Tuesday, 7 March 2017

Hurt : Derita dan Kesempatan Kedua


Hampir di setiap Minggu pagi, laki-laki kekar itu melintas di depan rumah kami. Meski jalannya terseok-seok, langkahnya terlihat begitu tegar. Tubuhnya atletis. Mungkin pada masa mudanya, ia begitu disiplin menjaga tubuhnya. Dengan kaca mata hitam yang selalu ia kenakan, ia tampak begitu percaya diri. Tongkat ramping dari besi yang dibawanya selalu menghentak sejumlah kerikil dan kerakal yang menghalangi perjalanannya. Seolah ia tidak pernah  takut dan khawatir untuk tersesat atau terjatuh meski ia adalah seorang penyandang tuna netra.
Laki-laki itu bernama Petrus. Sejak berumur 4 tahun, matanya sudah tidak dapat melihat. Pada awalnya pria itu dilahirkan normal. Ia masih dapat mengingat dengan jelas seperti apa bentuk pohon yang tumbuh di depan rumahnya, cahaya sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya di pagi hari, warna cat tembok rumah yang mulai terkelupas, dan tentu saja wajah kedua orang tua yang selalu ia rindukan dalam mimpi, Namun, sebuah demam yang tinggi membuatnya harus kehilangan matanya. Sejak itulah dunianya gelap. Hitam pekat bagai jelaga. Bagi seorang anak, kondisi ini adalah sebuah tragedi. Karena selalu menjadi obyek perundungan teman-teman sebayanya selama bertahun-tahun, pada usia remaja, ia pernah berniat untuk menghabisi dirinya di sebuah jembatan. Ia ingin agar sungai segera mengambil nyawa sekaligus penderitaannya.
Namun, rupanya takdir tidak mengizinkan Petrus untuk mati muda. Seorang bapak yang tidak ia kenal mencegah dan membujuknya untuk mengurungkan niatnya. Pada waktu itu ia sudah menjadi anak yatim piatu. Petrus tinggal bersama neneknya yang selalu sakit-sakitan. Bagai sebuah drama, Petrus yang sedang mengalami frustasi, diangkat anak oleh bapak yang baik hati itu. Bapak dan keluarganya itu sangat menyayangi Petrus. Oleh bapak itu, Petrus didaftarkan ke sebuah sekolah tuna netra di Bandung. Di sana ia mendapat banyak teman yang nasibnya serupa. Babak kehidupan yang segar pun terbentang bagi Petrus. Ia menemukan sebuah kehidupan yang baru.
Banyak teman yang mengira laki-laki yang selalu melintas di depan rumah kami itu adalah seorang tukang pijat. Saya pun pernah berpikir demikian. Namun, pada suatu saat, saya pernah mencegatnya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya ia kerjakan dari pagi sampai sore hari. Pria itu menjawab bahwa ia adalah seorang kasir di sebuah perusahaan garmen, yang jaraknya tidak jauh dari rumah kami. Sebagai kasir, ia telah bekerja selama 15 tahun lebih di tempat itu. Tentu saja, informasi ini sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin seorang penyandang tuna netra mampu mengurus keuangan yang cukup besar? Ah, Petrus hanya tertawa. Ia mengatakan bahwa untuk melakukan pekerjaan itu ia memiliki metode tertentu. Ia mengatur keuangan dengan mata hatinya sehingga ia tidak pernah silau untuk mengurangi hak yang harus diterima para pegawai.
Perjumpaan saya dengan Petrus menjadi sebuah pembelajaran kehidupan yang sangat berharga. Di balik keterbatasan yang ia miliki, Petrus justru  menyimpan kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang yang memiliki penglihatan normal.Ada beberapa hal penting yang perlu saya catat di sini. Pertama, Petrus tidak terfokus pada kekurangan dan keterbatasan yang ia miliki. Sejak bergabung dengan sekolah tuna netra di Bandung, pria itu tidak pernah lagi menangisi atau menyesali kondisinya. Ia merasa bahwa di balik keterbatasannya itu, ia masih merasa berharga. Ia dicintai oleh kedua orang tua angkat dan keluarganya. Ia dihormati oleh teman-temannya sebagai teman yang baik. Status ketunanetraannya sama sekali tidak menghalanginya untuk berbahagia sebagai manusia. Kedua, ia  percaya bahwa ia masih berguna bagi banyak orang. Kepandaiannya dalam berhitung dengan cepat merupakan anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan orang-orang di sekitarnya. Ketiga, ia berani untuk menerobos dan membabat mitos tentang penyandang tuna netra yang kerap dipahami dengan keliru oleh banyak orang. Ia menunjukkan bahwa penyandang tuna netra tidak selalu identik dengan satu jenis pekerjaan informal seperti tukang pijat atau urut. Dengan kepercayaan diri yang dimilikinya, Petrus mampu bersikap optimis untuk menerjemahkan masa depan dengan cara mandiri.
Sayangnya, kisah kehidupan Petrus itu bisa dianggap sebagai sebuah dystopia bagi banyak orang yang lebih memahami penderitaan atau luka yang mereka miliki sebagai trauma yang tak tersembuhkan. Di sekitar Petrus dan kita, terdapat begitu banyak orang yang percaya bahwa masa depan tidak pernah hadir. Banyak orang yang meyakini bahwa kehidupan adalah sebuah kutukan, sebuah nihilisme! Mengapa demikian? Salah satu hal yang menyebabkan hadirnya keyakinan tersebut adalah ketidakmampuan mereka untuk melihat penderitaan sebagai bagian penting dalam pematangan diri. Penderitaan sekadar dipandang sebagai sebuah takdir nestapa yang harus dijalani. Dalam takdir itu, mereka merana sebagai orang-orang kalah yang tidak layak dicintai dan diperhatikan kembali. Seperti pada lirik lagu Hurt yang diciptakan Nine Inch Nails dan dilantunkan kembali oleh Johnny Cash, kita melihat sebuah dunia suram dari seseorang yang kehilangan harapannya karena penderitaan yang menderanya.
  
I hurt myself today
To see if I still feel
I focus on the pain
The only thing that's real
The needle tears a hole
The old familiar sting
Try to kill it all away
But I remember everything

What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt

I wear this crown of thorns
Upon my liar's chair
Full of broken thoughts
I cannot repair
Beneath the stains of time
The feelings disappear
You are someone else
I am still right here

What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt

If I could start again
A million miles away
I would keep myself
I would find a way

Tidak dapat dipungkiri bahwa penderitaan menghampiri setiap manusia. Namun,  puji Tuhan, penderitaan menjadi semacam alarm atau pengingat betapa rentannya manusia. Ia menghadapi berbagai batas eksistensial yang nyata, batas-batas alamiah yang tidak dapat ditaklukkan manusia. Kepasrahan menjadi kata kunci dalam hal ini. Namun, sikap pasrah yang terlalu dihayati akan menjadi sebuah fatalisme. Manusia seolah tidak punya daya untuk mengubah nasibnya karena dipaksa untuk mengamini penderitaannya. Kekuatan untuk berdaya tahan seolah sirna. Rasionalitas pun hilang. Tanpa bekas.
Namun, penderitaan tidak hanya menghilangkan rasionalitas atau pengharapan, tetapi juga menjauhkan manusia dari sesamanya. Penderitaan mampu membuat manusia menjadi lebih introvert sehingga cenderung menutupi dirinya secara rapat dari persentuhan dengan sesamanya. Di mata mereka yang terbelenggu oleh penderitaan, kehadiran sesama hanya menjadi beban yang semakin menghimpitnya. Ketulusan yang ditawarkan pun dimentahkan sebagai kecurigaan. Keramahan dihancurkan berkeping-keping sebagai permusuhan. Dalam penderitaan, manusia mungkin mencari tempat yang dapat memberinya perlindungan bagi dirinya. Sayangnya, tempat yang dimaksud justru bukanlah ruang yang memungkinkan ia dapat berinteraksi dengan sesamanya.
Tentu saja sikap introvert yang ditunjukkan oleh mereka yang menderita seharusnya tidak menyurutkan semangat sejumlah orang yang ingin berbuat baik. Kegigihan dan ketabahan yang luar biasa harus dimiliki oleh mereka yang berusaha mendampingi si penderita. Saya teringat kepada seorang teman yang baru saja sembuh dari kanker yang dideritanya selama bertahun-tahun. Selama ia berjuang dengan kanker, isterinyalah yang selalu berada di sampingnya. Wanita itu sungguh mendedikasikan dirinya bagi kesembuhan sang suami. Dengan cara apapun, ia lakukan agar kondisi suaminya dapat kembali normal. Akan tetapi, semakin wanita itu berusaha keras untuk mengupayakan kesembuhannya, semakin besar penolakan yang dilakukan sang suami. Kemoterapi yang dijalani selama bertahun-tahun membuat emosi sang suami sering tidak terkendali. Wanita itu sering menjadi sasaran amarah dan murka suami. Namun, ia tetap tabah dan tawakal. Ia percaya bahwa suatu saat badai dan kesulitan ini pasti berlalu dari kehidupan mereka.
Kegigihan, ketabahan, dan kesabaran sang isteri ternyata berbuah nyata. Ia menjadi orang yang pertama-tama bergembira karena mengetahui bahwa kanker yang diidap sang suami sudah terangkat dan hilang. Secara literal, kegembiraan yang ia alami juga menghapus rasa letih, frustasi, dan kepenatan yang sempat menghampiri dirinya. Kesetiaannya untuk mendampingi suaminya itu ternyata diamati pula oleh anak-anak mereka. Hal itu menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi mereka bahwa bertahan bersama dalam penderitaan adalah pilihan terbaik yang harus dijalankan. Dalam penderitaan, tiada satupun anggota keluarga yang ditinggalkan. Selain tentang kesetiaan, anak-anak mereka  juga belajar bahwa keluarga merupakan sekolah awal untuk memahami dan mengaplikasikan nilai solidaritas dan keadilan.
Apa yang terjadi pada teman saya mungkin merupakan hal yang langka pada masa kini tatkala lembaga perkawinan digoyang berbagai skandal. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak dapat bertahan hidup bersama mereka yang sedang menderita. Kita pun dapat dengan mudah meninggalkan sahabat yang dilanda kesulitan dan penderitaan hanya karena kita tidak ingin terlibat lebih jauh dengan risiko yang ditimbulkannya. Memang bagi mereka yang menderita sungguh bukanlah perkara yang mudah untuk bangkit dan kembali berdiri. Dibutuhkan mentalitas dan semangat yang sungguh luar biasa untuk mengubah penderitaan menjadi pengharapan, ketakutan menjadi keberanian, atau kegelapan menjadi terang. Akan tetapi, tidak jarang pula kita menemukan optimisme dan keberanian dari mereka yang sesungguhnya dikurung oleh penderitaan. Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam puisi Chairil Anwar, seorang maestro penyair di Indonesia, yang berjudul Aku. 

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

        Dalam puisi itu, si aku telah menetapkan diri untuk tidak bergantung pada siapapun. Meski menderita, ia merasa tidak perlu dikasihi. Baginya, penderitaan adalah hal yang harus dijalani dan bahkan dinikmati. Ia percaya bahwa penderitaan akan sirna dengan sendirinya karena penderitaan tidaklah lebih berarti ketimbang semangat untuk hidup (elan vital). Maka, dengan nada yang sangat optimis, ia menyatakan bahwa ia ingin lebih lama hidup seribu tahun lagi. Namun, apakah puisi ini memang merupakan gambaran realisme dari karakter Chairil yang sangat optimis? Atau apakah puisi ini sebenarnya merupakan sebuah retorika palsu yang diucapkan Chairil karena ia sebenarnya takut menghadapi penderitaan yang sedang menghimpitnya, kesepian dan penyakit kelamin yang dideritanya? Sungguhkah kita mampu menghadapi penderitaan tanpa pertolongan dan perhatian dari orang lain? Sungguhkan Petrus tidak membutuhkan kebaikan hati bapak dan keluarga angkatnya atau teman saya tidak mendambakan kehadiran dan kesetiaan isterinya? Apakah dalam penderitaan, setiap orang membutuhkan kesempatan kedua untuk bangkit dan kembali berdiri?

Sumber gambar : www.amazon.com

        
   

No comments:

Post a Comment