Tidak selamanya seni pop berbicara tentang perilaku hedonis yang ditunjukkan masyarakat modern. Tidak selamanya pula seni pop menyerahkan diri untuk melayani impian-impian masyarakat modern yang absurd. Namun, ada saatnya seni pop terpekur dalam kontemplasi khusuk untuk merenungi dunia ini. Ada saatnya pula seni pop bahkan terlibat untuk menyapa orang-orang yang tersingkir dalam peradaban masyarakat modern.
Perhatian seni pop terhadap masalah Lebenswelt, dunia tempat kita hidup
sehari-hari, tentu saja bukanlah hal yang baru. Kendati tidak begitu banyak,
perhatian yang diberikan seni pop itu selalu menohok kesadaran kita. Dalam konteks ini, seni pop dianggap efektif
untuk menjadi media advokasi bagi situasi kemanusiaan masyarakat modern. Dalam kancah musik, misalnya,
lagu-lagu John Lennon pasca Beatles, dianggap berpengaruh terhadap sosialisasi
gerakan antiperang Vietnam di Amerika.
Hal yang sama pun ditemukan pada Bono dan U2 yang dikenal sebagai corong
gigih yang menyuarakan perdamaian dalam konflik panjang di Irlandia Utara.
Selain masalah peperangan, seni pop juga menaruh perhatian terhadap pelbagai
isu sosial yang kadang terlihat kontroversial. Salah satu isu yang secara diam-diam
diangkat seni pop adalah kehidupan para pelacur yang tersingkir dari peradaban
masyarakat modern.
Meski dianggap sebagai hal yang menjijikkan, praktik pelacuran itu tetap dibiarkan
tumbuh bagai rumput liar. Bahkan, ibarat jamur di musim hujan, praktik pelacuran dari abad ke abad
semakin marak. Dalam sejarah manusia Indonesia, misalnya, menurut kajian yang ditulis
oleh Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, dan Gavin Jones, dalam Prostitution in Indonesia Its History and
Evolution (1999), praktik pelacuran telah berkembang sejak abad ke-18
ketika kerajaan-kerajaan Jawa menjadikan para wanita sebagai obyek komodifikasi
dalam sistem feodal.[1]
Semua wanita yang tinggal di wilayah otoritas kerajaan menjadi milik raja.
Sewaktu-waktu di antara mereka akan ada yang terpilih sebagai selir. Semakin
banyak jumlah selir yang dimiliki seorang raja, maka semakin berkuasalah dia.[2]
Praktik pelacuran di Indonesia semakin
pesat tatkala industri seks berkembang dengan sangat luar biasa selama periode
penjajahan kolonial Belanda. Terence Hull dan kawan-kawan menyatakan bahwa
sistem perbudakan dan pergundikan tradisional yang pernah berlaku di dalam
kerajaan pun disesuaikan dengan kebutuhan dan kebiasaan komunitas Eropa di
tanah jajahan. Dalam kondisi demikian, praktik pelacuran semakin meluas dan
tidak tertahankan. Apalagi perkawinan antarras sungguh dilarang dan tidak
dianjurkan pemerintah kolonial, sedangkan pergundikan antarras sangat didukung.
Maka lokalisasi pun menjadi semacam lembaga pelampiasan nafsu di luar
pernikahan yang disepakati pemerintah kolonial.
Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik
pelacuran yang begitu masif itu menimbulkan ekses yang sangat serius. Salah
satunya adalah terjadinya penyebaran penyakit kelamin. Melalui penelitian yang
dikerjakan dengan sangat apik oleh Gani A. Jaelani, seorang Dosen Jurusan
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, penyakit kelamin menjadi
salah satu persoalan serius yang dihadapi pemerintah kolonial sejak tahun 1812
di Pulau Jawa.[3]
Karena itu, pada tahun 1852, pemerintah kolonial pun memberlakukan peraturan
tentang pelacuran. Celakanya, peraturan ini bersifat sangat rasialis karena
hanya ditujukan untuk menjaga laki-laki Eropa, terutama serdadu, sedangkan para
wanita yang berprofesi sebagai pelacur dianggap sebagai sumber penyakit
sehingga perlu diperiksa dan diawasi kesehatannya oleh para dokter yang
ditugaskan pemerintah Hindia Belanda.[4]
Betapa ironis!
Bagi para seniman, dunia pelacuran sebenarnya
telah menjadi lokus penggalian makna kemanusiaan yang cukup mendalam. Beberapa
puluh tahun lalu, WS Rendra pernah menulis sebuah balada yang fenomenal, Nyanyian Angsa. Balada ini menceritakan
tentang kisah perjalanan seorang pelacur yang bernama Maria Zaitun. Menurut St.
Sunardi, salah seorang pengamat budaya yang pernah memeriksa balada itu secara
kritis, Maria Zaitun adalah
personifikasi korban masyarakat modern. “Maria
Zaitun kehilangan segala-galanya untuk hidup dalam masyarakat modern. Sebagai
pelacur, dia kehilangan kecantikannya untuk memikat para pelanggannya; sebagai
seorang pekerja seks, dia tidak lagi dapat menghasilkan uang untuk majikannya;
sebagai orang sakit, dia tidak mempunyai duit untuk membayar dokter; sebagai
seorang beriman, dosanya terlalu memalukan untuk didengar pastor di ruang
pengakuan.”[5]
Dalam balada itu, Rendra tidak hanya mengajak pembaca untuk melihat persoalan
ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat modern. Namun, ia juga
menunjukkan secara empatik pengalaman eksistensial yang dialami para pelacur
sebagai golongan yang disingkirkan masyarakat.
Bagi Rendra, pelacur seperti Maria
Zaitun adalah korban dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat
modern. Maria Zaitun adalah gambaran
pribadi yang terhempas oleh tuntutan masyarakat modern akan standard kehidupan
yang layak, akan standard kebahagiaan yang terukur secara pragmatis. Dalam
konteks inilah Rendra menunjukkan keberpihakannya, tanpa harus menjadi
hipokrit. Baginya jelas bahwa perhatian tulus harus diberikan kepada mereka
yang dianggap publik sebagai sampah masyarakat. Nyanyian Angsa tidak hanya tampil sebagai sebuah kritik terhadap
modernisasi, tetapi juga hadir sebagai teks kemanusiaan. Kendati demikian,
Rendra tidaklah seorang diri.
Pada pertengahan tahun 1970-an,
Titiek Puspa menggebrak sakralitas seni pop sebagai seni yang melayani
keinginan kapitalisme hiburan. Biduanita asal Temanggung ini melantunkan sebuah
lagu yang berjudul Kupu-kupu Malam.
Lirik lagu ini tidak hanya memiliki kekuatan puitika, tetapi juga dapat
menyentuh sanubari pendengarnya.
Ada
yang benci dirinya
Ada
yang butuh dirinya
Ada
yang berlutut mencintanya
Ada
pula yang kejam menyiksa dirinya
Ini
hidup wanita si kupu-kupu malam
Bekerja
bertaruh seluruh jiwa raga
Bibir
senyum kata halus merayu memanja
Kepada
setiap mereka yang datang
Dosakah
yang dia kerjakan
Sucikah
mereka yang datang
Kadang
dia tersenyum dalam tangis
Kadang
dia menangis di dalam senyuman
Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang
dia tahu Tuhan penyayang umatnya
Oh
apa yang terjadi, terjadilah
Yang
dia tahu hanyalah menyambung nyawa
Oh
apa yang terjadi, terjadilah
Yang
dia tahu Tuhan penyayang umatnya
Oh
apa yang terjadi, terjadilah
Yang
dia tahu hanyalah menyambung nyawa
Alih-alih berbeda dengan tanggapan negatif terhadap
para pelaku pelacuran, Titiek Puspa justru menunjukkan empati yang begitu besar terhadap
mereka. Tanggapan yang bersahabat ini
tentu saja tidak dapat diartikan bahwa sebagai seorang seniwati, Titiek Puspa,
mendukung praktik pelacuran. Sebaliknya, jika dipahami secara mendalam, dapat
terlihat bahwa lirik lagunya tampak begitu memihak penderitaan yang dialami
para pelacur. Dalam hal ini, ia memang tidak sedang memberikan
pengajaran moral agar mereka dapat bertobat dan berpaling dari pekerjaan yang
mereka jalani. Justru melalui lirik lagu itu ia sedang memberikan ruang kepada
masyarakat modern yang mengaku diri suci dan tidak bercela untuk berefleksi
sejenak, untuk memberikan perhatian, compassion
kepada para pelacur itu.
Menurut saya, lirik lagu ini berhasil menjebol
kesadaran semu yang terlanjur tertanam dalam hati dan pikiran manusia modern, terutama mengenai
prinsip untung dan rugi. Bagaimana mungkin, sebagai manusia modern, kita harus
memberikan perhatian, pemahaman, dan kesabaran terhadap mereka yang kita
singkirkan secara sistematis? Apa
untungnya? Bukankah memberikan perhatian kepada mereka yang dianggap sebagai
sampah masyarakat adalah sebuah kesalahan, sebuah kesia-siaan? Kendati begitu,
rasa empati dan belas kasihan terlanjur menggerakkan Titiek Puspa untuk mengangkat
kondisi yang sesungguhnya dialami para pelacur dalam seni musik popular. Pesannya
begitu jelas, menjadi penjaja seks tidak pernah merupakan sebuah pilihan.
Pekerjaan ini hanyalah sebuah respon instingtif yang terpaksa dilakukan untuk
menghidupi diri sebagai bagian dari masyarakat modern.
Serupa dengan di Indonesia, pelacuran pun merupakan
sebuah kisah kemanusiaan yang begitu
tragis dan panjang di sejumlah negara
Eropa seperti Inggris pada masa Victorian Age atau Perancis sejak Revolusi
Perancis. Meski dihujat dan diharamkan, komunitas para pelacur justru bertumbuh
subur. Mereka tidak hanya ditemukan di ruang-ruang gelap dan tersembunyi,
melainkan pula di pelbagai ruang publik secara bebas seperti di mall, di
stasiun, atau di depan lampu merah.
Perhatian yang begitu empatik sebagaimana terdapat
dalam lirik Kupu-kupu Malam itu bisa
kita jumpai pula di dalam lirik lagu Roxanne
yang dilantunkan The Police, sebuah band asal Inggris, pada akhir tahun 1970-an.
Dalam lirik lagu itu, Si Aku jatuh cinta dengan Roxanne, seorang pelacur, yang
kerap menawarkan dirinya kepada setiap laki-laki di jalanan. Si Aku meminta
agar Roxanne, pelacur itu, tidak perlu lagi untuk berdandan atau menjual
tubuhnya. Si Aku sungguh sangat mencintai Roxanne sejak awal mereka
bertemu.
Roxanne
You don't have to put on the red light
Those days are over
You don't have to sell your body to the night
Roxanne
You don't have to wear that dress tonight
Walk the streets for money
You don't care if it's wrong or if it's right
Roxanne
You don't have to put on the red light
Roxanne
You don't have to put on the red light
You don't have to put on the red light
Those days are over
You don't have to sell your body to the night
Roxanne
You don't have to wear that dress tonight
Walk the streets for money
You don't care if it's wrong or if it's right
Roxanne
You don't have to put on the red light
Roxanne
You don't have to put on the red light
I loved you since I knew you
I wouldn't talk down to you
I have to tell you just how I feel
I won't share you with another boy
I wouldn't talk down to you
I have to tell you just how I feel
I won't share you with another boy
I know my mind is made up
So put away your make up
So put away your make up
Told you once I won't tell you again
It's a bad way
Roxanne
You don't have to put on the red light
Roxanne
You don't have to put on the red light
It's a bad way
Roxanne
You don't have to put on the red light
Roxanne
You don't have to put on the red light
Rasa cinta Si Aku dapat kita
terjemahkan sebagai bentuk perhatian dan keberpihakan The Police kepada
penderitaan Roxanne sebagai wakil para pelacur. Perhatian dan keberpihakan itu
bahkan terlihat sebagai simpati dan bentuk solidaritas kasih yang tak
bersyarat. Rasa cinta itu pun sebenarnya adalah kata lain dari keterlibatan,
sebuah aksi untuk menyatu dengan penderitaan yang lain. Si Aku ingin terlibat
penuh dalam kehidupan Roxanne sehingga ia tidak perlu lagi menempuh jalan yang
dapat mencederai martabat kemanusiaannya. Disadari atau tidak, cinta si Aku di
sini memiliki dimensi keselamatan dalam
kehidupan Roxanne.
Sumber gambar : indolawas.blogspot.com, en.wikipedia.org
[1] Terence H. Hull, Endang
Sulistyaningsih, dan Gavin Jones, 1999, Prostitution
in Indonesia Its History and Evolution, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan,
hal. 2
[2] Ibid.
[3] Gani A. Jaelani, 2013, Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942,
Bandung: Syabas Book, hal. 50-51
[4] Ibid.
[5] St. Sunardi, 2012, Vodka dan Birahi Seorang Nabi,
Yogyakarta: Jalasutra, hal. 5
No comments:
Post a Comment