Thursday 29 January 2015

We Built This City: Menuju Nasionalisme Rock'n'Roll

Nasionalisme tidak lahir dari laku tapa di bawah pohon beringin. Nasionalisme adalah buah dari perjuangan dan ikhtiar yang terus-menerus dari sebuah bangsa, sebuah nasion. Itulah uraian pertama tentang nasionalisme yang pernah saya dengar dari pidato Ir. Soekarno yang dikasetkan. Di balik suara yang menggelegar itu seolah-olah terdapat kesungguhan yang ingin ditularkan Presiden pertama Republik Indonesia ini kepada para pendengarnya. Ya, bagi Soekarno, nasionalisme bukanlah sebuah proses instant, melainkan sebuah proses panjang yang menjadikan sebuah bangsa sebagai bangsa yang berakar pada sejarahnya dan cita-cita masa depan. Nasionalisme bukanlah sebuah produk material, melainkan sebuah spirit yang memampukan sebuah bangsa dapat berdiri tegar dalam percaturan peradaban.

Saya membayangkan nasionalisme yang diikhtiarkan Soekarno lebih dari sekadar sebuah mata air di padang gurun. Mata air itu memang mampu mengatasi rasa dahaga yang mencekik. Namun, mata air itu bukanlah sarana yang mampu menghentikan rasa dahaga secara total. Mata air itu hanya bersifat sementara. Kendati begitu, secara ontologism, ia tetaplah sesuatu yang sangat berharga di tengah padang gurun. Dalam kondisi kritis, ia bisa menjadi hal yang diperebutkan secara emosional dan bahkan brutal sekalipun. Maka, nasionalisme perlu dihadirkan ketika kita merasa kering sebagai bangsa. Nasionalisme perlu dihadirkan ketika kita sedang mengalami krisis kebangsaan!

Celakanya, sebagai manusia modern, kita cenderung percaya pula bahwa nasionalisme itu dapat dihadirkan melalui sejumlah hal simbolik yang berkaitan dengan eksistensi formal sebuah negara seperti bendera, bahasa, atau lagu-lagu nasional. Bahkan dalam budaya populer sejumlah hal simbolik itu dinyatakan pula dalam olah raga, pentas film, fashion, atau teknologi besutan anak bangsa. Karena itu, bila nasionalisme menjadi sebuah euphoria – hanya karena tim nasional sepakbola kita mampu mencukur gundul tim negara lain atau karena film nasional kita berjaya di ajang internasional, bisa dipahami. Akan tetapi, tak jarang, kita juga menyaksikan bagaimana nasionalisme demikian redup dengan cepat manakala tim nasional kita menjadi bulan-bulanan tim negara lain atau film nasional kita dianggap sebagai sebuah seni murahan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep nasionalisme kerap berkaitan erat dengan penilaian secara emosional. Dalam hal ini nasionalisme ditampilkan sebagai benteng pamungkas untuk membendung beberapa pengaruh yang mengancam identitas bangsa. Ketika sebuah bentuk kesenian nasional secara tiba-tiba didaku sebagai milik negara lain, rakyat bereaksi dengan sangat sengit. Dengan sangat cepat, emosi rakyat pun tersulut. Padahal, kalau kita mau kritis, dalam kehidupan sehari-hari, bentuk kesenian tersebut kerap dianggap sebagai artefak usang yang berada di antara garis antara ada dan tiada. Kesenian reog atau batik, misalnya, masih dianggap sebagian besar orang sebagai bagian dari tradisionalisme yang tidak perlu dirawat. Berapa banyak anak muda di negeri ini yang bisa menikmati pertunjukan Reog? Berapa banyak anak muda di negeri ini yang berani mengenakan baju batik sebagai kostum pesta perpisahan kelas?

Tentu saja, nasionalisme bukanlah perkara like atau dislike. Nasionalisme bukanlah soal penilaian baik atau buruk. Nasionalisme juga bukanlah ilusi atau fatamorgana. Nasionalisme adalah energi, daya, roh, dan spirit yang menopang jati diri bangsa, bukan isme-isme yang lain. Di atas spirit itu, Indonesia dibangun, diciptakan, dan dimuliakan sebagai sebuah negara kebangsaan, bukan negara monarki, oligarki, kapitalis, religi, atau komunis. Indonesia adalah negara tempat setiap rakyat dapat hidup sebagai bangsa meski memiliki sejumlah latar belakang yang berbeda-beda. Saling menghormati kebebasan individu dan menjunjung tinggi cita-cita bersama.

Akan tetapi, pernyataan tersebut, tanpa disadari, justru menjadi pertanyaan besar pada hari ini. Apakah sungguh bangsa Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai bangsa yang mengartikulasikan dirinya sebagai nasionalis? Berani hidup bersama dalam sejumlah perbedaan? Berani untuk tidak mendaku isme-isme yang lain selain nasionalisme?

Persoalan nasionalisme ternyata bukan hanya menjadi sebuah debat kusir di negara ini. Amerika yang konon disebut-sebut sebagai role model nasionalisme dan patriotisme pun mengalami hal serupa. Nasionalisme menjadi hal yang kerap diuji dan diperiksa dalam sejumlah teks yang justru sering tidak berhubungan langsung dengan dunia politik.

Lagu We Built This City (1985) yang dibawakan Starship merupakan salah satu teks populer yang menurut hemat saya sedang mempertanyakan makna nasionalisme Amerika pada tahun 1980-an. Akan tetapi, lagu yang ditulis oleh pencipta lagu kondang, Bernard Taupin dan Martin Page, ini tidak menohok nasionalisme sebagai ideologi politik semata-mata, melainkan sebagai sistem penyangga sosial dalam kehidupan bangsa Amerika.

We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll

Say you don't know me, or recognize my face
Say you don't care who goes to that kind of place
Knee deep in the hoopla, sinking in your fight
Too many runaways eating up the night

Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll

We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll

Someone's always playing corporation games
Who cares they're always changing corporation names
We just want to dance here, someone stole the stage
They call us irresponsible, write us off the page

Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll
We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll

It's just another Sunday, in a tired old street
Police have got the choke hold, oh, then we just lost the beat

Who counts the money underneath the bar
Who writes the wrecking ball into our guitars
Don't tell us you need us, 'cause we're the ship of fools
Looking for America, coming through your schools

(I'm looking out over that Golden Gate bridge
Out on a gorgeous sunny Saturday, I'm seein' that bumper to bumper traffic)

Don't you remember (remember)
(Here's your favorite radio station, in your favorite radio city
The city by the bay, the city that rocks, the city that never sleeps)

Marconi plays the mamba, listen to the radio, don't you remember
We built this city, we built this city on rock an' roll

We built this city, we built this city on rock an' roll
Built this city, we built this city on rock an' roll

Meski secara eksplisit berbicara tentang kondisi kota Los Angeles pada tahun 1980-an, lagu itu memandang nasionalisme yang pernah dibangun oleh para founding fathers  seperti Abraham Lincoln, pembebas para budak belian, erat berhubungan dengan prinsip kebebasan individu dan rasa hormat terhadap sesama sebagaimana selalu ditanamkan kepada rakyat Amerika sejak kecil. Nasionalisme yang dimaksud di sini adalah nasionalisme yang berpihak kepada semua rakyat, bukan segelintir pihak. Akan tetapi, dalam lagu tersebut, hal yang terjadi justru sebaliknya. Nasionalisme yang dibangga-banggakan Amerika telah mandeg dan digantikan oleh kapitalisme dan modernisme yang akut. Salah satu buktinya adalah bahwa ekspresi musik yang diteriakkan rock’n’roll dibatasi. Di Los Angeles semua tempat pertunjukan live untuk musik ini ditutup dan digantikan korporasi-korporasi kapitalis. Dalam kaca mata lagu itu, nasionalisme Amerika yang dibangun dari waktu ke waktu dalam nama spirit rock’n’roll itu telah tergerus habis!

Berbicara tentang spirit rock’n’roll, saya jadi teringat pada presiden negara ini, Jokowi alias Joko Widodo. Tak dapat dinafikan bahwa sepanjang karirnya Jokowi telah menghadirkan spirit rock’n’roll itu dalam aktivitasnya sehari-hari. Gerakan blusukan yang ia pelopori sejak menjabat sebagai walikota di Solo seolah-olah menegaskan bahwa spirit rock’n’roll yang dinamis, lincah, dan penuh terobosan baru menjadi sumber inspirasinya. Sayangnya, setelah 100 hari menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, menurut hemat saya, spirit itu tampak mengendur. Jokowi tampak terlihat lost the beat! Saat ini, ia sedang diharapkan untuk bersikap tegas dan arif atas sejumlah kasus yang sedang membelenggu kinerja pemerintahannya.

Tentu saja, saya berharap, presiden pilihan kita itu, cepat atau lambat, dapat menghadirkan wajah nasionalisme Indonesia yang lebih nyata sebagaimana diikhtiarkan Ir. Soekarno dan para founding fathers bangsa pada masa lalu. Namun, hal demikian bukanlah usaha yang mudah. Di depan akan terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi dan diatasi beliau. Untuk hal ini, dengan kesadaran penuh, saya percaya bahwa Jokowi dapat menunjukkan pemahaman mengenai nasionalisme yang mandiri, manusiawi, pluralis, bermartabat, dan berdaulat kepada kita dan dunia. Jika sampai saat ini, beliau belum mengupayakan sejumlah hal itu dengan semestinya, marilah kita, atas nama spirit rock’n’roll, tetap berharap agar nasionalisme yang ingin kita bangun bukanlah sebuah fatamorgana.     

Sumber gambar:  www.galleryhip.com 

No comments:

Post a Comment