Wednesday 9 July 2014

When The Children Cry: Anak-anak dan Dunia yang Berdarah

Album White Lion/Pride
Ketika RCTI mengudara sebagai stasiun televisi swasta pada akhir tahun 1989, MTV mulai dikenal dan dapat dinikmati oleh warga Ibukota dan sekitarnya. Kehadiran MTV setidaknya membuat saya sedikit beranjak dari sejumlah stasiun radio yang menyiarkan berbagai musik cadas setiap malam minggu. Pasalnya, MTV menghadirkan lagu-lagu yang saya dengar dan saya bayangkan dengan begitu jelas. Tepat di depan mata saya! Kondisi demikian serupa dengan pengalaman saya ketika menonton rekaman konser The Beatles atau Pink Floyd pertama kali dalam format video VHS pada tahun 1987 di rumah seorang tetangga kaya raya. Menonton aksi panggung band-band legendaris di layar kaca itu tidak hanya melahirkan sensasi audio, melainkan juga sensasi visual yang begitu kuat.

Salah satu lagu rock yang kerap dimunculkan RCTI sebagai sisipan musik adalah lagu yang berjudul When the Children Cry. Lagu ini dibawakan oleh White Lion, band rock yang didirikan di Kopenhagen. Lagu yang dilantunkan dengan sangat syahdu oleh Mike Tramp, sang vokalis band, ini dibingkai dalam nuansa visual hitam putih. Tampak sangat klasik, tetapi begitu melankolis . Di tengah lagu, terlihat ayunan kosong dalam gerak slow motion sambil diiringi rangkaian melodi gitar yang menyayat dari jemari Vito Bratta.

Lirik lagu When the Children Cry menggelontorkan tema yang sangat subversif dalam dunia modern, yaitu hilangnya rasa aman yang dimiliki anak-anak sebagai manusia yang berdaulat. Secara lantang, lirik lagu ini mengatakan bahwa peradaban modern dengan segala teknologi militernya telah menjadi monster bagi anak-anak. Dunia yang berdarah oleh serangkaian perang keji telah merenggut keceriaan, kegembiraan, dan bahkan nyawa mereka. Tidak ada satupun presiden di dunia yang bahkan sanggup menghentikan kekejian dan kekejaman ini. Meski begitu, Mike Tramp dan Vito Bratta, pencipta lagu itu, masih percaya bahwa masa depan manusia tetap berada di pundak anak-anak. Merekalah yang kelak menunjukkan masa depan yang lebih baik kepada generasi berikutnya, masa depan penuh cinta dan damai, masa depan yang satu di bawah kuasa Tuhan.

Pada tahun 2003, saya kebetulan pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Mike Tramp pada  sebuah acara di Jakarta. Meski pada waktu itu, White Lion versi klasik telah bubar, saya sempat menanyakan motivasi yang melatarbelakangi penciptaan lagu When the Children Cry. Dengan sangat serius,  ia menjawab bahwa lagu itu terinspirasi dari sejumlah berita yang selalu ia ikuti di sejumlah stasiun televisi setiap jam 5 pagi. Ia merasa bahwa perang yang terjadi pada tahun 1980-an di beberapa negara telah merenggut banyak jiwa yang tak berdosa, termasuk anak-anak. Dengan lagu itu, Mike mau membuka perspektif masyarakat dunia bahwa perang itu mutlak jahat karena menghancurkan masa depan anak-anak.

Pada awalnya, saya berpikir bahwa jawaban yang diberikan Mike adalah  semacam retorika pencitraan agar ia dan White Lion dapat dikenang sebagai salah satu band yang getol menyuarakan antiperang. Namun, apa yang saya pikirkan itu ternyata keliru. Ketika saya berkesempatan mengiringinya bernyanyi lagu itu, saya melihat ekspresi wajah Mike. Ia tampak terlarut dengan lirik lagu itu. Kata-kata yang dilantunkannya terlihat begitu sungguh-sungguh. Dari sudut matanya yang hijau itu, saya melihat pula linangan air mata yang menetes perlahan. Saya merasa, air mata itu bukanlah sekadar penjiwaan atau ekspresi kesenian. Air mata itu adalah kejujuran.

Entah mengapa, sampai saat ini, setiap saya mendengar atau melihat berita mengenai perang, lagu When the Children Cry selalu bermain di kepala saya secara otomatis. Benar apa yang ditulis dalam lirik lagu itu bahwa perang yang terus berkecamuk saat ini merupakan karya agung, masterpiece, yang diwariskan manusia modern. Setiap saat kita membuat tangis dan penderitaan anak-anak di dunia tidak pernah berhenti. Terakhir, mulut saya sungguh terkunci tatkala melihat foto anak korban perang Syria yang tidur di antara makam ayah dan ibunya yang tewas dalam perang.

Dalam situasi yang serba memprihatinkan saat ini, saat bencana alam bertubi-tubi menghantam beberapa daerah di Indonesia seperti Tanah Karo, Manado, Jakarta, Pekalongan, Kudus, Kebumen, dan beberapa kota lainnya, lagu When the Children Cry pun bermain kembali di kepala saya. Koran Kompas, Sabtu lalu, 25/1/2014, pun menyoal tentang minimnya perhatian terhadap penanganan psikologis anak-anak korban bencana alam yang tinggal di tempat pengungsian. Memang, sudah banyak komunitas atau lembaga independen yang datang untuk memberikan bantuan baik berupa dana maupun materi. Namun, penanganan psikologis terhadap anak-anak korban bencana alam itu dirasa sangat kurang.

Saya tidak tahu apakah kunjungan Bapak dan Ibu Presiden beserta beberapa menteri kabinetnya beberapa waktu lalu di Tanah Karo juga memberikan perhatian khusus terhadap anak-anak korban bencana. Pernyataan ini mungkin sedikit bernada pesimistis. Pasalnya, saya sempat melihat tayangan kunjungan ibu negara ke sebuah tempat pengungsian. Pada saat itu saya tidak melihat adanya interaksi dialogis antara ibu negara dan anak-anak, sebagai korban bencana alam, yang menghuni tempat pengungsian itu. Ada jurang yang menganga terlalu lebar. Saya melihat bahwa ibu itu hanya menjadi seorang penonton ketika anak-anak itu menyanyikan lagu daerah Karo. Beliau tampak disibukkan dengan kosakata yang tersirat dalam lagu itu, yang sungguh tidak ia mengerti.

Tentu saja, sebagai warga negara Republik Indonesia, saya berharap kunjungan itu bukanlah kunjungan politis-apalagi basa-basi-, melainkan kunjungan persaudaraan, kunjungan yang sungguh dapat menguatkan dan memberikan harapan. Semoga, menggunakan kata-kata Mike Tramp, kunjungan itu dapat membuka mata para punggawa negeri di tahun-tahun berikutnya bahwa anak-anak harus menjadi prioritas penanganan pascabencana. Jangan sampai, mereka dikecilkan, disepelekan, diabaikan, apalagi dikorbankan. Seperti Mike, kita harus jujur di hadapan mereka, bukan sandiwara.

Sumber gambar : http://wivern.egloos.com/10420181


*******  

           

No comments:

Post a Comment