|
Setelah Anda
bergabung dengan media sosial, berapakah jumlah teman Anda sekarang? Berapakah
jumlah follower Anda di Facebook, Twitter,
atau Instagram? Puluhan orang? Ratusan? Atau ribuan? Saya yakin, Anda akan
terkejut betapa banyak orang yang dapat dikategorikan sebagai teman dalam media
sosial itu. Anda mungkin dapat bertemu kembali dengan para sahabat di masa
kecil, teman sebangku di sekolah dasar, pujaan hati yang tak pernah sempat Anda
nyatakan cinta, teman yang pernah menjadi musuh bebuyutan, guru-guru yang
menyenangkan dan inspiratif, mantan pacar yang kini telah berbahagia dengan
pasangannya, teman dari teman Anda, orang-orang yang memiliki minat sama, atau
rekan kerja Anda saat ini.
Ya, perlu diakui atau tidak, kita berhutang budi kepada media sosial. Melalui
media sosial dapat dikumpulkan kembali sejumlah orang yang pernah akrab di masa
lalu. Selain itu media sosial juga dapat
mempertemukan kita dengan banyak teman baru dalam rajutan cerita di masa depan.
Media sosial memudahkan kita untuk semakin menguak kehidupan privat seseorang.
Melalui status yang kerap diperbaharui,
kita diajak untuk melihat jenis makanan yang ia sukai, tempat wisata
yang ia kunjungi, teman-teman baru yang ia miliki, keluhan serta keprihatinan
yang ia rasakan, untaian doa yang ia panjatkan, ayat Kitab Suci yang
menggerakkannya, atau tanggal berapa ia menerima gaji. Tidak ada sesuatupun
yang dapat dirahasiakan. Tidak pernah ada kedekatan yang mendalam seperti ditawarkan
media sosial.
Perkembangan teknologi komunikasi memang sangat memudahkan kita untuk
menjalin relasi atau berteman dengan siapapun. Hanya dalam waktu singkat
setelah kehadiran internet dalam masyarakat modern, pertemanan menjadi sebuah
gaya hidup yang cukup diminati. Setiap orang bahkan dapat menikmati kebebasan
untuk memilih dan menjadikan siapapun sebagai temannya, tanpa rasa malu, tanpa
rasa takut. Akan tetapi, perkembangan teknologi itu, disadari atau tidak,
mengabaikan pula unsur kedalaman dan keintiman dalam relasi. Tidak semua
masyarakat modern melihat celah yang menjanjikan bahwa media sosial mampu
menciptakan struktur relasional yang lebih demokratis dan tidak berbatas (borderless). Celakanya, media sosial lebih
cenderung dimaknai sebagai hiburan (amusement)
yang semata-mata berkorelasi erat dengan gaya hidup masyarakat modern.
Meski dalam media sosial setiap orang dapat menjadikan orang yang tak
dikenal sebagai teman, komunikasi yang tulus dan intim bukanlah tujuan utamanya. Karena itu,
wajarlah jika dari puluhan atau bahkan ribuan gambar follower kita yang terpampang di media sosial itu, hanya segelintir
orang yang sungguh-sungguh menanyakan kabar kita dan keluarga. Hanya segelintir
orang yang sungguh-sungguh ingin memperlakukan kita sebagai bagian penting dari
proses komunikasi yang sebenarnya. Hal yang kerap terjadi menunjukkan bahwa
basa-basi komunikasi lebih sering hadir dalam masyarakat modern. Sungguh sangat
ironis.
Dalam masyarakat modern gagasan mengenai pertemanan memang selalu
menjadi topik menarik. Topik itu terekam dengan baik dalam sejumlah media
populer seperti film, lukisan, karya sastra, atau lirik lagu. Melalui pelbagai
media itu pertemanan digambarkan dalam beragam situasi. Ada yang menggambarkan
pertemanan sebagai relasi kimiawi (chemical
relationship) yang lurus-lurus saja. Relasi demikian dipastikan berujung
kepada kebahagiaan. Ada yang menggambarkan pertemanan sebagai relasi kimiawi
yang begitu rumit, penuh dengan air mata, jurang, dan jalan mendaki, meski pada
akhirnya relasi tersebut berujung pada akhir yang bahagia. Akan tetapi, ada
pula yang menggambarkan pertemanan sebagai relasi emosional yang sungguh sangat
gelap dan meletihkan, dibarengi dengan sejumlah perselingkuhan dan
pengkhianatan. Relasi tersebut kerap digambarkan begitu menyedihkan. Sayangnya,
dari ketiga jenis relasi itu, gagasan tentang pertemanan hanya ditampilkan
sebagai kesan, bukan sebagai esensi dari kehidupan bersama. Gagasan tentang
pertemanan yang ditampilkan media populer itu kerap tidak menyentuh kedalaman
hati nurani manusia yang sesungguhnya.
Pertemanan yang saya bicarakan di sini tentu saja merupakan buah dari
keterbukaan hati seseorang untuk menyapa orang lain. Dalam hal ini sapaan
menjadi kata kunci yang sangat penting. Ia
menjadi semacam penghancur kebuntuan komunikasi, sebagai akibat dari
prasangka-prasangka yang kerap dihembuskan masyarakat sebagai sarana kontrol
sosial. Selain bentuk keterbukaan hati, sapaan adalah kesiapan seseorang untuk
menerima kehadiran yang lain. Sebagai sebuah kesiapan, tak dapat dipungkiri bahwa
sapaan melibatkan seseorang dalam kehidupan sesama yang lain. Secara eksplisit,
dengan sapaan itu, ia pun turut serta dalam segala penderitaan dan
keprihatinan, dalam kebahagiaan dan pengharapan sesama yang lain. Bukankah dengan
pertemanan itu seseorang dapat semakin mengenali jati dirinya dengan lebih baik?
Pertemanan, bila direnungkan lebih mendalam, sungguh bernuansa
eksistensial karena berkaitan dengan proyeksi individu terhadap pengenalan
dirinya. Karena itu, dapat dipahami bila pengenalan dan penerimaan terhadap
teman juga menjadi sarana terjadinya pengenalan dan penerimaan terhadap diri
sendiri. Dalam pertemanan itu seseorang bisa belajar untuk memperlakukan orang
lain sebagai dirinya sendiri.
Sayangnya, dalam masyarakat modern yang menciptakan pribadi-pribadi yang
individualis, pertemanan itu kerap berada di luar pengertian itu. Dalam hiruk
pikuk komunikasi masyarakat yang begitu cepat, ada beberapa orang yang berusaha
membatasi dan menutup dirinya dari
pergaulan. Mereka mendirikan tembok dan pagar pembatas yang tinggi sehingga
tidak pernah terjadi perjumpaan dan interaksi dengan orang lain. Bahkan ada
beberapa orang yang memilih untuk menarik diri dari pergaulan manusia yang
wajar. Mereka memilih benda-benda mati sebagai teman sejatinya! Ini tentu saja
sebuah tragedi kemanusiaan!
Aroma tragedi itu kerap luput dalam lirik lagu populer. Tidak selamanya
media populer berani untuk menampilkan realitas yang kotor, gelap, dan
mengganggu. Ada kalanya pula media populer berusaha dengan sepenuh hati
menutupi realitas yang dialami masyarakat modern. Namun, saya melihat bahwa
celah untuk memahami realitas yang gelap dan mengganggu itu terbuka pula. Hal
demikian saya endus dalam lirik lagu Ben
yang dilantunkan oleh King of Pop,
Michael Jackson, pada tahun 1972.
Ben
Ben, the two of us
need look no more
We both found what we were looking for
With a friend to call my own
I'll never be alone
And you my friend will see
You've got a friend in me
(You've got a friend in me)
Ben, you're always running here and there
(Here and there)
You feel you're not wanted anywhere
(Anywhere)
If you ever look behind
And don't like what you find
There's something you should know
You've got a place to go
(You've got a place to go)
I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"
I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"
Ben, most people would turn you away
I don't listen to a word they say
They don't see you as I do
I wish they would try to
I'm sure they'd think again
If they had a friend like Ben
(A friend)
Like Ben
(Like Ben)
Like Ben
We both found what we were looking for
With a friend to call my own
I'll never be alone
And you my friend will see
You've got a friend in me
(You've got a friend in me)
Ben, you're always running here and there
(Here and there)
You feel you're not wanted anywhere
(Anywhere)
If you ever look behind
And don't like what you find
There's something you should know
You've got a place to go
(You've got a place to go)
I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"
I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"
Ben, most people would turn you away
I don't listen to a word they say
They don't see you as I do
I wish they would try to
I'm sure they'd think again
If they had a friend like Ben
(A friend)
Like Ben
(Like Ben)
Like Ben
Lagu ini
dinyanyikan Michael Jackson ketika ia masih begitu belia, sebelum kulitnya
memutih, rambutnya bergelombang, dan hidungnya berganti mancung karena injeksi steroid
dan silikon yang dipergunakannya. Menariknya, sejauh ini, industri musik
populer mengkatalogkan lagu Ben ke
dalam lagu-lagu populer bergenre lagu cinta (love song). Saya duga, pengkatalogan ini dilakukan karena jenis
musik yang ditampilkan Ben adalah balada yang mendayu-dayu.
Jika kita
amati lirik lagu itu secara sekilas, kita dapat mengetahui bahwa lirik lagu itu
berbicara tentang sebuah persahabatan sejati antara tokoh “aku” dan “kamu.”
Tokoh “kamu” digambarkan sebagai sosok yang tidak diingankan oleh siapapun.
Karena itu, ia kerap berlari ke sana dan ke mari. Sementara itu, tokoh “aku”
adalah satu-satunya sosok yang sanggup untuk menerima kehadiran tokoh “kamu”
apa adanya sebagai seorang teman. Bahkan karena itu, tokoh “aku” menyebut
dirinya sebagai sebuah tempat tujuan (a place to go) bagi tokoh “kamu.” Namun,
di antara tokoh “aku” dan “kamu” terdapat relasi yang saling membutuhkan.
Mereka bukanlah lagi dua tokoh, melainkan satu, yaitu “kami.”
Kisah
pertemanan yang sangat mengharukan, bukan? Manakala lagu yang dilantunkan
Michael kecil itu kita dengarkan kembali dengan sangat intens - entah menjelang
tidur malam atau di bawah lampu yang temaram - saya yakin, kita dapat dibawa
kepada permenungan tentang pertemanan yang pernah kita jalin. Banyak teman yang
datang, tetapi banyak pula yang pergi. Ternyata relasi pertemanan kita di masa
lalu pun lebih banyak dipenuhi dengan luka dan sakit hati. Mungkin sudah tak
terhitung lagi betapa relasi pertemanan kita justru lebih banyak menyakiti
ketimbang membangun dan memberikan inspirasi. Relasi pertemanan yang diawali
dengan sangat manis ditutup dengan sikap antagonistik yang menyakitkan karena
perbedaan pendapat, sikap, atau prinsip hidup.
Lirik lagu Ben itu pun serupa dengan kondisi tragis
yang kita alami tentang pertemanan. Mengapa demikian? Di balik kehangatan
relasi yang terjalin antara tokoh “aku” dan “kamu,” lirik lagu ini sesungguhnya
berasal dari kehidupan pribadi Michael kecil. Beberapa tahun lalu saya pernah
membaca bahwa tokoh yang dimaksud dengan “kamu” atau Ben itu adalah seekor
tikus putih kesayangan Michael kecil. Ya, tikus itu telah menjadi sahabat
penyanyi kondang itu selama bertahun-tahun. Michael sangat menyayangi tikus Ben
sebagai sahabatnya. Pasalnya, Ben adalah satu-satunya tempat Michael untuk
berkeluh kesah. Ada semacam disposisi batin yang dibayangkan Michael kepada
Ben, yaitu bahwa mereka memiliki nasib yang sama sebagai pribadi yang terbuang,
pribadi yang tidak diinginkan oleh siapapun.
Di balik
lirik lagu Ben, secara implisit kita
dapat menelurusi kehidupan masa kecil sang mega bintang yang begitu kelam dan
pahit. Perjalanannya menuju ketenaran sungguh bukanlah jalan yang begitu mudah,
melainkan jalan yang dipenuhi dengan air mata, kesedihan, dan trauma yang tidak
dapat disembuhkan. Sejak kecil, ia telah memperoleh perlakuan yang sangat buruk
dan tidak manusiawi dari sang ayah. Dalam usianya yang begitu muda ia telah
dilecehkan secara seksual oleh ayahnya. Dunia anak-anak yang seharusnya dapat
ia jalani dengan gembira telah berubah menjadi dunia yang sangat menjijikkan
dan menakutkan. Maka, di atas panggung yang megah dan hingar-bingar itu, sampai
usia dewasa pun, Michael tidak pernah menikmati kesuksesan dalam arti yang
sesungguhnya. Ia selalu menjadi pribadi yang sepi, tertutup, dan paranoid.
Tanpa teman yang mampu memahami dunianya yang begitu gelap.
Lirik lagu Ben adalah contoh sempurna bagaimana
media populer menutupi realitas pertemanan dengan kosmetik yang tampaknya
inspiratif dan menyenangkan. Media sosial yang kita sembah pada masa kini pun
bisa menutupi realitas yang sebenarnya dalam relasi pertemanan yang kita jalani.
Jumlah teman atau follower yang kita
miliki tidak pernah merepresentasikan kenyataan bahwa kita sungguh memiliki
mereka sebagai teman yang mau hadir dalam kepenuhannya. Menurut hemat saya,
media sosial hanya menjadi sebuah proyek impian yang mampu membaca kerinduan
besar masyarakat modern saat ini untuk memiliki sesama yang lain sebagai teman.
Sayangnya, media sosial tidak pernah sungguh-sungguh berusaha untuk menjawab
kerinduan itu. Pasalnya, menjalin relasi pertemanan tidaklah segampang kita
mengklik kotak “tambahkan teman” dan “konfirmasi pertemanan” yang disediakan
media sosial sebagai fitur favorit yang disambangi banyak penggunanya. Di balik kotak-kotak itu, ada sesuatu yang
sangat eksistensial dan bahkan metafisis untuk dicermati kembali. Teman,
siapakah teman?
Sumber gambar : www.listal.com
No comments:
Post a Comment