Tahun baru
telah kita sambut. Konon, tahun baru itu identik dengan optimisme akan harapan
dan impian yang lebih kuat, lebih segar. Itulah mengapa pada setiap malam
pergantian tahun ada begitu banyak tradisi yang secara simbolis hendak memutus
habis ikatan kenangan buruk dengan harapan cerah di masa depan. Di daerah saya,
setiap orang dapat membakar kalender, agenda, atau barang-barang yang
berhubungan dengan masa lalu sebagai wujud keseriusan mereka untuk mengusahakan
masa depan yang lebih baik. Maka,
lihatlah! Pada setiap 1 Januari pagi ada begitu banyak wajah yang bersemangat
dan ceria untuk menjalani aktivitas. Tampaknya tidak ada hari yang lebih
menggairahkan dan menyenangkan selain hari itu.
Ya, hari
ini adalah hari kesekian di tahun yang baru. Namun, masihkah energi dan
semangat yang hadir pada malam pergantian tahun bergelora? Ini bukanlah pertanyaan
retoris. Pertanyaan ini perlu diajukan karena faktanya, ritme kehidupan
sehari-hari mulai berjalan normal. Segalanya kembali pada rutinitas seperti
yang pernah kita jalani pada tahun-tahun sebelumnya. Mungkin harapan yang baru
lahir itu tinggal angan-angan ketika kesulitan hidup yang kita alami mulai
menyergap. Apakah wajah-wajah yang pernah berseri dan cerah di pagi hari itu
masih tersisa?
Saya
bukanlah seorang pesimis pada dasarnya. Namun, harga-harga kebutuhan pokok yang
sudah melambung pada hari ini membuat saya harus pula bersikap realistis. Saya
sadar, apapun harapan dan impian yang pernah saya deklarasikan di malam
pergantian tahun itu butuh proses lebih dari satu hari, satu bulan, atau
mungkin beberapa tahun untuk diwujudkan.
Maka, ketika harus menghadapi fakta betapa kebutuhan ekonomi telah
meningkat, saya mau tidak mau harus memiliki impian dan harapan yang lebih
besar ketimbang sebelumnya, bukan justru mematahkan atau meninggalkannya.
Dengan cara demikian, setidaknya saya dapat merasa bersikap antisipatif dan
tenang secara psikologis.
Dalam
sebuah acara televisi, Tukul, seorang komedian kondang, pernah menyatakan
sebuah kalimat yang menurut saya begitu bijaksana dan inspiratif. “Selagi gula masih terasa manis, kopi terasa
pahit, dan garam terasa asin, kita masih perlu bersyukur kepada Tuhan, “
ujarnya. Ya, harga kebutuhan pokok yang
kita konsumsi sehari-hari pasti akan selalu meningkat dan berbagai problem yang
kita hadapi pun akan datang silih berganti. Namun, kita diminta untuk tidak
putus asa. Pergulatan kita bukanlah semata-mata pergulatan pribadi. Bagaimanapun,
kita tetap diminta untuk selalu bersyukur. Harga dan problem itu tidak akan
pernah mengubah apa yang diciptakan dan diberikan Tuhan kepada manusia. Harga
dan problem itu tidak akan membuat Tuhan meninggalkan kita. Kita hanya perlu
bersyukur. Itu saja.
Apa yang
dinyatakan Tukul mengingatkan saya pada lagu Everybody Hurts yang dibawakan sebuah band rock alternatif dari
Georgia Amerika, R.E.M. Lagu yang terdapat dalam album Automatic for the People (1992) itu ditulis oleh Bill Berry, mantan
drummer R.E.M yang saat ini berprofesi sebagai seorang petani. Dalam lagu itu
Berry berpesan kepada mereka yang hilang dan putus harapan serta semangatnya
agar tetap bersikap positif untuk melanjutkan hidup. Bagi saya, lagu Everybody Hurts adalah sebuah lonceng
yang membangunkan dan mengajak setiap orang untuk tetap mencintai hidupnya
meski kesulitan, kesakitan, dan kegagalan harus dialami. Itulah mengapa ketika menyanyikan lagu ini,
Michael Stipe, sang vokalis, bersuara lantang, dengan pengucapan yang sangat
jelas. R.E.M ingin agar pesan yang terkandung dalam lagu itu dapat didengar
dunia, didengar kita semua.
Everybody
hurts
Take comfort
in your friends
Everybody hurts
Don’t throw
your hand
Don’t throw your
hand
If you feel
like you’re alone
No, no, no,
you are not alone
Ya, jangan
menyerah untuk menaklukkan badai yang selalu menerjang kehidupan. Setiap orang
pasti mengalami badai itu. Setiap orang harus melewatinya. Berdasarkan
pengalaman yang telah saya jalani, kesulitan ekonomi bukanlah satu-satunya
perkara dalam hidup ini. Hilangnya cinta pun bukanlah satu-satunya problem
dalam hidup ini. Setahu saya, kesulitan dan nestapa hidup hanya dapat dihadapi
jika kita mau bergerak, bekerja, atau melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Semakin banyak kita bergerak, semakin kita didekatkan pada harapan dan impian
yang akan kita capai. Itulah usaha pertahanan yang dapat kita usahakan. Saya
senang dengan ungkapan Jawa untuk menggambarkan usaha itu secara lugas. Ora obah ora mamah. Tidak bergerak,
tidak makan!
Ya, hari
ini adalah hari kesekian di tahun yang baru. Tetaplah bangun mimpi dan
harapanmu! Jangan pernah menyerah bila target finansial meleset dan tambatan
hati belum jua menghampiri. Jangan
pernah putus asa bila mimpi dan harapanmu belum juga terwujud. Ingat, semua
orang pasti mengalaminya. Kita tidak pernah sendiri. Tidak pernah sendiri!
Sumber : www.arstechnica.com
No comments:
Post a Comment