Wednesday, 14 January 2015

Future World : Antara Utopia dan Sisyphus

Berbicara tentang dunia masa depan adalah berbicara tentang prediksi dan tafsiran. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sedemikian cepat, pembicaraan tentang dunia masa depan selalu menyisakan sejumlah potongan puzzle yang kosong. Sejauh ini para penulis fiksi adalah para perintis yang berani menghadirkan gambaran tentang masa depan dengan menerobos batas ruang dan waktu secara imajinatif. Mereka menghadirkan serangkaian petualangan manusia untuk menemukan wilayah yang lebih baik, maju, dan sejahtera melalui cerita tentang mesin waktu, penjelajahan ke tanah antah-berantah, atau dunia serba robot. Tidak dapat disangkal, beberapa hal yang dipikirkan para penulis itu ternyata dapat terwujud nyata dalam kehidupan manusia modern. Kendati demikian, manusia modern tidak berhenti untuk mencari dunia masa depan.

Dalam diskursus filsafat, masa depan menjadi salah satu topik yang menarik. Dalam teori panta rhei yang diungkapkan Heraklitos, masa depan digambarkan sebagai sebuah konsekuensi dari perubahan. Masa depan adalah bagian dari waktu yang mengalir. Dia selalu ada mendahului manusia sehingga sulit untuk ditangkap. Namun, dalam hukum perubahan, perlu pula dicermati bahwa apa yang dianggap sebagai masa depan itu akan surut dan berubah menjadi masa lalu. Pendek kata, masa depan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dilampaui. Di satu sisi, kehidupan merupakan sebuah perjalanan arus waktu yang membimbing kita menuju muara peristiwa-peristiwa yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Di sisi lain, masa depan adalah sebuah kemungkinan yang justru membawa kita untuk meninggalkan masa lalu dan masa kini.

Menarik untuk diperhatikan bagaimana selama ini pandangan mengenai masa depan selalu disikapi dalam 2 ranah yang berbeda, yaitu religi dan ekonomi. Ranah religi memandang masa depan sebagai ruang pemenuhan amal ibadah manusia selama berada di dunia. Dalam hal ini sorga menjadi bentuk masa depan yang paling didambakan. Sementara itu, ranah ekonomi memandang masa depan sebagai sebuah kondisi dimana kesejahteraan dan jaminan ekonomi yang mapan tersedia di masa tua. Maka wajarlah dipahami bila setiap orang punya impian untuk mencukupi kebutuhan sorgawi sekaligus duniawi secara mantab sebelum usia mendekati uzur.

Dari dua ranah itu kita dapat melihat bahwa masa depan sangat dekat dengan pengharapan yang sesungguhnya. Namun, masa depan yang ingin digapai kedua ranah itu, bagi saya, belum dapat terwujud sepenuhnya bila belum dilandasi oleh situasi yang damai. Kedamaian, menurut saya, menjadi kunci  hadirnya masa depan yang lebih baik, sejahtera, makmur, dan manusiawi. Setidaknya apa yang saya idealkan itu tampaknya diamini pula oleh lagu Future World yang dibawakan sebuah band speed metal asal Jerman, Helloween.

Lagu yang diciptakan oleh Ken Hammer dan Ronnie Atkins, mantan personel Pretty Maids, sebuah band asal Denmark era 1980-an itu dapat ditemukan  dalam album Keeper of the Seven Keys Part 1 yang dirilis Helloween pada tahun 1987. Lagu itu bercerita tentang sebuah dunia di masa depan tempat kebahagiaan, kedamaian, dan kebersamaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, dunia masa depan yang dimaksud tidak dibicarakan dalam kerangka apokaliptik yang religius atau perspektif futuristik yang teknologis. Dunia yang dibicarakan sebenarnya adalah hari esok tanpa rasa takut, hari esok tanpa rasa cemas, hari esok yang damai dan penuh cinta. Ya, Future World tidak menempatkan dunia masa depan sebagai utopia atau ruang imajinatif yang jauh dari kenyataan manusia modern sehari-hari. Future World menghadirkan hari esok sebagai sebuah keyakinan yang dapat dijalani dengan lebih baik. Ya, Future World adalah sebuah dunia yang optimistis.

We all live in happiness
Our life is full of joy
We say the word “tomorrow
without fear”

The feeling of togetherness
Is always at our side
We love our life and
We know we will stay …

Meski optimisme muncul di dalam lagu itu, kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bagi masyarakat modern kehadiran hari esok kerap telah dibayang-bayangi kecemasan dan kekhawatiran. Memang banyak kemajuan yang dicapai masyarakat modern, tetapi hal itu tidak dapat membuat manusia merasakan kenyamanan yang sejati. Manusia modern, pada akhirnya, harus menjalani absurditas seperti yang dilakoni Sisyphus sebagai orang terhukum, membawa batu sampai puncak gunung dan menggulingkannya kembali ke bawah terus-menerus. Konsep kedamaian yang dibangun manusia diluluhlantakkan pula oleh tangan yang justru mendirikan cinta dan perdamaian sebagai monumen abadi dalam peradaban manusia. Di bawah atap yang sama, kejahatan dan kebaikan hidup bersama sampai menunggu waktu siapa yang akan menjadi pemenangnya. Inikah model dunia masa depan yang diharapkan manusia?

Peristiwa pembantaian sejumlah jurnalis di Perancis beberapa waktu lalu menjadi sebuah kado tragis di tahun yang baru.  Tentu saja peristiwa itu bukanlah berita pertama tentang hilangnya rasa kemanusiaan dalam kehidupan manusia modern. Bagi saya, peristiwa itu hanya menjadi semacam gema dari sebuah perjalanan peradaban yang dibangun di atas tumpukan demi tumpukan mayat dan aliran sungai-sungai darah. Lihat! Perang dan pertikaian antarbangsa, antarkelompok, antarsuku, antaragama, antarmanusia masih saja berlangsung!  Darah Habel masih juga tertumpah sampai hari ini. Seruan Tuhan “Dimanakah Adikmu?”  hanya terdengar senyap dan samar-samar. Kapankah hal ini akan berakhir?  Masihkah kita optimis untuk menciptakan sebuah dunia masa depan yang damai dan tenteram? Betapa sulit mewujudkan hari tanpa rasa takut!

Kendati ada kekhawatiran demikian, saya percaya, pesan yang disampaikan lagu Future World masih menyiratkan semangat untuk menyuarakan kegembiraan.  Setidaknya sampai detik ini pesan di dalam lagu itu belum menjadi artefak atau relikui tentang impian manusia yang terperosok dan hilang dalam kubangan sejarah penuh air mata.


Sumber gambar : article.wn.com      

No comments:

Post a Comment