Setidaknya ada 2 alasan penting yang mendasari mengapa pada masa lalu saya
diwajibkan untuk pergi ke sekolah oleh orang tua. Alasan pertama berkaitan
dengan harapan mereka agar saya dapat menjadi insan yang cerdas, tekun, bijaksana, dan penuh tata krama. Bagi mereka,
sekolah merupakan jembatan yang dapat menghantarkan setiap orang menuju masa
depan yang lebih baik. Untuk itu, orang tua juga mati-matian untuk memperingatkan
agar saya tidak malas atau mangkir dari sekolah. Alasan kedua berhubungan
dengan perhatian mereka terhadap pergaulan sosial yang saya lakukan di luar
rumah. Mereka mahfum bahwa saya membutuhkan teman-teman sepermainan dalam
pengembangan kedewasaan pribadi. Melalui teman-teman di sekolah, saya dapat
berjumpa dengan sejumlah pribadi dengan latar belakang yang berbeda dan
beragam.
Celakanya, alih-alih menjadikan sekolah sebagai tempat belajar, saya justru
menjadikan sekolah sebagai ruang permainan dengan teman-teman. Kendati saya
telah duduk di bangku kelas menengah sekalipun, sekolah masih saya pandang
sebagai ruang yang membahagiakan serupa Taman Kanak-Kanak. Di ruang itulah saya
dan teman-teman dapat bertemu, berteriak-teriak, melompat-lompat,
berkejar-kejaran, membicarakan para gadis yang kami idamkan, atau bercanda
dengan gelak tawa yang lepas. Pada saat itu, kami sungguh tidak peduli
seanarkis apa perilaku yang kami tunjukkan. Seolah kehidupan hanya berlangsung
hari ini saja. Carpe Diem! Alhasil,
kami kerap diganjar dengan banyak hukuman oleh para guru yang memandang kami
sebagai para devian di sekolah. Berlari jongkok mengitari lapangan basket,
berdiri tegak di tengah lapangan pada siang bolong, berdiri dengan satu kaki di
depan kelas, atau berdiri menghadap tembok sekolah kami yang berwarna kuning
pupus!
Seharusnya kami sedih dan menyesali perilaku kami yang sangat anomalis
itu. Akan tetapi, status sebagai pesakitan sekolah – demikian teman saya
menyebutnya- justru membuat kami bangga di hadapan banyak teman, terutama di
depan para gadis idaman. Kenakalan menjadi sebuah sensasi dan pleasure tersendiri bagi lelaki muda.
Namun, bagi orang tua, apa yang telah kami lakukan itu menjadi hal yang sangat
memalukan. Mereka mungkin sangat kecewa karena kami tidak mengindahkan harapan
mereka untuk menjadikan sekolah sebagai ruang belajar dan ruang persiapan bagi
masa depan. Untunglah, menjelang Ujian Nasional, saya dan teman-teman mulai
mencoba untuk bersikap dewasa. Kami berkomitmen itu menjadi siswa-siswa yang
normal. Maka, dengan kesadaran dan tanggung jawab yang cukup tinggi, sedikit
demi sedikit kami pun mulai memperbaiki diri dan kembali pada pemahaman bahwa
sekolah merupakan ruang belajar yang perlu dihormati.
Tak terasa, tiga puluh tahun sudah pengalaman tersebut berlalu.
Seolah-olah segalanya baru saja terjadi kemarin. Meski tembok sekolah sudah
berubah warna, lapangan basket tampak menyempit, atau
para guru mulai berganti, ingatan akan kebersamaan dengan teman-teman
sepermainan tidak pernah hilang. Berbagai hukuman yang pernah dijalani pada
masa lalu hanya menjadi cerita yang penuh olok-olok pada masa kini. Seolah-olah
hukuman itu menjadi salah satu bagian penting dalam permainan yang kami
lakukan. Mengingat kembali segala peristiwa itu serupa dengan mendapatkan dan
membuka album foto lapuk yang
tersimpan rapi di gudang.
Namun, dalam album foto itu, saya
juga menemukan begitu banyak figur yang
telah mengisi hari-hari saya pada masa
lalu, selain teman-teman di sekolah menengah. Saya melihat
sejumlah foto teman masa kecil ketika kami masih tinggal di Bogor. Saya
ingat, hampir setiap hari kami lewati dengan berbagai permainan yang
menyenangkan. Lihat, dengan wajah yang tak berdosa, kami semua tersenyum di
sana! Ah, betapa jauhnya kenangan itu telah saya tinggalkan. Di manakah mereka
saat ini? Saya menemukan pula foto-foto kelas yang diambil ketika kami hendak
lulus sekolah dasar. Tidak semua wajah terlihat optimis. Ada pula yang sedang
dirasuk oleh kegundahan karena khawatir dengan hasil ujian. Namun, wali kelas
kami terlihat begitu gembira dengan senyum cantiknya. Dalam foto itu, saya
tidak pernah berada di baris belakang karena baris itu selalu diisi oleh
teman-teman yang berbadan tinggi. Selama enam tahun, saya selalu setia berada
di depan bersama dengan teman-teman yang berbadan pendek.
Tidak terlupakan juga
beberapa foto yang diabadikan bersama teman-teman di sekolah menengah lanjutan.
Karya wisata dan ziarah kami ke Borobudur dan Sendang Sono menjadi foto-foto
yang sangat monumental. Dalam usia yang bergolak dan masa pubertas yang tak
tertahankan, kami menjadi pribadi yang optimis dan bengal, yang percaya bahwa
dunia dapat kami taklukkan dengan heavy metal, puisi Rendra, dan sebatang
Marlboro. Kami tampak begitu berani dengan rambut gondrong dan tubuh langsing.
Itulah masa-masa emas yang tidak dapat terlupa. Bersama mereka, saya mulai
didewasakan dan dituntun untuk menemukan diri saya yang sebenarnya. Bersama
mereka jugalah, cinta a la anak-anak monyet menjadi paket dari petualangan masa
muda. Terlintas beberapa wajah ayu nan simpatik yang sempat mampir di hati.
Surat-surat yang berisi pengharapan dan kerinduan selalu dinanti dengan
ketegangan tingkat tinggi. Namun, semua berlalu sebagai kepingan memori. Di manakah
mereka saat ini?
Lalu bagaimana dengan
masa kuliah? Ah, begitu banyak wajah dan nama yang ingin diingat! Terlalu banyak
kisah dan legenda yang patut dituturkan tentang mereka. Dengan cara
masing-masing, setiap orang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Mereka pernah mengisi ruang batin kita dengan sejumlah canda, ketulusan, renjana, rasa takjub, asmara,
kegetiran, penolakan, khianat, dan sakit hati. Kendati demikian, semuanya
terajut sebagai rangkaian pengalaman yang tak mungkin terulang kembali. Sebagai
pengalaman, rajutan itu sama sekali tidak terpisah dengan eksistensi kita pada
masa kini. Keberadaan kita merupakan kumpulan dari berbagai rajutan baik yang
tebal maupun yang tipis, yang berasal dari perjumpaan kita dengan sesama kita. Rajutan
ini menjadi semacam jejak bahwa setiap manusia tidak dapat sepenuhnya
meninggalkan kenangan dan masa lalu sebagai sebuah hal yang tidak berguna.
Album foto yang teronggok lapuk di gudang perlu juga untuk dibuka kembali.
Siapa tahu di sana kita menemukan kembali jati diri kita yang sesungguhnya,
yang mungkin karena suatu hal telah dilupakan sama sekali.
Membuka album foto
kenangan merupakan cara mudah untuk menarik diri dari amnesia sejarah yang kerap
kita alami. Menarik untuk mengamati sebuah lagu yang berjudul Days Gone By yang pernah dirilis oleh
Slaughter, band hard rock asal Amerika, pada tahun 1992 di album mereka, The Wild Life.
Its so good
to see you now
Its been so long since we've been together
You kept in touch somehow
You always found a way to be there
I wish that I could stop the hands
Of time between us
All the days gone by
Do you remember when
We were the best of friends
All the days gone by
You know that memories
Never fade
As your watchin all your days go by
Lookin back on younger years
Thats what are hopes and dreams
Are made of
All the laughter and the tears
Its the feelin of love that make us
I wish that I could stop the hands
Of time between us
All the days gone by
Do you remember when
We were the best of friends
All the days gone by
Its been so long since we've been together
You kept in touch somehow
You always found a way to be there
I wish that I could stop the hands
Of time between us
All the days gone by
Do you remember when
We were the best of friends
All the days gone by
You know that memories
Never fade
As your watchin all your days go by
Lookin back on younger years
Thats what are hopes and dreams
Are made of
All the laughter and the tears
Its the feelin of love that make us
I wish that I could stop the hands
Of time between us
All the days gone by
Do you remember when
We were the best of friends
All the days gone by
You know
that memories never fade
As your watchin all your days go by
Oooo all of the feelins
That we had before
But thru the years
As your watchin all your days go by
Oooo all of the feelins
That we had before
But thru the years
The memories
we share
You cant erase them from your mind
All of the days gone by
You know that memories never fade
As your watchin all your days go by
They go by (they go by)
They go by (they go by)
They go by (they go by)
They go by
Memories never fade
As your watchin all your days go by
Oh
You cant erase them from your mind
All of the days gone by
You know that memories never fade
As your watchin all your days go by
They go by (they go by)
They go by (they go by)
They go by (they go by)
They go by
Memories never fade
As your watchin all your days go by
Oh
Saya sepakat dengan
Slaughter bahwa kenangan bersama orang-orang yang pernah mengisi hari dan hati
kita perlu dirayakan. Meski waktu terus melaju, kenangan yang pernah kita lalui
tidak tertinggal. Sebaliknya, perjalanan waktu justru menguatkan kenangan
tersebut sehingga tidak pernah terhapus dalam benak. Semakin kita menyadari
betapa cepatnya waktu berlalu dalam kehidupan kita, semakin kita memahami
betapa berharganya kenangan yang pernah dilewati. Kenangan menjadi tidak
terbeli karena setiap peristiwa hanya hadir satu kali dalam kehidupan kita.
Waktu memang membawanya pergi, namun sayangnya gerak waktu tidak mampu
menghapus jejak kenangan yang telah ditorehkan peristiwa.
Ingatan akan kenangan di
masa lalu termasuk tema yang kerap dibicarakan dan dibahas sebagai sumber inspirasi
penciptaan dalam dunia populer. Hal demikian, misalnya, banyak saya temukan
dalam novel-novel karya Nh. Dini. Dalam khazanah sastra Indonesia, Nh.Dini dikenal sebagai seorang penulis wanita
yang kerap mengisahkan sejumlah kenangan yang pernah dilaluinya pada masa
remaja bersama keluarga dan teman-temannya. Menurut pengakuannya, novel-novel itu ditulisnya berdasarkan kisah
kehidupannya. Beberapa novel yang membahas tentang kenangan itu di antaranya
adalah Sebuah Lorong di Kotaku
(1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah
(1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami
(1979), dan Sekayu (1981). Dari
perspektif sastra, sebagaimana ditulis Nh. Dini, kenangan akan masa lalu
menjadi sesuatu yang sangat bermakna dalam kehidupan seseorang. Saya kutipkan
sedikit bagaimana Nh. Dini mengenang seorang pemuda yang bernama Mas Nur, yang
pernah hadir di dalam hidupnya.
Pengalaman itu dapat kunamakan sebagai cinta tiga
lakon. Hampir selama tujuh bulan kami berlatih bersama, bertemu, dan berbicara
untuk saling mengenal lebih dekat. Begitu pentasan berakhir, kami jarang
berjumpa lagi, kecuali di hari Minggu. Kadang-kadang keinginan untuk bertemu
dengannya terkabul, kadang-kadang tidak. Dapat dikatakan lebih sering
terkecewakan. Mas Nur memiliki kegiatan lain, ialah berlatih renang. Tahun itu
dia berusaha merebut kejuaraan kota. Di kala aku melihatnya muncul di Eka
Kapti, dia tidak tinggal lama bersama kami. Tetapi dia tidak pernah lupa
mencari dan menyalamiku, bertanya buku apa lagi yang telah dibaca sejak
pertemuan kami yang terakhir, tanaman apa yang baru kudapatkan serta
urusan-urusan lain yang sama sekali lepas dari pelajaran sekolah. Semuanya
berlangsung singkat, karena terputus oleh teguran kawan-kawan lain, oleh
latihan gamelan maupun tari yang kami ikuti.
Kemudian lama sekali aku tidak bertemu dengan dia.
Sampai saat harus meninggalkan kotaku, aku tidak pernah lagi berkesempatan
mengetahui di mana dia. Kenanganku yang nyaman terhadapnya tetap sedap, tetap
kusimpan di dalam hati yang cerah. Kesan yang ditinggalkannya padaku jauh lebih
membentuk daripada Dirga. Memang keduanya tidak dapat dibandingkan. Aku pernah
merindukan Dirga sebagai seorang pemuda yang menarik jasmaniahnya. Sifatnya dan
kelakuannya tidak mempengaruhiku. Sedangkan Mas Nur, aku mengaguminya, aku
tertarik kepada keseluruhan wajah dan tubuhnya, aku banyak belajar daripadanya.
(Sekayu, hlm. 150-151)
Di balik setiap kenangan,
ternyata ada kisah yang dapat dituturkan. Kendati kita hidup bagi masa depan,
tidak dapat disangkal, kita diseret untuk memperhatikan kembali apa yang pernah
kita alami pada masa lalu. Namun, sekuat apapun kita merasakan hal itu,
kenangan memang tidak dapat dihidupkan kembali. Kenangan hanya bisa menjadi
semacam referensi yang membantu kita untuk menjalani hari ini dengan lebih baik
sehingga dapat meloncat jauh lebih tinggi di masa depan. Maka, ada baiknya bila
kita mengingat-ingat kenangan yang baik, yang menguatkan, dan yang inspiratif
yang pernah kita jalani bersama orang lain. Orang bijak mengatakan bahwa apa
yang baik pada masa lalu dapat diambil dan dikembangkan untuk hari ini dan masa
depan. Akan tetapi apa yang buruk pada masa lalu harus segera ditinggalkan atau
jika perlu, diubah dan diperbaiki demi masa depan yang lebih baik.
Kendati begitu, kita perlu
juga menyadari bahwa hari yang kita jalani pada hari ini sesungguhnya akan
menjadi bagian dari kenangan itu sendiri. Tanpa disadari, waktu pun bergerak
sebagaimana kita bergerak pula.Celakanya, sebagai manusia modern, kita kerap
alpa bahwa kehidupan kita berjalan dalam waktu yang selalu bersifat sekejap,
sementara, dan terbatas. Meski demikian, dalam kesementaraan dan keterbatasan itu,
untunglah, manusia masih memiliki memori tempat segala kenangan dirajut dan
ditenun sebagai hal yang bermakna dalam kehidupannya. Sejauh manusia dapat menghidupi kehidupannya
sebagai sesuatu yang sangat berharga, memori itu tiada pudar. Memories never fade as your watchin all your days go by.
No comments:
Post a Comment