Nasionalisme
tidak lahir dari laku tapa di bawah pohon beringin. Nasionalisme adalah buah
dari perjuangan dan ikhtiar yang terus-menerus dari sebuah bangsa, sebuah
nasion. Itulah uraian pertama tentang nasionalisme yang pernah saya dengar dari
pidato Ir. Soekarno yang dikasetkan. Di balik suara yang menggelegar itu
seolah-olah terdapat kesungguhan yang ingin ditularkan Presiden pertama
Republik Indonesia ini kepada para pendengarnya. Ya, bagi Soekarno, nasionalisme
bukanlah sebuah proses instant, melainkan sebuah proses panjang yang menjadikan
sebuah bangsa sebagai bangsa yang berakar pada sejarahnya dan cita-cita masa
depan. Nasionalisme bukanlah sebuah produk material, melainkan sebuah spirit
yang memampukan sebuah bangsa dapat berdiri tegar dalam percaturan peradaban.
Saya
membayangkan nasionalisme yang diikhtiarkan Soekarno lebih dari sekadar sebuah
mata air di padang gurun. Mata air itu memang mampu mengatasi rasa dahaga yang
mencekik. Namun, mata air itu bukanlah sarana yang mampu menghentikan rasa
dahaga secara total. Mata air itu hanya bersifat sementara. Kendati begitu, secara
ontologism, ia tetaplah sesuatu yang sangat berharga di tengah padang gurun.
Dalam kondisi kritis, ia bisa menjadi hal yang diperebutkan secara emosional
dan bahkan brutal sekalipun. Maka, nasionalisme perlu dihadirkan ketika kita
merasa kering sebagai bangsa. Nasionalisme perlu dihadirkan ketika kita sedang
mengalami krisis kebangsaan!
Celakanya,
sebagai manusia modern, kita cenderung percaya pula bahwa nasionalisme itu
dapat dihadirkan melalui sejumlah hal simbolik yang berkaitan dengan eksistensi
formal sebuah negara seperti bendera, bahasa, atau lagu-lagu nasional. Bahkan
dalam budaya populer sejumlah hal simbolik itu dinyatakan pula dalam olah raga,
pentas film, fashion, atau teknologi besutan anak bangsa. Karena itu, bila
nasionalisme menjadi sebuah euphoria – hanya karena tim nasional sepakbola kita
mampu mencukur gundul tim negara lain atau karena film nasional kita berjaya di
ajang internasional, bisa dipahami. Akan tetapi, tak jarang, kita juga
menyaksikan bagaimana nasionalisme demikian redup dengan cepat manakala tim
nasional kita menjadi bulan-bulanan tim negara lain atau film nasional kita
dianggap sebagai sebuah seni murahan.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa konsep nasionalisme kerap berkaitan erat dengan penilaian
secara emosional. Dalam hal ini nasionalisme ditampilkan sebagai benteng
pamungkas untuk membendung beberapa pengaruh yang mengancam identitas bangsa.
Ketika sebuah bentuk kesenian nasional secara tiba-tiba didaku sebagai milik
negara lain, rakyat bereaksi dengan sangat sengit. Dengan sangat cepat, emosi
rakyat pun tersulut. Padahal, kalau kita mau kritis, dalam kehidupan
sehari-hari, bentuk kesenian tersebut kerap dianggap sebagai artefak usang yang
berada di antara garis antara ada dan tiada. Kesenian reog atau batik,
misalnya, masih dianggap sebagian besar orang sebagai bagian dari
tradisionalisme yang tidak perlu dirawat. Berapa banyak anak muda di negeri ini
yang bisa menikmati pertunjukan Reog? Berapa banyak anak muda di negeri ini
yang berani mengenakan baju batik sebagai kostum pesta perpisahan kelas?
Tentu saja,
nasionalisme bukanlah perkara like
atau dislike. Nasionalisme bukanlah
soal penilaian baik atau buruk. Nasionalisme juga bukanlah ilusi atau fatamorgana.
Nasionalisme adalah energi, daya, roh, dan spirit yang menopang jati diri
bangsa, bukan isme-isme yang lain. Di atas spirit itu, Indonesia dibangun,
diciptakan, dan dimuliakan sebagai sebuah negara kebangsaan, bukan negara
monarki, oligarki, kapitalis, religi, atau komunis. Indonesia adalah negara
tempat setiap rakyat dapat hidup sebagai bangsa meski memiliki sejumlah latar
belakang yang berbeda-beda. Saling menghormati kebebasan individu dan
menjunjung tinggi cita-cita bersama.
Akan
tetapi, pernyataan tersebut, tanpa disadari, justru menjadi pertanyaan besar
pada hari ini. Apakah sungguh bangsa Indonesia telah menempatkan dirinya
sebagai bangsa yang mengartikulasikan dirinya sebagai nasionalis? Berani hidup
bersama dalam sejumlah perbedaan? Berani untuk tidak mendaku isme-isme yang
lain selain nasionalisme?
Persoalan
nasionalisme ternyata bukan hanya menjadi sebuah debat kusir di negara ini.
Amerika yang konon disebut-sebut sebagai role
model nasionalisme dan patriotisme pun mengalami hal serupa. Nasionalisme
menjadi hal yang kerap diuji dan diperiksa dalam sejumlah teks yang justru
sering tidak berhubungan langsung dengan dunia politik.
Lagu We Built This City (1985) yang dibawakan
Starship merupakan salah satu teks populer yang menurut hemat saya sedang
mempertanyakan makna nasionalisme Amerika pada tahun 1980-an. Akan tetapi, lagu
yang ditulis oleh pencipta lagu kondang, Bernard Taupin dan Martin Page, ini
tidak menohok nasionalisme sebagai ideologi politik semata-mata, melainkan
sebagai sistem penyangga sosial dalam kehidupan bangsa Amerika.
We
built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll
Say you don't know me, or recognize my face
Say you don't care who goes to that kind of place
Knee deep in the hoopla, sinking in your fight
Too many runaways eating up the night
Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll
We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll
Say you don't know me, or recognize my face
Say you don't care who goes to that kind of place
Knee deep in the hoopla, sinking in your fight
Too many runaways eating up the night
Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll
We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll
Someone's
always playing corporation games
Who cares they're always changing corporation names
We just want to dance here, someone stole the stage
They call us irresponsible, write us off the page
Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll
We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll
It's just another Sunday, in a tired old street
Police have got the choke hold, oh, then we just lost the beat
Who counts the money underneath the bar
Who writes the wrecking ball into our guitars
Don't tell us you need us, 'cause we're the ship of fools
Looking for America, coming through your schools
(I'm looking out over that Golden Gate bridge
Out on a gorgeous sunny Saturday, I'm seein' that bumper to bumper traffic)
Don't you remember (remember)
(Here's your favorite radio station, in your favorite radio city
The city by the bay, the city that rocks, the city that never sleeps)
Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll
Who cares they're always changing corporation names
We just want to dance here, someone stole the stage
They call us irresponsible, write us off the page
Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll
We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll
It's just another Sunday, in a tired old street
Police have got the choke hold, oh, then we just lost the beat
Who counts the money underneath the bar
Who writes the wrecking ball into our guitars
Don't tell us you need us, 'cause we're the ship of fools
Looking for America, coming through your schools
(I'm looking out over that Golden Gate bridge
Out on a gorgeous sunny Saturday, I'm seein' that bumper to bumper traffic)
Don't you remember (remember)
(Here's your favorite radio station, in your favorite radio city
The city by the bay, the city that rocks, the city that never sleeps)
Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll
We
built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll
Meski
secara eksplisit berbicara tentang kondisi kota Los Angeles pada tahun 1980-an,
lagu itu memandang nasionalisme yang pernah dibangun oleh para founding fathers seperti Abraham Lincoln, pembebas para budak
belian, erat berhubungan dengan prinsip kebebasan individu dan rasa hormat
terhadap sesama sebagaimana selalu ditanamkan kepada rakyat Amerika sejak
kecil. Nasionalisme yang dimaksud di sini adalah nasionalisme yang berpihak
kepada semua rakyat, bukan segelintir pihak. Akan tetapi, dalam lagu tersebut,
hal yang terjadi justru sebaliknya. Nasionalisme yang dibangga-banggakan
Amerika telah mandeg dan digantikan oleh kapitalisme dan modernisme yang akut. Salah
satu buktinya adalah bahwa ekspresi musik yang diteriakkan rock’n’roll dibatasi. Di Los Angeles semua tempat pertunjukan live untuk musik ini ditutup dan
digantikan korporasi-korporasi kapitalis. Dalam kaca mata lagu itu, nasionalisme
Amerika yang dibangun dari waktu ke waktu dalam nama spirit rock’n’roll itu telah tergerus habis!
Berbicara
tentang spirit rock’n’roll, saya jadi
teringat pada presiden negara ini, Jokowi alias Joko Widodo. Tak dapat
dinafikan bahwa sepanjang karirnya Jokowi telah menghadirkan spirit rock’n’roll itu dalam aktivitasnya sehari-hari.
Gerakan blusukan yang ia pelopori
sejak menjabat sebagai walikota di Solo seolah-olah menegaskan bahwa spirit rock’n’roll yang dinamis, lincah, dan
penuh terobosan baru menjadi sumber inspirasinya. Sayangnya, setelah 100 hari
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, menurut hemat saya, spirit itu
tampak mengendur. Jokowi tampak terlihat lost
the beat! Saat ini, ia sedang diharapkan untuk bersikap tegas dan arif atas
sejumlah kasus yang sedang membelenggu kinerja pemerintahannya.
Tentu saja,
saya berharap, presiden pilihan kita itu, cepat atau lambat, dapat menghadirkan
wajah nasionalisme Indonesia yang lebih nyata sebagaimana diikhtiarkan Ir.
Soekarno dan para founding fathers
bangsa pada masa lalu. Namun, hal demikian bukanlah usaha yang mudah. Di depan
akan terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi dan diatasi beliau. Untuk
hal ini, dengan kesadaran penuh, saya percaya bahwa Jokowi dapat menunjukkan
pemahaman mengenai nasionalisme yang mandiri, manusiawi, pluralis, bermartabat,
dan berdaulat kepada kita dan dunia. Jika sampai saat ini, beliau belum mengupayakan
sejumlah hal itu dengan semestinya, marilah kita, atas nama spirit rock’n’roll, tetap berharap agar
nasionalisme yang ingin kita bangun bukanlah sebuah fatamorgana.
Sumber gambar: www.galleryhip.com