Identitas atau jati diri merupakan persoalan yang cukup pelik dalam masyarakat modern yang cepat berubah. Hal ini bukan berarti bahwa persoalan mengenai identitas harus selalu berkaitan dengan sesuatu yang tetap. Sebagai makhluk yang dinamis, manusia harus memahami bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Tidak terelakkan bahwa identitas yang dimiliki setiap individu modern pun cenderung berubah dan mengikuti gerak zamannya. Manusia modern harus menjalani mobilitas sosial yang sangat progresif. Namun, letak kepelikan yang dimaksud justru berkaitan erat dengan seni berkeputusan di balik penentuan identitas. Pasalnya, setiap individu baru bisa disebut sebagai individu yang beridentitas ketika ia bisa membuat keputusan yang tepat dan bertanggungjawab.
Saya memiliki cerita singkat tentang bagaimana
sulitnya mengambil keputusan di dalam masyarakat modern. Ketika demam berbelanja
di Toko Serba Ada (Toserba) mewabah di kota kelahiran saya pada awal tahun
1980-an, membeli baju atau sepatu menjadi hal yang sangat sulit. Pasalnya,
setiap toko selalu menawarkan begitu banyak pilihan baik dalam model, motif,
maupun jenisnya. Sebagai seorang remaja, tidak mudah bagi saya untuk memilih
apa yang sesungguhnya saya butuhkan atau saya inginkan. Setiap kali saya
mencoba untuk memilih salah satu dari berbagai baju atau sepatu itu, rasa ragu
justru semakin menguat. Apakah sungguh baju atau sepatu ini yang saya pilih? Apakah
sungguh baju atau sepatu ini yang saya inginkan? Jangan-jangan apa yang saya
pilih ini tidak berasal dari apa yang sesungguhnya saya butuhkan? Celakanya, kalaupun
saya telah memilih salah satu dari barang itu, entah mengapa, selalu terselip
rasa penyesalan karena telah mengabaikan yang lainnya.
Setelah beranjak dewasa, saya dapat melihat bahwa
seni berkeputusan sungguh sangat penting. Seni ini tidak hanya dipergunakan
ketika saya harus menentukan apa yang saya inginkan atau apa yang saya butuhkan, tetapi juga
dipergunakan ketika saya harus menegakkan tiang prinsip
dan prioritas hidup saya. Kendati begitu, seni berkeputusan bukanlah aktifitas yang mudah dilakukan dengan cepat. Jelas dibutuhkan serangkaian pelatihan dan pembiasaan agar otot-otot
kesadaran kita dapat semakin lentur dan terbiasa untuk menjalankan seni ini. Dari
manakah pelatihan dan pembiasaan ini dapat disampaikan? Saya memandang, ada 3
institusi dalam masyarakat modern yang memiliki peran strategis dalam pelatihan
dan pembiasaan seni berkeputusan ini, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga adalah ruang utama yang dapat memberikan tonggak awal bagi perkembangan hidup
individu. Di dalam keluarga, anak-anak dapat diajarkan
sejak dini untuk bertanggungjawab dengan banyak keputusan yang dipilihnya. Untuk
dapat memilih, salah satu hal penting yang tidak dapat diabaikan adalah
hadirnya rasa percaya diri. Dalam hal ini masyarakat Jepang dapat dijadikan
sebagai contoh penting. Sejak dini mereka telah mengajarkan anak-anak mereka
untuk berani membersihkan diri, tanpa bantuan, setelah membuang air besar. Kendati
tampak begitu kecil, membersihkan diri menjadi bagian dari sikap disiplin yang
harus diperhatikan setiap individu. Dengan cara demikian, the care of the self atau perhatian terhadap diri sendiri dapat
terbentuk menjadi sebuah kebiasaan. Sayangnya, sikap yang dilakukan oleh
masyarakat Jepang ini belum diikuti oleh banyak keluarga kita. Kita masih kerap
memperlakukan anak-anak kita sebagai bayi-bayi yang harus ditimang-timang. Kita
lupa bahwa bayi-bayi itu suatu waktu memiliki potensi untuk berdiri dan berlari
sebagai manusia dewasa.
Sekolah adalah institusi yang sebenarnya juga
memiliki peran penting dalam pembentukan karakter. Seni berkeputusan seharusnya
menjadi agenda penting dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, seni tersebut
tidak dapat tumbuh karena sejak awal telah ditumpulkan dengan doktrin bahwa
murid hanyalah peserta didik, obyek dari kurikulum. Dalam adat ketimuran,
disyaratkan pula bagi murid untuk tunduk dan taat pada petunjuk guru. Keutamaan
ini, menurut hemat saya, sungguh sangat mulia untuk mendidik kerendahan hati para
murid, namun sangat berbahaya manakala keutamaan ini justru dipergunakan oleh
guru sebagai sarana untuk menundukkan dan mendominasi mereka atas nama
peraturan. Hal demikian dapat kita uji dari sejauhmana kebebasan para murid
untuk bertanya atau menyampaikan gagasannya dapat dilakukan. Saya mengamati
bahwa mereka ternyata lebih lihai untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan apa
yang mereka pelajari ketimbang mengajukan pertanyaan. Saya tidak tahu apakah
mengajukan pertanyaan itu dianggap sebagai sinyal dari sikap pemberontakan,
subversif?
Lalu bagaimana dengan masyarakat? Tidak dapat
dipungkiri bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak setia.
Integritas mereka bukan terletak pada perawatan, melainkan pada konsumerisme.
Karena itu, cita rasa dan daya estetik masyarakat modern sedemikian cepat
berubah. Pergerakan mereka cenderung digerakkan oleh bandul pendulum kepuasaan
dan kenikmatan dalam aktifitas berbelanja. Toko serba ada atau mall yang
didirikan masyarakat modern menggambarkan secara simbolis betapa penuhnya
keinginan mereka terhadap aspek kepuasan dan kenikmatan konsumtif. Kepuasan dan
kenikmatan yang sama sekali tidak dapat dihentikan ini membuat manusia modern
menjadi budak dari sikap irasionalitas. Akibatnya, daya reflektif sangat rendah
dan makna kehidupan menjadi sangat dangkal. Dalam situasi demikian, disadari
bahwa seni berkeputusan atau melakukan diskresi sangat diperlukan kendati hal
tersebut sulit untuk dilakukan seperti melawan arus yang sangat deras.
Setia pada tradisi yang dianggap baik adalah
salah satu cara untuk menampilkan identitas atau jati diri secara positif.
Dalam zaman seperti ini, memutuskan untuk setia terhadap satu tradisi jelas
bukanlah tindakan yang mudah. Orang yang mempraktikkan hal ini akan dianggap
sebagai devian oleh masyarakat sekitar. Ia akan dicemooh sebagai orang kuno,
orang yang dilahirkan pada masa pra-modern. Mungkin pula, ia akan dicibir
sebagai orang yang anti kemajuan. Namun, di balik pilihan itu, ada sebuah sikap
yang patut dipuji, yaitu sikap untuk menjadi diri sendiri, sebagaimana tersampaikan
dalam lirik lagu Englishman in New York
yang dilantunkan oleh Sting.
I don't
drink coffee I take tea my dear
I like my toast done on one side
And you can hear it in my accent when I talk
I'm an Englishman in New York
See me walking down Fifth Avenue
A walking cane here at my side
I take it everywhere I walk
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
If "Manners maketh man" as someone said
Then he's the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
Modesty, propriety can lead to notoriety
You could end up as the only one
Gentleness, sobriety are rare in this society
At night a candle's brighter than the sun
Takes more than combat gear to make a man
Takes more than a license for a gun
Confront your enemies, avoid them when you can
A gentleman will walk but never run
If "Manners maketh man" as someone said
Then he's the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say [3x]
I like my toast done on one side
And you can hear it in my accent when I talk
I'm an Englishman in New York
See me walking down Fifth Avenue
A walking cane here at my side
I take it everywhere I walk
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
If "Manners maketh man" as someone said
Then he's the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
Modesty, propriety can lead to notoriety
You could end up as the only one
Gentleness, sobriety are rare in this society
At night a candle's brighter than the sun
Takes more than combat gear to make a man
Takes more than a license for a gun
Confront your enemies, avoid them when you can
A gentleman will walk but never run
If "Manners maketh man" as someone said
Then he's the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say [3x]
I'm an
alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
Sejak awal lirik lagu ini sebenarnya ingin menceritakan
sebuah kontras dalam kehidupan masyarakat modern. Kontras yang dimaksud
berpusat pada pertentangan antara wawasan dunia tradisional versus wawasan
dunia modern dalam masyarakat Barat. Kontras seperti ini dapat ditemukan di
kota besar seperti New York. Sebagai pusat kehidupan ekonomi dan budaya, New
York menjadi tempat bertemunya berbagai pandangan dan gaya hidup yang berbeda.
Di sana, perbedaan memang dihormati sebagai bagian dari hak manusia untuk
berdemokrasi. Namun, Sting secara tajam mencermati bahwa di balik kesan New
York yang ramah bagi siapapun, masih terlihat cara pandang masyarakat kota yang
bersifat monolitik, yang memandang sikap tradisional sebagai sebuah anomali.
Kendati begitu, menjadi diri sendiri tetap menjadi pernyataan
yang penting dalam penentuan identitas diri pada masa kini. Tentu saja, ada
beberapa konsekuensi yang harus ditanggung di balik pernyataan itu. Pertama, menjadi diri sendiri berarti
mau memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap bermakna walau individu lain atau
masyarakat melihat sikap tersebut dengan sebelah mata. Kedua, menjadi diri sendiri berarti berani memutuskan untuk
diasingkan sebagai yang lain (the others)
dan teralienasi dari lingkungan. Ketiga,
menjadi diri sendiri berarti mau menjadi otentik sehingga berani pula memperjuangkan keunikan individu sebagai
sebuah karunia Ilahi dengan kesadaran penuh. Keempat, menjadi diri sendiri berarti mau menghormati, menghargai,
dan mengapresiasi hadirnya keragaman yang terdapat di dalam diri orang lain dan
masyarakat.
Dalam masyarakat yang kerap hadir dalam keseragaman,
menjadi diri sendiri tampaknya menjadi alternatif yang dapat membebaskan dan
mengembalikan manusia sebagai makhluk yang unik.Sungguh, bukanlah hal yang
mudah untuk keluar dari rombongan masyarakat yang memiliki satu dimensi seperti
pada masa kini. Kita sudah terlanjur hadir sebagai follower dan penumpang, Apa yang kita makan, apa yang kita pakai,
apa yang kita hidupi sudah terlanjur ditentukan oleh sebuah sistem konsumtif
yang begitu besar. Kita seharusnya dapat berlari dari sana. Akan tetapi, kita
tidak akan pernah berlari, kita akan terus berjalan. A gentleman will walk but never run. Berjalan untuk menjalani apa
yang telah kita yakini, apa yang telah kita pilih, apa yang telah kita putuskan.
Be yourself no matter what they say!
Sumber gambar : www.onthesetofnewyork.com
No comments:
Post a Comment