Monday, 12 January 2015

When I See You Smile : Senyum dan Kekuatannya

Jatuh cinta berjuta rasanya. Tua, muda, siapapun pasti merasakannya. Meski begitu, jatuh cinta kerap jadi peristiwa yang misterius. Kehadirannya tidak dapat ditebak. Bisa mendadak hadir. Bisa lama menunggu. Namun, penyebabnya dapat ditengarai. Dan diperkirakan, ada seribu satu alasan mengapa orang bisa jatuh cinta. Salah satunya adalah senyuman.

Senyum adalah bahasa tubuh yang paling mudah dilakukan setiap orang sehat. Namun, senyum bisa menjadi hal yang sangat menyebalkan tatkala kita sedang mengalami sakit gigi dan sakit hati. Meski kita mencobanya, senyum yang ditampilkan terasa hambar. Kata orang, senyum sangat berkaitan dengan ketulusan. Maka kita tahu mengapa senyum para gadis sales promotion dan para perawat berbeda. Mengapa senyum Pak Polisi di tengah arena razia berbanding terbalik dengan senyum seorang guru di hadapan muridnya yang berhasil lulus. Ketulusan itu terlihat bukan dari lengkungan senyum yang ditunjukkan, tetapi dari efek yang ditimbulkannya. Konon, satu senyuman tulus dapat menjadi obat bagi hati yang terluka.

Kendati ketulusan menjadi prasyarat utama, tidak jarang memang, senyuman menjadi begitu manipulatif. Mereka yang kerap bersandiwara dengan kehidupan akan menjual senyuman sebagai jangkar penjerat. Melalui senyuman itu orang bisa terpesona dan simpatik, tetapi melalui senyuman itu pula orang bisa jatuh dari tebing tinggi. Di satu sisi senyuman menghidupi, tetapi di sisi lain mematikan. Dalam sejarah, kita menemukan bagaimana banyak orang jatuh karena senyuman. Karena senyuman Delilah, Samson takluk dan tidak berkutik. Karena senyuman Cleopatra, Markus Antonius meninggalkan Roma. Karena senyuman Giacomo Casanova, banyak wanita aristokrat abad ke-19 tergila-gila untuk jatuh ke pelukannya. Dan sebagainya.

Ya, tanpa kita sadari, senyuman punya korelasi penting dengan peradaban. Baik senyuman tulus maupun manipulatif tetap punya potensi untuk mengubah jalannya sejarah sebuah bangsa. Sayangnya, dalam masa perang, orang akan sulit tersenyum. Ketika Hiroshima dan Nagasaki dihadiahi bom oleh Amerika, tiada satupun orang di Jepang selama dua dekade lamanya mampu tersenyum lebar. Ya, tragedi mampu memadamkan apapun termasuk senyuman. Celakanya, ketika hal itu terpadamkan, butuh waktu lama untuk menghidupkannya kembali sebagai sebuah pengharapan.

Maka, jatuh cinta adalah juga sebuah persoalan mengenai peradaban. Bagi yang jatuh cinta, senyuman tidak sekadar penting, tetapi merupakan sebuah tanda bermakna yang harus hadir. Senyuman kekasih adalah matahari yang membangunkan semesta. Senyuman kekasih adalah oase penyejuk di padang gurun. Senyuman kekasih adalah sebuah tanda bahwa cinta telah hadir di sana! Pendek kata, senyuman punya makna yang cukup penting. Itulah mengapa senyuman menjadi salah satu obyek yang menarik bagi para penyair untuk ditulis sebagai puisi atau lirik lagu.

Mengenai senyuman, saya ingat dengan sebuah lagu yang berjudul When I See You Smile. Lagu ini dilantunkan dengan sangat apik oleh John Waite, vokalis Bad English pada tahun 1989 dalam album perdana mereka, Bad English. Meski usia band rock itu relatif singkat, 3 tahun, lagu yang mereka bawakan terdengar begitu abadi. Ya, lagu yang diciptakan Diane Warren itu sebenarnya sungguh sederhana. Lagu itu berkisah bagaimana senyuman sang kekasih mampu menjadi energi yang luar biasa bagi pasangannya. Sebegitu besarkah kekuatan yang dipancarkan senyuman? Tentu saja, kita tidak boleh meremehkannya. Jika ditilik secara kritis, lagu tersebut bisa menjadi otokritik bagi wajah percintaan manusia modern yang kerap alpa dengan hal-hal kecil. Bukankah kerap cinta layu sebelum berkembang hanya disebabkan oleh pudarnya perhatian terhadap kebiasaan-kebiasaan kecil? Coba cermati lirik lagunya berikut ini.

Sometimes I wonder how I'd ever make it through
Through this world without having you
I just wouldn't have a clue

'Cause sometimes it seems like this world's closing in on me
And there's no way of breaking free
And then I see you reach for me

Sometimes I wanna give up, wanna give in
I wanna quit the fight
And then I see you baby
And everything's alright, everything's alright

When I see you smile, I can face the world
Oh, oh
You know I can do anything
When I see you smile, I see a ray of light
Oh, oh

I see it shining right through the rain
When I see you smile
Baby when I see you smile at me
Oh, yeah

Baby there's nothing in this world that could ever do
What a touch of your hand can do
It's like nothing that I ever knew
Hay

And when the rain is falling, I don't feel it
'Cause you're here with me now
And one look at you baby
Is all I'll ever need, all I'll ever need

Sometimes I wanna give up, I wanna give in
I wanna quit the fight
Then one look at you baby
And everything's alright
Hay, everything's alright
It's alright

Ya, lagu ini mengingatkan kita kembali betapa hal-hal kecil bisa berpengaruh pada keputusan-keputusan besar. Meski tampak kecil, sederhana, dan mudah untuk dilakukan, senyuman, sekali lagi, tidak dapat diabaikan, bukan hanya dalam hubungan percintaan, melainkan pula dalam kehidupan sehari-hari. Ada sejumlah kekuatan besar yang tersembunyi di baliknya. Senyuman adalah pengharapan bagi mereka yang putus asa. Senyuman adalah kekuatan bagi mereka yang lemah. Senyuman adalah perlindungan bagi mereka yang khawatir. Senyuman adalah terang bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Senyuman adalah sebuah solidaritas!

Mengakhiri tulisan ini, saya jadi teringat lagi kepada seorang penasihat yang berujar bahwa senyum yang kita berikan merupakan bagian dari ibadah yang kita jalankan. Saya tidak tahu seberapa sering kita tersenyum kepada setiap orang yang kita jumpai baik di rumah, tempat kerja, atau ruang publik. Hal yang perlu kita pahami adalah bahwa ada efek sosial dan psikologis yang begitu hebat dari senyuman itu. Namun, bagaimanapun, tetap juga perlu diperhatikan untuk tidak tersenyum sendiri. Bisa berbahaya …

Sumber gambar : www.eil.com    

No comments:

Post a Comment