Petang hari selepas maghrib adalah saat yang
paling saya tunggu. Di ruang tengah yang temboknya mulai pupus, kami semua
berkumpul. Di sana kami berbagi cerita
tentang pengalaman yang telah kami lewati di sekolah atau di kantor. Biasanya
ibu selalu menjadi orang pertama yang memulai untuk bercerita. Beliau bercerita
tentang kondisi harian di sekolah tempat beliau mengajar, murid-murid TK yang
menggemaskan, atau pencopetan yang terjadi di bus yang beliau naiki.
Ibu adalah seorang pencerita ulung. Cerita yang
beliau sampaikan memang tidak begitu detail. Kadang terasa peristiwa yang
diceritakan tidak urut dan melompat-lompat. Namun, di balik itu, beliau selalu
menawarkan ruang yang begitu lapang bagi kami untuk berimajinasi. Kami diajak
untuk menggambarkan sifat para pelaku cerita, kondisi latar, suasana yang
disajikan, dan kejadian dengan cara masing-masing. Kami selalu merasa senang
setelah mendengarkannya.
Berbeda dengan ibu, ayah adalah seorang pendengar
yang baik. Ia selalu mendengarkan dengan sangat takzim apa yang ibu sampaikan. Meski
posisi duduknya begitu santai, mata ayah tidak pernah berkedip sekalipun. Beliau
justru selalu mengingatkan kami untuk bersikap serius ketika mendengarkan
cerita dari siapapun. Namun, setiap kali ibu menyelesaikan sebuah cerita, ayah
selalu merespon dengan sebuah pernyataan, “Begitulah hidup kita!” Respon yang
sangat dingin, memang!
Celakanya, selama bertahun-tahun, pernyataan itu
pun menjadi semacam kredo dalam keluarga kami manakala kami merespon cerita
atau bahkan berita dari televisi dan radio. Ketika Suharto tumbang dan gerakan
reformasi unjuk gigi, kami hanya bisa mengatakan, “Begitulah hidup kita!”
Ketika seorang eksentrik membakar sebuah pom bensin di Yogyakarta, kami hanya
bisa menyatakan, “Begitulah hidup kita!” Ketika Gus Dur dilengserkan para
spekulan politik di Senayan, kami hanya bisa berujar, “Begitulah hidup kita!”
Dan ketika harga barang semakin naik dan mencekik ekonomi keluarga sekarang
ini, saya akhirnya bisa juga mengatakan kepada ketiga anak saya, “Begitulah
hidup kita!”
Awalnya, saya belum dapat memahami mengapa ayah
selalu mengatakan hal yang sama.
Awalnya, saya merasa bahwa pernyataan itu merupakan representasi wawasan
budaya Jawa yang sungguh dipahami ayah. Pernyataan itu menjadi semacam sikap
antikonflik terhadap perubahan. Mengatakan “Begitulah hidup kita!” merupakan
sikap adaptif agar keharmonisan dan keseimbangan hidup dapat terjaga. Namun,
setelah menjadi seorang kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anak saya, saya
baru mulai memahami makna di balik kredo yang kami ucapkan pada masa lalu.
Setelah saya renungkan lebih dalam, pernyataan
itu bukanlah sekadar isyarat sikap pasrah diri secara pasif. Meski tampak
sebagai sebuah ketidakseriusan, pernyataan itu justru merupakan sebuah
perlawanan terhadap arus zaman yang memang sungguh tak terbendung. Bukankah
peristiwa yang terjadi dalam hidup kita memang kerap tidak dapat kita
antisipasi? Rencana yang telah kita persiapkan dengan sangat matang pun dapat
berantakan tanpa terduga. Di sanalah kadang timbul rasa putus asa dan frustasi.
Kita merasa segala apa yang kita upayakan sia-sia. Untuk itu, segala cerita
atau peristiwa yang kita alami hanyalah akan bermakna bila kita melihatnya
sebagai realitas yang perlu disadari. Menyatakan bahwa segala peristiwa
merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari secara tidak langsung
menghindarkan kita dari neurosis, semacam sakit jiwa. Karena itu, pernyataan
tersebut dapat disebut pula sebagai sebuah antisipasi agar kesadaran kita tetap
berdiri teguh dan tidak tergoyahkan.
Rupanya hal serupa saya temukan pula dalam lirik
lagu That’s Life yang dilantunkan Frank Sinatra sekitar tahun
1966. Penyanyi yang digelari oleh
seorang kritikus musik Amerika, Robert Christgau, sebagai The
Greatest Singer of the 20th Century ini dapat dengan apik
membawakan lirik lagu That’s Life
sebagai sebuah narasi yang ditujukan kepada manusia modern yang begitu mudah panic
dan cemas. Dengan begitu enteng, Sinatra menyitir pendapat masyarakat bahwa
hidup ini persis seperti prinsip cakra
manggilingan. Kadang Anda berada di atas. Kadang Anda berada di bawah. Anda
dapat hadir sebagai pengusaha sukses pada hari ini. Namun, esok hari, siapa
yang dapat memastikan bahwa usaha Anda tetap berjalan seperti biasanya?
That's life (that's life), that's
what all the people say
You're ridin' high in April, shot down in May
But I know I'm gonna change that tune
When I'm back on top, back on top in June
I said that's life (that's life), and as funny as it may seem
Some people get their kicks stompin' on a dream
But I don't let it, let it get me down
'cause this fine old world, it keeps spinnin' around
I've been a puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king
I've been up and down and over and out and I know one thing
Each time I find myself flat on my face
I pick myself up and get back in the race
That's life (that's life), I tell you I can't deny it
I thought of quitting, baby, but my heart just ain't gonna buy it
And if I didn't think it was worth one single try
I'd jump right on a big bird and then I'd fly
I've been a puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king
I've been up and down and over and out and I know one thing
Each time I find myself layin' flat on my face
I just pick myself up and get back in the race
That's life (that's life), that's life and I can't deny it
Many times I thought of cuttin' out but my heart won't buy it
But if there's nothin' shakin' come this here July
I'm gonna roll myself up in a big ball a-and die
My, my!
You're ridin' high in April, shot down in May
But I know I'm gonna change that tune
When I'm back on top, back on top in June
I said that's life (that's life), and as funny as it may seem
Some people get their kicks stompin' on a dream
But I don't let it, let it get me down
'cause this fine old world, it keeps spinnin' around
I've been a puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king
I've been up and down and over and out and I know one thing
Each time I find myself flat on my face
I pick myself up and get back in the race
That's life (that's life), I tell you I can't deny it
I thought of quitting, baby, but my heart just ain't gonna buy it
And if I didn't think it was worth one single try
I'd jump right on a big bird and then I'd fly
I've been a puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king
I've been up and down and over and out and I know one thing
Each time I find myself layin' flat on my face
I just pick myself up and get back in the race
That's life (that's life), that's life and I can't deny it
Many times I thought of cuttin' out but my heart won't buy it
But if there's nothin' shakin' come this here July
I'm gonna roll myself up in a big ball a-and die
My, my!
Bagi
Sinatra, prinsip cakra manggilingan rupanya
perlu dikritisi. Dalam lirik lagu itu, jika dicermati, Sinatra justru ingin
mematahkan pernyataan “Begitulah hidup kita!” dengan sebuah optimisme yang
besar. Ia ingin menunjukkan kepada dunia
bahwa ia adalah pribadi yang dapat segera bangkit dan maju kembali setelah
jatuh dan terpuruk. Tidak ada celah baginya untuk bersedih atau putus asa. Menurutnya,
dunia ini berputar seperti adanya sejak dulu sampai hari ini sehingga tidak ada
alasan apapun untuk menyerah kalah! But I don't let it, let it get me down cause this fine old world, it keeps spinnin' around. Terus berusaha untuk menaklukkan
nasib!
Lalu mengapa Sinatra begitu mantab
dengan keyakinannya itu? Jawabannya singkat! Bukankah ia seorang aktor, yang
hidup dari satu layar ke layar lain? Perjalanan hidupnya kerap diisi dengan
kisah-kisah petualangan dan romantika fantastis! Kehidupan panggung telah
membawanya berperan sebagai tokoh yang beragam, mulai dari boneka, pengemis,
bajak laut, penyair, pion, sampai raja. I've been a
puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king.I've been up and down and over and out and I know one
thing. Each time I
find myself layin' flat on my face I just pick myself up and get back
in the race!
Sebagai aktor, Sinatra mungkin
dapat mati berkali-kali. Dan dengan cepat ia dapat bangkit dan hidup kembali. Namun,
itulah kehidupan panggung atau layar! Siapapun yang berada di sana memiliki
lebih dari 9 nyawa. Kondisi demikian jelas berbeda dengan kondisi hidup
sehari-hari! Dalam realitas, setiap orang harus bekerja keras agar dapat
bertahan hidup. Orang yang malas tidak akan pernah menjadi pengusaha yang
sukses. Dalam realitas, kesalahan kadang tidak dapat ditoleransi. Tidak ada
pengulangan. Tidak ada belas kasih, kadangkala. Dalam konteks
ini, saya pun mulai mempertanyakan optimisme
yang Sinatra suarakan dalam lirik lagu That’s
Life. Jika disandingkan dengan realitas sehari-hari, optimisme Sinatra
hanya menjadi eskapisme dari kenyataan yang dihadapi.
Meski begitu, saya dapat memahami bahwa lirik lagu yang dinyanyikan Sinatra pun hanya merupakan sebuah proyeksi terbalik atas kehidupan sehari-hari yang sungguh mengerikan. Lirik lagu yang dinyanyikan Sinatra lebih tepat disebut sebagai sebuah katarsis atas kompleksitas dan ambiguitas yang dihidupi masyarakat modern. Sebagai katarsis, lirik lagu That’s Life mampu memberikan penghiburan dan pengharapan kepada manusia modern bahwa segala badai kehidupan bagaimanapun akan berlalu. Selama hidup, manusia selalu mencoba untuk menaklukkan badai itu. Namun, toh jika badai itu tidak juga berlalu, sebagaimana dikatakan Sinatra secara parodis, kepasrahan untuk menggelinding dan mengikuti arus zaman tetap menjadi satu-satunya pilihan rasional yang dapat diambil! But if there's nothin' shakin' come this here July. I'm gonna roll myself up in a big ball a-and die. Terkadang kita perlu menyadari bahwa di dunia ini ada begitu banyak hal yang tidak dapat dihindari. Juga ada begitu banyak hal yang tidak dapat dihentikan. Kita hanya bisa berjalan, mengikuti rambu-rambu kehidupan dan menelusuri jalan ini dengan lebih baik. Begitulah hidup kita, tuan Sinatra! Mau tidak mau, suka tidak suka!
Sumber gambar : kickkicksnare.com