Sunday, 17 April 2016

Ben : Teman, Siapakah Teman?





Setelah Anda bergabung dengan media sosial, berapakah jumlah teman Anda sekarang? Berapakah jumlah follower Anda di Facebook, Twitter, atau Instagram? Puluhan orang? Ratusan? Atau ribuan? Saya yakin, Anda akan terkejut betapa banyak orang yang dapat dikategorikan sebagai teman dalam media sosial itu. Anda mungkin dapat bertemu kembali dengan para sahabat di masa kecil, teman sebangku di sekolah dasar, pujaan hati yang tak pernah sempat Anda nyatakan cinta, teman yang pernah menjadi musuh bebuyutan, guru-guru yang menyenangkan dan inspiratif, mantan pacar yang kini telah berbahagia dengan pasangannya, teman dari teman Anda, orang-orang yang memiliki minat sama, atau rekan kerja Anda saat ini.
Ya, perlu diakui atau tidak, kita berhutang budi kepada media sosial. Melalui media sosial dapat dikumpulkan kembali sejumlah orang yang pernah akrab di masa lalu. Selain itu media sosial  juga dapat mempertemukan kita dengan banyak teman baru dalam rajutan cerita di masa depan. Media sosial memudahkan kita untuk semakin menguak kehidupan privat seseorang. Melalui status yang kerap diperbaharui,  kita diajak untuk melihat jenis makanan yang ia sukai, tempat wisata yang ia kunjungi, teman-teman baru yang ia miliki, keluhan serta keprihatinan yang ia rasakan, untaian doa yang ia panjatkan, ayat Kitab Suci yang menggerakkannya, atau tanggal berapa ia menerima gaji. Tidak ada sesuatupun yang dapat dirahasiakan. Tidak pernah ada kedekatan yang mendalam seperti ditawarkan media sosial.
Perkembangan teknologi komunikasi memang sangat memudahkan kita untuk menjalin relasi atau berteman dengan siapapun. Hanya dalam waktu singkat setelah kehadiran internet dalam masyarakat modern, pertemanan menjadi sebuah gaya hidup yang cukup diminati. Setiap orang bahkan dapat menikmati kebebasan untuk memilih dan menjadikan siapapun sebagai temannya, tanpa rasa malu, tanpa rasa takut. Akan tetapi, perkembangan teknologi itu, disadari atau tidak, mengabaikan pula unsur kedalaman dan keintiman dalam relasi. Tidak semua masyarakat modern melihat celah yang menjanjikan bahwa media sosial mampu menciptakan struktur relasional yang lebih demokratis dan tidak berbatas (borderless). Celakanya, media sosial lebih cenderung dimaknai sebagai hiburan (amusement) yang semata-mata berkorelasi erat dengan gaya hidup masyarakat modern.
Meski dalam media sosial setiap orang dapat menjadikan orang yang tak dikenal sebagai teman, komunikasi yang tulus dan intim  bukanlah tujuan utamanya. Karena itu, wajarlah jika dari puluhan atau bahkan ribuan gambar follower kita yang terpampang di media sosial itu, hanya segelintir orang yang sungguh-sungguh menanyakan kabar kita dan keluarga. Hanya segelintir orang yang sungguh-sungguh ingin memperlakukan kita sebagai bagian penting dari proses komunikasi yang sebenarnya. Hal yang kerap terjadi menunjukkan bahwa basa-basi komunikasi lebih sering hadir dalam masyarakat modern. Sungguh sangat ironis.
Dalam masyarakat modern gagasan mengenai pertemanan memang selalu menjadi topik menarik. Topik itu terekam dengan baik dalam sejumlah media populer seperti film, lukisan, karya sastra, atau lirik lagu. Melalui pelbagai media itu pertemanan digambarkan dalam beragam situasi. Ada yang menggambarkan pertemanan sebagai relasi kimiawi (chemical relationship) yang lurus-lurus saja. Relasi demikian dipastikan berujung kepada kebahagiaan. Ada yang menggambarkan pertemanan sebagai relasi kimiawi yang begitu rumit, penuh dengan air mata, jurang, dan jalan mendaki, meski pada akhirnya relasi tersebut berujung pada akhir yang bahagia. Akan tetapi, ada pula yang menggambarkan pertemanan sebagai relasi emosional yang sungguh sangat gelap dan meletihkan, dibarengi dengan sejumlah perselingkuhan dan pengkhianatan. Relasi tersebut kerap digambarkan begitu menyedihkan. Sayangnya, dari ketiga jenis relasi itu, gagasan tentang pertemanan hanya ditampilkan sebagai kesan, bukan sebagai esensi dari kehidupan bersama. Gagasan tentang pertemanan yang ditampilkan media populer itu kerap tidak menyentuh kedalaman hati nurani manusia yang sesungguhnya.
Pertemanan yang saya bicarakan di sini tentu saja merupakan buah dari keterbukaan hati seseorang untuk menyapa orang lain. Dalam hal ini sapaan menjadi kata kunci yang  sangat penting. Ia menjadi semacam penghancur kebuntuan komunikasi, sebagai akibat dari prasangka-prasangka yang kerap dihembuskan masyarakat sebagai sarana kontrol sosial. Selain bentuk keterbukaan hati, sapaan adalah kesiapan seseorang untuk menerima kehadiran yang lain. Sebagai sebuah kesiapan, tak dapat dipungkiri bahwa sapaan melibatkan seseorang dalam kehidupan sesama yang lain. Secara eksplisit, dengan sapaan itu, ia pun turut serta dalam segala penderitaan dan keprihatinan, dalam kebahagiaan dan pengharapan sesama yang lain. Bukankah dengan pertemanan itu seseorang dapat semakin mengenali jati dirinya dengan lebih baik?
Pertemanan, bila direnungkan lebih mendalam, sungguh bernuansa eksistensial karena berkaitan dengan proyeksi individu terhadap pengenalan dirinya. Karena itu, dapat dipahami bila pengenalan dan penerimaan terhadap teman juga menjadi sarana terjadinya pengenalan dan penerimaan terhadap diri sendiri. Dalam pertemanan itu seseorang bisa belajar untuk memperlakukan orang lain sebagai dirinya sendiri.
Sayangnya, dalam masyarakat modern yang menciptakan pribadi-pribadi yang individualis, pertemanan itu kerap berada di luar pengertian itu. Dalam hiruk pikuk komunikasi masyarakat yang begitu cepat, ada beberapa orang yang berusaha membatasi dan  menutup dirinya dari pergaulan. Mereka mendirikan tembok dan pagar pembatas yang tinggi sehingga tidak pernah terjadi perjumpaan dan interaksi dengan orang lain. Bahkan ada beberapa orang yang memilih untuk menarik diri dari pergaulan manusia yang wajar. Mereka memilih benda-benda mati sebagai teman sejatinya! Ini tentu saja sebuah tragedi kemanusiaan!
Aroma tragedi itu kerap luput dalam lirik lagu populer. Tidak selamanya media populer berani untuk menampilkan realitas yang kotor, gelap, dan mengganggu. Ada kalanya pula media populer berusaha dengan sepenuh hati menutupi realitas yang dialami masyarakat modern. Namun, saya melihat bahwa celah untuk memahami realitas yang gelap dan mengganggu itu terbuka pula. Hal demikian saya endus dalam lirik lagu Ben yang dilantunkan oleh King of Pop, Michael Jackson, pada tahun 1972.
              
Ben
Ben, the two of us need look no more
We both found what we were looking for
With a friend to call my own
I'll never be alone
And you my friend will see
You've got a friend in me
(You've got a friend in me)

Ben, you're always running here and there
(Here and there)
You feel you're not wanted anywhere
(Anywhere)
If you ever look behind
And don't like what you find
There's something you should know
You've got a place to go
(You've got a place to go)

I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"
I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"

Ben, most people would turn you away
I don't listen to a word they say
They don't see you as I do
I wish they would try to
I'm sure they'd think again
If they had a friend like Ben
(A friend)
Like Ben
(Like Ben)
Like Ben

Lagu ini dinyanyikan Michael Jackson ketika ia masih begitu belia, sebelum kulitnya memutih, rambutnya bergelombang, dan hidungnya berganti mancung karena injeksi steroid dan silikon yang dipergunakannya. Menariknya, sejauh ini, industri musik populer mengkatalogkan lagu Ben ke dalam lagu-lagu populer bergenre lagu cinta (love song). Saya duga, pengkatalogan ini dilakukan karena jenis musik yang ditampilkan Ben adalah balada yang mendayu-dayu.
Jika kita amati lirik lagu itu secara sekilas, kita dapat mengetahui bahwa lirik lagu itu berbicara tentang sebuah persahabatan sejati antara tokoh “aku” dan “kamu.” Tokoh “kamu” digambarkan sebagai sosok yang tidak diingankan oleh siapapun. Karena itu, ia kerap berlari ke sana dan ke mari. Sementara itu, tokoh “aku” adalah satu-satunya sosok yang sanggup untuk menerima kehadiran tokoh “kamu” apa adanya sebagai seorang teman. Bahkan karena itu, tokoh “aku” menyebut dirinya sebagai  sebuah tempat tujuan (a place to go) bagi tokoh “kamu.” Namun, di antara tokoh “aku” dan “kamu” terdapat relasi yang saling membutuhkan. Mereka bukanlah lagi dua tokoh, melainkan satu, yaitu “kami.”
Kisah pertemanan yang sangat mengharukan, bukan? Manakala lagu yang dilantunkan Michael kecil itu kita dengarkan kembali dengan sangat intens - entah menjelang tidur malam atau di bawah lampu yang temaram - saya yakin, kita dapat dibawa kepada permenungan tentang pertemanan yang pernah kita jalin. Banyak teman yang datang, tetapi banyak pula yang pergi. Ternyata relasi pertemanan kita di masa lalu pun lebih banyak dipenuhi dengan luka dan sakit hati. Mungkin sudah tak terhitung lagi betapa relasi pertemanan kita justru lebih banyak menyakiti ketimbang membangun dan memberikan inspirasi. Relasi pertemanan yang diawali dengan sangat manis ditutup dengan sikap antagonistik yang menyakitkan karena perbedaan pendapat, sikap, atau prinsip hidup.
Lirik lagu Ben itu pun serupa dengan kondisi tragis yang kita alami tentang pertemanan. Mengapa demikian? Di balik kehangatan relasi yang terjalin antara tokoh “aku” dan “kamu,” lirik lagu ini sesungguhnya berasal dari kehidupan pribadi Michael kecil. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca bahwa tokoh yang dimaksud dengan “kamu” atau Ben itu adalah seekor tikus putih kesayangan Michael kecil. Ya, tikus itu telah menjadi sahabat penyanyi kondang itu selama bertahun-tahun. Michael sangat menyayangi tikus Ben sebagai sahabatnya. Pasalnya, Ben adalah satu-satunya tempat Michael untuk berkeluh kesah. Ada semacam disposisi batin yang dibayangkan Michael kepada Ben, yaitu bahwa mereka memiliki nasib yang sama sebagai pribadi yang terbuang, pribadi yang tidak diinginkan oleh siapapun.
Di balik lirik lagu Ben, secara implisit kita dapat menelurusi kehidupan masa kecil sang mega bintang yang begitu kelam dan pahit. Perjalanannya menuju ketenaran sungguh bukanlah jalan yang begitu mudah, melainkan jalan yang dipenuhi dengan air mata, kesedihan, dan trauma yang tidak dapat disembuhkan. Sejak kecil, ia telah memperoleh perlakuan yang sangat buruk dan tidak manusiawi dari sang ayah. Dalam usianya yang begitu muda ia telah dilecehkan secara seksual oleh ayahnya. Dunia anak-anak yang seharusnya dapat ia jalani dengan gembira telah berubah menjadi dunia yang sangat menjijikkan dan menakutkan. Maka, di atas panggung yang megah dan hingar-bingar itu, sampai usia dewasa pun, Michael tidak pernah menikmati kesuksesan dalam arti yang sesungguhnya. Ia selalu menjadi pribadi yang sepi, tertutup, dan paranoid. Tanpa teman yang mampu memahami dunianya yang begitu gelap.
Lirik lagu Ben adalah contoh sempurna bagaimana media populer menutupi realitas pertemanan dengan kosmetik yang tampaknya inspiratif dan menyenangkan. Media sosial yang kita sembah pada masa kini pun bisa menutupi realitas yang sebenarnya dalam relasi pertemanan yang kita jalani. Jumlah teman atau follower yang kita miliki tidak pernah merepresentasikan kenyataan bahwa kita sungguh memiliki mereka sebagai teman yang mau hadir dalam kepenuhannya. Menurut hemat saya, media sosial hanya menjadi sebuah proyek impian yang mampu membaca kerinduan besar masyarakat modern saat ini untuk memiliki sesama yang lain sebagai teman. Sayangnya, media sosial tidak pernah sungguh-sungguh berusaha untuk menjawab kerinduan itu. Pasalnya, menjalin relasi pertemanan tidaklah segampang kita mengklik kotak “tambahkan teman” dan “konfirmasi pertemanan” yang disediakan media sosial sebagai fitur favorit yang disambangi banyak penggunanya. Di  balik kotak-kotak itu, ada sesuatu yang sangat eksistensial dan bahkan metafisis untuk dicermati kembali. Teman, siapakah teman?      

Sumber gambar : www.listal.com
      

No comments:

Post a Comment