Saturday, 14 January 2017

Englishman in New York : Ketika Harus Menjadi Diri Sendiri


Identitas atau jati diri merupakan persoalan yang cukup pelik dalam masyarakat modern yang cepat berubah. Hal ini bukan berarti bahwa persoalan mengenai identitas harus selalu berkaitan dengan sesuatu yang tetap. Sebagai makhluk yang dinamis, manusia harus memahami bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Tidak terelakkan bahwa identitas yang dimiliki setiap individu modern pun cenderung berubah dan mengikuti gerak zamannya. Manusia modern harus menjalani mobilitas sosial yang sangat progresif. Namun, letak kepelikan yang dimaksud justru berkaitan erat dengan seni berkeputusan di balik penentuan identitas. Pasalnya, setiap individu baru bisa disebut sebagai individu yang beridentitas ketika ia bisa membuat keputusan yang tepat dan bertanggungjawab.
Saya memiliki cerita singkat tentang bagaimana sulitnya mengambil keputusan di dalam masyarakat modern. Ketika demam berbelanja di Toko Serba Ada (Toserba) mewabah di kota kelahiran saya pada awal tahun 1980-an, membeli baju atau sepatu menjadi hal yang sangat sulit. Pasalnya, setiap toko selalu menawarkan begitu banyak pilihan baik dalam model, motif, maupun jenisnya. Sebagai seorang remaja, tidak mudah bagi saya untuk memilih apa yang sesungguhnya saya butuhkan atau saya inginkan. Setiap kali saya mencoba untuk memilih salah satu dari berbagai baju atau sepatu itu, rasa ragu justru semakin menguat. Apakah sungguh baju atau sepatu ini yang saya pilih? Apakah sungguh baju atau sepatu ini yang saya inginkan? Jangan-jangan apa yang saya pilih ini tidak berasal dari apa yang sesungguhnya saya butuhkan? Celakanya, kalaupun saya telah memilih salah satu dari barang itu, entah mengapa, selalu terselip rasa penyesalan karena telah mengabaikan yang lainnya.
Setelah beranjak dewasa, saya dapat melihat bahwa seni berkeputusan sungguh sangat penting. Seni ini tidak hanya dipergunakan ketika saya harus menentukan apa yang saya inginkan atau apa yang saya butuhkan, tetapi juga dipergunakan ketika saya harus menegakkan tiang prinsip dan prioritas  hidup saya. Kendati begitu, seni berkeputusan bukanlah aktifitas yang mudah dilakukan dengan cepat. Jelas dibutuhkan serangkaian pelatihan dan pembiasaan agar otot-otot kesadaran kita dapat semakin lentur dan terbiasa untuk menjalankan seni ini. Dari manakah pelatihan dan pembiasaan ini dapat disampaikan? Saya memandang, ada 3 institusi dalam masyarakat modern yang memiliki peran strategis dalam pelatihan dan pembiasaan seni berkeputusan ini, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga adalah ruang utama yang dapat memberikan tonggak awal bagi perkembangan hidup individu. Di dalam keluarga, anak-anak dapat diajarkan sejak dini untuk bertanggungjawab dengan banyak keputusan yang dipilihnya. Untuk dapat memilih, salah satu hal penting yang tidak dapat diabaikan adalah hadirnya rasa percaya diri. Dalam hal ini masyarakat Jepang dapat dijadikan sebagai contoh penting. Sejak dini mereka telah mengajarkan anak-anak mereka untuk berani membersihkan diri, tanpa bantuan, setelah membuang air besar. Kendati tampak begitu kecil, membersihkan diri menjadi bagian dari sikap disiplin yang harus diperhatikan setiap individu. Dengan cara demikian, the care of the self atau perhatian terhadap diri sendiri dapat terbentuk menjadi sebuah kebiasaan. Sayangnya, sikap yang dilakukan oleh masyarakat Jepang ini belum diikuti oleh banyak keluarga kita. Kita masih kerap memperlakukan anak-anak kita sebagai bayi-bayi yang harus ditimang-timang. Kita lupa bahwa bayi-bayi itu suatu waktu memiliki potensi untuk berdiri dan berlari sebagai manusia dewasa.
Sekolah adalah institusi yang sebenarnya juga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter. Seni berkeputusan seharusnya menjadi agenda penting dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, seni tersebut tidak dapat tumbuh karena sejak awal telah ditumpulkan dengan doktrin bahwa murid hanyalah peserta didik, obyek dari kurikulum. Dalam adat ketimuran, disyaratkan pula bagi murid untuk tunduk dan taat pada petunjuk guru. Keutamaan ini, menurut hemat saya, sungguh sangat mulia untuk mendidik kerendahan hati para murid, namun sangat berbahaya manakala keutamaan ini justru dipergunakan oleh guru sebagai sarana untuk menundukkan dan mendominasi mereka atas nama peraturan. Hal demikian dapat kita uji dari sejauhmana kebebasan para murid untuk bertanya atau menyampaikan gagasannya dapat dilakukan. Saya mengamati bahwa mereka ternyata lebih lihai untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan apa yang mereka pelajari ketimbang mengajukan pertanyaan. Saya tidak tahu apakah mengajukan pertanyaan itu dianggap sebagai sinyal dari sikap pemberontakan, subversif?
Lalu bagaimana dengan masyarakat? Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak setia. Integritas mereka bukan terletak pada perawatan, melainkan pada konsumerisme. Karena itu, cita rasa dan daya estetik masyarakat modern sedemikian cepat berubah. Pergerakan mereka cenderung digerakkan oleh bandul pendulum kepuasaan dan kenikmatan dalam aktifitas berbelanja. Toko serba ada atau mall yang didirikan masyarakat modern menggambarkan secara simbolis betapa penuhnya keinginan mereka terhadap aspek kepuasan dan kenikmatan konsumtif. Kepuasan dan kenikmatan yang sama sekali tidak dapat dihentikan ini membuat manusia modern menjadi budak dari sikap irasionalitas. Akibatnya, daya reflektif sangat rendah dan makna kehidupan menjadi sangat dangkal. Dalam situasi demikian, disadari bahwa seni berkeputusan atau melakukan diskresi sangat diperlukan kendati hal tersebut sulit untuk dilakukan seperti melawan arus yang sangat deras.
Setia pada tradisi yang dianggap baik adalah salah satu cara untuk menampilkan identitas atau jati diri secara positif. Dalam zaman seperti ini, memutuskan untuk setia terhadap satu tradisi jelas bukanlah tindakan yang mudah. Orang yang mempraktikkan hal ini akan dianggap sebagai devian oleh masyarakat sekitar. Ia akan dicemooh sebagai orang kuno, orang yang dilahirkan pada masa pra-modern. Mungkin pula, ia akan dicibir sebagai orang yang anti kemajuan. Namun, di balik pilihan itu, ada sebuah sikap yang patut dipuji, yaitu sikap untuk menjadi diri sendiri, sebagaimana tersampaikan dalam lirik lagu Englishman in New York yang dilantunkan oleh Sting.              
 
I don't drink coffee I take tea my dear
I like my toast done on one side
And you can hear it in my accent when I talk
I'm an Englishman in New York

See me walking down Fifth Avenue
A walking cane here at my side
I take it everywhere I walk
I'm an Englishman in New York

I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York

If "Manners maketh man" as someone said
Then he's the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say

I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York

Modesty, propriety can lead to notoriety
You could end up as the only one
Gentleness, sobriety are rare in this society
At night a candle's brighter than the sun

Takes more than combat gear to make a man
Takes more than a license for a gun
Confront your enemies, avoid them when you can
A gentleman will walk but never run

If "Manners maketh man" as someone said
Then he's the hero of the day
It takes a man to suffer ignorance and smile
Be yourself no matter what they say [3x]

I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York
I'm an alien, I'm a legal alien
I'm an Englishman in New York

Sejak awal lirik lagu ini sebenarnya ingin menceritakan sebuah kontras dalam kehidupan masyarakat modern. Kontras yang dimaksud berpusat pada pertentangan antara wawasan dunia tradisional versus wawasan dunia modern dalam masyarakat Barat. Kontras seperti ini dapat ditemukan di kota besar seperti New York. Sebagai pusat kehidupan ekonomi dan budaya, New York menjadi tempat bertemunya berbagai pandangan dan gaya hidup yang berbeda. Di sana, perbedaan memang dihormati sebagai bagian dari hak manusia untuk berdemokrasi. Namun, Sting secara tajam mencermati bahwa di balik kesan New York yang ramah bagi siapapun, masih terlihat cara pandang masyarakat kota yang bersifat monolitik, yang memandang sikap tradisional sebagai sebuah anomali.
Kendati begitu, menjadi diri sendiri tetap menjadi pernyataan yang penting dalam penentuan identitas diri pada masa kini. Tentu saja, ada beberapa konsekuensi yang harus ditanggung di balik pernyataan itu. Pertama, menjadi diri sendiri berarti mau memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap bermakna walau individu lain atau masyarakat melihat sikap tersebut dengan sebelah mata. Kedua, menjadi diri sendiri berarti berani memutuskan untuk diasingkan sebagai yang lain (the others) dan teralienasi dari lingkungan. Ketiga, menjadi diri sendiri berarti mau menjadi otentik sehingga berani pula  memperjuangkan keunikan individu sebagai sebuah karunia Ilahi dengan kesadaran penuh. Keempat, menjadi diri sendiri berarti mau menghormati, menghargai, dan mengapresiasi hadirnya keragaman yang terdapat di dalam diri orang lain dan masyarakat.
Dalam masyarakat yang kerap hadir dalam keseragaman, menjadi diri sendiri tampaknya menjadi alternatif yang dapat membebaskan dan mengembalikan manusia sebagai makhluk yang unik.Sungguh, bukanlah hal yang mudah untuk keluar dari rombongan masyarakat yang memiliki satu dimensi seperti pada masa kini. Kita sudah terlanjur hadir sebagai follower dan penumpang, Apa yang kita makan, apa yang kita pakai, apa yang kita hidupi sudah terlanjur ditentukan oleh sebuah sistem konsumtif yang begitu besar. Kita seharusnya dapat berlari dari sana. Akan tetapi, kita tidak akan pernah berlari, kita akan terus berjalan. A gentleman will walk but never run. Berjalan untuk menjalani apa yang telah kita yakini, apa yang telah kita pilih, apa yang telah kita putuskan. Be yourself no matter what they say!

Sumber gambar : www.onthesetofnewyork.com     

No comments:

Post a Comment