Saturday, 21 January 2017

I Believe in You : Nuansa Mistik di Balik Komunikasi



Sejak dilahirkan ke dunia, manusia membutuhkan kehadiran manusia lain. Selama berabad-abad, pernyataan demikian telah menjadi semacam keniscayaan yang tak terelakkan dalam sejarah manusia. Bahkan jauh sebelum dilahirkan, manusia pun sudah sangat tergantung pada kebaikan dan ketulusan ibu yang mengandungnya. Di dalam rahim yang hangat itu ia dijaga, diperhatikan, diberi makan, dan selalu didoakan agar sehat dan nyaman sampai waktunya dilahirkan ke dunia. Di antara bayi dan ibunya, terdapat semacam tali pengikat misterius yang tidak hanya menyatukan fisik, melainkan juga batin keduanya. Pendek kata, sejak awal, manusia tidak dapat berdiri sendiri untuk menyatakan keberadaannya. Dia butuh manusia lain di sampingnya.
Setelah dewasa, ketergantungan manusia terhadap  sesamanya pun tidak berkurang. Kali ini, tentu saja, ia tidak lagi bergantung kepada ibunya. Pergaulan dan pengenalannya terhadap orang lain membuatnya dapat memahami bahwa kehadiran sesama memiliki arti yang sangat penting dalam perkembangan pribadinya sebagai manusia dewasa. Bersama orang lain, ia dapat semakin mengenali dirinya dengan lebih baik. Bersama orang lain, ia juga dapat mengenali keberagaman pribadi yang sama sekali tidak ia temukan di dalam dirinya. Bersama orang lain itu, ia dapat belajar banyak hal seperti jatuh cinta, sakit hati, kecewa, gembira, menangis atau tertawa selebar-lebarnya.
Karena setiap manusia perlu memiliki keterkaitan dengan pribadi yang lain, komunikasi pun menjadi salah satu sektor yang paling sibuk untuk dimaknai terus-menerus. Komunikasi menjadi tolok ukur seberapa jauh ketergantungan satu pribadi dengan pribadi yang lain dapat terjadi. Namun di penghujung abad ke-19, sebuah revolusi peradaban manusia muncul bersama mesin cetak yang ditemukan Gutenberg. Mesin itu pun dalam sekejap mengubah perspektif komunikasi langsung karena mampu menggandakan pesan dalam jumlah yang sangat banyak. Kehadiran para pendongeng dan dalang masa lalu yang piawai menyampaikan kebijakan kehidupan melalui cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut secara tiba-tiba tidak lagi diperlukan karena  sejumlah teks yang telah dicetak dapat dibaca dan bahkan disimpan. Interpretasi atas pesan keagamaan pun tidak lagi menjadi monopoli kaum klerus yang bertekun dalam biara, namun kaum awam pun mulai berdaya untuk menafsirkan Sabda Tuhan itu di dalam bilik kamarnya.
Secara diam-diam teknologi cetak mereduksi hadirnya interaksi dengan pihak lain. Teknologi cetak malah menciptakan sebuah masyarakat baru yaitu masyarakat pembaca sekaligus penafsir. Meski mampu melahirkan sebuah komunitas, komunikasi berciri tulisan ini ternyata bersifat elitis. Pada masa Pencerahan komunikasi tertulis menjadi properti utama bagi kaum  cendekiawan, magistra, dan literati. Mereka adalah orang-orang yang mampu membaca sekaligus menafsirkan teks-teks tertulis. Mereka, boleh dikatakan, adalah manusia-manusia setengah dewa yang mampu menghampiri pintu sorga serta membaca pesan para dewa bagi manusia. Disadari atau tidak, posisi komunikasi tertulis dianggap lebih penting dan terpercaya ketimbang komunikasi lisan yang dilakukan secara langsung.
Namun, usia komunikasi tertulis tidak efermal. Pada pertengahan Perang Dunia I, manusia mulai diperkenalkan pada komunikasi visual. Hadirnya komunikasi ini ditandai dengan ditayangkannya motion pictures atau gambar-gambar bergerak. Komunikasi baru ini menimbulkan histeria sekaligus euforia. Pada awalnya gambar-gambar tersebut disusun secara berurutan dalam pita seluloid. Seiring dengan perkembangan teknologi perfilman, pita seluloid itu ditinggalkan dan digantikan oleh sistem analog dan terakhir oleh sistem digital. Pada akhir abad ke-21 komunikasi visual secara penuh telah mengambil alih komunikasi tertulis dan semakin menghempaskan komunikasi lisan. Namun, komunikasi visual bukanlah puncak dari perkembangan teknologi.
Memasuki tahun 2000, sebagian besar wajah dunia mulai berubah dengan cepat karena hadirnya komunikasi jaringan yang telah dirintis bertahun-tahun sebelumnya. Komunikasi jaringan itu berpadu serasi dengan komunikasi visual. Perpaduan ini dengan cepat menjadi milik masyarakat. Muncullah sejumlah gawai dan telepon pintar yang mampu menghipnosis mereka. Di hadapan komunikasi jaringan itu, komunikasi lisan dan komunikasi tertulis hanya menjadi sebuah catatan sejarah. Kendati begitu, komunikasi terbaru ini memiliki 2 sisi yang patut dicermati. Di satu sisi, sebagai sarana komunikasi, baik gawai maupun telepon pintar memang menawarkan keterhubungan yang tak berbatas kepada siapapun. Akan tetapi, di sisi lain, keduanya justru menjadi biang keterputusan komunikasi di antara orang-orang terdekat.
Dari perjalanan panjang ini, terlihat betapa sarana komunikasi yang ditemukan dan dibangun oleh manusia tidak selamanya dapat membuatnya menghayati makna dari komunikasi yang sesungguhnya. Alih-alih membangun hubungan, berbagai sarana komunikasi itu justru  menghadirkan tembok yang tinggi dan tebal bagi terciptanya hubungan yang tulus dan manusiawi. Dalam derajat yang ekstrem, sarana komunikasi itu dapat mengasingkan manusia satu dengan manusia lainnya. Celakanya, kondisi seperti ini semakin sering terjadi pada masa kini ketika komunikasi jaringan visual merampas kehidupan sosial manusia modern. Komunikasi tersebut menjadikan manusia sebagai insan-insan yang kesepian. Meski media sosial mereka dipenuhi ribuan follower, mereka sama sekali tidak bahagia. Pasalnya, dari sekian ribu follower, ternyata tiada satupun yang mau menemani, memahami, dan memadamkan gejolak dan pergumulan hidupnya.
Kendati berada dalam kekosongan  dan kehampaan, manusia tetap mendambakan kehadiran figur yang mampu mengangkatnya keluar dari situasi tersebut. Manusia sungguh menginginkan komunikasi dalam makna yang seutuhnya. Dalam lagu I Believe in You yang ditembangkan oleh Stryper pada akhir tahun 1980-an, yang dimaksud dengan komunikasi dalam makna yang seutuhnya itu adalah cinta. Ya, bagi Stryper, cinta menjadi bentuk paling kongkret dalam sebuah interaksi yang komunikatif. Sebagai sarana komunikasi, cinta mampu mengubah orientasi kehidupan manusia  dengan cara yang luar biasa. Dalam hal ini cinta yang dibicarakan tidak semata tertuju kepada pemenuhan kepentingan diri sendiri. Akan tetapi, cinta yang dimaksud lebih merupakan dorongan untuk keluar dari diri sendiri kepada orang lain agar kehidupan orang itu dapat lebih bahagia dan sejahtera.   
 
Time seemed to pass me by
I found myself alone, wondering why
Then you came into my life
And gave your love to me
That showed me the way
In my heart you'll stay

And I believe in you
Whoa-oh through and through
Always and forever it will be
You and me together

I want your love forever
I need your love
You're the only one
That fills my heart
And I love you
More and more everyday

And I believe in you
Whoa-oh through and through
Always and forever it will be you and me
I will sing to you and all you do
Always and forever it will be you and me together

Salah satu wujud nyata dari kepenuhan cinta adalah hadirnya kepercayaan dan keyakinan kepada mereka yang kita cintai. Sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata bagaimana kepercayaan dan keyakinan ini dapat hadir di dalam diri setiap insan. Namun, seperti tetumbuhan yang hidup dan berbuah karena disiram, dipupuk, dan dirawat dengan baik, kepercayaan dan keyakinan itu pun dapat dialami sebagai sebuah gerak organik yang alamiah. Kepercayaan dan keyakinan inilah yang mampu menjadi pondasi yang kuat bagi hadirnya cinta sejati di hubungan sepasang kekasih, sahabat, maupun antaranggota keluarga. Di sanalah kebaikan, ketulusan, dan kelembutan hati untuk selalu memaafkan dan menerima keterbatasan menjadi puitika kehidupan yang berharga.
Santa Teresa dari Avila, seorang mistikus Karmel, pernah mengatakan bahwa kepercayaan dan keyakinan itu sebaiknya tidak hanya berhenti pada cinta sejati antarmanusia, tetapi harus terus berlanjut kepada hubungan cinta sejati antara manusia dengan Tuhan. Menurutnya, hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan persahabatan sejati yang terjalin melalui perjumpaan personal antara manusia dengan Tuhan. Persahabatan ini harus dihidupi setiap hari sebagaimana seseorang sangat merindukan kekasihnya setiap waktu.  Santa Teresa menyatakan bahwa kekasih sejati dalam segalanya mencintai dan selalu mengingat sang kekasih. Ia menerima sesuatu yang berharga yang hanya dapat dibawa di dalam sudut-sudut doa hatinya. Karena itu, adalah sebuah kerinduan yang tak terbendung jika keinginan untuk bersama kekasih hati dalam ikatan abadi menjadi tujuan komunikasi yang paling utama sebagaimana terlihat dalam doa yang kita batinkan atau kita ucapkan setiap waktu.
Dari sini, kita mulai mengetahui bahwa komunikasi sebagai aktifitas manusiawi juga bernuansa mistik bagi kehidupan batin kita. Komunikasi bukanlah sekadar cara untuk menyampaikan informasi, tetapi juga merupakan jalan untuk menjalin persahabatan baik antara manusia dengan manusia lain maupun antara manusia dengan Sang Pencipta. Kepercayaan dan keyakinan yang ditumbuhkan dalam komunikasi menjadi bukti bahwa komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia akan yang lain di luar dirinya. Dengan begitu, dalam komunikasi, manusia seharusnya tidak lagi diarahkan sebagai follower, tetapi dapat hadir sebagai sahabat.
  
Sumber gambar : www.45cat.com
     




2 comments:

  1. Awesome bro !!

    ReplyDelete
  2. I believe in you itu memang nggak boleh putus..through and through...

    ReplyDelete