Thursday, 26 November 2015

Dari Titiek Puspa ke The Police : Mengasihi Mereka yang Tersingkir




Tidak selamanya seni pop berbicara tentang perilaku hedonis yang ditunjukkan masyarakat modern. Tidak selamanya pula seni pop menyerahkan diri untuk melayani impian-impian masyarakat modern yang absurd. Namun, ada saatnya seni pop terpekur dalam kontemplasi khusuk untuk merenungi dunia ini. Ada saatnya pula seni pop bahkan terlibat untuk menyapa orang-orang yang tersingkir dalam peradaban masyarakat modern.

Perhatian seni pop terhadap masalah Lebenswelt, dunia tempat kita hidup sehari-hari, tentu saja bukanlah hal yang baru. Kendati tidak begitu banyak, perhatian yang diberikan seni pop itu selalu menohok kesadaran kita.  Dalam konteks ini, seni pop dianggap efektif untuk menjadi media advokasi bagi situasi kemanusiaan masyarakat modern. Dalam kancah musik, misalnya, lagu-lagu John Lennon pasca Beatles, dianggap berpengaruh terhadap sosialisasi gerakan antiperang Vietnam di Amerika.  Hal yang sama pun ditemukan pada Bono dan U2 yang dikenal sebagai corong gigih yang menyuarakan perdamaian dalam konflik panjang di Irlandia Utara. Selain masalah peperangan, seni pop juga menaruh perhatian terhadap pelbagai isu sosial yang kadang terlihat kontroversial. Salah satu isu yang secara diam-diam diangkat seni pop adalah kehidupan para pelacur yang tersingkir dari peradaban masyarakat modern.

Meski dianggap sebagai hal yang menjijikkan, praktik pelacuran itu tetap dibiarkan tumbuh bagai rumput liar. Bahkan, ibarat jamur di musim hujan, praktik pelacuran dari abad ke abad semakin marak. Dalam sejarah manusia Indonesia, misalnya, menurut kajian yang ditulis oleh Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, dan Gavin Jones, dalam Prostitution in Indonesia Its History and Evolution (1999), praktik pelacuran telah berkembang sejak abad ke-18 ketika kerajaan-kerajaan Jawa menjadikan para wanita sebagai obyek komodifikasi dalam sistem feodal.[1] Semua wanita yang tinggal di wilayah otoritas kerajaan menjadi milik raja. Sewaktu-waktu di antara mereka akan ada yang terpilih sebagai selir. Semakin banyak jumlah selir yang dimiliki seorang raja, maka semakin berkuasalah dia.[2]  

Praktik pelacuran di Indonesia semakin pesat tatkala industri seks berkembang dengan sangat luar biasa selama periode penjajahan kolonial Belanda. Terence Hull dan kawan-kawan menyatakan bahwa sistem perbudakan dan pergundikan tradisional yang pernah berlaku di dalam kerajaan pun disesuaikan dengan kebutuhan dan kebiasaan komunitas Eropa di tanah jajahan. Dalam kondisi demikian, praktik pelacuran semakin meluas dan tidak tertahankan. Apalagi perkawinan antarras sungguh dilarang dan tidak dianjurkan pemerintah kolonial, sedangkan pergundikan antarras sangat didukung. Maka lokalisasi pun menjadi semacam lembaga pelampiasan nafsu di luar pernikahan yang disepakati pemerintah kolonial.

Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik pelacuran yang begitu masif itu menimbulkan ekses yang sangat serius. Salah satunya adalah terjadinya penyebaran penyakit kelamin. Melalui penelitian yang dikerjakan dengan sangat apik oleh Gani A. Jaelani, seorang Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, penyakit kelamin menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi pemerintah kolonial sejak tahun 1812 di Pulau Jawa.[3] Karena itu, pada tahun 1852, pemerintah kolonial pun memberlakukan peraturan tentang pelacuran. Celakanya, peraturan ini bersifat sangat rasialis karena hanya ditujukan untuk menjaga laki-laki Eropa, terutama serdadu, sedangkan para wanita yang berprofesi sebagai pelacur dianggap sebagai sumber penyakit sehingga perlu diperiksa dan diawasi kesehatannya oleh para dokter yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda.[4] Betapa ironis!      

Bagi para seniman, dunia pelacuran sebenarnya telah menjadi lokus penggalian makna kemanusiaan yang cukup mendalam. Beberapa puluh tahun lalu, WS Rendra pernah menulis sebuah balada yang fenomenal, Nyanyian Angsa. Balada ini menceritakan tentang kisah perjalanan seorang pelacur yang bernama Maria Zaitun. Menurut St. Sunardi, salah seorang pengamat budaya yang pernah memeriksa balada itu secara kritis,  Maria Zaitun adalah personifikasi korban masyarakat modern. “Maria Zaitun kehilangan segala-galanya untuk hidup dalam masyarakat modern. Sebagai pelacur, dia kehilangan kecantikannya untuk memikat para pelanggannya; sebagai seorang pekerja seks, dia tidak lagi dapat menghasilkan uang untuk majikannya; sebagai orang sakit, dia tidak mempunyai duit untuk membayar dokter; sebagai seorang beriman, dosanya terlalu memalukan untuk didengar pastor di ruang pengakuan.”[5] Dalam balada itu, Rendra tidak hanya mengajak pembaca untuk melihat persoalan ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat modern. Namun, ia juga menunjukkan secara empatik pengalaman eksistensial yang dialami para pelacur sebagai golongan yang disingkirkan masyarakat.

Bagi Rendra, pelacur seperti Maria Zaitun adalah korban dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat modern.  Maria Zaitun adalah gambaran pribadi yang terhempas oleh tuntutan masyarakat modern akan standard kehidupan yang layak, akan standard kebahagiaan yang terukur secara pragmatis. Dalam konteks inilah Rendra menunjukkan keberpihakannya, tanpa harus menjadi hipokrit. Baginya jelas bahwa perhatian tulus harus diberikan kepada mereka yang dianggap publik sebagai sampah masyarakat. Nyanyian Angsa tidak hanya tampil sebagai sebuah kritik terhadap modernisasi, tetapi juga hadir sebagai teks kemanusiaan. Kendati demikian, Rendra tidaklah seorang diri.

Pada pertengahan tahun 1970-an, Titiek Puspa menggebrak sakralitas seni pop sebagai seni yang melayani keinginan kapitalisme hiburan. Biduanita asal Temanggung ini melantunkan sebuah lagu yang berjudul Kupu-kupu Malam. Lirik lagu ini tidak hanya memiliki kekuatan puitika, tetapi juga dapat menyentuh sanubari pendengarnya.      

Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya
Ada yang berlutut mencintanya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya

Ini hidup wanita si kupu-kupu malam
Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga
Bibir senyum kata halus merayu memanja
Kepada setiap mereka yang datang

Dosakah yang dia kerjakan
Sucikah mereka yang datang
Kadang dia tersenyum dalam tangis
Kadang dia menangis di dalam senyuman

Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya
Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa

Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya
Oh apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa

Alih-alih berbeda dengan tanggapan negatif terhadap para pelaku pelacuran, Titiek Puspa justru menunjukkan empati yang begitu besar terhadap mereka.  Tanggapan yang bersahabat ini tentu saja tidak dapat diartikan bahwa sebagai seorang seniwati, Titiek Puspa, mendukung praktik pelacuran. Sebaliknya, jika dipahami secara mendalam, dapat terlihat bahwa lirik lagunya tampak begitu memihak penderitaan yang dialami para pelacur. Dalam hal ini, ia memang tidak sedang memberikan pengajaran moral agar mereka dapat bertobat dan berpaling dari pekerjaan yang mereka jalani. Justru melalui lirik lagu itu ia sedang memberikan ruang kepada masyarakat modern yang mengaku diri suci dan tidak bercela untuk berefleksi sejenak, untuk memberikan perhatian, compassion kepada para pelacur itu.

Menurut saya, lirik lagu ini berhasil menjebol kesadaran semu yang terlanjur tertanam dalam hati dan  pikiran manusia modern, terutama mengenai prinsip untung dan rugi. Bagaimana mungkin, sebagai manusia modern, kita harus memberikan perhatian, pemahaman, dan kesabaran terhadap mereka yang kita singkirkan secara sistematis?  Apa untungnya? Bukankah memberikan perhatian kepada mereka yang dianggap sebagai sampah masyarakat adalah sebuah kesalahan, sebuah kesia-siaan? Kendati begitu, rasa empati dan belas kasihan terlanjur menggerakkan Titiek Puspa untuk mengangkat kondisi yang sesungguhnya dialami para pelacur dalam seni musik popular. Pesannya begitu jelas, menjadi  penjaja seks tidak pernah merupakan sebuah pilihan. Pekerjaan ini hanyalah sebuah respon instingtif yang terpaksa dilakukan untuk menghidupi diri sebagai bagian dari masyarakat modern.        

Serupa dengan di Indonesia, pelacuran pun merupakan sebuah kisah kemanusiaan  yang begitu tragis dan  panjang di sejumlah negara Eropa seperti Inggris pada masa Victorian Age atau Perancis sejak Revolusi Perancis. Meski dihujat dan diharamkan, komunitas para pelacur justru bertumbuh subur. Mereka tidak hanya ditemukan di ruang-ruang gelap dan tersembunyi, melainkan pula di pelbagai ruang publik secara bebas seperti di mall, di stasiun, atau di depan lampu merah.    

Perhatian yang begitu empatik sebagaimana terdapat dalam lirik Kupu-kupu Malam itu bisa kita jumpai pula di dalam lirik lagu Roxanne yang dilantunkan The Police, sebuah band asal Inggris, pada akhir tahun 1970-an. Dalam lirik lagu itu, Si Aku jatuh cinta dengan Roxanne, seorang pelacur, yang kerap menawarkan dirinya kepada setiap laki-laki di jalanan. Si Aku meminta agar Roxanne, pelacur itu, tidak perlu lagi untuk berdandan atau menjual tubuhnya. Si Aku sungguh sangat mencintai Roxanne sejak awal mereka bertemu. 

Roxanne
You don't have to put on the red light
Those days are over
You don't have to sell your body to the night

Roxanne
You don't have to wear that dress tonight
Walk the streets for money
You don't care if it's wrong or if it's right

Roxanne
You don't have to put on the red light
Roxanne
You don't have to put on the red light

I loved you since I knew you
I wouldn't talk down to you
I have to tell you just how I feel
I won't share you with another boy

I know my mind is made up
So put away your make up
Told you once I won't tell you again
It's a bad way

Roxanne
You don't have to put on the red light
Roxanne
You don't have to put on the red light

Rasa cinta Si Aku dapat kita terjemahkan sebagai bentuk perhatian dan keberpihakan The Police kepada penderitaan Roxanne sebagai wakil para pelacur. Perhatian dan keberpihakan itu bahkan terlihat sebagai simpati dan bentuk solidaritas kasih yang tak bersyarat. Rasa cinta itu pun sebenarnya adalah kata lain dari keterlibatan, sebuah aksi untuk menyatu dengan penderitaan yang lain. Si Aku ingin terlibat penuh dalam kehidupan Roxanne sehingga ia tidak perlu lagi menempuh jalan yang dapat mencederai martabat kemanusiaannya. Disadari atau tidak, cinta si Aku di sini memiliki dimensi keselamatan  dalam kehidupan Roxanne.

Lirik kedua lagu yang dinyanyikan Titiek Puspa dan The Police memiliki keserupaan makna yang mendalam. Baik Titiek Puspa maupun The Police mau mencoba untuk menempatkan mereka yang dianggap sebagai sampah masyarakat bukan sebagai yang lain, melainkan sebagai sesama yang perlu dikasihi dan dicintai. Meski hanya disampaikan dalam lirik lagu dalam seni musik pop, keprihatinan dan perhatian yang mereka munculkan itu menjadi semacam jeda yang cukup bermakna dalam perjalanan manusia modern. Tentu saja, bagi manusia modern yang telah sibuk dengan dirinya, jeda itu seringkali tidak dapat dicermati dan dipahami dengan baik. Setidaknya, dalam Lebenswelt yang begitu rumit dan ambigu, kita dicelikkan bahwa seni pop ternyata masih punya arti yang begitu penting. Saya dan Anda masih ditunjukkan makna manusia, yaitu sebagai sesama bagi yang lain.


Sumber gambar : indolawas.blogspot.com, en.wikipedia.org 


[1] Terence H. Hull, Endang Sulistyaningsih, dan Gavin Jones, 1999, Prostitution in Indonesia Its History and Evolution, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, hal. 2
[2] Ibid.
[3] Gani A. Jaelani, 2013, Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, Bandung: Syabas Book, hal. 50-51
[4] Ibid.
[5] St. Sunardi, 2012, Vodka dan Birahi Seorang Nabi, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 5

No comments:

Post a Comment