Monday 1 June 2015

Intuition : Kembali Kepada Intuisi!



Manusia modern hidup dengan banyak pertimbangan. Dalam proses interaksi dengan sesamanya, manusia modern kerap menggunakan pertimbangan untung dan rugi sebagai takaran. Pertimbangan ini dianggap rasional karena manusia modern berupaya keras untuk menghilangkan getaran-getaran afeksi dan menghindari subyektifitas. Seperti barang-barang yang diproduksi, proses interaksi antarmanusia pun harus dapat dikuantifikasi, diukur, dan bahkan direkayasa. Jika dirasa menguntungkan, interaksi tersebut dapat diteruskan. Akan tetapi, jika dirasa tidak menguntungkan, interaksi dihentikan dan ditinggalkan.

Disadari atau tidak, manusia modern semakin terpekur pada sistem yang mereka buat sehingga ruang afeksi dan emosi tergerus. Interaksi antarmanusia pun menjadi kering dan tidak bermakna. Komunikasi hanya jatuh sebagai proses transfer informasi bolak-balik secara formal, bukan sebagai pertemuan antara dua individu yang berorientasi pada penciptaan makna. Akibatnya, intuisi kemanusiaan dalam proses komunikasi itu hilang karena telah digantikan sistem komunikasi yang bersifat transaksional. Padahal intuisi kemanusiaan, bagaimanapun, adalah faktor yang memungkinkan terbukanya ruang afeksi dan emosi. Di sanalah, manusia dapat hadir sebagai makhluk yang merasa. Ia bukanlah hasil dari sebuah mekanisme pembendaan yang bekerja tanpa hati, tanpa belas kasih, atau tanpa emosi tertentu.

Memang, bagi manusia modern, intuisi seringkali disepelekan sebagai sebuah hal yang berlawanan dengan pemikiran rasional. Intuisi dianggap sebagai hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam beberapa hal, intuisi kerap dipersamakan dengan cara berpikir manusia pra modern-untuk tidak menyebut primitif-yang didasarkan insting. Karena itu, dalam masyarakat modern yang rasional, peran intuisi dihilangkan secara perlahan-lahan melalui penciptaan sistem pembendaan terhadap segala hal yang berkaitan dengan manusia. Dengan cara ini, manusia yang semula dipergunakan sebagai ukuran, homo mensura,  digantikan oleh materi sebagai takaran pertimbangan yang paling sahih.

Kendati demikian, perlu diluruskan bahwa intuisi bukanlah dorongan instingtif yang tersembunyi dalam ketidaksadaran manusia. Sepanjang sejarah filsafat, keberadaan intuisi selalu tidak pernah ditakrifkan dan ditafsirkan secara monolitik. Ada pelbagai perbincangan mengenai intuisi. Hal demikian menyiratkan bahwa intuisi merupakan elemen yang dipandang penting dalam diri manusia, selain tubuh, jiwa, dan pikiran. Pada abad pencerahan, intuisi memang kerap disandingkan dengan dunia seni sebagai bagian penting dalam pembentukan kreativitas. Mereka yang tidak memiliki intuisi dianggap tidak pantas menyandang gelar maestro, seniman yang terhormat, meski secara teoretis dan teknis memahami penciptaan seni yang berbobot, terutama seni lukis. Namun, intuisi yang dimaksud bukanlah bakat yang diturunkan dari sorga kepada orang-orang tertentu. Sebaliknya, setiap orang dapat memiliki intuisi jika ia terus-menerus tekun untuk mengasah kepekaan seni melalui perjumpaan dengan publik dan kontemplasi atas alam dan kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan, intuisi menjadi penentu cita rasa yang memungkinkan sebuah karya seni dapat dihadirkan dan diapresiasi dengan baik. Sayangnya, setelah kesenian menjadi salah satu lahan industri yang potensial, intuisi mulai tidak difungsikan karena justru digantikan oleh prinsip pertimbangan supply and demand demi komodifikasi yang rasional.

Maka, menghadirkan kembali intuisi sebagai pusat pertimbangan bukanlah hal yang mudah pada dunia yang telah begitu sistemis dan mekanis. Meski demikian, menghadirkan kembali intuisi dalam kehidupan modern adalah langkah perlawanan yang tepat agar manusia tidak terjebak dalam sistem yang membuat dirinya tidak lagi utuh sebagai makhluk yang merasa. Menghadirkan kembali intuisi sebagai pusat pertimbangan manusia modern secara tidak langsung merupakan upaya untuk menempatkan hati nurani sebagai poros yang menggerakkan cara berpikir dan bertindak.

TNT, band glam metal asal Norwegia, pernah meliris sebuah lagu berjudul Intuition pada tahun 1989.

One fire, a silent storm in every spirit
Locked behind a lonely dream still aware
When soldiers of fortune take your mind
The heart is your kingdom like magic when you find

Intuition, one decision
Hold your heartbeat in your hand, oh
Intuition, one decision
Let your dream command, oh

One answer, the destiny of every moment
Lost inside a hungry voice in the dark
No evil illusions, no empty prayer
The heart is your kingdom so follow if you dare

Intuition, one decision
Hold your heartbeat in your hand, oh
Intuition, one decision
Hold your heartbeat in your hand, oh
Intuition, one decision

When soldiers of fortune take your mind
The heart is your kingdom, magic when you find

Intuition, one decision
Hold your heartbeat in your hand, oh
Intuition, one decision
Hold your heartbeat in your hand, oh
Intuition, one decision
Hold your heartbeat in your hand, oh
Intuition, one decision
Hold your heartbeat in your hand, oh

Lagu yang mendapat sambutan hangat di Eropa dan Jepang itu tampaknya juga ingin menegaskan bahwa intuisi punya peranan besar dalam pembentukan karakter individu. Intuisi digambarkan sebagai kerajaan hati dan sebuah sihir yang mampu mengubah segalanya. Intuisi memungkinkan setiap kita untuk tidak terjebak dalam sistem dikotomis baik dan buruk, hitam dan putih sebagaimana diklasifikasikan dunia rasional. Bagi TNT, intuisi mengajak kita untuk menetralkan ilusi jahat dan menghindarkan doa dari kesia-siaan. Ada semacam kepercayaan bahwa setiap individu berhak memiliki kendali untuk menentukan dirinya. Setiap individu harus menjadi subyek otonom yang menyadari dirinya. Alih-alih membentuk watak watak humanisme dalam setiap individu, intuisi juga dipahami TNT sebagai sebuah pengharapan dan impian akan dunia yang lebih berani. Mereka yang punya nyali untuk mengejar pengharapan dan impian itu berhak turut dalam perayaan kehidupan yang sesungguhnya.

Sungguh saya terkesan dengan gagasan besar mengenai intuisi yang ditawarkan lagu tersebut. Saya berharap, intuisi yang dimaksud dapat menjadi bagian penting dari keugaharian manusia modern untuk menjadi manusia seutuhnya, bukan robot atau perangkat dari sistem tertentu. Bagaimanapun, di dalam masyarakat yang semakin mekanis, semakin teknologis, semakin despotis , intuisi memang semakin mendesak untuk dibaca dan dipraktikkan kembali sebagai cara menimbang sesuatu. Sungguh, intuisi dalam kebaikan hati manusia sangatlah sederhana. “The heart is your kingdom, follow if you dare…” 
   
Sumber gambar : cd.flexnes.com

No comments:

Post a Comment