Album White Lion/Pride |
Salah satu lagu rock yang kerap dimunculkan RCTI sebagai
sisipan musik adalah lagu yang berjudul When
the Children Cry. Lagu ini dibawakan oleh White Lion, band rock yang
didirikan di Kopenhagen. Lagu yang dilantunkan dengan sangat syahdu oleh Mike
Tramp, sang vokalis band, ini dibingkai dalam nuansa visual hitam putih. Tampak
sangat klasik, tetapi begitu melankolis . Di tengah lagu, terlihat ayunan
kosong dalam gerak slow motion sambil
diiringi rangkaian melodi gitar yang menyayat dari jemari Vito Bratta.
Lirik lagu When the
Children Cry menggelontorkan tema yang sangat subversif dalam dunia modern,
yaitu hilangnya rasa aman yang dimiliki anak-anak sebagai manusia yang
berdaulat. Secara lantang, lirik lagu ini mengatakan bahwa peradaban modern
dengan segala teknologi militernya telah menjadi monster bagi anak-anak. Dunia
yang berdarah oleh serangkaian perang keji telah merenggut keceriaan, kegembiraan,
dan bahkan nyawa mereka. Tidak ada satupun presiden di dunia yang bahkan
sanggup menghentikan kekejian dan kekejaman ini. Meski begitu, Mike Tramp dan
Vito Bratta, pencipta lagu itu, masih percaya bahwa masa depan manusia tetap
berada di pundak anak-anak. Merekalah yang kelak menunjukkan masa depan yang
lebih baik kepada generasi berikutnya, masa depan penuh cinta dan damai, masa
depan yang satu di bawah kuasa Tuhan.
Pada tahun 2003, saya kebetulan pernah bertemu dan berbicara
langsung dengan Mike Tramp pada sebuah
acara di Jakarta. Meski pada waktu itu, White Lion versi klasik telah bubar,
saya sempat menanyakan motivasi yang melatarbelakangi penciptaan lagu When the Children Cry. Dengan sangat serius, ia menjawab bahwa lagu itu terinspirasi dari
sejumlah berita yang selalu ia ikuti di sejumlah stasiun televisi setiap jam 5
pagi. Ia merasa bahwa perang yang terjadi pada tahun 1980-an di beberapa negara
telah merenggut banyak jiwa yang tak berdosa, termasuk anak-anak. Dengan lagu
itu, Mike mau membuka perspektif masyarakat dunia bahwa perang itu mutlak jahat
karena menghancurkan masa depan anak-anak.
Pada awalnya, saya berpikir bahwa jawaban yang diberikan
Mike adalah semacam retorika pencitraan agar
ia dan White Lion dapat dikenang sebagai salah satu band yang getol menyuarakan
antiperang. Namun, apa yang saya pikirkan itu ternyata keliru. Ketika saya berkesempatan
mengiringinya bernyanyi lagu itu, saya melihat ekspresi wajah Mike. Ia tampak
terlarut dengan lirik lagu itu. Kata-kata yang dilantunkannya terlihat begitu
sungguh-sungguh. Dari sudut matanya yang hijau itu, saya melihat pula linangan
air mata yang menetes perlahan. Saya merasa, air mata itu bukanlah sekadar
penjiwaan atau ekspresi kesenian. Air mata itu adalah kejujuran.
Entah mengapa, sampai saat ini, setiap saya mendengar atau
melihat berita mengenai perang, lagu When
the Children Cry selalu bermain di kepala saya secara otomatis. Benar apa
yang ditulis dalam lirik lagu itu bahwa perang yang terus berkecamuk saat ini
merupakan karya agung, masterpiece,
yang diwariskan manusia modern. Setiap saat kita membuat tangis dan penderitaan
anak-anak di dunia tidak pernah berhenti. Terakhir, mulut saya sungguh terkunci
tatkala melihat foto anak korban perang Syria yang tidur di antara makam ayah
dan ibunya yang tewas dalam perang.
Dalam situasi yang serba memprihatinkan saat ini, saat
bencana alam bertubi-tubi menghantam beberapa daerah di Indonesia seperti Tanah
Karo, Manado, Jakarta, Pekalongan, Kudus, Kebumen, dan beberapa kota lainnya,
lagu When the Children Cry pun
bermain kembali di kepala saya. Koran Kompas, Sabtu lalu, 25/1/2014, pun
menyoal tentang minimnya perhatian terhadap penanganan psikologis anak-anak
korban bencana alam yang tinggal di tempat pengungsian. Memang, sudah banyak
komunitas atau lembaga independen yang datang untuk memberikan bantuan baik
berupa dana maupun materi. Namun, penanganan psikologis terhadap anak-anak
korban bencana alam itu dirasa sangat kurang.
Saya tidak tahu apakah kunjungan Bapak dan Ibu Presiden beserta
beberapa menteri kabinetnya beberapa waktu lalu di Tanah Karo juga memberikan perhatian khusus terhadap
anak-anak korban bencana. Pernyataan ini mungkin sedikit bernada pesimistis.
Pasalnya, saya sempat melihat tayangan kunjungan ibu negara ke sebuah tempat pengungsian.
Pada saat itu saya tidak melihat adanya interaksi dialogis antara ibu negara
dan anak-anak, sebagai korban bencana alam, yang menghuni tempat pengungsian
itu. Ada jurang yang menganga terlalu lebar. Saya melihat bahwa ibu itu hanya menjadi seorang penonton ketika
anak-anak itu menyanyikan lagu daerah Karo. Beliau tampak disibukkan dengan
kosakata yang tersirat dalam lagu itu, yang sungguh tidak ia mengerti.
Tentu saja, sebagai warga negara Republik Indonesia, saya
berharap kunjungan itu bukanlah kunjungan politis-apalagi basa-basi-, melainkan kunjungan
persaudaraan, kunjungan yang sungguh dapat menguatkan dan memberikan harapan.
Semoga, menggunakan kata-kata Mike Tramp, kunjungan itu dapat membuka mata para
punggawa negeri di tahun-tahun
berikutnya bahwa anak-anak harus menjadi prioritas penanganan
pascabencana. Jangan sampai, mereka dikecilkan, disepelekan, diabaikan, apalagi
dikorbankan. Seperti Mike, kita harus jujur di hadapan mereka, bukan sandiwara.
Sumber gambar : http://wivern.egloos.com/10420181
*******
No comments:
Post a Comment