Sunday 17 April 2016

Ben : Teman, Siapakah Teman?





Setelah Anda bergabung dengan media sosial, berapakah jumlah teman Anda sekarang? Berapakah jumlah follower Anda di Facebook, Twitter, atau Instagram? Puluhan orang? Ratusan? Atau ribuan? Saya yakin, Anda akan terkejut betapa banyak orang yang dapat dikategorikan sebagai teman dalam media sosial itu. Anda mungkin dapat bertemu kembali dengan para sahabat di masa kecil, teman sebangku di sekolah dasar, pujaan hati yang tak pernah sempat Anda nyatakan cinta, teman yang pernah menjadi musuh bebuyutan, guru-guru yang menyenangkan dan inspiratif, mantan pacar yang kini telah berbahagia dengan pasangannya, teman dari teman Anda, orang-orang yang memiliki minat sama, atau rekan kerja Anda saat ini.
Ya, perlu diakui atau tidak, kita berhutang budi kepada media sosial. Melalui media sosial dapat dikumpulkan kembali sejumlah orang yang pernah akrab di masa lalu. Selain itu media sosial  juga dapat mempertemukan kita dengan banyak teman baru dalam rajutan cerita di masa depan. Media sosial memudahkan kita untuk semakin menguak kehidupan privat seseorang. Melalui status yang kerap diperbaharui,  kita diajak untuk melihat jenis makanan yang ia sukai, tempat wisata yang ia kunjungi, teman-teman baru yang ia miliki, keluhan serta keprihatinan yang ia rasakan, untaian doa yang ia panjatkan, ayat Kitab Suci yang menggerakkannya, atau tanggal berapa ia menerima gaji. Tidak ada sesuatupun yang dapat dirahasiakan. Tidak pernah ada kedekatan yang mendalam seperti ditawarkan media sosial.
Perkembangan teknologi komunikasi memang sangat memudahkan kita untuk menjalin relasi atau berteman dengan siapapun. Hanya dalam waktu singkat setelah kehadiran internet dalam masyarakat modern, pertemanan menjadi sebuah gaya hidup yang cukup diminati. Setiap orang bahkan dapat menikmati kebebasan untuk memilih dan menjadikan siapapun sebagai temannya, tanpa rasa malu, tanpa rasa takut. Akan tetapi, perkembangan teknologi itu, disadari atau tidak, mengabaikan pula unsur kedalaman dan keintiman dalam relasi. Tidak semua masyarakat modern melihat celah yang menjanjikan bahwa media sosial mampu menciptakan struktur relasional yang lebih demokratis dan tidak berbatas (borderless). Celakanya, media sosial lebih cenderung dimaknai sebagai hiburan (amusement) yang semata-mata berkorelasi erat dengan gaya hidup masyarakat modern.
Meski dalam media sosial setiap orang dapat menjadikan orang yang tak dikenal sebagai teman, komunikasi yang tulus dan intim  bukanlah tujuan utamanya. Karena itu, wajarlah jika dari puluhan atau bahkan ribuan gambar follower kita yang terpampang di media sosial itu, hanya segelintir orang yang sungguh-sungguh menanyakan kabar kita dan keluarga. Hanya segelintir orang yang sungguh-sungguh ingin memperlakukan kita sebagai bagian penting dari proses komunikasi yang sebenarnya. Hal yang kerap terjadi menunjukkan bahwa basa-basi komunikasi lebih sering hadir dalam masyarakat modern. Sungguh sangat ironis.
Dalam masyarakat modern gagasan mengenai pertemanan memang selalu menjadi topik menarik. Topik itu terekam dengan baik dalam sejumlah media populer seperti film, lukisan, karya sastra, atau lirik lagu. Melalui pelbagai media itu pertemanan digambarkan dalam beragam situasi. Ada yang menggambarkan pertemanan sebagai relasi kimiawi (chemical relationship) yang lurus-lurus saja. Relasi demikian dipastikan berujung kepada kebahagiaan. Ada yang menggambarkan pertemanan sebagai relasi kimiawi yang begitu rumit, penuh dengan air mata, jurang, dan jalan mendaki, meski pada akhirnya relasi tersebut berujung pada akhir yang bahagia. Akan tetapi, ada pula yang menggambarkan pertemanan sebagai relasi emosional yang sungguh sangat gelap dan meletihkan, dibarengi dengan sejumlah perselingkuhan dan pengkhianatan. Relasi tersebut kerap digambarkan begitu menyedihkan. Sayangnya, dari ketiga jenis relasi itu, gagasan tentang pertemanan hanya ditampilkan sebagai kesan, bukan sebagai esensi dari kehidupan bersama. Gagasan tentang pertemanan yang ditampilkan media populer itu kerap tidak menyentuh kedalaman hati nurani manusia yang sesungguhnya.
Pertemanan yang saya bicarakan di sini tentu saja merupakan buah dari keterbukaan hati seseorang untuk menyapa orang lain. Dalam hal ini sapaan menjadi kata kunci yang  sangat penting. Ia menjadi semacam penghancur kebuntuan komunikasi, sebagai akibat dari prasangka-prasangka yang kerap dihembuskan masyarakat sebagai sarana kontrol sosial. Selain bentuk keterbukaan hati, sapaan adalah kesiapan seseorang untuk menerima kehadiran yang lain. Sebagai sebuah kesiapan, tak dapat dipungkiri bahwa sapaan melibatkan seseorang dalam kehidupan sesama yang lain. Secara eksplisit, dengan sapaan itu, ia pun turut serta dalam segala penderitaan dan keprihatinan, dalam kebahagiaan dan pengharapan sesama yang lain. Bukankah dengan pertemanan itu seseorang dapat semakin mengenali jati dirinya dengan lebih baik?
Pertemanan, bila direnungkan lebih mendalam, sungguh bernuansa eksistensial karena berkaitan dengan proyeksi individu terhadap pengenalan dirinya. Karena itu, dapat dipahami bila pengenalan dan penerimaan terhadap teman juga menjadi sarana terjadinya pengenalan dan penerimaan terhadap diri sendiri. Dalam pertemanan itu seseorang bisa belajar untuk memperlakukan orang lain sebagai dirinya sendiri.
Sayangnya, dalam masyarakat modern yang menciptakan pribadi-pribadi yang individualis, pertemanan itu kerap berada di luar pengertian itu. Dalam hiruk pikuk komunikasi masyarakat yang begitu cepat, ada beberapa orang yang berusaha membatasi dan  menutup dirinya dari pergaulan. Mereka mendirikan tembok dan pagar pembatas yang tinggi sehingga tidak pernah terjadi perjumpaan dan interaksi dengan orang lain. Bahkan ada beberapa orang yang memilih untuk menarik diri dari pergaulan manusia yang wajar. Mereka memilih benda-benda mati sebagai teman sejatinya! Ini tentu saja sebuah tragedi kemanusiaan!
Aroma tragedi itu kerap luput dalam lirik lagu populer. Tidak selamanya media populer berani untuk menampilkan realitas yang kotor, gelap, dan mengganggu. Ada kalanya pula media populer berusaha dengan sepenuh hati menutupi realitas yang dialami masyarakat modern. Namun, saya melihat bahwa celah untuk memahami realitas yang gelap dan mengganggu itu terbuka pula. Hal demikian saya endus dalam lirik lagu Ben yang dilantunkan oleh King of Pop, Michael Jackson, pada tahun 1972.
              
Ben
Ben, the two of us need look no more
We both found what we were looking for
With a friend to call my own
I'll never be alone
And you my friend will see
You've got a friend in me
(You've got a friend in me)

Ben, you're always running here and there
(Here and there)
You feel you're not wanted anywhere
(Anywhere)
If you ever look behind
And don't like what you find
There's something you should know
You've got a place to go
(You've got a place to go)

I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"
I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"

Ben, most people would turn you away
I don't listen to a word they say
They don't see you as I do
I wish they would try to
I'm sure they'd think again
If they had a friend like Ben
(A friend)
Like Ben
(Like Ben)
Like Ben

Lagu ini dinyanyikan Michael Jackson ketika ia masih begitu belia, sebelum kulitnya memutih, rambutnya bergelombang, dan hidungnya berganti mancung karena injeksi steroid dan silikon yang dipergunakannya. Menariknya, sejauh ini, industri musik populer mengkatalogkan lagu Ben ke dalam lagu-lagu populer bergenre lagu cinta (love song). Saya duga, pengkatalogan ini dilakukan karena jenis musik yang ditampilkan Ben adalah balada yang mendayu-dayu.
Jika kita amati lirik lagu itu secara sekilas, kita dapat mengetahui bahwa lirik lagu itu berbicara tentang sebuah persahabatan sejati antara tokoh “aku” dan “kamu.” Tokoh “kamu” digambarkan sebagai sosok yang tidak diingankan oleh siapapun. Karena itu, ia kerap berlari ke sana dan ke mari. Sementara itu, tokoh “aku” adalah satu-satunya sosok yang sanggup untuk menerima kehadiran tokoh “kamu” apa adanya sebagai seorang teman. Bahkan karena itu, tokoh “aku” menyebut dirinya sebagai  sebuah tempat tujuan (a place to go) bagi tokoh “kamu.” Namun, di antara tokoh “aku” dan “kamu” terdapat relasi yang saling membutuhkan. Mereka bukanlah lagi dua tokoh, melainkan satu, yaitu “kami.”
Kisah pertemanan yang sangat mengharukan, bukan? Manakala lagu yang dilantunkan Michael kecil itu kita dengarkan kembali dengan sangat intens - entah menjelang tidur malam atau di bawah lampu yang temaram - saya yakin, kita dapat dibawa kepada permenungan tentang pertemanan yang pernah kita jalin. Banyak teman yang datang, tetapi banyak pula yang pergi. Ternyata relasi pertemanan kita di masa lalu pun lebih banyak dipenuhi dengan luka dan sakit hati. Mungkin sudah tak terhitung lagi betapa relasi pertemanan kita justru lebih banyak menyakiti ketimbang membangun dan memberikan inspirasi. Relasi pertemanan yang diawali dengan sangat manis ditutup dengan sikap antagonistik yang menyakitkan karena perbedaan pendapat, sikap, atau prinsip hidup.
Lirik lagu Ben itu pun serupa dengan kondisi tragis yang kita alami tentang pertemanan. Mengapa demikian? Di balik kehangatan relasi yang terjalin antara tokoh “aku” dan “kamu,” lirik lagu ini sesungguhnya berasal dari kehidupan pribadi Michael kecil. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca bahwa tokoh yang dimaksud dengan “kamu” atau Ben itu adalah seekor tikus putih kesayangan Michael kecil. Ya, tikus itu telah menjadi sahabat penyanyi kondang itu selama bertahun-tahun. Michael sangat menyayangi tikus Ben sebagai sahabatnya. Pasalnya, Ben adalah satu-satunya tempat Michael untuk berkeluh kesah. Ada semacam disposisi batin yang dibayangkan Michael kepada Ben, yaitu bahwa mereka memiliki nasib yang sama sebagai pribadi yang terbuang, pribadi yang tidak diinginkan oleh siapapun.
Di balik lirik lagu Ben, secara implisit kita dapat menelurusi kehidupan masa kecil sang mega bintang yang begitu kelam dan pahit. Perjalanannya menuju ketenaran sungguh bukanlah jalan yang begitu mudah, melainkan jalan yang dipenuhi dengan air mata, kesedihan, dan trauma yang tidak dapat disembuhkan. Sejak kecil, ia telah memperoleh perlakuan yang sangat buruk dan tidak manusiawi dari sang ayah. Dalam usianya yang begitu muda ia telah dilecehkan secara seksual oleh ayahnya. Dunia anak-anak yang seharusnya dapat ia jalani dengan gembira telah berubah menjadi dunia yang sangat menjijikkan dan menakutkan. Maka, di atas panggung yang megah dan hingar-bingar itu, sampai usia dewasa pun, Michael tidak pernah menikmati kesuksesan dalam arti yang sesungguhnya. Ia selalu menjadi pribadi yang sepi, tertutup, dan paranoid. Tanpa teman yang mampu memahami dunianya yang begitu gelap.
Lirik lagu Ben adalah contoh sempurna bagaimana media populer menutupi realitas pertemanan dengan kosmetik yang tampaknya inspiratif dan menyenangkan. Media sosial yang kita sembah pada masa kini pun bisa menutupi realitas yang sebenarnya dalam relasi pertemanan yang kita jalani. Jumlah teman atau follower yang kita miliki tidak pernah merepresentasikan kenyataan bahwa kita sungguh memiliki mereka sebagai teman yang mau hadir dalam kepenuhannya. Menurut hemat saya, media sosial hanya menjadi sebuah proyek impian yang mampu membaca kerinduan besar masyarakat modern saat ini untuk memiliki sesama yang lain sebagai teman. Sayangnya, media sosial tidak pernah sungguh-sungguh berusaha untuk menjawab kerinduan itu. Pasalnya, menjalin relasi pertemanan tidaklah segampang kita mengklik kotak “tambahkan teman” dan “konfirmasi pertemanan” yang disediakan media sosial sebagai fitur favorit yang disambangi banyak penggunanya. Di  balik kotak-kotak itu, ada sesuatu yang sangat eksistensial dan bahkan metafisis untuk dicermati kembali. Teman, siapakah teman?      

Sumber gambar : www.listal.com
      

Monday 4 April 2016

Forever Young : Menjadi Muda, Menjadi Abadi?


Waktu terbang begitu cepat. Seperti kedip mata. Seperti jentikan jari. Segala hal yang pernah kita alami seperti mimpi yang cepat selesai.Segalanya hanya menjadi kenangan yang tak mungkin terulang. Inilah kesan yang kerap kita peroleh ketika kita membuka album foto, ketika kita menghadiri acara reuni, atau ketika kita berdiam hening membuka agenda harian kita. Ternyata kita telah dibawa lari dengan sangat cepat oleh sang waktu. Kita telah dijauhkan dari serangkaian momen yang kita anggap dapat abadi.
Namun, manusia modern adalah makhluk yang keras kepala. Dengan teknologi yang mereka ciptakan dan kelola, mereka berusaha keras untuk mengatur dan bahkan menaklukkan waktu. Mereka berusaha keras untuk mewujudkan keabadian, entah faktual, entah simbolis. Dengan cara itu kelemahan fisik dan kerentaan yang muncul sebagai konsekuensi dari kefanaan manusia dapat ditutupi. Kita melihat bagaimana teknologi kesehatan yang menjadi salah satu pusat perhatian penting manusia modern berusaha mengatasi keterbatasan banyak organ tubuh manusia sehingga harapan hidup manusia diperpanjang. Teknologi kecantikan yang terus dikembangkan sebagai sebuah kapitalisme populer pun turut serta menyediakan keabadian bagi mereka yang terlalu takut untuk menjadi tua dan renta. Di Korea Selatan, misalnya, banyak perempuan paruh baya merelakan wajah dan tubuhnya untuk dipermak agar tampak muda dan mulus. Bebas dari kolesterol. Bebas dari kerutan. Bebas dari sang waktu. Demikianlah, teknologi yang diupayakan manusia modern telah menjadikan manusia sebagai proyek yang tidak pernah selesai.
Para sastrawan modern, meski bukan berasal dari ranah teknologis, pun kerap memiliki kerinduan untuk dapat hidup abadi melalui karya-karyanya. Dalam sebuah puisinya, Chairil Anwar pernah meneriakkan sebuah aforisma yang terkenal “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!  Gairah untuk hidup atau elan vital itu memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari karakter Chairil yang gemar berpetualang. Akan tetapi, Chairil Anwar rupanya tidak sendiri. Keinginan untuk menjadi abadi itu kita temukan pula dalam novel karya Mary Shelley yang berjudul Frankenstein. Dalam novel yang ditulis Shelley ketika berumur 18 tahun itu dikisahkan bahwa Victor Frankenstein, seorang ilmuwan muda yang begitu ambisius, sangat terobsesi untuk menghadirkan kehidupan dari kematian. Ia lantas menciptakan sesosok makhluk dari organ-organ tubuh mayat yang ia sulam sedemikian rupa. Ia pun memberinya kehidupan dari teknologi yang ia ciptakan. Seperti Promotheus yang memberikan api keabadian kepada manusia dalam dongeng Yunani, demikianlah Frankenstein juga bermain sebagai Tuhan.  Melalui teknologi ciptaannya, ia telah membuka sebuah kemungkinan baru bahwa manusia tidak akan pernah mati. Manusia bisa hidup abadi.       
Selain Frankenstein, ada pula Peter Pan, kisah menarik tentang seorang remaja yang tidak ingin menjadi dewasa. Kisah yang ditulis oleh seorang novelis dari Skotlandia, J.M. Barrie, ini menampilkan petualangan Peter Pan bersama para sahabatnya di sebuah pulau antah-berantah yang bernama Neverland. Di tempat itulah, para peri dapat bercengkrama akrab dengan manusia dan makhluk lainnya. Di tempat itu jugalah waktu yang begitu lekat dengan kehidupan manusia seakan tidak berjalan. Dalam petualangannya itu Peter Pan tidak jarang harus menyelamatkan para sahabatnya dari ancaman Kapten Hook dan kawanan bajak lautnya. Tanpa menemui hambatan yang berarti, Peter Pan yang selalu ceria dan lincah itu berhasil mengusir Kapten Hook yang bengis dan lamban itu keluar dari Neverland. Tidak ada tempat bagi mereka yang cepat uzur di pulau itu.
Tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa Chairil Anwar, Mary Shelly, atau J.M Barrie sedang menunjukkan kerinduan manusia akan keabadian. Kerinduan sebagaimana tertampakkan dalam karya-karya sastra itu memang bersifat simbolis. Dibandingkan dengan teknologi, karya sastra sebagai sarana simbolis memiliki kemampuan untuk masuk ke dalam relung imajinasi dan alam bawah sadar setiap orang. Tidak dapat dimungkiri pula, karya sastra yang dibaca selalu memiliki dampak duratif yang cukup panjang dalam kehidupan manusia karena mampu menyentuh batin.
Meski begitu, hal-hal simbolis tampaknya mulai begitu jauh dari kehidupan manusia modern. Teks-teks kultural seperti karya sastra, musik, komik, atau film tidak lagi dipandang sebagai sumber tuntunan dan kekayaan batin, tetapi diperlakukan sebagai sarana tontonan dan hiburan belaka yang dapat dikomodifikasi secara massal. Padahal teks-teks kultural itu menawarkan sebuah katarsis dan pembebasan bagi manusia modern dari neurosis dan irasionalitas. Akibatnya, pelbagai teks kultural yang diproduksi manusia modern pun kering dengan pemaknaan. Karya sastra, lagu, komik, atau film yang berkembang dalam masyarakat modern seringkali tidak  mampu lagi menyampaikan refleksi manusia atas batas-batas eksistensial yang melingkupinya. Teks-teks kultural itu hanya menjadi proyek eskapisme manusia modern yang tak mampu mengatasi kefanaan tubuh. Itulah mengapa teks-teks kultural yang tersebar dalam budaya populer dipenuhi dengan gagasan mengenai maskulinitas, kecantikan, seks, dan kekuasaan yang begitu berlimpah, tetapi dangkal dan kering dalam pemaknaan .
Kita lupa bahwa menjadi abadi sesungguhnya sangat begitu sederhana. Menjadi abadi tidak selamanya berbicara tentang sejumlah teknik untuk mengatasi kerutan dan sakit jantung. Sebaliknya, menjadi abadi berarti mau memiliki semangat muda dalam kehidupan ini seperti diproklamasikan dengan lantang oleh band Alphaville dalam lagunya yang berjudul Forever Young. Tanpa terjebak sebagai Victor Frankenstein yang terobsesi sebagai pencipta kehidupan baru, sebagai aku dalam puisi Chairil Anwar yang begitu narsistik, atau sebagai Peter Pan yang tidak pernah mau menjalani kehidupan ini sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan, kita diajak oleh lirik lagu itu untuk menghidupkan semangat muda dalam diri kita. Tentu saja menghidupkan semangat ini selalu merupakan sebuah pilihan yang tegas, antara ya atau tidak sama sekali!       
Forever Young
Let's start in style, let's dance for a while,
Heaven can wait we're only watching the skies.
Hoping for the best, but expecting the worst,
Are you gonna drop the bomb or not?

Let us die young or let us live forever
We don't have the power, but we never say never
Sitting in a sandpit, life is a short trip
The music's for the sad man.

Can you imagine when this race is won?
Turn our golden faces into the sun,
Praising our leaders, we're getting in tune
The music's played by the madman.

Forever young,
I want to be forever young.
Do you really want to live forever?
Forever, and ever

Forever young,
I want to be forever young
Do you really want to live forever?
Forever young.

Some are like water, some are like the heat
Some are a melody and some are the beat
Sooner or later they all will be gone
Why don't they stay young?

It's so hard to get old without a cause
I don't want to perish like a fading horse
Youth's like diamonds in the sun,
And diamonds are forever

So many adventures couldn't happen today,
So many songs we forgot to play
So many dreams swinging out of the blue
Oh let them come true

Forever young,
I want to be forever young.
Do you really want to live forever,
Forever, and ever?

Forever young,
I want to be forever young.
Do you really want to live forever,
Forever young?

Forever young
I want to be forever young
Do you really want to live forever,
Forever, and ever?

Forever young,
I want to be forever young.
Do you really want to live forever?

Sebagai sebuah pilihan, menghidupkan kembali semangat muda tidak berarti bahwa tidak ada risiko. Salah satu risiko yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwa bergeloranya semangat muda, bagaimanapun, bergantung pula kepada tubuh yang fana. Selama tubuh masih mampu menopang semangat, maka semangat muda itu akan terus bergelora. Akan tetapi, manakala tubuh mulai melemah dan uzur, semangat muda itu hanyalah artefak yang siap dikubur. Maka, dalam konteks tersebut, lirik Forever Young mengajak kita untuk secara kritis mencermati betapa sulitnya menghidupkan kembali semangat muda itu dalam masyarakat modern, terutama ketika kita tidak lagi menjalani petualangan, tidak lagi menyanyikan lagu kesukaan, atau mulai enggan untuk bermimpi. Jika ketiga hal itu hilang dalam kehidupan, dipastikan bahwa manusia sungguh tidak berdaya di hadapan waktu. So many adventures couldn't happen today, so many songs we forgot to play, so many dreams swinging out of the blue,oh let them come true.
Ketiga hal tersebut; petualangan, lagu kesukaan, dan mimpi, menurut hemat saya, adalah elemen yang cukup penting untuk menghayati proses kehidupan. Dalam bukunya, Adventures of Ideas (1967), Alfred North Whitehead, filsuf dari Inggris, memandang petualangan sebagai salah satu hal penting dalam pembahasan mengenai masyarakat yang beradab dan berbudaya, selain kebenaran, keindahan, seni, dan kedamaian batin. Menurutnya,  tanpa adanya sikap berpetualang, peradaban akan merosot dan runtuh. Petualangan merupakan tanda kegairahan akan kehidupan. Hal demikian secara implisit menunjukkan bahwa manusia tidak pernah hidup untuk masa lalu, melainkan masa depan.
Ada baiknya kita memamah slogan yang berasal dari masyarakat modern bahwa menjadi tua adalah takdir, sedangkan menjadi dewasa adalah pilihan. Sebagai manusia fana, manusia tetap tidak dapat mengalahkan waktu kendati telah berusaha bergumul dan membunuhnya dengan teknologi yang ia ciptakan. Ia tetap akan menua dan akan menghilang setelah itu. Kendati begitu, manusia tetap mampu membuat perbedaan yang cukup signifikan. Ia tidak akan binasa dalam kesia-siaan. Ia akan berusaha keras untuk memaknai kehidupannya sebagai kesempatan yang tidak akan muncul dua kali. Ia melihat kehidupan sebagai sebuah perkembangan, sebuah petualangan. Itulah yang kita sebut sebagai kedewasaan. Namun, kita sungguh paham bahwa tidak banyak manusia yang berani memilih untuk menjadi dewasa. Sebagian besar masih terkurung dan membusuk dalam Neverland, dunia antah-berantah,  sambil tetap bermimpi bahwa kehidupan ini akan selalu abadi. Entah sampai kapan! 
Menjadi muda selamanya mungkin adalah obsesi yang tentunya masih dikejar oleh manusia modern. Kemajuan teknologi yang begitu pesat menjadi harapan bagi mereka untuk mengalahkan sang waktu. Celakanya, dalam usaha itu, manusia modern tampak terlihat lebih cepat tua karena obsesi itu tidak membahagiakannya. Obsesi itu melupakan esensi dari semangat muda yang sesungguhnya. Saya jadi teringat dengan seuntai pesan bijak dari Dom Helder Camara yang terpampang di Civita, sebuah rumah retret bagi kaum muda di Jakarta.  “Jangan pernah menjadi tua, sebelum Anda muda.” Demikianlah, di atas segala hal menjadi muda adalah sebuah fase kehidupan yang harus dilaluiKarena itu, perlu disadari  pula bahwa pada akhirnya menjadi muda ternyata bukanlah jalan menuju keabadian It's so hard to get old without a cause. I don't want to perish like a fading horse. Youth's like diamonds in the sun, and diamonds are forever.

Sumber gambar : www.dedraaiplaat.nl