Saturday, 21 January 2017

I Believe in You : Nuansa Mistik di Balik Komunikasi



Sejak dilahirkan ke dunia, manusia membutuhkan kehadiran manusia lain. Selama berabad-abad, pernyataan demikian telah menjadi semacam keniscayaan yang tak terelakkan dalam sejarah manusia. Bahkan jauh sebelum dilahirkan, manusia pun sudah sangat tergantung pada kebaikan dan ketulusan ibu yang mengandungnya. Di dalam rahim yang hangat itu ia dijaga, diperhatikan, diberi makan, dan selalu didoakan agar sehat dan nyaman sampai waktunya dilahirkan ke dunia. Di antara bayi dan ibunya, terdapat semacam tali pengikat misterius yang tidak hanya menyatukan fisik, melainkan juga batin keduanya. Pendek kata, sejak awal, manusia tidak dapat berdiri sendiri untuk menyatakan keberadaannya. Dia butuh manusia lain di sampingnya.
Setelah dewasa, ketergantungan manusia terhadap  sesamanya pun tidak berkurang. Kali ini, tentu saja, ia tidak lagi bergantung kepada ibunya. Pergaulan dan pengenalannya terhadap orang lain membuatnya dapat memahami bahwa kehadiran sesama memiliki arti yang sangat penting dalam perkembangan pribadinya sebagai manusia dewasa. Bersama orang lain, ia dapat semakin mengenali dirinya dengan lebih baik. Bersama orang lain, ia juga dapat mengenali keberagaman pribadi yang sama sekali tidak ia temukan di dalam dirinya. Bersama orang lain itu, ia dapat belajar banyak hal seperti jatuh cinta, sakit hati, kecewa, gembira, menangis atau tertawa selebar-lebarnya.
Karena setiap manusia perlu memiliki keterkaitan dengan pribadi yang lain, komunikasi pun menjadi salah satu sektor yang paling sibuk untuk dimaknai terus-menerus. Komunikasi menjadi tolok ukur seberapa jauh ketergantungan satu pribadi dengan pribadi yang lain dapat terjadi. Namun di penghujung abad ke-19, sebuah revolusi peradaban manusia muncul bersama mesin cetak yang ditemukan Gutenberg. Mesin itu pun dalam sekejap mengubah perspektif komunikasi langsung karena mampu menggandakan pesan dalam jumlah yang sangat banyak. Kehadiran para pendongeng dan dalang masa lalu yang piawai menyampaikan kebijakan kehidupan melalui cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut secara tiba-tiba tidak lagi diperlukan karena  sejumlah teks yang telah dicetak dapat dibaca dan bahkan disimpan. Interpretasi atas pesan keagamaan pun tidak lagi menjadi monopoli kaum klerus yang bertekun dalam biara, namun kaum awam pun mulai berdaya untuk menafsirkan Sabda Tuhan itu di dalam bilik kamarnya.
Secara diam-diam teknologi cetak mereduksi hadirnya interaksi dengan pihak lain. Teknologi cetak malah menciptakan sebuah masyarakat baru yaitu masyarakat pembaca sekaligus penafsir. Meski mampu melahirkan sebuah komunitas, komunikasi berciri tulisan ini ternyata bersifat elitis. Pada masa Pencerahan komunikasi tertulis menjadi properti utama bagi kaum  cendekiawan, magistra, dan literati. Mereka adalah orang-orang yang mampu membaca sekaligus menafsirkan teks-teks tertulis. Mereka, boleh dikatakan, adalah manusia-manusia setengah dewa yang mampu menghampiri pintu sorga serta membaca pesan para dewa bagi manusia. Disadari atau tidak, posisi komunikasi tertulis dianggap lebih penting dan terpercaya ketimbang komunikasi lisan yang dilakukan secara langsung.
Namun, usia komunikasi tertulis tidak efermal. Pada pertengahan Perang Dunia I, manusia mulai diperkenalkan pada komunikasi visual. Hadirnya komunikasi ini ditandai dengan ditayangkannya motion pictures atau gambar-gambar bergerak. Komunikasi baru ini menimbulkan histeria sekaligus euforia. Pada awalnya gambar-gambar tersebut disusun secara berurutan dalam pita seluloid. Seiring dengan perkembangan teknologi perfilman, pita seluloid itu ditinggalkan dan digantikan oleh sistem analog dan terakhir oleh sistem digital. Pada akhir abad ke-21 komunikasi visual secara penuh telah mengambil alih komunikasi tertulis dan semakin menghempaskan komunikasi lisan. Namun, komunikasi visual bukanlah puncak dari perkembangan teknologi.
Memasuki tahun 2000, sebagian besar wajah dunia mulai berubah dengan cepat karena hadirnya komunikasi jaringan yang telah dirintis bertahun-tahun sebelumnya. Komunikasi jaringan itu berpadu serasi dengan komunikasi visual. Perpaduan ini dengan cepat menjadi milik masyarakat. Muncullah sejumlah gawai dan telepon pintar yang mampu menghipnosis mereka. Di hadapan komunikasi jaringan itu, komunikasi lisan dan komunikasi tertulis hanya menjadi sebuah catatan sejarah. Kendati begitu, komunikasi terbaru ini memiliki 2 sisi yang patut dicermati. Di satu sisi, sebagai sarana komunikasi, baik gawai maupun telepon pintar memang menawarkan keterhubungan yang tak berbatas kepada siapapun. Akan tetapi, di sisi lain, keduanya justru menjadi biang keterputusan komunikasi di antara orang-orang terdekat.
Dari perjalanan panjang ini, terlihat betapa sarana komunikasi yang ditemukan dan dibangun oleh manusia tidak selamanya dapat membuatnya menghayati makna dari komunikasi yang sesungguhnya. Alih-alih membangun hubungan, berbagai sarana komunikasi itu justru  menghadirkan tembok yang tinggi dan tebal bagi terciptanya hubungan yang tulus dan manusiawi. Dalam derajat yang ekstrem, sarana komunikasi itu dapat mengasingkan manusia satu dengan manusia lainnya. Celakanya, kondisi seperti ini semakin sering terjadi pada masa kini ketika komunikasi jaringan visual merampas kehidupan sosial manusia modern. Komunikasi tersebut menjadikan manusia sebagai insan-insan yang kesepian. Meski media sosial mereka dipenuhi ribuan follower, mereka sama sekali tidak bahagia. Pasalnya, dari sekian ribu follower, ternyata tiada satupun yang mau menemani, memahami, dan memadamkan gejolak dan pergumulan hidupnya.
Kendati berada dalam kekosongan  dan kehampaan, manusia tetap mendambakan kehadiran figur yang mampu mengangkatnya keluar dari situasi tersebut. Manusia sungguh menginginkan komunikasi dalam makna yang seutuhnya. Dalam lagu I Believe in You yang ditembangkan oleh Stryper pada akhir tahun 1980-an, yang dimaksud dengan komunikasi dalam makna yang seutuhnya itu adalah cinta. Ya, bagi Stryper, cinta menjadi bentuk paling kongkret dalam sebuah interaksi yang komunikatif. Sebagai sarana komunikasi, cinta mampu mengubah orientasi kehidupan manusia  dengan cara yang luar biasa. Dalam hal ini cinta yang dibicarakan tidak semata tertuju kepada pemenuhan kepentingan diri sendiri. Akan tetapi, cinta yang dimaksud lebih merupakan dorongan untuk keluar dari diri sendiri kepada orang lain agar kehidupan orang itu dapat lebih bahagia dan sejahtera.   
 
Time seemed to pass me by
I found myself alone, wondering why
Then you came into my life
And gave your love to me
That showed me the way
In my heart you'll stay

And I believe in you
Whoa-oh through and through
Always and forever it will be
You and me together

I want your love forever
I need your love
You're the only one
That fills my heart
And I love you
More and more everyday

And I believe in you
Whoa-oh through and through
Always and forever it will be you and me
I will sing to you and all you do
Always and forever it will be you and me together

Salah satu wujud nyata dari kepenuhan cinta adalah hadirnya kepercayaan dan keyakinan kepada mereka yang kita cintai. Sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata bagaimana kepercayaan dan keyakinan ini dapat hadir di dalam diri setiap insan. Namun, seperti tetumbuhan yang hidup dan berbuah karena disiram, dipupuk, dan dirawat dengan baik, kepercayaan dan keyakinan itu pun dapat dialami sebagai sebuah gerak organik yang alamiah. Kepercayaan dan keyakinan inilah yang mampu menjadi pondasi yang kuat bagi hadirnya cinta sejati di hubungan sepasang kekasih, sahabat, maupun antaranggota keluarga. Di sanalah kebaikan, ketulusan, dan kelembutan hati untuk selalu memaafkan dan menerima keterbatasan menjadi puitika kehidupan yang berharga.
Santa Teresa dari Avila, seorang mistikus Karmel, pernah mengatakan bahwa kepercayaan dan keyakinan itu sebaiknya tidak hanya berhenti pada cinta sejati antarmanusia, tetapi harus terus berlanjut kepada hubungan cinta sejati antara manusia dengan Tuhan. Menurutnya, hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan persahabatan sejati yang terjalin melalui perjumpaan personal antara manusia dengan Tuhan. Persahabatan ini harus dihidupi setiap hari sebagaimana seseorang sangat merindukan kekasihnya setiap waktu.  Santa Teresa menyatakan bahwa kekasih sejati dalam segalanya mencintai dan selalu mengingat sang kekasih. Ia menerima sesuatu yang berharga yang hanya dapat dibawa di dalam sudut-sudut doa hatinya. Karena itu, adalah sebuah kerinduan yang tak terbendung jika keinginan untuk bersama kekasih hati dalam ikatan abadi menjadi tujuan komunikasi yang paling utama sebagaimana terlihat dalam doa yang kita batinkan atau kita ucapkan setiap waktu.
Dari sini, kita mulai mengetahui bahwa komunikasi sebagai aktifitas manusiawi juga bernuansa mistik bagi kehidupan batin kita. Komunikasi bukanlah sekadar cara untuk menyampaikan informasi, tetapi juga merupakan jalan untuk menjalin persahabatan baik antara manusia dengan manusia lain maupun antara manusia dengan Sang Pencipta. Kepercayaan dan keyakinan yang ditumbuhkan dalam komunikasi menjadi bukti bahwa komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia akan yang lain di luar dirinya. Dengan begitu, dalam komunikasi, manusia seharusnya tidak lagi diarahkan sebagai follower, tetapi dapat hadir sebagai sahabat.
  
Sumber gambar : www.45cat.com
     




Saturday, 14 January 2017

Englishman in New York : Ketika Harus Menjadi Diri Sendiri


Identitas atau jati diri merupakan persoalan yang cukup pelik dalam masyarakat modern yang cepat berubah. Hal ini bukan berarti bahwa persoalan mengenai identitas harus selalu berkaitan dengan sesuatu yang tetap. Sebagai makhluk yang dinamis, manusia harus memahami bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Tidak terelakkan bahwa identitas yang dimiliki setiap individu modern pun cenderung berubah dan mengikuti gerak zamannya. Manusia modern harus menjalani mobilitas sosial yang sangat progresif. Namun, letak kepelikan yang dimaksud justru berkaitan erat dengan seni berkeputusan di balik penentuan identitas. Pasalnya, setiap individu baru bisa disebut sebagai individu yang beridentitas ketika ia bisa membuat keputusan yang tepat dan bertanggungjawab.
Saya memiliki cerita singkat tentang bagaimana sulitnya mengambil keputusan di dalam masyarakat modern. Ketika demam berbelanja di Toko Serba Ada (Toserba) mewabah di kota kelahiran saya pada awal tahun 1980-an, membeli baju atau sepatu menjadi hal yang sangat sulit. Pasalnya, setiap toko selalu menawarkan begitu banyak pilihan baik dalam model, motif, maupun jenisnya. Sebagai seorang remaja, tidak mudah bagi saya untuk memilih apa yang sesungguhnya saya butuhkan atau saya inginkan. Setiap kali saya mencoba untuk memilih salah satu dari berbagai baju atau sepatu itu, rasa ragu justru semakin menguat. Apakah sungguh baju atau sepatu ini yang saya pilih? Apakah sungguh baju atau sepatu ini yang saya inginkan? Jangan-jangan apa yang saya pilih ini tidak berasal dari apa yang sesungguhnya saya butuhkan? Celakanya, kalaupun saya telah memilih salah satu dari barang itu, entah mengapa, selalu terselip rasa penyesalan karena telah mengabaikan yang lainnya.
Setelah beranjak dewasa, saya dapat melihat bahwa seni berkeputusan sungguh sangat penting. Seni ini tidak hanya dipergunakan ketika saya harus menentukan apa yang saya inginkan atau apa yang saya butuhkan, tetapi juga dipergunakan ketika saya harus menegakkan tiang prinsip dan prioritas  hidup saya. Kendati begitu, seni berkeputusan bukanlah aktifitas yang mudah dilakukan dengan cepat. Jelas dibutuhkan serangkaian pelatihan dan pembiasaan agar otot-otot kesadaran kita dapat semakin lentur dan terbiasa untuk menjalankan seni ini. Dari manakah pelatihan dan pembiasaan ini dapat disampaikan? Saya memandang, ada 3 institusi dalam masyarakat modern yang memiliki peran strategis dalam pelatihan dan pembiasaan seni berkeputusan ini, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga adalah ruang utama yang dapat memberikan tonggak awal bagi perkembangan hidup individu. Di dalam keluarga, anak-anak dapat diajarkan sejak dini untuk bertanggungjawab dengan banyak keputusan yang dipilihnya. Untuk dapat memilih, salah satu hal penting yang tidak dapat diabaikan adalah hadirnya rasa percaya diri. Dalam hal ini masyarakat Jepang dapat dijadikan sebagai contoh penting. Sejak dini mereka telah mengajarkan anak-anak mereka untuk berani membersihkan diri, tanpa bantuan, setelah membuang air besar. Kendati tampak begitu kecil, membersihkan diri menjadi bagian dari sikap disiplin yang harus diperhatikan setiap individu. Dengan cara demikian, the care of the self atau perhatian terhadap diri sendiri dapat terbentuk menjadi sebuah kebiasaan. Sayangnya, sikap yang dilakukan oleh masyarakat Jepang ini belum diikuti oleh banyak keluarga kita. Kita masih kerap memperlakukan anak-anak kita sebagai bayi-bayi yang harus ditimang-timang. Kita lupa bahwa bayi-bayi itu suatu waktu memiliki potensi untuk berdiri dan berlari sebagai manusia dewasa.
Sekolah adalah institusi yang sebenarnya juga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter. Seni berkeputusan seharusnya menjadi agenda penting dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, seni tersebut tidak dapat tumbuh karena sejak awal telah ditumpulkan dengan doktrin bahwa murid hanyalah peserta didik, obyek dari kurikulum. Dalam adat ketimuran, disyaratkan pula bagi murid untuk tunduk dan taat pada petunjuk guru. Keutamaan ini, menurut hemat saya, sungguh sangat mulia untuk mendidik kerendahan hati para murid, namun sangat berbahaya manakala keutamaan ini justru dipergunakan oleh guru sebagai sarana untuk menundukkan dan mendominasi mereka atas nama peraturan. Hal demikian dapat kita uji dari sejauhmana kebebasan para murid untuk bertanya atau menyampaikan gagasannya dapat dilakukan. Saya mengamati bahwa mereka ternyata lebih lihai untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan apa yang mereka pelajari ketimbang mengajukan pertanyaan. Saya tidak tahu apakah mengajukan pertanyaan itu dianggap sebagai sinyal dari sikap pemberontakan, subversif?
Lalu bagaimana dengan masyarakat? Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak setia. Integritas mereka bukan terletak pada perawatan, melainkan pada konsumerisme. Karena itu, cita rasa dan daya estetik masyarakat modern sedemikian cepat berubah. Pergerakan mereka cenderung digerakkan oleh bandul pendulum kepuasaan dan kenikmatan dalam aktifitas berbelanja. Toko serba ada atau mall yang didirikan masyarakat modern menggambarkan secara simbolis betapa penuhnya keinginan mereka terhadap aspek kepuasan dan kenikmatan konsumtif. Kepuasan dan kenikmatan yang sama sekali tidak dapat dihentikan ini membuat manusia modern menjadi budak dari sikap irasionalitas. Akibatnya, daya reflektif sangat rendah dan makna kehidupan menjadi sangat dangkal. Dalam situasi demikian, disadari bahwa seni berkeputusan atau melakukan diskresi sangat diperlukan kendati hal tersebut sulit untuk dilakukan seperti melawan arus yang sangat deras.
Setia pada tradisi yang dianggap baik adalah salah satu cara untuk menampilkan identitas atau jati diri secara positif. Dalam zaman seperti ini, memutuskan untuk setia terhadap satu tradisi jelas bukanlah tindakan yang mudah. Orang yang mempraktikkan hal ini akan dianggap sebagai devian oleh masyarakat sekitar. Ia akan dicemooh sebagai orang kuno, orang yang dilahirkan pada masa pra-modern. Mungkin pula, ia akan dicibir sebagai orang yang anti kemajuan. Namun, di balik pilihan itu, ada sebuah sikap yang patut dipuji, yaitu sikap untuk menjadi diri sendiri, sebagaimana tersampaikan dalam lirik lagu Englishman in New York yang dilantunkan oleh Sting.              
 
I don't drink coffee I take tea my dear
I like my toast done on one side
And you can hear it in my accent when I talk
I'm an Englishman in New York

See me walking down Fifth Avenue
A walking cane here at my side
I take it everywhere I walk
I'm an Englishman in New York

I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York

If "Manners maketh man" as someone said
Then he's the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say

I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York

Modesty, propriety can lead to notoriety
You could end up as the only one
Gentleness, sobriety are rare in this society
At night a candle's brighter than the sun

Takes more than combat gear to make a man
Takes more than a license for a gun
Confront your enemies, avoid them when you can
A gentleman will walk but never run

If "Manners maketh man" as someone said
Then he's the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say [3x]

I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York

Sejak awal lirik lagu ini sebenarnya ingin menceritakan sebuah kontras dalam kehidupan masyarakat modern. Kontras yang dimaksud berpusat pada pertentangan antara wawasan dunia tradisional versus wawasan dunia modern dalam masyarakat Barat. Kontras seperti ini dapat ditemukan di kota besar seperti New York. Sebagai pusat kehidupan ekonomi dan budaya, New York menjadi tempat bertemunya berbagai pandangan dan gaya hidup yang berbeda. Di sana, perbedaan memang dihormati sebagai bagian dari hak manusia untuk berdemokrasi. Namun, Sting secara tajam mencermati bahwa di balik kesan New York yang ramah bagi siapapun, masih terlihat cara pandang masyarakat kota yang bersifat monolitik, yang memandang sikap tradisional sebagai sebuah anomali.
Kendati begitu, menjadi diri sendiri tetap menjadi pernyataan yang penting dalam penentuan identitas diri pada masa kini. Tentu saja, ada beberapa konsekuensi yang harus ditanggung di balik pernyataan itu. Pertama, menjadi diri sendiri berarti mau memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap bermakna walau individu lain atau masyarakat melihat sikap tersebut dengan sebelah mata. Kedua, menjadi diri sendiri berarti berani memutuskan untuk diasingkan sebagai yang lain (the others) dan teralienasi dari lingkungan. Ketiga, menjadi diri sendiri berarti mau menjadi otentik sehingga berani pula  memperjuangkan keunikan individu sebagai sebuah karunia Ilahi dengan kesadaran penuh. Keempat, menjadi diri sendiri berarti mau menghormati, menghargai, dan mengapresiasi hadirnya keragaman yang terdapat di dalam diri orang lain dan masyarakat.
Dalam masyarakat yang kerap hadir dalam keseragaman, menjadi diri sendiri tampaknya menjadi alternatif yang dapat membebaskan dan mengembalikan manusia sebagai makhluk yang unik.Sungguh, bukanlah hal yang mudah untuk keluar dari rombongan masyarakat yang memiliki satu dimensi seperti pada masa kini. Kita sudah terlanjur hadir sebagai follower dan penumpang, Apa yang kita makan, apa yang kita pakai, apa yang kita hidupi sudah terlanjur ditentukan oleh sebuah sistem konsumtif yang begitu besar. Kita seharusnya dapat berlari dari sana. Akan tetapi, kita tidak akan pernah berlari, kita akan terus berjalan. A gentleman will walk but never run. Berjalan untuk menjalani apa yang telah kita yakini, apa yang telah kita pilih, apa yang telah kita putuskan. Be yourself no matter what they say!

Sumber gambar : www.onthesetofnewyork.com     

Friday, 13 January 2017

Tears in Heaven : Merenungkan Kematian sebagai Peristiwa Kemanusiaan



Sejak masa kanak-kanak, kuburan menjadi tempat yang paling menakutkan bagi saya.  Setiap kali melewati kuburan yang terletak di tepi jalan utama, saya selalu merapat kepada ayah sambil memegang tangannya erat. Jika diminta ibu untuk pergi ke warung pada siang hari sekalipun, sebisa mungkin saya mencari jalan memutar untuk menghindari tempat yang saya anggap keramat itu. Dalam benak saya, imaji kuburan berkaitan erat dengan makhluk-makhluk astral seperti hantu, jin, atau setan yang bergentayangan untuk menuntut darah seperti yang kerap saya dengar dari para tetangga atau saya tonton dari film-film layar tancap.
Namun, setelah saya sedikit dewasa, saya mulai menimbang-nimbang ketakutan saya terhadap kuburan.  Kesadaran untuk memandang kuburan dengan perspektif lain terjadi ketika saya mulai terlibat sebagai putera altar yang bertugas untuk melayani pastor paroki dalam misa arwah. Dari jarak yang begitu dekat saya mulai melihat kematian yang sesungguhnya. Saya melihat sosok jenazah dalam peti mati. Pada awalnya, saya merasa begitu ketakutan untuk menjalankan tugas tersebut. Pernah pada suatu waktu saya tidak bisa tidur karena wajah jenazah yang diberkati Romo selalu muncul dalam benak saya. Namun, setelah beberapa kali bertugas dalam pemberkatan jenazah, rasa takut tersebut sudah dapat saya kendalikan.
Ketika kami mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhir, gambaran kengerian dan ketakutan akan kuburan yang pernah menghantui pikiran masa kanak-kanak tidak lagi muncul. Saya tidak tahu apakah hal itu terjadi karena proses rasionalitas dalam diri saya mulai menjadi semacam filter terhadap ketakutan itu atau karena kesedihan yang teramat dalam diri saya justru membuyarkan ketakutan itu. Bahkan perasaan takut dan ngeri itu berganti dengan sejumlah pertanyaan yang menyoal tentang kematian sebagai batas eksistensial manusia. Apakah peristiwa kematian harus dialami setiap orang?  Lalu mengapa setelah kematian terdapat semacam janji tentang kehidupan lain? Apakah kehidupan setelah kematian itu memiliki kemiripan dengan kehidupan di dunia ini? Jika memang terdapat kehidupan lain, mengapa harus ada kematian? Dan seterusnya.
Saya menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan itu ternyata tidak dapat membuka tabir kematian sebagai salah satu misteri Ilahi dalam kehidupan ini. Mungkin saja, saya dapat terus menginterogasinya dengan sejumlah pertanyaan lain, namun apa yang saya lakukan itu akan membawa saya pada sebuah absurditas  Seperti samudera yang luas, kematian pun serupa dengan kehidupan, terlalu dalam untuk diselami, terlalu lebar untuk diseberangi. Ya, bagaimana mungkin saya dapat mengatakan dengan kata-kata yang terbatas terhadap hal yang sama sekali tidak berbatas itu?  Toh, di hadapan kematian, semua manusia tidak berdaya. Meski Anda memiliki harta yang tidak terbatas, pada akhirnya Anda pun takluk di hadapan kematian. Ia menjadi hakim yang paling adil bagi setiap makhluk hidup.
Kendati terdapat begitu banyak perenungan tentang peristiwa kematian, celakanya, apapun yang berkaitan dengan kematian masih tetap berkabut bagi manusia. Pertanyaan demi pertanyaan masih terus menggantung. Hal demikian terjadi tatkala orang yang kita cintai dipanggil Tuhan.  Kita akan bertanya-tanya apakah dalam kehidupan setelah kematian, orang yang kita cintai itu juga masih memiliki rasa rindu pada kita. Kita akan bertanya-tanya apakah dalam kehidupan setelah kematian, orang yang kita cintai itu masih mengenali kita ketika kita mengalami kematian itu. Apakah dalam kehidupan setelah kematian, segalanya akan serupa dengan kehidupan dunia sebelumnya?
Lirik lagu Tears in Heaven yang dilantunkan Eric Clapton menggambarkan dengan sangat baik sejumlah pertanyaan yang menggantung itu. Lagu ini diciptakan oleh Eric Clapton beberapa bulan setelah Conor, puteranya meninggal secara tragis. Anak yang berusia 4 tahun itu terjatuh dari lantai ke-54 sebuah apartemen.         
     
Would you know my name
If I saw you in heaven?
Would it be the same
If I saw you in heaven?

I must be strong
And carry on
'Cause I know I don't belong
Here in heaven

Would you hold my hand
If I saw you in heaven?
Would you help me stand
If I saw you in heaven?

I'll find my way
Through night and day
'Cause I know I just can't stay
Here in heaven

Time can bring you down
Time can bend your knees
Time can break your heart
Have you begging please, begging please

Beyond the door
There's peace I'm sure
And I know there'll be no more
Tears in heaven

Would you know my name
If I saw you in heaven?
Would you be the same
If I saw you in heaven?

I must be strong
And carry on
'Cause I know I don't belong
Here in heaven

Tak seorang pun akan menyangkal bahwa lagu ini sungguh terdengar sedih dan sangat menyentuh. Selain karena kisah di balik lagu itu, situasi sedih tersebut justru terbangun karena susunan melodi lagu yang sangat sederhana. Lagu itu seperti sebuah dialog sepi yang tak berujung, sebagai monolog yang tak berongga. Begitu pucat dan lesi! Namun, sebagai sebuah perenungan, lagu itu tidak jatuh sebagai sikap melankolis atau teriakan menyayat kalbu yang jauh dari pengharapan. Di balik keretakan hatinya, Clapton seolah-olah masih menyisakan sejumlah pertanyaan rasional yang seolah-olah butuh jawaban. Akankah Conor, anak yang ia sayangi, masih dapat mengenalinya di sorga kelak?  Akankah Conor memegang tangannya di sorga kelak?  Akankah Conor membantunya untuk berdiri kelak? Namun, siapa yang tahu? Clapton bukanlah seorang filsuf. Ketika menciptakan lagu ini, ia hanyalah seorang ayah yang sedang bermuram durja. Di satu sisi, beberapa pertanyaan itu dapat dibaca sebagai tanda ketidakmampuan Clapton untuk menerawang kehidupan setelah kematian.  Di sisi lain, beberapa pertanyaan itu menyiratkan betapa berat hati Clapton untuk berpisah dengan anaknya itu.
Dari sini kita belajar bahwa di depan kematian, wajah kemanusian selalu diinterogasi ! Tidaklah berlebihan jika kematian menjadi semacam katarsis yang dapat membawa manusia untuk menyadari betapa bermaknanya kehidupan ini. Melalui kematian, kita dapat melihat betapa sia-sianya manusia memperlakukan kehidupan ini. Betul, kita memang sangat tergila-gila pada kehidupan, namun lupa untuk merawat dan memaknainya. Justru melalui kematian kita dapat melihat betapa nistanya manusia memperlakukan pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Tanpa disadari, kita kerap menjalani kehidupan dengan sembarangan dan melecehkan berbagai pengalaman kehidupan bersama setiap orang yang kita jumpai dengan sengaja. Kita hidup tanpa makna. Tanpa tujuan.  Padahal peristiwa kematian akan menguak secara gamblang sejumlah memori tentang carut-marut kesalahan yang pernah kita lakukan. Di antaranya adalah  memandang kehidupan hanya sebagai sarana instrumental, bukan sebagai anugerah Ilahi yang berharga. Itulah mengapa banyak manusia modern takut kepada kematian karena kematian merupakan cermin dari segenap kehidupan kita. 
Seperti apa yang dirasakan Clapton, saya dan Anda pun hanya bisa bersedih ketika menghadapi peristiwa kematian. Namun, kesedihan atau kepiluan yang berlarut-larut jelas bukanlah hal yang patut dijalani bagi mereka yang memandang kehidupan sebagai karunia. Kita perlu yakin bahwa kematian menjadi jalan menuju kedamaian yang abadi. Kita perlu yakin bahwa di dalam sorga tiada lagi tangis dan air mata. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa kita butuh kebesaran hati sekaligus kerendahan hati untuk menerima bahwa kematian adalah sahabat akrab dalam kehidupan manusia. 

sumber gambar : https://genius.com/Eric-clapton-tears-in-heaven-lyrics