Saturday 18 March 2017

My Friends : Mereka yang Hadir dalam Hidupmu



Pernahkah Anda bertanya kepada pasangan atau teman baik Anda. “Mengapa kita harus berjumpa?” Jika Anda sedang mengalami kepahitan, kekecewaan, dan sakit hati karena masalah komunikasi yang berantakan dengan mereka, saya yakin, pertanyaan itu mungkin dapat Anda ajukan saat ini. Pertanyaan itu tentu saja tidak ingin menelisik alasan yang menyebabkan terjadinya perjumpaan antara Anda dan mereka. Sebaliknya, pertanyaan itu sendiri secara implisit sudah mengandung nada penyesalan yang tidak dapat dipulihkan. Betapa perjumpaan itu seharusnya tidak pernah terjadi! Namun, jika saat ini Anda sedang merasa nyaman dan aman bersama pasangan atau teman baik Anda, pertanyaan itu sebaiknya Anda simpan di sebuah tempat yang sulit Anda temukan kembali sesegera mungkin. Pertanyaan itu akan Anda pandang sebagai sebuah pertanyaan subversif yang begitu jahat!
Tidak mudah untuk menjalin hubungan yang akrab dan berkualitas pada hari ini!  Ketika segala hal menjadi begitu instan dan mudah menghilang seperti pesan-pesan yang viral di media sosial, persahabatan menjadi sebuah hal yang sangat langka. Kita mungkin memiliki begitu banyak follower dan grup dalam account media sosial kita, namun perhatikanlah berapa banyak orang yang sungguh ingin mengetahui kabar Anda saat ini. Hal yang terjadi justru sebaliknya. Di antara percakapan yang begitu riuh dalam media sosial, saya dan Anda seringkali hanya menjadi orang asing, yang hanya mampu membuka pesan dan mengikuti percakapan itu tanpa berpretensi untuk menimpali, selain untuk menghapus cepat-cepat sejumlah pesan itu agar ruang muat gawai kita dapat lebih leluasa! Jikalau pada hari ini pun Anda berulang tahun, amatilah bagaimana ucapan-ucapan yang mereka berikan hanya merupakan duplikasi alias copy dan paste teks dan gambar yang dikirim teman sebelumnya. Sungguh menyebalkan, bukan?
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu manusia modern lebih cenderung memilih untuk memisahkan diri dari kohesi sosial. Intimitas atau persahabatan tidak lagi dipandang sebagai nilai yang menggetarkan hatinya. Hal demikian bahkan lamat-lamat menghilang dalam lingkup sosial yang paling kecil seperti keluarga. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini oleh Philip Zimbardo, seorang psikolog sosial dari Universitas Stanford, misalnya, menyatakan bahwa pada abad ini Amerika Serikat menjadi negara yang tak berayah (fatherless). Banyak remaja, terutama laki-laki,  tidak memiliki hubungan yang akrab dengan ayah mereka. Kalaupun terjadi interaksi antara mereka, apa yang dibicarakan hanya terlihat sebagai basa-basi yang berlangsung kurang dari 30 menit per hari. Remaja Amerika, kata Zimbardo, kini lebih memilih untuk menautkan hatinya pada game online dan pornografi di kamar yang terkunci.
Serupa dengan kecenderungan yang terdapat di Amerika, masyarakat Jepang hari ini pun mengalami masalah dengan interaksi dan kohesi sosial. Kendati generasi tua Jepang pernah berusaha sekeras mungkin untuk menjadi bangsa yang ramah, sopan, dan penuh toleransi sejak kalah dalam Perang Dunia II, pemuda dan pemudi Jepang pada hari ini melihat nilai-nilai yang telah diupayakan selama bertahun-tahun itu bukanlah hal yang dapat dibanggakan. Mereka memandang virtue yang pernah ditegakkan oleh generasi tua sebagai barang lapuk yang harus ditinggalkan karena dianggap tidak cocok dengan pola pemikiran saat ini. Generasi muda Jepang hari ini cenderung tidak membutuhkan kehadiran orang lain. Intimitas dan persahabatan lamat-lamat mulai ditolak dan disingkirkan dalam pergaulan sosial. Mereka lebih memandang teknologi gawai dan internet mutakhir sebagai sahabat yang lebih dapat memahami diri mereka ketimbang orang tua, saudara, tetangga, guru, dan teman di sekolah. Generasi ini dikenal sebagai generasi Otaku yang menempatkan Akihabara, sebuah distrik di kota Tokyo, sebagai kerajaan sorga yang sangat menyenangkan bagi mereka. Di tempat yang penuh dengan teknologi itu mereka tidak hanya menemukan intimitas yang sesungguhnya, tetapi juga menemukan eksistensinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa kini orang yang tidak memiliki teman atau sahabat bahkan bukan merupakan sebuah masalah yang serius. Sebagai pendidik, saya melihat ada perubahan yang cukup drastis dalam kehidupan sosial di sekolah atau perguruan tinggi. Sepuluh tahun lalu, murid atau mahasiswa yang tidak memiliki teman cenderung terlihat tidak begitu bersemangat dalam pelajaran. Meski tampak terisolasi, mereka tetap mendambakan kehadiran seseorang yang dapat menerima mereka sebagai teman. Manakala pada akhirnya mereka dapat memiliki teman, warna kehidupan mereka pun tampak begitu cerah.
Namun, pada masa kini, hal yang terjadi justru sebaliknya. Tidak memperoleh teman bukanlah masalah yang serius. Saya pernah berbicara dengan salah seorang murid yang memiliki prinsip demikian. Sekilas ia tampak terisolasi dan sepi. Tidak ada satupun teman yang pernah terlihat berbicara atau bermain dengannya. Entah mengapa. Ketika saya menanyakan apakah ketiadaan teman menjadi salah satu problem yang harus diatasi dalam kehidupan sehari-hari, ia hanya menjawab bahwa ketiadaan teman bukanlah sebuah masalah. Ia merasa tidak terusik dengan kondisi itu. No problemo, Sir! Ia mengatakan bahwa ia tidak pernah khawatir jika tidak memiliki seorang temanpun. Akan tetapi, hal yang justru paling ia khawatirkan adalah jika gadget yang ia miliki rusak atau ia dilarang untuk bermain game online. Ia mengatakan bahwa gadget dan game online sudah terlanjur menjadi sahabatnya yang paling setia. Benda-benda itu, menurutnya, tidak pernah memarahi atau membencinya. Mereka tidak cerewet jika ia terlalu banyak meminta. Mereka tidak pernah mengeluh jika ia terlalu banyak bermain!
Maka, bagi saya yang memang tidak dilahirkan sebagai digital natives, adalah sebuah peristiwa yang sangat mengharukan apabila masyarakat masa kini masih merawat makna intimitas, pertemanan, dan persahabatan. Selain sulit untuk dilakukan pada masa kini, berteman atau bersahabat menuntut kepercayaan, ketulusan, dan kerendahan hati dari kedua belah pihak. Kepercayaan diperlukan untuk menekankan bahwa hubungan tersebut tidak dibangun dalam kecurigaan satu sama lain. Ketulusan dibutuhkan untuk mengartikulasikan bahwa hubungan tersebut tidak dibangun berdasarkan prinsip supply dan demand, untung dan rugi. Kerendahan hati diperlukan untuk menekankan bahwa hubungan tersebut tidak didirikan di atas superioritas yang dibawa oleh status duniawi. Kerendahan hati mengandaikan bahwa terdapat posisi yang egaliter di antara kedua belah pihak, kendati status sosial setiap orang berbeda.
Beragam teks populer seperti film atau musik pun secara diam-diam masih berupaya untuk menampilkan beberapa hal di atas sebagai peristiwa yang mengharukan bagi kemanusiaan. Salah satunya adalah lagu yang dinyanyikan oleh sebuah band funk-rock dari Amerika Serikat, Red Hot Chili Peppers, yang berjudul My Friends dalam album One Hot Minute (1995). Lirik lagu ini berbicara tentang bagaimana menjadi teman yang baik. Mempertahankan rasa simpati dan bela rasa (compasion) dalam sebuah intimitas atau persahabatan menjadi salah satu jalan yang dapat dilakukan agar kita dapat menjadi teman yang baik bagi siapapun. Bahkan kendati keintiman dan persahabatan itu sudah tidak berlangsung lagi, masih ada sepenggal hati yang tersisa untuk mereka yang pernah singgah dalam kehidupan kita.
        
My friends are so depressed
I feel the question
Of your loneliness
Confide, 'cause I'll be on your side
You know I will, you know I will

Ex girlfriend called me up
Alone and desperate
On the prison phone
They want, to give her seven years
For being sad

I love all of you
Hurt by the cold
So hard and lonely too
When you don't know yourself

My friends are so distressed
And standing on
The brink of emptiness
No words, I know of to express
This emptiness

I love all of you
Hurt by the cold
So hard and lonely too
When you don't know yourself

Imagine me taught by tragedy
Release is peace
I heard a little girl
And what she said
Was something beautiful
To give, your love
No matter what
Yeah, what she said
 
I love all of you
Hurt by the cold
So hard and lonely too
When you don't know yourself

Bagian yang paling menyentuh dalam lirik lagu ini adalah pernyataan, I heard a little girl, and what she said was something beautiful. To give your love. No matter what. Yeah, what she said.” Pernyataan ini berbicara tentang ketulusan dan juga pengampunan. Tidak semua apa yang kita upayakan agar teman atau pasangan kita berbahagia dapat dipahami atau dimaknai dengan jelas. Kerap cinta dan perhatian yang kita berikan membentur tembok-tembok kosong. Kerap cinta dan perhatian kita dianggap sebagai angin lalu. Kerap cinta dan perhatian kita dipandang dengan sebelah mata. Namun, apa yang dikatakan gadis itu mengingatkan kita bahwa memberikan cinta dan perhatian haruslah tulus. Kita harus melepaskan beban apapun di balik pemberian itu sehingga cinta dan perhatian yang kita berikan tidak memiliki alasan lain kecuali cinta dan perhatian itu sendiri!
Di samping berbicara tentang makna ketulusan, pernyataan itu menyangatkan kekuatan akan pengampunan. Ketika Anda jatuh cinta kepada seseorang, Anda sebenarnya telah masuk ke dalam sebuah konsekuensi bahwa Anda akan terluka oleh cinta. Bagai bunga mawar yang berduri, cinta dan perhatian hidup bersama dengan rasa benci dan sakit hati. Ketika kita memegang bunga tersebut, jari kita dapat terluka oleh duri-duri yang berada di tangkainya. Tanpa disadari, setiap perhatian dan ungkapan cinta kita bisa berubah dengan cepat menjadi sumpah serapah ketika terjadi penolakan. Kita kecewa dan marah. Bahkan putus asa! Namun, gadis yang ditampilkan dalam lirik lagu itu mengatakan kepada kita agar kita harus berani untuk mengampuni mereka yang menyakiti hati. “To give your love. No Matter what!” Pengampunan ini menjadi sarana agar kita dapat berdamai pula dengan diri sendiri. Menurut saya, pernyataan tersebut menjadi hal yang paling penting untuk membangun karakter yang dewasa.
Intimitas dan persahabatan, tidak dapat disangkal, bukanlah sekadar sebuah syarat agar setiap manusia dapat menjadi makhluk sosial, tetapi juga merupakan sebuah jalan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda membuat kita tidak terjerumus pada konsep mengenai cinta diri (amor sui). Berani menerima keterbatasan dan kekurangan orang lain juga menjadi buah yang dapat dipetik dari intimitas dan persahabatan itu. Melalui hal tersebut, kita dapat melihat kehidupan dan gambaran diri kita dengan lebih matang.  Kendati demikian, memang tidak semua intimitas dan persahabatan yang dibangun selalu berbuah manis. Tidak jarang dari intimitas dan persahabatan itu, kita justru memetik tragedi dan kematian. Kita tahu, dalam sejarah manusia, ada begitu banyak orang yang menjadi tidak waras, depresi, dingin, sadis, dan bahkan mati karena terluka oleh duri-duri intimitas dan persahabatan.
Seorang eksistensialis Prancis yang bernama Albert Camus pernah menulis hal yang menarik tentang intimitas dan persahabatan dalam novelnya yang berjudul The Fall. Saya kutipkan beberapa pernyataan berikut.

Friendship is less simple. It is long and hard to obtain but when one has it there's no getting rid of it; one simply has to cope with it. Don't think for a minute that your friends will telephone you every evening, as they ought to, in order to find out if this doesn't happen to be the evening when you are deciding to commit suicide, or simply whether you don't need company, whether you are not in the mood to go out. No, don't worry, they'll ring up the evening you are not alone, when life is beautiful.

Bagi Camus, persahabatan memang terlihat kurang sederhana karena dibutuhkan usaha yang sangat keras untuk membangun dan bahkan merawatnya. Maka kita jangan pernah berpikir bahwa sahabat kita akan selalu menelepon kita di setiap petang, hanya untuk memastikan bahwa pada petang ini kita tidak mencoba untuk bunuh diri, tidak membutuhkan teman, atau tidak ingin bepergian. Mereka bukanlah orang-orang yang hadir hanya karena kita memiliki kekhawatiran akan kehidupan ini. Akan tetapi, mereka akan menelepon kita tatkala kehidupan yang kita jalani dapat kita syukuri sebagai sebuah keindahan, bukan tragedi!  Ya, sahabat adalah pribadi yang dengan rela hati mau merayakan kehidupan ini bersama kita. Sudahkah Anda merayakan kehidupan ini dengan sahabat atau pasangan Anda? Jika belum, hubungi mereka saat ini! Cheers!


 


Tuesday 7 March 2017

Hurt : Derita dan Kesempatan Kedua


Hampir di setiap Minggu pagi, laki-laki kekar itu melintas di depan rumah kami. Meski jalannya terseok-seok, langkahnya terlihat begitu tegar. Tubuhnya atletis. Mungkin pada masa mudanya, ia begitu disiplin menjaga tubuhnya. Dengan kaca mata hitam yang selalu ia kenakan, ia tampak begitu percaya diri. Tongkat ramping dari besi yang dibawanya selalu menghentak sejumlah kerikil dan kerakal yang menghalangi perjalanannya. Seolah ia tidak pernah  takut dan khawatir untuk tersesat atau terjatuh meski ia adalah seorang penyandang tuna netra.
Laki-laki itu bernama Petrus. Sejak berumur 4 tahun, matanya sudah tidak dapat melihat. Pada awalnya pria itu dilahirkan normal. Ia masih dapat mengingat dengan jelas seperti apa bentuk pohon yang tumbuh di depan rumahnya, cahaya sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya di pagi hari, warna cat tembok rumah yang mulai terkelupas, dan tentu saja wajah kedua orang tua yang selalu ia rindukan dalam mimpi, Namun, sebuah demam yang tinggi membuatnya harus kehilangan matanya. Sejak itulah dunianya gelap. Hitam pekat bagai jelaga. Bagi seorang anak, kondisi ini adalah sebuah tragedi. Karena selalu menjadi obyek perundungan teman-teman sebayanya selama bertahun-tahun, pada usia remaja, ia pernah berniat untuk menghabisi dirinya di sebuah jembatan. Ia ingin agar sungai segera mengambil nyawa sekaligus penderitaannya.
Namun, rupanya takdir tidak mengizinkan Petrus untuk mati muda. Seorang bapak yang tidak ia kenal mencegah dan membujuknya untuk mengurungkan niatnya. Pada waktu itu ia sudah menjadi anak yatim piatu. Petrus tinggal bersama neneknya yang selalu sakit-sakitan. Bagai sebuah drama, Petrus yang sedang mengalami frustasi, diangkat anak oleh bapak yang baik hati itu. Bapak dan keluarganya itu sangat menyayangi Petrus. Oleh bapak itu, Petrus didaftarkan ke sebuah sekolah tuna netra di Bandung. Di sana ia mendapat banyak teman yang nasibnya serupa. Babak kehidupan yang segar pun terbentang bagi Petrus. Ia menemukan sebuah kehidupan yang baru.
Banyak teman yang mengira laki-laki yang selalu melintas di depan rumah kami itu adalah seorang tukang pijat. Saya pun pernah berpikir demikian. Namun, pada suatu saat, saya pernah mencegatnya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya ia kerjakan dari pagi sampai sore hari. Pria itu menjawab bahwa ia adalah seorang kasir di sebuah perusahaan garmen, yang jaraknya tidak jauh dari rumah kami. Sebagai kasir, ia telah bekerja selama 15 tahun lebih di tempat itu. Tentu saja, informasi ini sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin seorang penyandang tuna netra mampu mengurus keuangan yang cukup besar? Ah, Petrus hanya tertawa. Ia mengatakan bahwa untuk melakukan pekerjaan itu ia memiliki metode tertentu. Ia mengatur keuangan dengan mata hatinya sehingga ia tidak pernah silau untuk mengurangi hak yang harus diterima para pegawai.
Perjumpaan saya dengan Petrus menjadi sebuah pembelajaran kehidupan yang sangat berharga. Di balik keterbatasan yang ia miliki, Petrus justru  menyimpan kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang yang memiliki penglihatan normal.Ada beberapa hal penting yang perlu saya catat di sini. Pertama, Petrus tidak terfokus pada kekurangan dan keterbatasan yang ia miliki. Sejak bergabung dengan sekolah tuna netra di Bandung, pria itu tidak pernah lagi menangisi atau menyesali kondisinya. Ia merasa bahwa di balik keterbatasannya itu, ia masih merasa berharga. Ia dicintai oleh kedua orang tua angkat dan keluarganya. Ia dihormati oleh teman-temannya sebagai teman yang baik. Status ketunanetraannya sama sekali tidak menghalanginya untuk berbahagia sebagai manusia. Kedua, ia  percaya bahwa ia masih berguna bagi banyak orang. Kepandaiannya dalam berhitung dengan cepat merupakan anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan orang-orang di sekitarnya. Ketiga, ia berani untuk menerobos dan membabat mitos tentang penyandang tuna netra yang kerap dipahami dengan keliru oleh banyak orang. Ia menunjukkan bahwa penyandang tuna netra tidak selalu identik dengan satu jenis pekerjaan informal seperti tukang pijat atau urut. Dengan kepercayaan diri yang dimilikinya, Petrus mampu bersikap optimis untuk menerjemahkan masa depan dengan cara mandiri.
Sayangnya, kisah kehidupan Petrus itu bisa dianggap sebagai sebuah dystopia bagi banyak orang yang lebih memahami penderitaan atau luka yang mereka miliki sebagai trauma yang tak tersembuhkan. Di sekitar Petrus dan kita, terdapat begitu banyak orang yang percaya bahwa masa depan tidak pernah hadir. Banyak orang yang meyakini bahwa kehidupan adalah sebuah kutukan, sebuah nihilisme! Mengapa demikian? Salah satu hal yang menyebabkan hadirnya keyakinan tersebut adalah ketidakmampuan mereka untuk melihat penderitaan sebagai bagian penting dalam pematangan diri. Penderitaan sekadar dipandang sebagai sebuah takdir nestapa yang harus dijalani. Dalam takdir itu, mereka merana sebagai orang-orang kalah yang tidak layak dicintai dan diperhatikan kembali. Seperti pada lirik lagu Hurt yang diciptakan Nine Inch Nails dan dilantunkan kembali oleh Johnny Cash, kita melihat sebuah dunia suram dari seseorang yang kehilangan harapannya karena penderitaan yang menderanya.
  
I hurt myself today
To see if I still feel
I focus on the pain
The only thing that's real
The needle tears a hole
The old familiar sting
Try to kill it all away
But I remember everything

What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt

I wear this crown of thorns
Upon my liar's chair
Full of broken thoughts
I cannot repair
Beneath the stains of time
The feelings disappear
You are someone else
I am still right here

What have I become
My sweetest friend
Everyone I know goes away
In the end
And you could have it all
My empire of dirt
I will let you down
I will make you hurt

If I could start again
A million miles away
I would keep myself
I would find a way

Tidak dapat dipungkiri bahwa penderitaan menghampiri setiap manusia. Namun,  puji Tuhan, penderitaan menjadi semacam alarm atau pengingat betapa rentannya manusia. Ia menghadapi berbagai batas eksistensial yang nyata, batas-batas alamiah yang tidak dapat ditaklukkan manusia. Kepasrahan menjadi kata kunci dalam hal ini. Namun, sikap pasrah yang terlalu dihayati akan menjadi sebuah fatalisme. Manusia seolah tidak punya daya untuk mengubah nasibnya karena dipaksa untuk mengamini penderitaannya. Kekuatan untuk berdaya tahan seolah sirna. Rasionalitas pun hilang. Tanpa bekas.
Namun, penderitaan tidak hanya menghilangkan rasionalitas atau pengharapan, tetapi juga menjauhkan manusia dari sesamanya. Penderitaan mampu membuat manusia menjadi lebih introvert sehingga cenderung menutupi dirinya secara rapat dari persentuhan dengan sesamanya. Di mata mereka yang terbelenggu oleh penderitaan, kehadiran sesama hanya menjadi beban yang semakin menghimpitnya. Ketulusan yang ditawarkan pun dimentahkan sebagai kecurigaan. Keramahan dihancurkan berkeping-keping sebagai permusuhan. Dalam penderitaan, manusia mungkin mencari tempat yang dapat memberinya perlindungan bagi dirinya. Sayangnya, tempat yang dimaksud justru bukanlah ruang yang memungkinkan ia dapat berinteraksi dengan sesamanya.
Tentu saja sikap introvert yang ditunjukkan oleh mereka yang menderita seharusnya tidak menyurutkan semangat sejumlah orang yang ingin berbuat baik. Kegigihan dan ketabahan yang luar biasa harus dimiliki oleh mereka yang berusaha mendampingi si penderita. Saya teringat kepada seorang teman yang baru saja sembuh dari kanker yang dideritanya selama bertahun-tahun. Selama ia berjuang dengan kanker, isterinyalah yang selalu berada di sampingnya. Wanita itu sungguh mendedikasikan dirinya bagi kesembuhan sang suami. Dengan cara apapun, ia lakukan agar kondisi suaminya dapat kembali normal. Akan tetapi, semakin wanita itu berusaha keras untuk mengupayakan kesembuhannya, semakin besar penolakan yang dilakukan sang suami. Kemoterapi yang dijalani selama bertahun-tahun membuat emosi sang suami sering tidak terkendali. Wanita itu sering menjadi sasaran amarah dan murka suami. Namun, ia tetap tabah dan tawakal. Ia percaya bahwa suatu saat badai dan kesulitan ini pasti berlalu dari kehidupan mereka.
Kegigihan, ketabahan, dan kesabaran sang isteri ternyata berbuah nyata. Ia menjadi orang yang pertama-tama bergembira karena mengetahui bahwa kanker yang diidap sang suami sudah terangkat dan hilang. Secara literal, kegembiraan yang ia alami juga menghapus rasa letih, frustasi, dan kepenatan yang sempat menghampiri dirinya. Kesetiaannya untuk mendampingi suaminya itu ternyata diamati pula oleh anak-anak mereka. Hal itu menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi mereka bahwa bertahan bersama dalam penderitaan adalah pilihan terbaik yang harus dijalankan. Dalam penderitaan, tiada satupun anggota keluarga yang ditinggalkan. Selain tentang kesetiaan, anak-anak mereka  juga belajar bahwa keluarga merupakan sekolah awal untuk memahami dan mengaplikasikan nilai solidaritas dan keadilan.
Apa yang terjadi pada teman saya mungkin merupakan hal yang langka pada masa kini tatkala lembaga perkawinan digoyang berbagai skandal. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak dapat bertahan hidup bersama mereka yang sedang menderita. Kita pun dapat dengan mudah meninggalkan sahabat yang dilanda kesulitan dan penderitaan hanya karena kita tidak ingin terlibat lebih jauh dengan risiko yang ditimbulkannya. Memang bagi mereka yang menderita sungguh bukanlah perkara yang mudah untuk bangkit dan kembali berdiri. Dibutuhkan mentalitas dan semangat yang sungguh luar biasa untuk mengubah penderitaan menjadi pengharapan, ketakutan menjadi keberanian, atau kegelapan menjadi terang. Akan tetapi, tidak jarang pula kita menemukan optimisme dan keberanian dari mereka yang sesungguhnya dikurung oleh penderitaan. Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam puisi Chairil Anwar, seorang maestro penyair di Indonesia, yang berjudul Aku. 

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

        Dalam puisi itu, si aku telah menetapkan diri untuk tidak bergantung pada siapapun. Meski menderita, ia merasa tidak perlu dikasihi. Baginya, penderitaan adalah hal yang harus dijalani dan bahkan dinikmati. Ia percaya bahwa penderitaan akan sirna dengan sendirinya karena penderitaan tidaklah lebih berarti ketimbang semangat untuk hidup (elan vital). Maka, dengan nada yang sangat optimis, ia menyatakan bahwa ia ingin lebih lama hidup seribu tahun lagi. Namun, apakah puisi ini memang merupakan gambaran realisme dari karakter Chairil yang sangat optimis? Atau apakah puisi ini sebenarnya merupakan sebuah retorika palsu yang diucapkan Chairil karena ia sebenarnya takut menghadapi penderitaan yang sedang menghimpitnya, kesepian dan penyakit kelamin yang dideritanya? Sungguhkah kita mampu menghadapi penderitaan tanpa pertolongan dan perhatian dari orang lain? Sungguhkan Petrus tidak membutuhkan kebaikan hati bapak dan keluarga angkatnya atau teman saya tidak mendambakan kehadiran dan kesetiaan isterinya? Apakah dalam penderitaan, setiap orang membutuhkan kesempatan kedua untuk bangkit dan kembali berdiri?

Sumber gambar : www.amazon.com

        
   

Thursday 2 February 2017

Days Gone By : Cerita Kenangan di Antara Kita

Setidaknya ada 2 alasan penting yang mendasari mengapa pada masa lalu saya diwajibkan untuk pergi ke sekolah oleh orang tua. Alasan pertama berkaitan dengan harapan mereka agar saya dapat menjadi insan yang cerdas, tekun,  bijaksana, dan penuh tata krama. Bagi mereka, sekolah merupakan jembatan yang dapat menghantarkan setiap orang menuju masa depan yang lebih baik. Untuk itu, orang tua juga mati-matian untuk memperingatkan agar saya tidak malas atau mangkir dari sekolah. Alasan kedua berhubungan dengan perhatian mereka terhadap pergaulan sosial yang saya lakukan di luar rumah. Mereka mahfum bahwa saya membutuhkan teman-teman sepermainan dalam pengembangan kedewasaan pribadi. Melalui teman-teman di sekolah, saya dapat berjumpa dengan sejumlah pribadi dengan latar belakang yang berbeda dan beragam.
Celakanya, alih-alih menjadikan sekolah sebagai tempat belajar, saya justru menjadikan sekolah sebagai ruang permainan dengan teman-teman. Kendati saya telah duduk di bangku kelas menengah sekalipun, sekolah masih saya pandang sebagai ruang yang membahagiakan serupa Taman Kanak-Kanak. Di ruang itulah saya dan teman-teman dapat bertemu, berteriak-teriak, melompat-lompat, berkejar-kejaran, membicarakan para gadis yang kami idamkan, atau bercanda dengan gelak tawa yang lepas. Pada saat itu, kami sungguh tidak peduli seanarkis apa perilaku yang kami tunjukkan. Seolah kehidupan hanya berlangsung hari ini saja. Carpe Diem! Alhasil, kami kerap diganjar dengan banyak hukuman oleh para guru yang memandang kami sebagai para devian di sekolah. Berlari jongkok mengitari lapangan basket, berdiri tegak di tengah lapangan pada siang bolong, berdiri dengan satu kaki di depan kelas, atau berdiri menghadap tembok sekolah kami yang berwarna kuning pupus!
Seharusnya kami sedih dan menyesali perilaku kami yang sangat anomalis itu. Akan tetapi, status sebagai pesakitan sekolah – demikian teman saya menyebutnya- justru membuat kami bangga di hadapan banyak teman, terutama di depan para gadis idaman. Kenakalan menjadi sebuah sensasi dan pleasure tersendiri bagi lelaki muda. Namun, bagi orang tua, apa yang telah kami lakukan itu menjadi hal yang sangat memalukan. Mereka mungkin sangat kecewa karena kami tidak mengindahkan harapan mereka untuk menjadikan sekolah sebagai ruang belajar dan ruang persiapan bagi masa depan. Untunglah, menjelang Ujian Nasional, saya dan teman-teman mulai mencoba untuk bersikap dewasa. Kami berkomitmen itu menjadi siswa-siswa yang normal. Maka, dengan kesadaran dan tanggung jawab yang cukup tinggi, sedikit demi sedikit kami pun mulai memperbaiki diri dan kembali pada pemahaman bahwa sekolah merupakan ruang belajar yang perlu dihormati.
Tak terasa, tiga puluh tahun sudah pengalaman tersebut berlalu. Seolah-olah segalanya baru saja terjadi kemarin. Meski tembok sekolah sudah berubah warna, lapangan basket tampak menyempit, atau para guru mulai berganti, ingatan akan kebersamaan dengan teman-teman sepermainan tidak pernah hilang. Berbagai hukuman yang pernah dijalani pada masa lalu hanya menjadi cerita yang penuh olok-olok pada masa kini. Seolah-olah hukuman itu menjadi salah satu bagian penting dalam permainan yang kami lakukan. Mengingat kembali segala peristiwa itu serupa dengan mendapatkan dan membuka album foto lapuk yang tersimpan rapi di gudang.
Namun, dalam album foto itu, saya juga menemukan begitu banyak figur yang telah mengisi hari-hari saya pada masa lalu, selain teman-teman di sekolah menengah. Saya melihat  sejumlah foto teman masa kecil ketika kami masih tinggal di Bogor. Saya ingat, hampir setiap hari kami lewati dengan berbagai permainan yang menyenangkan. Lihat, dengan wajah yang tak berdosa, kami semua tersenyum di sana! Ah, betapa jauhnya kenangan itu telah saya tinggalkan. Di manakah mereka saat ini? Saya menemukan pula foto-foto kelas yang diambil ketika kami hendak lulus sekolah dasar. Tidak semua wajah terlihat optimis. Ada pula yang sedang dirasuk oleh kegundahan karena khawatir dengan hasil ujian. Namun, wali kelas kami terlihat begitu gembira dengan senyum cantiknya. Dalam foto itu, saya tidak pernah berada di baris belakang karena baris itu selalu diisi oleh teman-teman yang berbadan tinggi. Selama enam tahun, saya selalu setia berada di depan bersama dengan teman-teman yang berbadan pendek.
Tidak terlupakan juga beberapa foto yang diabadikan bersama teman-teman di sekolah menengah lanjutan. Karya wisata dan ziarah kami ke Borobudur dan Sendang Sono menjadi foto-foto yang sangat monumental. Dalam usia yang bergolak dan masa pubertas yang tak tertahankan, kami menjadi pribadi yang optimis dan bengal, yang percaya bahwa dunia dapat kami taklukkan dengan heavy metal, puisi Rendra, dan sebatang Marlboro. Kami tampak begitu berani dengan rambut gondrong dan tubuh langsing. Itulah masa-masa emas yang tidak dapat terlupa. Bersama mereka, saya mulai didewasakan dan dituntun untuk menemukan diri saya yang sebenarnya. Bersama mereka jugalah, cinta a la anak-anak monyet menjadi paket dari petualangan masa muda. Terlintas beberapa wajah ayu nan simpatik yang sempat mampir di hati. Surat-surat yang berisi pengharapan dan kerinduan selalu dinanti dengan ketegangan tingkat tinggi. Namun, semua berlalu sebagai kepingan memori. Di manakah mereka saat ini?
Lalu bagaimana dengan masa kuliah? Ah, begitu banyak wajah dan nama yang ingin diingat! Terlalu banyak kisah dan legenda yang patut dituturkan tentang mereka. Dengan cara masing-masing, setiap orang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Mereka pernah mengisi ruang batin kita dengan sejumlah canda, ketulusan, renjana, rasa takjub, asmara, kegetiran, penolakan, khianat, dan sakit hati. Kendati demikian, semuanya terajut sebagai rangkaian pengalaman yang tak mungkin terulang kembali. Sebagai pengalaman, rajutan itu sama sekali tidak terpisah dengan eksistensi kita pada masa kini. Keberadaan kita merupakan kumpulan dari berbagai rajutan baik yang tebal maupun yang tipis, yang berasal dari perjumpaan kita dengan sesama kita. Rajutan ini menjadi semacam jejak bahwa setiap manusia tidak dapat sepenuhnya meninggalkan kenangan dan masa lalu sebagai sebuah hal yang tidak berguna. Album foto yang teronggok lapuk di gudang perlu juga untuk dibuka kembali. Siapa tahu di sana kita menemukan kembali jati diri kita yang sesungguhnya, yang mungkin karena suatu hal telah dilupakan sama sekali.
Membuka album foto kenangan merupakan cara mudah untuk menarik diri dari amnesia sejarah yang kerap kita alami. Menarik untuk mengamati sebuah lagu yang berjudul Days Gone By yang pernah dirilis oleh Slaughter, band hard rock asal Amerika, pada tahun 1992 di album mereka, The Wild Life.

Its so good to see you now
Its been so long since we've been together
You kept in touch somehow
You always found a way to be there

I wish that I could stop the hands
Of time between us

All the days gone by
Do you remember when
We were the best of friends
All the days gone by
You know that memories
Never fade
As your watchin all your days go by

Lookin back on younger years
Thats what are hopes and dreams
Are made of
All the laughter and the tears
Its the feelin of love that make us

I wish that I could stop the hands
Of time between us

All the days gone by
Do you remember when
We were the best of friends
All the days gone by

You know that memories never fade
As your watchin all your days go by

Oooo all of the feelins
That we had before
But thru the years

The memories we share
You cant erase them from your mind

All of the days gone by
You know that memories never fade
As your watchin all your days go by

They go by (they go by)
They go by (they go by)
They go by (they go by)
They go by

Memories never fade
As your watchin all your days go by
Oh

Saya sepakat dengan Slaughter bahwa kenangan bersama orang-orang yang pernah mengisi hari dan hati kita perlu dirayakan. Meski waktu terus melaju, kenangan yang pernah kita lalui tidak tertinggal. Sebaliknya, perjalanan waktu justru menguatkan kenangan tersebut sehingga tidak pernah terhapus dalam benak. Semakin kita menyadari betapa cepatnya waktu berlalu dalam kehidupan kita, semakin kita memahami betapa berharganya kenangan yang pernah dilewati. Kenangan menjadi tidak terbeli karena setiap peristiwa hanya hadir satu kali dalam kehidupan kita. Waktu memang membawanya pergi, namun sayangnya gerak waktu tidak mampu menghapus jejak kenangan yang telah ditorehkan peristiwa.
Ingatan akan kenangan di masa lalu termasuk tema yang kerap dibicarakan dan dibahas sebagai sumber inspirasi penciptaan dalam dunia populer. Hal demikian, misalnya, banyak saya temukan dalam novel-novel karya Nh. Dini. Dalam khazanah sastra Indonesia,  Nh.Dini dikenal sebagai seorang penulis wanita yang kerap mengisahkan sejumlah kenangan yang pernah dilaluinya pada masa remaja bersama keluarga dan teman-temannya. Menurut pengakuannya,  novel-novel itu ditulisnya berdasarkan kisah kehidupannya. Beberapa novel yang membahas tentang kenangan itu di antaranya adalah Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), dan Sekayu (1981). Dari perspektif sastra, sebagaimana ditulis Nh. Dini, kenangan akan masa lalu menjadi sesuatu yang sangat bermakna dalam kehidupan seseorang. Saya kutipkan sedikit bagaimana Nh. Dini mengenang seorang pemuda yang bernama Mas Nur, yang pernah hadir di dalam hidupnya.

Pengalaman itu dapat kunamakan sebagai cinta tiga lakon. Hampir selama tujuh bulan kami berlatih bersama, bertemu, dan berbicara untuk saling mengenal lebih dekat. Begitu pentasan berakhir, kami jarang berjumpa lagi, kecuali di hari Minggu. Kadang-kadang keinginan untuk bertemu dengannya terkabul, kadang-kadang tidak. Dapat dikatakan lebih sering terkecewakan. Mas Nur memiliki kegiatan lain, ialah berlatih renang. Tahun itu dia berusaha merebut kejuaraan kota. Di kala aku melihatnya muncul di Eka Kapti, dia tidak tinggal lama bersama kami. Tetapi dia tidak pernah lupa mencari dan menyalamiku, bertanya buku apa lagi yang telah dibaca sejak pertemuan kami yang terakhir, tanaman apa yang baru kudapatkan serta urusan-urusan lain yang sama sekali lepas dari pelajaran sekolah. Semuanya berlangsung singkat, karena terputus oleh teguran kawan-kawan lain, oleh latihan gamelan maupun tari yang kami ikuti.
Kemudian lama sekali aku tidak bertemu dengan dia. Sampai saat harus meninggalkan kotaku, aku tidak pernah lagi berkesempatan mengetahui di mana dia. Kenanganku yang nyaman terhadapnya tetap sedap, tetap kusimpan di dalam hati yang cerah. Kesan yang ditinggalkannya padaku jauh lebih membentuk daripada Dirga. Memang keduanya tidak dapat dibandingkan. Aku pernah merindukan Dirga sebagai seorang pemuda yang menarik jasmaniahnya. Sifatnya dan kelakuannya tidak mempengaruhiku. Sedangkan Mas Nur, aku mengaguminya, aku tertarik kepada keseluruhan wajah dan tubuhnya, aku banyak belajar daripadanya.  (Sekayu, hlm. 150-151)

Di balik setiap kenangan, ternyata ada kisah yang dapat dituturkan. Kendati kita hidup bagi masa depan, tidak dapat disangkal, kita diseret untuk memperhatikan kembali apa yang pernah kita alami pada masa lalu. Namun, sekuat apapun kita merasakan hal itu, kenangan memang tidak dapat dihidupkan kembali. Kenangan hanya bisa menjadi semacam referensi yang membantu kita untuk menjalani hari ini dengan lebih baik sehingga dapat meloncat jauh lebih tinggi di masa depan. Maka, ada baiknya bila kita mengingat-ingat kenangan yang baik, yang menguatkan, dan yang inspiratif yang pernah kita jalani bersama orang lain. Orang bijak mengatakan bahwa apa yang baik pada masa lalu dapat diambil dan dikembangkan untuk hari ini dan masa depan. Akan tetapi apa yang buruk pada masa lalu harus segera ditinggalkan atau jika perlu, diubah dan diperbaiki demi masa depan yang lebih baik.
Kendati begitu, kita perlu juga menyadari bahwa hari yang kita jalani pada hari ini sesungguhnya akan menjadi bagian dari kenangan itu sendiri. Tanpa disadari, waktu pun bergerak sebagaimana kita bergerak pula.Celakanya, sebagai manusia modern, kita kerap alpa bahwa kehidupan kita berjalan dalam waktu yang selalu bersifat sekejap, sementara, dan terbatas. Meski demikian, dalam kesementaraan dan keterbatasan itu, untunglah, manusia masih memiliki memori tempat segala kenangan dirajut dan ditenun sebagai hal yang bermakna dalam kehidupannya.  Sejauh manusia dapat menghidupi kehidupannya sebagai sesuatu yang sangat berharga, memori itu tiada pudar. Memories never fade as your watchin all your days go by.

Sumber : www.metrolyrics.com