Sunday 20 July 2014

Rumah Kita dan Mereka yang Belum Tiba di Rumah

God Bless/Semut Hitam
Sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri akan tiba! Jakarta akan mendadak sepi karena banyak orang berbondong-bondong mudik ke kampung halamannya. Saya punya prediksi bahwa dalam minggu ini media sosial seperti Facebook, Twitter, atau Path pasti akan dibanjiri sejumlah status yang begitu epik seperti “Akhirnya, tiba di rumah!” atau “Terima kasih Tuhan, kumpul keluarga terlaksana.” Semua status berbicara tentang sebuah ruang yang selalu dirindukan, yaitu rumah.  

Tentu saja, bagi saya yang tidak pergi kemana-mana selama liburan, membaca status seorang teman ketika ia tiba di rumah setelah melakukan perjalanan panjang adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Saya dapat membayangkan bagaimana rasa khawatir, takut, dan bahkan letih dalam perjalanan terhapus dengan mudah ketika berada di dalam rumah, bertemu dengan orang-orang tercinta. Seolah-olah ada semacam kekuatan magis yang tersimpan di dalamnya, yang tidak hanya mengubah mood, melainkan juga karakter seseorang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kekuatan itu, rumah ternyata mampu memberikan kenyamanan yang tidak dapat diberikan hotel atau villa semewah apapun. Rumah memiliki aura yang sanggup menarik para pelancong dan petualang tujuh samudera kembali bercengkrama di dalamnya. Ratusan dan ribuan kilometer rela ditempuh, kocek ratusan ribu dan bahkan puluhan juta rupiah dihabiskan, asalkan mereka dapat tiba di rumah dan berkumpul dengan sanak saudara dan orang-orang tercinta.   

Itulah mengapa dalam bahasa Inggris  kata /House/ dan /Home/ dibedakan dengan sangat filosofis kendati keduanya merujuk kepada rumah. House dipakai untuk menunjukkan rumah sebagai properti fisik semata, sebuah bangunan yang bentuknya bisa dirombak kapan saja. Akan tetapi, Home dipakai untuk menunjukkan rumah sebagai ruang emotif tempat segala ketakutan dilebur, segala kepenatan dihancurkan, dan segala kesedihan dilumat. Home adalah ruang kebahagiaan sekaligus ruang sakral sebagaimana rahim bagi setiap jabang bayi merelung.

Itulah mengapa ketika gunung Merapi meletus beberapa tahun lalu, ada begitu banyak penduduk sekitar gunung itu yang tidak mau beranjak pergi. Mereka terlanjur terlatih untuk menerima kondisi alam dan mencintai rumah mereka. Meski ada himbauan yang diberikan pemerintah daerah untuk mengungsi dan meninggalkan rumah, mereka tidak akan pernah bergeming dari tempat dimana harapan dan impian selalu disegarkan. Mereka bahkan rela memilih mati bersama memori yang berdiam teguh di dalam rumah mereka.

Benar, pepatah Inggris mengatakan “Home is where the heart is.”  Dalam khazanah budaya popular, pepatah ini telah menjadi sumber inspirasi munculnya film, lagu, atau karya sastra yang legendaris. Rumah selalu dibayangkan sebagai tempat hati berada. Sejelek-jeleknya façade yang ditampilkan, sesempit-sempitnya tanah yang diukur, dan sekecil-kecilnya ruang yang dibangun, rumah bukanlah sekadar properti fisik, melainkan mental. Di rumah, segala memori dirajut dan dikekalkan. Di sana terpampang sejumlah foto keluarga, orang-orang yang paling kita sayangi dan kita doakan setiap waktu. Di sana terpampang momen-momen yang paling membahagiakan dalam denyut kehidupan.

Suasana sentimental inilah yang saya rasakan setiap mendengarkan lagu Rumah Kita milik God Bless yang dirilis pada tahun 1988. “Hanya bilik bambu, tempat tinggal kita,tanpa hiasan tanpa lukisan. Beratap jerami, beralaskan tanah. Namun, semua ini punya kita.Memang semua ini milik kita, sendiri.” God Bless memandang rumah bukan semata-mata sebagai ruang bertembok dengan hiasan dan lukisan di sana-sini, melainkan sebagai ruang eksistensial dimana kesederhanan hidup penghuninya tercermin secara tulus. Dalam konteks tahun 80-an, lirik lagu ini menjadi semacam kritik terhadap urbanisasi masyarakat desa secara besar-besaran ke ibukota. Bagi Ian Antono dan kawan-kawan, tidak ada tempat sebaik kampung halaman sendiri. Tidak pernah ada rumah lain, selain rumah kita. Karenanya, bersyukurlah kita atas hal itu!

Namun, menjelang hari kemenangan, kondisi dunia akhir-akhir ini justru membuat saya harus berdiam sejenak untuk mengontemplasikan kembali makna rumah. Berita pertempuran sengit yang terjadi di jalur Gaza selama 2 minggu terakhir atau penembakan pesawat MH-17 milik Maskapai Malaysia Airlines membuat saya gamang untuk membaca kembali korelasi antara rumah dengan kebahagiaan hati. Sungguh, betapa memilukan!

Saya tidak dapat membayangkan bagaimana mereka yang terperangkap di tengah gempuran artileri dan bayang-bayang maut dapat memaknai rumah sebagai tempat perlindungan sebagaimana kita alami pada saat Idul Fitri nanti. Di dalam peperangan yang begitu kejam, tidak ada tempat yang dapat membuat kita merasa aman. Rumah-rumah mereka telah hilang dan berubah menjadi puing-puing yang berserakan. Karena tidak ada tempat untuk berlindung, mereka pun kini menjadi kumpulan target hidup yang dapat dilumat timah panas sewaktu-waktu. Dan benar, mereka tidak pernah tiba di pagar halaman rumah mereka.

Saya tidak dapat membayangkan pula bagaimana mereka yang secara mendadak kehilangan nyawa setelah pesawat yang mereka tumpangi diroket oleh para jahanam! Harapan, impian, dan rasa kangen untuk bertemu dengan sanak saudara, untuk menginjakkan kaki kembali di kampung halaman, yang telah dipupuk bertahun-tahun sirna dalam hitungan detik. Pesawat itu hancur berkeping-keping di udara! Kepingan-kepingan tersisa yang jatuh ke tanah itu hanya mampu menorehkan luka dan derita yang cukup dalam kepada keluarga yang menanti kedatangan mereka.

Dalam setiap tragedi, tidaklah berlebihan untuk dikatakan bila keluarga korban yang masih hidup menjadi pihak yang akan menderita secara mental dalam waktu lama. Kehilangan salah satu anggota keluarga dapat diibaratkan seperti kehilangan sebuah tiang dalam rumah. Kendati berdiri, rumah telah goyah, tidak kuat. Ia begitu rentan untuk hancur.  Saya ingat bagaimana hal ini pernah pula menjadi kontemplasi rohani bagi seorang Paus Yohanes Paulus II.

Ketika melakukan kunjungan ke tanah Palestina pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II pernah disambut dengan bunyi-bunyian Mars Kunci ratusan anak sekolah dari kamp pengungsi Dheisheh di luar Betlehem di jalan Hebron. Mars itu berasal dari kunci-kunci yang merupakan milik kakek-nenek mereka yang kehilangan rumahnya bertahun-tahun silam.  Kunci tersebut diserahkan turun-temurun sebagai pengingat akan masa hilangnya dan terbuangnya keluarga mereka.

Sungguh, saya mulai merasakan betapa sulit untuk menyanyikan lagu Rumah Kita di zaman seperti ini. Bagaimana kita bisa mengatakan dengan kelegaan seluas samudera bahwa kita sungguh beruntung dapat berdiam di rumah kita sendiri justru ketika banyak orang terusir dan teralienasi dari rumahnya sendiri, ketika banyak orang tiba-tiba menjadi gelandangan atau target hidup dalam peradaban yang mengerikan seperti ini? Tidak ada hal lain yang dapat saya lakukan, selain doa tulus agar Tuhan dapat siapkan rumah dengan lukisan, hiasan, anyelir, dan melati  bagi mereka di ladang sorga.


Tuhan, berkatilah…. 

Sumber gambar : athaaqilrafif.blogspot.com

No comments:

Post a Comment