Tuesday 19 January 2016

Space Oddity : Teknologi dan Kehampaan



 Tanggal 21 Juli 1969 adalah momen yang tidak akan pernah dilupakan bagi Neil Armstrong dan masyarakat Amerika. Pada tanggal itu, pria kelahiran Ohio tahun 1930 ini keluar dari pesawat antariksa Apollo 11 untuk menjejakkan kakinya di permukaan bulan. Sebelumnya, dengan kepercayaan diri yang penuh, ia sempat mengeluarkan pernyataan yang akan dicatat sebagai kutipan yang paling jauh direkam. “That’s one small step for a man, one giant leap for mankind!” Satu langkah kecil bagi seorang manusia, tetapi satu lompatan besar bagi manusia.

Ya, Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang berjalan di permukaan bulan! Bersama dengan rekannya, Buzz Aldrin, mereka menjelajahi permukaan itu selama 2,5 jam. Dapat dikatakan bahwa penjelajahan yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1969  itu tidak hanya menjadi peristiwa penting bagi dunia saintifik dan teknologi, melainkan juga bagi kemanusiaan.

Keberhasilan para awak Apollo 11 yang hanya mengangkut 3 orang itu menjadi sebuah fiesta yang begitu besar dan meriah. Bagai dewa yang baru turun dari langit, kedatangan ketiga astronot itu ke bumi sungguh dirayakan. Mereka disambut dengan gegap gempita. Pemerintah Amerika Serikat, tanpa basa-basi, segera menyematkan lencana keberanian dan kebebasan kepada Neil dan kedua temannya.

Popularitas para astronot itu secara tiba-tiba meroket dengan sangat cepat. Hampir setiap hari wajah mereka terpampang sebagai cover majalah dan pusat perhatian di headline harian.Tidak jarang, mereka pun diminta untuk menjadi narasumber di pelbagai seminar atau konferensi tingkat internasional di beberapa negara. Sungguh, mereka bertiga disanjung sebagai American Hero!

Namun, kisah keberhasilan misi Apolo 11 yang begitu epik itu  sebenarnya hanya menjadi semacam penghibur dari kegagalan misi Apolo 1. Pesawat antariksa tersebut terbakar dan jatuh di Tanjung Kennedy Florida tiga puluh bulan sebelumnya. Kecelakaan yang tragis itu pun telah menewaskan tiga astronot yang diutus sebagai perintis.

Kita tahu bahwa keberhasilan misi Apolo 11 juga menjadi semacam monumen bagi pemerintah Amerika Serikat untuk melebarkan mimpinya, yaitu sebagai penguasa angkasa luar! Apalagi pada tahun-tahun itu, Amerika merepresentasikan dirinya sebagai negara antikomunis dalam kancah perang dingin dengan Uni Sovyet yang berhaluan komunis. Bukanlah sebuah kebetulan pula bila sejak tanggal 23 April dan 24 April 1967, negara beruang putih itu telah meluncurkan Soyuz I yang hanya diawaki oleh astronot Vladimir M. Komarov. Sayangnya, astronot tersebut gagal menginjakkan kakinya ke daratan bumi. Pasalnya, kapsul yang mengangkutnya terbakar pada ketinggian 7000 meter menjelang bumi.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika menjadi penguasa militer di blok Barat, sedangkan Uni Sovyet di blok Timur. Kedua negara itu berseteru dalam sebuah perang dingin yang tak kunjung usai sampai akhir tahun 1980-an. Kedua-duanya memiliki obsesi untuk menjadi penguasa dunia. Bahkan bila perlu, mereka juga memiliki obsesi untuk menjadi penguasa angkasa luar. Konon, sejak tahun 1974, Amerika bahkan berambisi untuk menempatkan 10.000 warga bumi di antariksa.

Demikianlah, ruang hampa udara itu sungguh diminati kedua negara besar ini. Mereka saling berlomba-lomba untuk mencapai tempat yang tertinggi. Boleh dikatakan, angkasa luar menjadi sebuah pertaruhan yang mahal. Pasalnya, ruang hampa itu menjanjikan  eksplorasi ilmu pengetahuan, bidang kemiliteran, dan industrialisasi yang fantastik! Selain proyek rekayasa genetika dan bioteknologi, hasrat komersial melalui bisnis satelit komunikasi menjadi salah satu komoditas yang tidak terelakkan untuk dikembangkan.

Akan tetapi, jauh dari kepentingan ideologis yang dibawa oleh kedua negara adidaya itu, dunia seni justru melihat perjalanan ke angkasa luar yang dilakukan para astronot itu sebagai pengalaman eksistensial yang sangat menegangkan dan mencemaskan. Di tengah ingar-bingar fiesta penyambutan para awak Apolo 11, David Bowie meluncurkan sebuah lagu yang berjudul Space Oddity. Dalam lagu itu Bowie tidak berbicara tentang kegigihan dan kesuksesan para astronot untuk menaklukkan bulan. Lagu itu justru berbicara tentang kehampaan dan kekosongan, sebuah tragedi dalam kehidupan manusia. 


"Space Oddity"

Ground Control to Major Tom
Ground Control to Major Tom
Take your protein pills
and put your helmet on

Ground Control to Major Tom
Commencing countdown,
engines on
Check ignition
and may God's love be with you

[spoken]
Ten, Nine, Eight, Seven, Six, Five, Four, Three, Two, One, Liftoff

This is Ground Control
to Major Tom
You've really made the grade
And the papers want to know whose shirts you wear
Now it's time to leave the capsule
if you dare

This is Major Tom to Ground Control
I'm stepping through the door
And I'm floating
in a most peculiar way
And the stars look very different today

For here
Am I sitting in a tin can
Far above the world
Planet Earth is blue
And there's nothing I can do

Though I'm past
one hundred thousand miles
I'm feeling very still
And I think my spaceship knows which way to go
Tell my wife I love her very much
she knows

Ground Control to Major Tom
Your circuit's dead,
there's something wrong
Can you hear me, Major Tom?
Can you hear me, Major Tom?
Can you hear me, Major Tom?
Can you....

Here am I floating
round my tin can
Far above the Moon
Planet Earth is blue
And there's nothing I can do.

Major Tom bukanlah tokoh sebenarnya. Ia mungkin mewakili para astronot dalam dunia nyata seperti Neil Armstrong, Yuri Gagarin, atau Vladimir M. Komarov. Namun, ada kemungkinan pula bahwa nama demikian tidak mewakili siapapun.  Selama proses keberangkatannya ke angkasa luar, astronot ini begitu dipantau dan dibimbing oleh ground control, semacam menara pengawas. Sempat terjadi dialog di antara Tom dan petugas menara pengawas di dalam lagu itu. Ada kesan bahwa Tom memang melaporkan kondisi dan posisinya kepada menara pengawas dengan cukup lengkap. Akan tetapi, lama-kelamaan, laporan yang disampaikan Tom tidak lagi menyoal tentang keberadaannya di ruang hampa udara itu. Kata-katanya justru menampakkan rasa frustrasi sementara kapsul kaleng itu melaju tanpa arah di angkasa. There’s nothing I can do!, ujarnya.  Tom tampak begitu pasrah! Ia tidak bisa mengelak dengan nasibnya. Kalimat demi kalimat yang disampaikannya bukan lagi menjadi sekumpulan informasi yang diharapkan, melainkan semacam pesan terakhir bagi keluarga dan dunianya. I'm feeling very still. And I think my spaceship knows which way to go. Tell my wife I love her very much. She knows.
  
Melalui Space Oddity kita ditunjukkan betapa penerbangan ke angkasa luar bukanlah sebuah perjalanan yang luar biasa dan mencengangkan, tetapi merupakan perjalanan menuju kekosongan dan kehampaan diri. Penerbangan itu ternyata menimbulkan persoalan eksistensial bagi manusia. Ketika manusia dilemparkan ke dalam sebuah ruang kosong yang sangat asing, ia bukanlah siapa-siapa. Ia bukanlah lagi sebuah identitas. Ia hanya menjadi sebuah entitas tanpa jiwa, tanpa tujuan. Disadari atau tidak, unsur kemanusiaannya dilucuti.
     
Fragmen yang ditampilkan David Bowie memiliki keserupaan retoris dengan puisi Manusia Pertama di Angkasa Luar  karya Subagio Sastrowardoyo. Ada semacam hubungan intertekstualitas di antara keduanya meski masing-masing tetap mempertahankan orisinalitas gagasannya.

Manusia Pertama di Angkasa Luar

Beritakan kepada dunia
bahwa aku telah sampai pada tepi
darimana aku tak mungkin lagi kembali
Aku kini melayang di tengah ruang
di mana tak berpisah malam dan siang
Hanya lautan yang hampa dilingkung cemerlang bintang
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
dan raksasa, peri, dan bidadari. Aku teringat
kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya
kepadaku
yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
dengan Alex dan Leo – itu anak-anak berandal yang
kucinta-
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
sekelumit dari pesawatku, seleret dari
perlawatanku di langit tak berberita.
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Tetapi
Ada barangkali. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasihi. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi
tetapi aku telah sampai pada tepi
darimana aku tak mungkin lagi kembali
Ciumku kepada istriku kepada anak dan ibuku
dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
dari bumi yang kukasihi. Hati makin sepi
Makin gemuruh.

Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.

Apa yang ingin dinyatakan salah seorang penyair besar dalam Sastra Indonesia itu? Kurang lebih sama, yaitu tentang kekosongan dan kehampaan yang dialami mereka yang dikirim ke langit tak berberita. Namun, dalam puisi itu Subagio lebih memberikan penekanan terhadap teknologi sebagai penyebab terjadinya kekosongan dan kehampaan. Dalam sejarah tercatat bahwa perkembangan teknologi kerap menjadi ukuran kemajuan sebuah peradaban. Maka, wajarlah bila teknologi dinyatakan Subagio sebagai seribu rumus ilmu yang penuh janji kepada manusia. Rumus itu berbicara  tentang peradaban yang lebih modern, sejahtera, dan bermartabat. Penerbangan angkasa luar merupakan salah satu teknologi terkini yang dicapai manusia modern. Akan tetapi, dalam praktiknya, teknologi tersebut telah gagal untuk memenuhi janjinya. Faktanya, perkembangan teknologi tidak melulu membawa peradaban yang lebih modern dan sejahtera, tetapi juga membawa malapetaka dan tragedi bagi kemanusiaan.

Menurut hemat saya, baik Bowie maupun Subagio sedang mempersoalkan teknologi yang menjauhkan manusia dari eksistensinya.  Pesawat antariksa memang mampu menghadirkan inovasi teknologi futuristik yang dapat membantu kehidupan manusia kelak. Namun, dalam saat yang sama, pesawat itu juga mampu meluluhlantakkan eksistensi manusia. Ia sanggup melemparkan kembali manusia yang telah terlebih dahulu terlempar ke dunia ke sebuah ruang yang hampa dan kosong. Keterlemparan ini membuat manusia masuk ke dalam lubang nihilisme yang dalam.

Saya rasa, Bowie dan Subagio bukanlah pribadi-pribadi yang paranoid terhadap kemajuan teknologi. Mereka paham bahwa cepat atau lambat manusia tidak selamanya dapat memiliki bumi sebagai lokus eksistensi, tempat manusia berada. Akan tetapi sebagai insan seni, kedua orang itu mampu menyadari bahwa teknologi dan inovasi pengetahuan yang dihasilkan manusia hendaknya tidak mengasingkan atau meminggirkan mereka dari alam raya ini. Bagaimanapun, manusia bukanlah sarden di kaleng timah yang dapat dilontarkan sebuah ruang kosong hampa udara, cinta, dan kenangan.  Tanpa beberapa hal tadi, manusia hanyalah mitos. Jagat begitu dalam, jagat begitu diam. Aku makin jauh, makin jauh dari bumi yang kukasihi. Hati makin sepi. Makin gemuruh.


      
sumber gambar: pagetfink.com


No comments:

Post a Comment