Sunday 15 November 2015

After Forever : Ketika Heavy Metal Merenungkan Tuhan


 
Sebagai sebuah ornamen budaya populer, heavy metal sebenarnya berada di wilayah pinggiran. Keberadaannya tidak diterima para politikus karena menyuarakan revolusi kebebasan. Keberadaannya tidak diterima para pendidik karena menyuarakan ketidakmapanan hidup, sebuah adventurir hedonis yang liar. Ia tidak diterima para aparat negara karena menawarkan pemberontakan dan kekerasan. Ia juga tidak diterima para kaum ulama karena dituduh menyebarkan okultisme.

Dalam masyarakat Amerika pascaperang Vietnam, heavy metal pernah dikenang sebagai genre musik yang mampu memproyeksikan pemberontakan kaum muda secara vulgar. Karena itu, tidaklah berlebihan bila heavy metal menjadi genre musik yang paling dicurigai dan dikritik pedas oleh kaum moralis sejak tahun 1970-an sampai akhir 1990-an.

Pada pertengahan tahun 1980-an, ketika MTV menjadi sajian favorit kaum muda Amerika, tekanan terhadap heavy metal semakin menjadi-jadi.  Genre musik yang sesungguhnya lahir di Inggris ini dihujat habis-habisan sebagai musik yang tidak bertanggungjawab.  Musik ini dianggap sangat berbahaya bagi generasi muda Amerika karena berpotensi untuk membujuk mereka berlaku delinkuentif. Bahkan menurut para aktivis gereja di Eropa, heavy metal membawa pendengarnya untuk menyembah iblis secara terang-terangan melalui musik dan liriknya.[1] Melalui metode rekaman backward masking yang diadopsi sejumlah band, misi penyembahan terhadap setan itu dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada para pendengarnya secara efektif.[2]

Puncaknya, pada tahun 1985, Tipper Gore, seorang anggota kongres, mendirikan sebuah organisasi orang tua peduli musik yang disebut sebagai Parents Music Resources Center (PMRC). Melalui PMRC ini, gerak dan langkah ekspresif yang ditunjukkan para pendukung heavy metal di sejumlah media pun mulai terbatas. Salah satunya adalah bahwa PMRC menerapkan Parental Advisory terhadap semua lagu bergenre heavy metal sehingga lirik yang ditampilkan pun dapat disaring sesuai dengan standard moral yang disyaratkan. Dengan cara ini, heavy metal mulai ditundukkan. Seolah-olah ada semacam kesan bahwa tidak ada kebaikan apapun di dalam lirik lagu heavy metal!

Maka menjadi hal yang sangat menarik manakala kita menemukan fakta bahwa ada band pendukung heavy metal yang ternyata pernah menampilkan pesan religi dalam lirik lagunya. Band yang saya maksud adalah Black Sabbath. Band yang didirikan di Inggris oleh sekelompok anak muda dari keluarga buruh  itu sering dianggap sebagai salah satu perintis heavy metal dalam khazanah musik  populer. Kelahiran band ini bertepatan dengan memuncaknya tensi suasana sosial dan politik di Barat seperti revolusi seks di Perancis atau perang dingin antara blok Barat dan Timur yang memunculkan gerakan generasi bunga (flower generation) di Amerika dan sekitarnya. Karena itu, band ini menjadi begitu populer sebagai ikon pemberontakan.
    
Pada tahun 1971, Black Sabbath pernah merekam sebuah lagu yang berjudul After Forever. Lagu yang ditulis oleh sang basis, Geeze Butler, ini menampilkan lirik yang cukup panjang dengan sentuhan religi Kristiani yang cukup emosional. Saya kutipkan liriknya sebagai berikut.

Have you ever thought about your soul – can it be saved?
Or perhaps you think that when you’re dead, you just stay in your grave
Is God just a thought within your head or is He a part of you?
Is Christ just a name that you read in a book when you were in school?

When you think about death, do you lose your breath or do you keep your cool?
Would you like to see the Pope on the end of a rope – do you think he’s a fool
Well, I have seen the truth. Yes I’ve seen the light and I’ve changed my ways
And I’ll be prepared when you’re lonely and scared at the end of our days

Could it be you’re afraid of what your friend might say
If they knew you believe in God above?
They should realize before they criticize
That God is the only way to love.

Is your mind so small that you have to fall
In with the pack wherever they run
Will you still sneer when death is near
And say they may as well worship the sun?

I think it was true it was people like you that crucified Christ
I think it is sad the opinion you had was the one voiced
Will you be so sure when your day is near, say you don’t believe?
You had the chance but you turned it down, now you can’t retrieve

Perhaps you’ll think before you say that God is dead and gone
Open your eyes, just realize that He’s the one
The only one who can save you now from all this sin and hate
Or will you still jeer at all you hear?
Yes, I think it’s too late.

Tidak dapat dipungkiri bahwa  lirik lagu After Forever membuat wajah Black Sabbath tampak berbeda. Lirik ini menyapa sekaligus mengkritik generasi muda yang pada masa itu melihat agama sebagai kesia-siaan. Seiring dengan pemberontakan kaum muda pada masa itu, ateisme pun menjadi sebuah trend yang tidak dapat terbendung di beberapa negara Eropa dan Amerika. Nilai-nilai yang pernah ditanamkan agama Kristen pada peradaban Eropa dan Amerika pun dijungkirbalikkan dan dikritik habis-habisan. Buku-buku karya Karl Marx, Ludwig Feuerbach, atau Friedrich Nietzsche pun laku keras dicetak ulang. Hampir semua band rock pada saat itu, tidak terkecuali The Beatles, pun secara tegas menolak kekristenan. Namun, lirik lagu After Forever seolah-olah sedang melakukan sebuah apologia atau pembelaan pandangan Kristiani tentang Yesus Kristus sebagai jalan kasih dan keselamatan.

Hal demikian jelas menimbulkan pertanyaan dari pelbagai kalangan. Bagaimana mungkin eksponen heavy metal seperti Black Sabbath secara tiba-tiba  berbicara tentang eksistensi Tuhan? Bukankah seharusnya mereka menyebarkan pesan-pesan rahasia milik Aleister Crowley dan sekte okultisme-nya yang mulai populer pada akhir tahun 1960-an itu? Sebagaimana dapat diduga, banyak orang yang terlanjur memandang Black Sabbath secara negatif bahwa mereka adalah pengikut Crowley.  Mereka pun bertanya-tanya tentang kehadiran lagu After Forever itu. Celakanya, tidak sedikit pula orang Kristen yang bersikap curiga dan mempertanyakan lirik lagu tersebut. Jangan-jangan lirik lagu itu merupakan pesan rahasia bagi para okultis yang dibungkus dengan apik agar kita terlena? Jangan-jangan jika lagu itu diputar mundur, muncullah pesan-pesan rahasia!

Jika dicermati lebih mendalam, lirik lagu After Forever itu bukanlah sebuah pasal dogma teologis tertentu, melainkan sebuah refleksi yang sungguh pribadi. Sebagai seorang Katolik keturunan Irlandia, Butler merasa prihatin dengan kondisi dunia pada saat itu. Ia menyesali konflik sosial yang terjadi antara pengikut Katolik dan Protestan yang berlangsung cukup lama di Irlandia. Ia juga begitu prihatin terhadap penolakan terhadap agama yang dilakukan oleh kaum muda yang menuduh agama sebagai sumber kekacauan dan kesengsaraan dunia seperti perang Vietnam. Bagi penganut agama, hal demikian menjadi semacam tantangan yang perlu disikapi dengan bijaksana. Karena itu, Butler pun memberikan penguatan agar mereka jangan sekali-kali takut untuk menghadapi cemooh dan cercaan dari mereka yang menyangkal keberadaan Tuhan. Could it be you’re afraid of what your friend might say if they knew you believe in God above? They should realize before they criticize that God is the only way to love.  

Sebenarnya keprihatinan terhadap kondisi sosial seperti itu selalu muncul dalam lirik-lirik lagu Black Sabbath.  Dalam sebuah wawancara yang berlangsung pada bulan Juni 2015, Geezer Butler pernah mengatakan bahwa Black Sabbath berusaha menampilkan realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Terkadang realitas yang mereka tulis dalam lirik lagu bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi banyak orang, terutama kaum borjuis.  Hal demikian melahirkan opini yang menganggap Black Sabbath sebagai band yang mempromosikan kegelapan dan okultisme. Padahal, menurut pengakuan Butler, semua anggota Black Sabbath dibesarkan dalam tradisi Kristiani dan mempercayai eksistensi Tuhan (http://ultimateclassicrock.com/black-sabbath-satanic/#) .          

Lagu After Forever yang terdapat dalam album Master of Reality  (1971) ini hanya menjadi semacam contoh bagaimana musik dapat hadir sebagai sebuah refleksi religius yang terkadang begitu pribadi. Refleksi ini bertolak dari realitas sosial yang diamati dan dipahami dalam sebuah kontemplasi budaya. Tidak dapat disangkal bahwa dalam refleksi tersebut ketakutan, kecemasan, dan bahkan pengharapan yang dialami manusia modern dapat diekspresikan. Musik heavy metal pun tidak lepas dari pengalaman tersebut. Saya tidak menolak bahwa dalam sejarah perjalanan musik ingar-bingar, ada begitu banyak lirik yang membicarakan erotisme, kekerasan, chaos, atau ideologi tertentu  secara vulgar, kasar, dan hiperbolis. Meski begitu, saya juga tidak menolak bahwa dalam musik tersebut ada begitu banyak  lirik yang membicarakan kehidupan religius secara metaforis dan kontemplatif. 

Bagaimanapun, menggali makna dari lirik lagu yang ditulis sebuah band yang telah dicurigai terlebih dulu sebagai kelompok subversif bukanlah hal mudah. Dibutuhkan kejernihan hermeneutis yang lebih mendalam sehingga prasangka-prasangka yang melingkupinya dapat ditunda terlebih dahulu. Maka, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa prinsip judging the book by its cover yang kerap digelontorkan sebagai sebuah generalisasi tentu merupakan sebuah kecerobohan pula.  Setidaknya, melalui lagu After Forever, Black Sabbath pun bisa menunjukkan bahwa cinta Tuhan masih penting dihayati sebagai jalan kemanusiaan. (PHW)         


Sumber Gambar : www.drownedinsound.com


[1] Schlink, M. Basilea, 1995, Musik Rock Dari Mana dan Mau Ke Mana?, Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, hal. 16-24.
[2] Ibid.

No comments:

Post a Comment