Sejak masa
kanak-kanak, kuburan menjadi tempat yang paling menakutkan bagi saya. Setiap kali melewati kuburan yang terletak di tepi
jalan utama, saya selalu merapat kepada ayah sambil memegang tangannya erat.
Jika diminta ibu untuk pergi ke warung pada siang hari sekalipun, sebisa
mungkin saya mencari jalan memutar untuk menghindari tempat yang saya anggap
keramat itu. Dalam benak saya, imaji kuburan berkaitan erat dengan
makhluk-makhluk astral seperti hantu, jin, atau setan yang bergentayangan untuk
menuntut darah seperti yang kerap saya dengar dari para tetangga atau saya
tonton dari film-film layar tancap.
Namun,
setelah saya sedikit dewasa, saya mulai menimbang-nimbang ketakutan saya
terhadap kuburan. Kesadaran untuk
memandang kuburan dengan perspektif lain terjadi ketika saya mulai terlibat
sebagai putera altar yang bertugas untuk melayani pastor paroki dalam misa
arwah. Dari jarak yang begitu dekat saya mulai melihat kematian yang
sesungguhnya. Saya melihat sosok jenazah dalam peti mati. Pada awalnya, saya
merasa begitu ketakutan untuk menjalankan tugas tersebut. Pernah pada suatu
waktu saya tidak bisa tidur karena wajah jenazah yang diberkati Romo selalu
muncul dalam benak saya. Namun, setelah beberapa kali bertugas dalam
pemberkatan jenazah, rasa takut tersebut sudah dapat saya kendalikan.
Ketika kami
mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhir, gambaran kengerian dan
ketakutan akan kuburan yang pernah menghantui pikiran masa kanak-kanak tidak
lagi muncul. Saya tidak tahu apakah hal itu terjadi karena proses rasionalitas
dalam diri saya mulai menjadi semacam filter terhadap ketakutan itu atau karena
kesedihan yang teramat dalam diri saya justru membuyarkan ketakutan itu. Bahkan
perasaan takut dan ngeri itu berganti dengan sejumlah pertanyaan yang menyoal
tentang kematian sebagai batas eksistensial manusia. Apakah peristiwa kematian
harus dialami setiap orang? Lalu mengapa
setelah kematian terdapat semacam janji tentang kehidupan lain? Apakah
kehidupan setelah kematian itu memiliki kemiripan dengan kehidupan di dunia
ini? Jika memang terdapat kehidupan lain, mengapa harus ada kematian? Dan
seterusnya.
Saya
menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan itu ternyata tidak dapat
membuka tabir kematian sebagai salah satu misteri Ilahi dalam kehidupan ini.
Mungkin saja, saya dapat terus menginterogasinya dengan sejumlah pertanyaan
lain, namun apa yang saya lakukan itu akan membawa saya pada sebuah absurditas Seperti samudera yang luas, kematian pun
serupa dengan kehidupan, terlalu dalam untuk diselami, terlalu lebar untuk
diseberangi. Ya, bagaimana mungkin saya dapat mengatakan dengan kata-kata yang
terbatas terhadap hal yang sama sekali tidak berbatas itu? Toh, di hadapan kematian, semua manusia tidak
berdaya. Meski Anda memiliki harta yang tidak terbatas, pada akhirnya Anda pun
takluk di hadapan kematian. Ia menjadi hakim yang paling adil bagi setiap
makhluk hidup.
Kendati
terdapat begitu banyak perenungan tentang peristiwa kematian, celakanya, apapun
yang berkaitan dengan kematian masih tetap berkabut bagi manusia. Pertanyaan
demi pertanyaan masih terus menggantung. Hal demikian terjadi tatkala orang
yang kita cintai dipanggil Tuhan. Kita
akan bertanya-tanya apakah dalam kehidupan setelah kematian, orang yang kita
cintai itu juga masih memiliki rasa rindu pada kita. Kita akan bertanya-tanya
apakah dalam kehidupan setelah kematian, orang yang kita cintai itu masih
mengenali kita ketika kita mengalami kematian itu. Apakah dalam kehidupan
setelah kematian, segalanya akan serupa dengan kehidupan dunia sebelumnya?
Lirik lagu Tears in Heaven yang dilantunkan Eric
Clapton menggambarkan dengan sangat baik sejumlah pertanyaan yang menggantung
itu. Lagu ini diciptakan oleh Eric Clapton beberapa bulan setelah Conor, puteranya
meninggal secara tragis. Anak yang berusia 4 tahun itu terjatuh dari lantai ke-54
sebuah apartemen.
Would you know my
name
If I saw you in heaven?
Would it be the same
If I saw you in heaven?
I must be strong
And carry on
'Cause I know I don't belong
Here in heaven
Would you hold my hand
If I saw you in heaven?
Would you help me stand
If I saw you in heaven?
I'll find my way
Through night and day
'Cause I know I just can't stay
Here in heaven
Time can bring you down
Time can bend your knees
Time can break your heart
Have you begging please, begging please
Beyond the door
There's peace I'm sure
And I know there'll be no more
Tears in heaven
Would you know my name
If I saw you in heaven?
Would you be the same
If I saw you in heaven?
I must be strong
And carry on
'Cause I know I don't belong
Here in heaven
If I saw you in heaven?
Would it be the same
If I saw you in heaven?
I must be strong
And carry on
'Cause I know I don't belong
Here in heaven
Would you hold my hand
If I saw you in heaven?
Would you help me stand
If I saw you in heaven?
I'll find my way
Through night and day
'Cause I know I just can't stay
Here in heaven
Time can bring you down
Time can bend your knees
Time can break your heart
Have you begging please, begging please
Beyond the door
There's peace I'm sure
And I know there'll be no more
Tears in heaven
Would you know my name
If I saw you in heaven?
Would you be the same
If I saw you in heaven?
I must be strong
And carry on
'Cause I know I don't belong
Here in heaven
Tak seorang
pun akan menyangkal bahwa lagu ini sungguh terdengar sedih dan sangat
menyentuh. Selain karena kisah di balik lagu itu, situasi sedih tersebut justru
terbangun karena susunan melodi lagu yang sangat sederhana. Lagu itu seperti
sebuah dialog sepi yang tak berujung, sebagai monolog yang tak berongga. Begitu
pucat dan lesi! Namun, sebagai sebuah perenungan, lagu itu tidak jatuh sebagai sikap
melankolis atau teriakan menyayat kalbu yang jauh dari pengharapan. Di balik
keretakan hatinya, Clapton seolah-olah masih menyisakan sejumlah pertanyaan
rasional yang seolah-olah butuh jawaban. Akankah Conor, anak yang ia sayangi,
masih dapat mengenalinya di sorga kelak? Akankah Conor memegang tangannya di sorga
kelak? Akankah Conor membantunya untuk
berdiri kelak? Namun, siapa yang tahu? Clapton bukanlah seorang filsuf. Ketika
menciptakan lagu ini, ia hanyalah seorang ayah yang sedang bermuram durja. Di
satu sisi, beberapa pertanyaan itu dapat dibaca sebagai tanda ketidakmampuan
Clapton untuk menerawang kehidupan setelah kematian. Di sisi lain, beberapa pertanyaan itu
menyiratkan betapa berat hati Clapton untuk berpisah dengan anaknya itu.
Dari sini kita
belajar bahwa di depan kematian, wajah kemanusian selalu diinterogasi !
Tidaklah berlebihan jika kematian menjadi semacam katarsis yang dapat membawa manusia
untuk menyadari betapa bermaknanya kehidupan ini. Melalui kematian, kita dapat
melihat betapa sia-sianya manusia memperlakukan kehidupan ini. Betul, kita
memang sangat tergila-gila pada kehidupan, namun lupa untuk merawat dan
memaknainya. Justru melalui kematian kita dapat melihat betapa nistanya manusia
memperlakukan pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Tanpa disadari, kita kerap
menjalani kehidupan dengan sembarangan dan melecehkan berbagai pengalaman kehidupan
bersama setiap orang yang kita jumpai dengan sengaja. Kita hidup tanpa makna.
Tanpa tujuan. Padahal peristiwa kematian akan menguak secara gamblang sejumlah memori tentang carut-marut kesalahan yang pernah kita lakukan. Di antaranya adalah memandang kehidupan hanya sebagai sarana instrumental, bukan sebagai anugerah Ilahi yang berharga. Itulah mengapa banyak manusia modern takut kepada kematian karena kematian merupakan cermin dari segenap kehidupan kita.
Seperti apa
yang dirasakan Clapton, saya dan Anda pun hanya bisa bersedih ketika menghadapi
peristiwa kematian. Namun, kesedihan atau kepiluan yang berlarut-larut jelas
bukanlah hal yang patut dijalani bagi mereka yang memandang kehidupan sebagai karunia.
Kita perlu yakin bahwa kematian menjadi jalan menuju kedamaian yang abadi. Kita
perlu yakin bahwa di dalam sorga tiada lagi tangis dan air mata. Namun, yang
lebih penting lagi adalah bahwa kita butuh kebesaran hati sekaligus kerendahan
hati untuk menerima bahwa kematian adalah sahabat akrab dalam kehidupan manusia.
sumber gambar : https://genius.com/Eric-clapton-tears-in-heaven-lyrics
No comments:
Post a Comment