Sejak dilahirkan ke dunia, manusia membutuhkan kehadiran manusia lain. Selama berabad-abad,
pernyataan demikian telah menjadi semacam keniscayaan yang tak terelakkan dalam sejarah manusia. Bahkan jauh
sebelum dilahirkan, manusia pun sudah sangat tergantung pada kebaikan dan
ketulusan ibu yang mengandungnya. Di dalam rahim yang
hangat itu ia dijaga, diperhatikan,
diberi makan, dan selalu didoakan agar sehat dan nyaman sampai waktunya
dilahirkan ke dunia. Di antara bayi dan ibunya, terdapat semacam tali pengikat
misterius yang tidak hanya menyatukan fisik, melainkan juga batin keduanya. Pendek
kata, sejak awal, manusia tidak dapat berdiri sendiri untuk menyatakan
keberadaannya. Dia butuh manusia lain di sampingnya.
Setelah dewasa, ketergantungan manusia terhadap sesamanya pun tidak
berkurang. Kali ini, tentu saja, ia tidak lagi bergantung kepada ibunya. Pergaulan dan pengenalannya
terhadap orang lain membuatnya
dapat memahami bahwa kehadiran sesama memiliki arti yang sangat penting dalam
perkembangan pribadinya sebagai manusia dewasa. Bersama orang lain, ia dapat
semakin mengenali dirinya dengan lebih baik. Bersama orang lain, ia juga dapat
mengenali keberagaman pribadi yang sama sekali tidak ia temukan di dalam
dirinya. Bersama orang lain itu, ia dapat belajar banyak hal seperti jatuh
cinta, sakit hati, kecewa, gembira, menangis atau tertawa selebar-lebarnya.
Karena setiap manusia
perlu memiliki keterkaitan dengan pribadi yang lain, komunikasi pun menjadi salah
satu sektor yang paling sibuk untuk dimaknai terus-menerus. Komunikasi menjadi
tolok ukur seberapa jauh ketergantungan satu pribadi dengan pribadi yang lain
dapat terjadi. Namun di penghujung abad ke-19, sebuah revolusi peradaban
manusia muncul bersama mesin cetak yang ditemukan Gutenberg. Mesin itu pun
dalam sekejap mengubah perspektif komunikasi langsung karena mampu menggandakan
pesan dalam jumlah yang sangat banyak. Kehadiran para pendongeng dan dalang masa
lalu yang piawai menyampaikan kebijakan kehidupan melalui cerita yang
disampaikan dari mulut ke mulut secara tiba-tiba tidak lagi diperlukan karena sejumlah teks yang telah dicetak dapat dibaca
dan bahkan disimpan. Interpretasi atas pesan keagamaan pun tidak lagi menjadi
monopoli kaum klerus yang bertekun dalam biara, namun kaum awam pun mulai
berdaya untuk menafsirkan Sabda Tuhan itu di dalam bilik kamarnya.
Secara diam-diam
teknologi cetak mereduksi hadirnya interaksi dengan pihak lain. Teknologi cetak
malah menciptakan sebuah masyarakat baru yaitu masyarakat pembaca sekaligus
penafsir. Meski mampu melahirkan sebuah komunitas, komunikasi berciri tulisan
ini ternyata bersifat elitis. Pada masa Pencerahan komunikasi tertulis menjadi
properti utama bagi kaum cendekiawan,
magistra, dan literati. Mereka adalah orang-orang yang mampu membaca sekaligus
menafsirkan teks-teks tertulis. Mereka, boleh dikatakan, adalah manusia-manusia
setengah dewa yang mampu menghampiri pintu sorga serta membaca pesan para dewa
bagi manusia. Disadari atau tidak, posisi komunikasi tertulis dianggap lebih
penting dan terpercaya ketimbang komunikasi lisan yang dilakukan secara
langsung.
Namun, usia komunikasi
tertulis tidak efermal. Pada pertengahan Perang Dunia I, manusia mulai
diperkenalkan pada komunikasi visual. Hadirnya komunikasi ini ditandai dengan
ditayangkannya motion pictures atau
gambar-gambar bergerak. Komunikasi baru ini menimbulkan histeria sekaligus
euforia. Pada awalnya gambar-gambar tersebut disusun secara berurutan dalam
pita seluloid. Seiring dengan perkembangan teknologi perfilman, pita seluloid
itu ditinggalkan dan digantikan oleh sistem analog dan terakhir oleh sistem
digital. Pada akhir abad ke-21 komunikasi visual secara penuh telah mengambil
alih komunikasi tertulis dan semakin menghempaskan komunikasi lisan. Namun,
komunikasi visual bukanlah puncak dari perkembangan teknologi.
Memasuki tahun 2000,
sebagian besar wajah dunia mulai berubah dengan cepat karena hadirnya komunikasi
jaringan yang telah dirintis bertahun-tahun sebelumnya. Komunikasi jaringan itu
berpadu serasi dengan komunikasi visual. Perpaduan ini dengan cepat menjadi
milik masyarakat. Muncullah sejumlah gawai dan telepon pintar yang mampu
menghipnosis mereka. Di hadapan komunikasi jaringan itu, komunikasi lisan dan
komunikasi tertulis hanya menjadi sebuah catatan sejarah. Kendati begitu,
komunikasi terbaru ini memiliki 2 sisi yang patut dicermati. Di satu sisi,
sebagai sarana komunikasi, baik gawai maupun telepon pintar memang menawarkan
keterhubungan yang tak berbatas kepada siapapun. Akan tetapi, di sisi lain,
keduanya justru menjadi biang keterputusan komunikasi di antara orang-orang
terdekat.
Dari perjalanan
panjang ini, terlihat betapa sarana komunikasi yang ditemukan dan dibangun oleh
manusia tidak selamanya dapat membuatnya menghayati makna dari komunikasi yang
sesungguhnya. Alih-alih membangun hubungan, berbagai sarana komunikasi itu justru
menghadirkan tembok yang tinggi dan
tebal bagi terciptanya hubungan yang tulus dan manusiawi. Dalam derajat yang
ekstrem, sarana komunikasi itu dapat mengasingkan manusia satu dengan manusia
lainnya. Celakanya, kondisi seperti ini semakin sering terjadi pada masa kini
ketika komunikasi jaringan visual merampas kehidupan sosial manusia modern. Komunikasi
tersebut menjadikan manusia sebagai insan-insan yang kesepian. Meski media
sosial mereka dipenuhi ribuan follower,
mereka sama sekali tidak bahagia. Pasalnya, dari sekian ribu follower, ternyata
tiada satupun yang mau menemani, memahami, dan memadamkan gejolak dan
pergumulan hidupnya.
Kendati berada dalam
kekosongan dan kehampaan, manusia tetap mendambakan
kehadiran figur yang mampu mengangkatnya keluar dari situasi tersebut. Manusia
sungguh menginginkan komunikasi dalam makna yang seutuhnya. Dalam lagu I Believe in You yang ditembangkan oleh
Stryper pada akhir tahun 1980-an, yang dimaksud dengan komunikasi dalam makna
yang seutuhnya itu adalah cinta. Ya, bagi Stryper, cinta menjadi bentuk paling
kongkret dalam sebuah interaksi yang komunikatif. Sebagai sarana komunikasi,
cinta mampu mengubah orientasi kehidupan manusia dengan cara yang luar biasa. Dalam hal ini
cinta yang dibicarakan tidak semata tertuju kepada pemenuhan kepentingan diri
sendiri. Akan tetapi, cinta yang dimaksud lebih merupakan dorongan untuk keluar
dari diri sendiri kepada orang lain agar kehidupan orang itu dapat lebih
bahagia dan sejahtera.
Time seemed to pass me by
I found myself alone, wondering why
Then you came into my life
And gave your love to me
That showed me the way
In my heart you'll stay
And I believe in you
Whoa-oh through and through
Always and forever it will be
You and me together
I want your love forever
I need your love
You're the only one
That fills my heart
And I love you
More and more everyday
And I believe in you
Whoa-oh through and through
Always and forever it will be you and me
I will sing to you and all you do
Always and forever it will be you and me together
Salah satu wujud nyata dari
kepenuhan cinta adalah hadirnya kepercayaan dan keyakinan kepada mereka yang
kita cintai. Sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata bagaimana kepercayaan dan
keyakinan ini dapat hadir di dalam diri setiap insan. Namun, seperti tetumbuhan
yang hidup dan berbuah karena disiram, dipupuk, dan dirawat dengan baik,
kepercayaan dan keyakinan itu pun dapat dialami sebagai sebuah gerak organik
yang alamiah. Kepercayaan dan keyakinan inilah yang mampu menjadi pondasi yang
kuat bagi hadirnya cinta sejati di hubungan sepasang kekasih, sahabat, maupun antaranggota
keluarga. Di sanalah kebaikan, ketulusan, dan kelembutan hati untuk selalu
memaafkan dan menerima keterbatasan menjadi puitika kehidupan yang berharga.
Santa Teresa dari Avila,
seorang mistikus Karmel, pernah mengatakan bahwa kepercayaan dan keyakinan itu
sebaiknya tidak hanya berhenti pada cinta sejati antarmanusia, tetapi harus
terus berlanjut kepada hubungan cinta sejati antara manusia dengan Tuhan. Menurutnya,
hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan persahabatan sejati yang
terjalin melalui perjumpaan personal antara manusia dengan Tuhan. Persahabatan
ini harus dihidupi setiap hari sebagaimana seseorang sangat merindukan
kekasihnya setiap waktu. Santa Teresa
menyatakan bahwa kekasih sejati dalam segalanya mencintai dan selalu mengingat
sang kekasih. Ia menerima sesuatu yang berharga yang hanya dapat dibawa di
dalam sudut-sudut doa hatinya. Karena itu, adalah sebuah kerinduan yang tak
terbendung jika keinginan untuk bersama kekasih hati dalam ikatan abadi menjadi
tujuan komunikasi yang paling utama sebagaimana terlihat dalam doa yang kita
batinkan atau kita ucapkan setiap waktu.
Dari sini, kita mulai
mengetahui bahwa komunikasi sebagai aktifitas manusiawi juga bernuansa mistik
bagi kehidupan batin kita. Komunikasi bukanlah sekadar cara untuk menyampaikan
informasi, tetapi juga merupakan jalan untuk menjalin persahabatan baik antara
manusia dengan manusia lain maupun antara manusia dengan Sang Pencipta.
Kepercayaan dan keyakinan yang ditumbuhkan dalam komunikasi menjadi bukti bahwa
komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia
akan yang lain di luar dirinya. Dengan begitu, dalam komunikasi, manusia
seharusnya tidak lagi diarahkan sebagai follower,
tetapi dapat hadir sebagai sahabat.
Sumber gambar : www.45cat.com