Hampir di setiap Minggu pagi, laki-laki kekar itu
melintas di depan rumah kami. Meski jalannya terseok-seok, langkahnya terlihat
begitu tegar. Tubuhnya atletis. Mungkin pada masa mudanya, ia begitu disiplin
menjaga tubuhnya. Dengan kaca mata hitam yang selalu ia kenakan, ia tampak
begitu percaya diri. Tongkat ramping dari besi yang dibawanya selalu menghentak
sejumlah kerikil dan kerakal yang menghalangi perjalanannya. Seolah ia tidak
pernah takut dan khawatir untuk tersesat
atau terjatuh meski ia adalah seorang penyandang tuna netra.
Laki-laki itu bernama Petrus. Sejak berumur 4 tahun,
matanya sudah tidak dapat melihat. Pada awalnya pria itu dilahirkan normal. Ia
masih dapat mengingat dengan jelas seperti apa bentuk pohon yang tumbuh di
depan rumahnya, cahaya sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya di pagi hari,
warna cat tembok rumah yang mulai terkelupas, dan tentu saja wajah kedua orang
tua yang selalu ia rindukan dalam mimpi, Namun, sebuah demam yang tinggi membuatnya
harus kehilangan matanya. Sejak itulah dunianya gelap. Hitam pekat bagai
jelaga. Bagi seorang anak, kondisi ini adalah sebuah tragedi. Karena selalu
menjadi obyek perundungan teman-teman sebayanya selama bertahun-tahun, pada
usia remaja, ia pernah berniat untuk menghabisi dirinya di sebuah jembatan. Ia
ingin agar sungai segera mengambil nyawa sekaligus penderitaannya.
Namun, rupanya takdir tidak mengizinkan Petrus untuk mati
muda. Seorang bapak yang tidak ia kenal mencegah dan membujuknya untuk mengurungkan
niatnya. Pada waktu itu ia sudah menjadi anak yatim piatu. Petrus tinggal
bersama neneknya yang selalu sakit-sakitan. Bagai sebuah drama, Petrus yang
sedang mengalami frustasi, diangkat anak oleh bapak yang baik hati itu. Bapak
dan keluarganya itu sangat menyayangi Petrus. Oleh bapak itu, Petrus
didaftarkan ke sebuah sekolah tuna netra di Bandung. Di sana ia mendapat banyak
teman yang nasibnya serupa. Babak kehidupan yang segar pun terbentang bagi
Petrus. Ia menemukan sebuah kehidupan yang baru.
Banyak teman yang mengira laki-laki yang selalu melintas
di depan rumah kami itu adalah seorang tukang pijat. Saya pun pernah berpikir
demikian. Namun, pada suatu saat, saya pernah mencegatnya untuk mengetahui apa
yang sesungguhnya ia kerjakan dari pagi sampai sore hari. Pria itu menjawab
bahwa ia adalah seorang kasir di sebuah perusahaan garmen, yang jaraknya tidak
jauh dari rumah kami. Sebagai kasir, ia telah bekerja selama 15 tahun lebih di
tempat itu. Tentu saja, informasi ini sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin
seorang penyandang tuna netra mampu mengurus keuangan yang cukup besar? Ah,
Petrus hanya tertawa. Ia mengatakan bahwa untuk melakukan pekerjaan itu ia
memiliki metode tertentu. Ia mengatur keuangan dengan mata hatinya sehingga ia
tidak pernah silau untuk mengurangi hak yang harus diterima para pegawai.
Perjumpaan saya dengan Petrus menjadi sebuah pembelajaran
kehidupan yang sangat berharga. Di balik keterbatasan yang ia miliki, Petrus
justru menyimpan kelebihan yang tidak
dimiliki banyak orang yang memiliki penglihatan normal.Ada beberapa hal penting
yang perlu saya catat di sini. Pertama,
Petrus tidak terfokus pada kekurangan dan keterbatasan yang ia miliki. Sejak
bergabung dengan sekolah tuna netra di Bandung, pria itu tidak pernah lagi menangisi
atau menyesali kondisinya. Ia merasa bahwa di balik keterbatasannya itu, ia
masih merasa berharga. Ia dicintai oleh kedua orang tua angkat dan keluarganya.
Ia dihormati oleh teman-temannya sebagai teman yang baik. Status
ketunanetraannya sama sekali tidak menghalanginya untuk berbahagia sebagai
manusia. Kedua, ia percaya
bahwa ia masih berguna bagi banyak orang. Kepandaiannya dalam berhitung dengan
cepat merupakan anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan
orang-orang di sekitarnya. Ketiga, ia
berani untuk menerobos dan membabat mitos tentang penyandang tuna netra yang
kerap dipahami dengan keliru oleh banyak orang. Ia menunjukkan bahwa penyandang
tuna netra tidak selalu identik dengan satu jenis pekerjaan informal seperti
tukang pijat atau urut. Dengan kepercayaan diri yang dimilikinya, Petrus mampu bersikap
optimis untuk menerjemahkan masa depan dengan cara mandiri.
Sayangnya, kisah kehidupan Petrus itu bisa dianggap
sebagai sebuah dystopia bagi banyak orang yang lebih memahami penderitaan atau
luka yang mereka miliki sebagai trauma yang tak tersembuhkan. Di sekitar Petrus
dan kita, terdapat begitu banyak orang yang percaya bahwa masa depan tidak
pernah hadir. Banyak orang yang meyakini bahwa kehidupan adalah sebuah kutukan, sebuah
nihilisme! Mengapa demikian? Salah satu hal yang menyebabkan hadirnya keyakinan
tersebut adalah ketidakmampuan mereka untuk melihat penderitaan sebagai bagian
penting dalam pematangan diri. Penderitaan sekadar dipandang sebagai sebuah
takdir nestapa yang harus dijalani. Dalam takdir itu, mereka merana sebagai
orang-orang kalah yang tidak layak dicintai dan diperhatikan kembali. Seperti
pada lirik lagu Hurt yang diciptakan
Nine Inch Nails dan dilantunkan kembali oleh Johnny Cash, kita melihat sebuah dunia
suram dari seseorang yang kehilangan harapannya karena penderitaan yang
menderanya.
I hurt myself today
To see if I still feel
I focus on the pain
The only thing that's real
The needle tears a hole
The old familiar sting
Try to kill it all away
But I remember everything
What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt
I wear this crown of thorns
Upon my liar's chair
Full of broken thoughts
I cannot repair
Beneath the stains of time
The feelings disappear
You are someone else
I am still right here
What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt
If I could start again
A million miles away
I would keep myself
I would find a way
To see if I still feel
I focus on the pain
The only thing that's real
The needle tears a hole
The old familiar sting
Try to kill it all away
But I remember everything
What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt
I wear this crown of thorns
Upon my liar's chair
Full of broken thoughts
I cannot repair
Beneath the stains of time
The feelings disappear
You are someone else
I am still right here
What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt
If I could start again
A million miles away
I would keep myself
I would find a way
Tidak dapat dipungkiri bahwa penderitaan menghampiri
setiap manusia. Namun, puji Tuhan,
penderitaan menjadi semacam alarm atau pengingat betapa rentannya manusia. Ia
menghadapi berbagai batas eksistensial yang nyata, batas-batas alamiah
yang tidak dapat ditaklukkan manusia. Kepasrahan menjadi kata kunci dalam hal
ini. Namun, sikap pasrah yang terlalu dihayati akan menjadi sebuah fatalisme.
Manusia seolah tidak punya daya untuk mengubah nasibnya karena dipaksa untuk
mengamini penderitaannya. Kekuatan untuk berdaya tahan seolah sirna.
Rasionalitas pun hilang. Tanpa bekas.
Namun, penderitaan tidak hanya menghilangkan rasionalitas
atau pengharapan, tetapi juga menjauhkan manusia dari sesamanya. Penderitaan mampu membuat manusia menjadi lebih introvert
sehingga cenderung menutupi dirinya secara rapat dari persentuhan dengan
sesamanya. Di mata mereka yang terbelenggu oleh penderitaan, kehadiran sesama
hanya menjadi beban yang semakin menghimpitnya. Ketulusan yang ditawarkan pun
dimentahkan sebagai kecurigaan. Keramahan dihancurkan berkeping-keping sebagai
permusuhan. Dalam penderitaan, manusia mungkin mencari tempat yang dapat
memberinya perlindungan bagi dirinya. Sayangnya, tempat yang dimaksud justru
bukanlah ruang yang memungkinkan ia dapat berinteraksi dengan sesamanya.
Tentu saja sikap introvert yang ditunjukkan oleh mereka
yang menderita seharusnya tidak menyurutkan semangat sejumlah orang yang ingin
berbuat baik. Kegigihan dan ketabahan yang luar biasa harus dimiliki oleh
mereka yang berusaha mendampingi si penderita. Saya teringat kepada seorang
teman yang baru saja sembuh dari kanker yang dideritanya selama bertahun-tahun.
Selama ia berjuang dengan kanker, isterinyalah yang selalu berada di
sampingnya. Wanita itu sungguh mendedikasikan dirinya bagi kesembuhan sang
suami. Dengan cara apapun, ia lakukan agar kondisi suaminya dapat kembali
normal. Akan tetapi, semakin wanita itu berusaha keras untuk mengupayakan kesembuhannya,
semakin besar penolakan yang dilakukan sang suami. Kemoterapi yang dijalani
selama bertahun-tahun membuat emosi sang suami sering tidak terkendali. Wanita itu
sering menjadi sasaran amarah dan murka suami. Namun, ia tetap tabah dan
tawakal. Ia percaya bahwa suatu saat badai dan kesulitan ini pasti berlalu dari
kehidupan mereka.
Kegigihan, ketabahan, dan kesabaran sang isteri ternyata
berbuah nyata. Ia menjadi orang yang pertama-tama bergembira karena mengetahui
bahwa kanker yang diidap sang suami sudah terangkat dan hilang. Secara literal,
kegembiraan yang ia alami juga menghapus rasa letih, frustasi, dan kepenatan
yang sempat menghampiri dirinya. Kesetiaannya untuk mendampingi suaminya itu
ternyata diamati pula oleh anak-anak mereka. Hal itu menjadi sebuah
pembelajaran yang sangat berharga bagi mereka bahwa bertahan bersama dalam
penderitaan adalah pilihan terbaik yang harus dijalankan. Dalam penderitaan, tiada
satupun anggota keluarga yang ditinggalkan. Selain tentang kesetiaan, anak-anak
mereka juga belajar bahwa keluarga
merupakan sekolah awal untuk memahami dan mengaplikasikan nilai solidaritas dan
keadilan.
Apa yang terjadi pada teman saya mungkin merupakan hal
yang langka pada masa kini tatkala lembaga perkawinan digoyang berbagai skandal.
Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak dapat bertahan hidup bersama mereka
yang sedang menderita. Kita pun dapat dengan mudah meninggalkan sahabat yang
dilanda kesulitan dan penderitaan hanya karena kita tidak ingin terlibat lebih
jauh dengan risiko yang ditimbulkannya. Memang bagi mereka
yang menderita sungguh bukanlah perkara yang mudah untuk bangkit dan kembali
berdiri. Dibutuhkan mentalitas dan semangat yang sungguh luar biasa untuk
mengubah penderitaan menjadi pengharapan, ketakutan menjadi keberanian, atau
kegelapan menjadi terang. Akan tetapi, tidak jarang pula kita menemukan optimisme
dan keberanian dari mereka yang sesungguhnya dikurung oleh penderitaan. Hal ini
misalnya dapat kita lihat dalam puisi Chairil Anwar, seorang maestro penyair di
Indonesia, yang berjudul Aku.
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Dalam
puisi itu, si aku telah menetapkan diri untuk tidak bergantung pada siapapun.
Meski menderita, ia merasa tidak perlu dikasihi. Baginya, penderitaan adalah
hal yang harus dijalani dan bahkan dinikmati. Ia percaya bahwa penderitaan akan
sirna dengan sendirinya karena penderitaan tidaklah lebih berarti ketimbang
semangat untuk hidup (elan vital).
Maka, dengan nada yang sangat optimis, ia menyatakan bahwa ia ingin lebih lama
hidup seribu tahun lagi. Namun, apakah puisi ini memang merupakan gambaran realisme
dari karakter Chairil yang sangat optimis? Atau apakah puisi ini sebenarnya
merupakan sebuah retorika palsu yang diucapkan Chairil karena ia sebenarnya takut
menghadapi penderitaan yang sedang menghimpitnya, kesepian dan penyakit kelamin
yang dideritanya? Sungguhkah kita mampu menghadapi penderitaan tanpa
pertolongan dan perhatian dari orang lain? Sungguhkan Petrus tidak membutuhkan kebaikan hati bapak dan keluarga angkatnya atau teman saya tidak mendambakan kehadiran dan kesetiaan isterinya? Apakah dalam penderitaan, setiap
orang membutuhkan kesempatan kedua untuk bangkit dan kembali berdiri?
Sumber gambar : www.amazon.com
No comments:
Post a Comment