Friday 13 January 2017

Tears in Heaven : Merenungkan Kematian sebagai Peristiwa Kemanusiaan



Sejak masa kanak-kanak, kuburan menjadi tempat yang paling menakutkan bagi saya.  Setiap kali melewati kuburan yang terletak di tepi jalan utama, saya selalu merapat kepada ayah sambil memegang tangannya erat. Jika diminta ibu untuk pergi ke warung pada siang hari sekalipun, sebisa mungkin saya mencari jalan memutar untuk menghindari tempat yang saya anggap keramat itu. Dalam benak saya, imaji kuburan berkaitan erat dengan makhluk-makhluk astral seperti hantu, jin, atau setan yang bergentayangan untuk menuntut darah seperti yang kerap saya dengar dari para tetangga atau saya tonton dari film-film layar tancap.
Namun, setelah saya sedikit dewasa, saya mulai menimbang-nimbang ketakutan saya terhadap kuburan.  Kesadaran untuk memandang kuburan dengan perspektif lain terjadi ketika saya mulai terlibat sebagai putera altar yang bertugas untuk melayani pastor paroki dalam misa arwah. Dari jarak yang begitu dekat saya mulai melihat kematian yang sesungguhnya. Saya melihat sosok jenazah dalam peti mati. Pada awalnya, saya merasa begitu ketakutan untuk menjalankan tugas tersebut. Pernah pada suatu waktu saya tidak bisa tidur karena wajah jenazah yang diberkati Romo selalu muncul dalam benak saya. Namun, setelah beberapa kali bertugas dalam pemberkatan jenazah, rasa takut tersebut sudah dapat saya kendalikan.
Ketika kami mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhir, gambaran kengerian dan ketakutan akan kuburan yang pernah menghantui pikiran masa kanak-kanak tidak lagi muncul. Saya tidak tahu apakah hal itu terjadi karena proses rasionalitas dalam diri saya mulai menjadi semacam filter terhadap ketakutan itu atau karena kesedihan yang teramat dalam diri saya justru membuyarkan ketakutan itu. Bahkan perasaan takut dan ngeri itu berganti dengan sejumlah pertanyaan yang menyoal tentang kematian sebagai batas eksistensial manusia. Apakah peristiwa kematian harus dialami setiap orang?  Lalu mengapa setelah kematian terdapat semacam janji tentang kehidupan lain? Apakah kehidupan setelah kematian itu memiliki kemiripan dengan kehidupan di dunia ini? Jika memang terdapat kehidupan lain, mengapa harus ada kematian? Dan seterusnya.
Saya menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan itu ternyata tidak dapat membuka tabir kematian sebagai salah satu misteri Ilahi dalam kehidupan ini. Mungkin saja, saya dapat terus menginterogasinya dengan sejumlah pertanyaan lain, namun apa yang saya lakukan itu akan membawa saya pada sebuah absurditas  Seperti samudera yang luas, kematian pun serupa dengan kehidupan, terlalu dalam untuk diselami, terlalu lebar untuk diseberangi. Ya, bagaimana mungkin saya dapat mengatakan dengan kata-kata yang terbatas terhadap hal yang sama sekali tidak berbatas itu?  Toh, di hadapan kematian, semua manusia tidak berdaya. Meski Anda memiliki harta yang tidak terbatas, pada akhirnya Anda pun takluk di hadapan kematian. Ia menjadi hakim yang paling adil bagi setiap makhluk hidup.
Kendati terdapat begitu banyak perenungan tentang peristiwa kematian, celakanya, apapun yang berkaitan dengan kematian masih tetap berkabut bagi manusia. Pertanyaan demi pertanyaan masih terus menggantung. Hal demikian terjadi tatkala orang yang kita cintai dipanggil Tuhan.  Kita akan bertanya-tanya apakah dalam kehidupan setelah kematian, orang yang kita cintai itu juga masih memiliki rasa rindu pada kita. Kita akan bertanya-tanya apakah dalam kehidupan setelah kematian, orang yang kita cintai itu masih mengenali kita ketika kita mengalami kematian itu. Apakah dalam kehidupan setelah kematian, segalanya akan serupa dengan kehidupan dunia sebelumnya?
Lirik lagu Tears in Heaven yang dilantunkan Eric Clapton menggambarkan dengan sangat baik sejumlah pertanyaan yang menggantung itu. Lagu ini diciptakan oleh Eric Clapton beberapa bulan setelah Conor, puteranya meninggal secara tragis. Anak yang berusia 4 tahun itu terjatuh dari lantai ke-54 sebuah apartemen.         
     
Would you know my name
If I saw you in heaven?
Would it be the same
If I saw you in heaven?

I must be strong
And carry on
'Cause I know I don't belong
Here in heaven

Would you hold my hand
If I saw you in heaven?
Would you help me stand
If I saw you in heaven?

I'll find my way
Through night and day
'Cause I know I just can't stay
Here in heaven

Time can bring you down
Time can bend your knees
Time can break your heart
Have you begging please, begging please

Beyond the door
There's peace I'm sure
And I know there'll be no more
Tears in heaven

Would you know my name
If I saw you in heaven?
Would you be the same
If I saw you in heaven?

I must be strong
And carry on
'Cause I know I don't belong
Here in heaven

Tak seorang pun akan menyangkal bahwa lagu ini sungguh terdengar sedih dan sangat menyentuh. Selain karena kisah di balik lagu itu, situasi sedih tersebut justru terbangun karena susunan melodi lagu yang sangat sederhana. Lagu itu seperti sebuah dialog sepi yang tak berujung, sebagai monolog yang tak berongga. Begitu pucat dan lesi! Namun, sebagai sebuah perenungan, lagu itu tidak jatuh sebagai sikap melankolis atau teriakan menyayat kalbu yang jauh dari pengharapan. Di balik keretakan hatinya, Clapton seolah-olah masih menyisakan sejumlah pertanyaan rasional yang seolah-olah butuh jawaban. Akankah Conor, anak yang ia sayangi, masih dapat mengenalinya di sorga kelak?  Akankah Conor memegang tangannya di sorga kelak?  Akankah Conor membantunya untuk berdiri kelak? Namun, siapa yang tahu? Clapton bukanlah seorang filsuf. Ketika menciptakan lagu ini, ia hanyalah seorang ayah yang sedang bermuram durja. Di satu sisi, beberapa pertanyaan itu dapat dibaca sebagai tanda ketidakmampuan Clapton untuk menerawang kehidupan setelah kematian.  Di sisi lain, beberapa pertanyaan itu menyiratkan betapa berat hati Clapton untuk berpisah dengan anaknya itu.
Dari sini kita belajar bahwa di depan kematian, wajah kemanusian selalu diinterogasi ! Tidaklah berlebihan jika kematian menjadi semacam katarsis yang dapat membawa manusia untuk menyadari betapa bermaknanya kehidupan ini. Melalui kematian, kita dapat melihat betapa sia-sianya manusia memperlakukan kehidupan ini. Betul, kita memang sangat tergila-gila pada kehidupan, namun lupa untuk merawat dan memaknainya. Justru melalui kematian kita dapat melihat betapa nistanya manusia memperlakukan pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Tanpa disadari, kita kerap menjalani kehidupan dengan sembarangan dan melecehkan berbagai pengalaman kehidupan bersama setiap orang yang kita jumpai dengan sengaja. Kita hidup tanpa makna. Tanpa tujuan.  Padahal peristiwa kematian akan menguak secara gamblang sejumlah memori tentang carut-marut kesalahan yang pernah kita lakukan. Di antaranya adalah  memandang kehidupan hanya sebagai sarana instrumental, bukan sebagai anugerah Ilahi yang berharga. Itulah mengapa banyak manusia modern takut kepada kematian karena kematian merupakan cermin dari segenap kehidupan kita. 
Seperti apa yang dirasakan Clapton, saya dan Anda pun hanya bisa bersedih ketika menghadapi peristiwa kematian. Namun, kesedihan atau kepiluan yang berlarut-larut jelas bukanlah hal yang patut dijalani bagi mereka yang memandang kehidupan sebagai karunia. Kita perlu yakin bahwa kematian menjadi jalan menuju kedamaian yang abadi. Kita perlu yakin bahwa di dalam sorga tiada lagi tangis dan air mata. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa kita butuh kebesaran hati sekaligus kerendahan hati untuk menerima bahwa kematian adalah sahabat akrab dalam kehidupan manusia. 

sumber gambar : https://genius.com/Eric-clapton-tears-in-heaven-lyrics 

No comments:

Post a Comment