliknya justru terjadi di
Inggris. Lagu ini muncul sebagai singel terlaris tahun 1968. Hal yang paradoks pun
terjadi. What A Wonderful World baru
dapat diterima sebagian besar masyarakat Amerika setelah menjadi fenomena
kultural di negeri orang.
Lagu yang telah
menjadi klasik ini mulai dibicarakan kembali pada tahun 1987 setelah hadir
dalam film Good Morning Vietnam yang
diperankan oleh aktor legendaris, Robin Williams. Menariknya, lagu ini
ditampilkan secara ironis. Ia menjadi pengiring adegan kekejaman perang di
Vietnam. Gemanya beresonansi di antara ribuan ledakan bom-bom napalm yang
dijatuhkan pesawat bomber Amerika di tengah pematang sawah. Lagu ini tidak lagi
ditampilkan sebagai sebuah bentuk pengharapan akan dunia yang lebih indah,
tetapi justru ditampilkan sebagai sebuah mimpi buruk yang panjang bagi
kemanusiaan!
Tidaklah berlebihan
bila pesan lagu ini pun bernada utopis pada masa kini. Dari waktu ke waktu,
secara deskriptif, sosok dunia ternyata tidak lebih indah. Peperangan demi
peperangan, kekerasan demi kekerasan, atau penghancuran demi penghancuran telah
menjadi ritual yang tidak dapat dihentikan. Krisis Timur Tengah, eskalasi
terorisme yang semakin meningkat, atau perdamaian dunia yang mulai berada di
dalam krisis menjadi pusat keprihatinan bersama. Dari waktu ke waktu, dalam
dunia ini pun tampak begitu sulit untuk menemukan pohon dengan daun yang hijau,
bunga mawar yang semerbak, langit yang biru, senyum yang tersimpul di setiap wajah manusia,
jabat tangan yang erat, cinta yang tulus, atau tangis kehidupan para bayi.
Budaya kehidupan telah disuksesi secara telak oleh budaya kematian. Peradaban
manusia sedikit demi sedikit mulai goyah karena dihancurkan oleh manusia
sendiri!
Mungkinkah lagu What A Wonderful World serupa dengan
embun pagi yang selalu diamati ayah dalam masa kering yang berkepanjangan? Mungkinkah
lagu itu menjadi semacam petunjuk yang bersifat apokaliptis bahwa pada suatu
saat nanti wajah dunia akan menjadi lebih baik, lebih indah? Ah, berapa lama, jika demikian? Jujur, kondisi
dunia yang begitu memprihatinkan secara tidak langsung membuat kita jatuh pada
kecemasan, rasa frustasi, dan mungkin neurosis. Akibatnya, kita tidak dapat
memahami segala makna yang tersirat dalam sejumlah teks secara jernih. Kita bahkan
tidak dapat memahaminya sebagai sebuah kesadaran yang sesungguhnya dapat membimbing
kita untuk melihat dunia ini sebagai entitas yang diciptakan Allah dalam
kebaikan-Nya. Semoga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita dapat dengan
rendah hati belajar kembali untuk berpengharapan dan bersikap optimis sehingga
kita bisa berujar dengan hati yang sungguh lapang sebagaimana dilakukan Louis
Armstrong di akhir lagu itu. “Oh yeah…”
Sumber gambar : www.amazon.com
No comments:
Post a Comment