Monday 4 April 2016

Forever Young : Menjadi Muda, Menjadi Abadi?


Waktu terbang begitu cepat. Seperti kedip mata. Seperti jentikan jari. Segala hal yang pernah kita alami seperti mimpi yang cepat selesai.Segalanya hanya menjadi kenangan yang tak mungkin terulang. Inilah kesan yang kerap kita peroleh ketika kita membuka album foto, ketika kita menghadiri acara reuni, atau ketika kita berdiam hening membuka agenda harian kita. Ternyata kita telah dibawa lari dengan sangat cepat oleh sang waktu. Kita telah dijauhkan dari serangkaian momen yang kita anggap dapat abadi.
Namun, manusia modern adalah makhluk yang keras kepala. Dengan teknologi yang mereka ciptakan dan kelola, mereka berusaha keras untuk mengatur dan bahkan menaklukkan waktu. Mereka berusaha keras untuk mewujudkan keabadian, entah faktual, entah simbolis. Dengan cara itu kelemahan fisik dan kerentaan yang muncul sebagai konsekuensi dari kefanaan manusia dapat ditutupi. Kita melihat bagaimana teknologi kesehatan yang menjadi salah satu pusat perhatian penting manusia modern berusaha mengatasi keterbatasan banyak organ tubuh manusia sehingga harapan hidup manusia diperpanjang. Teknologi kecantikan yang terus dikembangkan sebagai sebuah kapitalisme populer pun turut serta menyediakan keabadian bagi mereka yang terlalu takut untuk menjadi tua dan renta. Di Korea Selatan, misalnya, banyak perempuan paruh baya merelakan wajah dan tubuhnya untuk dipermak agar tampak muda dan mulus. Bebas dari kolesterol. Bebas dari kerutan. Bebas dari sang waktu. Demikianlah, teknologi yang diupayakan manusia modern telah menjadikan manusia sebagai proyek yang tidak pernah selesai.
Para sastrawan modern, meski bukan berasal dari ranah teknologis, pun kerap memiliki kerinduan untuk dapat hidup abadi melalui karya-karyanya. Dalam sebuah puisinya, Chairil Anwar pernah meneriakkan sebuah aforisma yang terkenal “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!  Gairah untuk hidup atau elan vital itu memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari karakter Chairil yang gemar berpetualang. Akan tetapi, Chairil Anwar rupanya tidak sendiri. Keinginan untuk menjadi abadi itu kita temukan pula dalam novel karya Mary Shelley yang berjudul Frankenstein. Dalam novel yang ditulis Shelley ketika berumur 18 tahun itu dikisahkan bahwa Victor Frankenstein, seorang ilmuwan muda yang begitu ambisius, sangat terobsesi untuk menghadirkan kehidupan dari kematian. Ia lantas menciptakan sesosok makhluk dari organ-organ tubuh mayat yang ia sulam sedemikian rupa. Ia pun memberinya kehidupan dari teknologi yang ia ciptakan. Seperti Promotheus yang memberikan api keabadian kepada manusia dalam dongeng Yunani, demikianlah Frankenstein juga bermain sebagai Tuhan.  Melalui teknologi ciptaannya, ia telah membuka sebuah kemungkinan baru bahwa manusia tidak akan pernah mati. Manusia bisa hidup abadi.       
Selain Frankenstein, ada pula Peter Pan, kisah menarik tentang seorang remaja yang tidak ingin menjadi dewasa. Kisah yang ditulis oleh seorang novelis dari Skotlandia, J.M. Barrie, ini menampilkan petualangan Peter Pan bersama para sahabatnya di sebuah pulau antah-berantah yang bernama Neverland. Di tempat itulah, para peri dapat bercengkrama akrab dengan manusia dan makhluk lainnya. Di tempat itu jugalah waktu yang begitu lekat dengan kehidupan manusia seakan tidak berjalan. Dalam petualangannya itu Peter Pan tidak jarang harus menyelamatkan para sahabatnya dari ancaman Kapten Hook dan kawanan bajak lautnya. Tanpa menemui hambatan yang berarti, Peter Pan yang selalu ceria dan lincah itu berhasil mengusir Kapten Hook yang bengis dan lamban itu keluar dari Neverland. Tidak ada tempat bagi mereka yang cepat uzur di pulau itu.
Tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa Chairil Anwar, Mary Shelly, atau J.M Barrie sedang menunjukkan kerinduan manusia akan keabadian. Kerinduan sebagaimana tertampakkan dalam karya-karya sastra itu memang bersifat simbolis. Dibandingkan dengan teknologi, karya sastra sebagai sarana simbolis memiliki kemampuan untuk masuk ke dalam relung imajinasi dan alam bawah sadar setiap orang. Tidak dapat dimungkiri pula, karya sastra yang dibaca selalu memiliki dampak duratif yang cukup panjang dalam kehidupan manusia karena mampu menyentuh batin.
Meski begitu, hal-hal simbolis tampaknya mulai begitu jauh dari kehidupan manusia modern. Teks-teks kultural seperti karya sastra, musik, komik, atau film tidak lagi dipandang sebagai sumber tuntunan dan kekayaan batin, tetapi diperlakukan sebagai sarana tontonan dan hiburan belaka yang dapat dikomodifikasi secara massal. Padahal teks-teks kultural itu menawarkan sebuah katarsis dan pembebasan bagi manusia modern dari neurosis dan irasionalitas. Akibatnya, pelbagai teks kultural yang diproduksi manusia modern pun kering dengan pemaknaan. Karya sastra, lagu, komik, atau film yang berkembang dalam masyarakat modern seringkali tidak  mampu lagi menyampaikan refleksi manusia atas batas-batas eksistensial yang melingkupinya. Teks-teks kultural itu hanya menjadi proyek eskapisme manusia modern yang tak mampu mengatasi kefanaan tubuh. Itulah mengapa teks-teks kultural yang tersebar dalam budaya populer dipenuhi dengan gagasan mengenai maskulinitas, kecantikan, seks, dan kekuasaan yang begitu berlimpah, tetapi dangkal dan kering dalam pemaknaan .
Kita lupa bahwa menjadi abadi sesungguhnya sangat begitu sederhana. Menjadi abadi tidak selamanya berbicara tentang sejumlah teknik untuk mengatasi kerutan dan sakit jantung. Sebaliknya, menjadi abadi berarti mau memiliki semangat muda dalam kehidupan ini seperti diproklamasikan dengan lantang oleh band Alphaville dalam lagunya yang berjudul Forever Young. Tanpa terjebak sebagai Victor Frankenstein yang terobsesi sebagai pencipta kehidupan baru, sebagai aku dalam puisi Chairil Anwar yang begitu narsistik, atau sebagai Peter Pan yang tidak pernah mau menjalani kehidupan ini sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan, kita diajak oleh lirik lagu itu untuk menghidupkan semangat muda dalam diri kita. Tentu saja menghidupkan semangat ini selalu merupakan sebuah pilihan yang tegas, antara ya atau tidak sama sekali!       
Forever Young
Let's start in style, let's dance for a while,
Heaven can wait we're only watching the skies.
Hoping for the best, but expecting the worst,
Are you gonna drop the bomb or not?

Let us die young or let us live forever
We don't have the power, but we never say never
Sitting in a sandpit, life is a short trip
The music's for the sad man.

Can you imagine when this race is won?
Turn our golden faces into the sun,
Praising our leaders, we're getting in tune
The music's played by the madman.

Forever young,
I want to be forever young.
Do you really want to live forever?
Forever, and ever

Forever young,
I want to be forever young
Do you really want to live forever?
Forever young.

Some are like water, some are like the heat
Some are a melody and some are the beat
Sooner or later they all will be gone
Why don't they stay young?

It's so hard to get old without a cause
I don't want to perish like a fading horse
Youth's like diamonds in the sun,
And diamonds are forever

So many adventures couldn't happen today,
So many songs we forgot to play
So many dreams swinging out of the blue
Oh let them come true

Forever young,
I want to be forever young.
Do you really want to live forever,
Forever, and ever?

Forever young,
I want to be forever young.
Do you really want to live forever,
Forever young?

Forever young
I want to be forever young
Do you really want to live forever,
Forever, and ever?

Forever young,
I want to be forever young.
Do you really want to live forever?

Sebagai sebuah pilihan, menghidupkan kembali semangat muda tidak berarti bahwa tidak ada risiko. Salah satu risiko yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwa bergeloranya semangat muda, bagaimanapun, bergantung pula kepada tubuh yang fana. Selama tubuh masih mampu menopang semangat, maka semangat muda itu akan terus bergelora. Akan tetapi, manakala tubuh mulai melemah dan uzur, semangat muda itu hanyalah artefak yang siap dikubur. Maka, dalam konteks tersebut, lirik Forever Young mengajak kita untuk secara kritis mencermati betapa sulitnya menghidupkan kembali semangat muda itu dalam masyarakat modern, terutama ketika kita tidak lagi menjalani petualangan, tidak lagi menyanyikan lagu kesukaan, atau mulai enggan untuk bermimpi. Jika ketiga hal itu hilang dalam kehidupan, dipastikan bahwa manusia sungguh tidak berdaya di hadapan waktu. So many adventures couldn't happen today, so many songs we forgot to play, so many dreams swinging out of the blue,oh let them come true.
Ketiga hal tersebut; petualangan, lagu kesukaan, dan mimpi, menurut hemat saya, adalah elemen yang cukup penting untuk menghayati proses kehidupan. Dalam bukunya, Adventures of Ideas (1967), Alfred North Whitehead, filsuf dari Inggris, memandang petualangan sebagai salah satu hal penting dalam pembahasan mengenai masyarakat yang beradab dan berbudaya, selain kebenaran, keindahan, seni, dan kedamaian batin. Menurutnya,  tanpa adanya sikap berpetualang, peradaban akan merosot dan runtuh. Petualangan merupakan tanda kegairahan akan kehidupan. Hal demikian secara implisit menunjukkan bahwa manusia tidak pernah hidup untuk masa lalu, melainkan masa depan.
Ada baiknya kita memamah slogan yang berasal dari masyarakat modern bahwa menjadi tua adalah takdir, sedangkan menjadi dewasa adalah pilihan. Sebagai manusia fana, manusia tetap tidak dapat mengalahkan waktu kendati telah berusaha bergumul dan membunuhnya dengan teknologi yang ia ciptakan. Ia tetap akan menua dan akan menghilang setelah itu. Kendati begitu, manusia tetap mampu membuat perbedaan yang cukup signifikan. Ia tidak akan binasa dalam kesia-siaan. Ia akan berusaha keras untuk memaknai kehidupannya sebagai kesempatan yang tidak akan muncul dua kali. Ia melihat kehidupan sebagai sebuah perkembangan, sebuah petualangan. Itulah yang kita sebut sebagai kedewasaan. Namun, kita sungguh paham bahwa tidak banyak manusia yang berani memilih untuk menjadi dewasa. Sebagian besar masih terkurung dan membusuk dalam Neverland, dunia antah-berantah,  sambil tetap bermimpi bahwa kehidupan ini akan selalu abadi. Entah sampai kapan! 
Menjadi muda selamanya mungkin adalah obsesi yang tentunya masih dikejar oleh manusia modern. Kemajuan teknologi yang begitu pesat menjadi harapan bagi mereka untuk mengalahkan sang waktu. Celakanya, dalam usaha itu, manusia modern tampak terlihat lebih cepat tua karena obsesi itu tidak membahagiakannya. Obsesi itu melupakan esensi dari semangat muda yang sesungguhnya. Saya jadi teringat dengan seuntai pesan bijak dari Dom Helder Camara yang terpampang di Civita, sebuah rumah retret bagi kaum muda di Jakarta.  “Jangan pernah menjadi tua, sebelum Anda muda.” Demikianlah, di atas segala hal menjadi muda adalah sebuah fase kehidupan yang harus dilaluiKarena itu, perlu disadari  pula bahwa pada akhirnya menjadi muda ternyata bukanlah jalan menuju keabadian It's so hard to get old without a cause. I don't want to perish like a fading horse. Youth's like diamonds in the sun, and diamonds are forever.

Sumber gambar : www.dedraaiplaat.nl

No comments:

Post a Comment