Wednesday 9 July 2014

The Best of Times : Ayah dan Saya

Dream Theater/Black Clouds and Silver Linings
Saya tidak bisa membayangkan situasi hati macam apa yang dirasakan Mike Portnoy, mantan drummer Dream Theater ketika sedang memainkan lagu The Best of Times. Lagu itu diciptakannya bersama teman-temannya, John Petrucci, John Ro Myung, dan Jordan Rudess untuk mengisi slot lagu nomor 6 dalam album mereka, Black Clouds & Silver Lining. Meski diciptakan bersama, lagu itu tampaknya punya arti yang sangat kuat bagi Portnoy. 

Di dalam lirik lagu itu Portnoy berkisah tentang kenangannya bersama ayah tercinta. Bagi Portnoy, sang ayah adalah seorang idola dan sahabat baik yang pernah ia miliki. Ia sungguh mencintainya karena sang ayah telah terlebih dulu mencintainya tanpa syarat. Namun, sayang, sang ayah kini tidak lagi berada di sisinya untuk bersama-sama menulis kisah dan menikmati melodi kehidupan. Lagu The Best of Times diciptakan Portnoy sebagai sebuah ode, tanda cintanya yang besar kepada ayah tercinta yang meninggal karena kanker beberapa tahun lalu.

Lagu memang diawali dengan nada-nada muram. Piano menghentak pelan seperti detak jantung yang tinggal penghabisan, seperti mesin yang kehilangan dayanya. Suara sang vokalis pun tampak parau dan terseret-seret. Ada ratap tangis dan duka yang membuncah di sana. Namun, lagu bergerak dengan progresif. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Sedikit demi sedikit suasana duka ditinggalkan dan digantikan suasana yang lebih terang, tegas, dan berpengharapan. Ada semacam klimaks yang tak terduga, tentu saja. Dan setelah beberapa saat  lagu ini pun menjelma sebagai daya optimisme, elan vital yang sangat kuat.

Inilah art rock! Dream Theater tidak hanya memainkan emosi pendengar lagunya, tetapi juga secara imajinatif sedang mementaskan sebuah episode dimana kesedihan bukanlah akhir dari segalanya, bahwa dukacita hendaknya jangan menghapus optimisme terhadap kehidupan. Maka, kita temukan lirik lagu yang sangat kuat sebagai berikut. “These were the best of times, I'll miss these days. Your spirit lit my life each day. My heart is bleeding bad but I'll be okay.Your spirit guides my life each day.” 

Secara pribadi, lagu ini
jelas punya magnet yang sangat kuat dalam kehidupan saya. Saya menyadari bahwa magnet ini mungkin terlihat emosional. Ketika ayah saya meninggal 7 tahun lalu, saya merasa bahwa hidup saya akan berbeda. Saya merasa bahwa hidup saya akan hampa. Saya bisa membayangkan betapa sulitnya untuk mendengarkan suara ayah yang kerap menyapa saya melalui telepon. Dari seberang telepon itu, saya sudah tidak dapat lagi merasakan rasa rindunya untuk menjenguk cucu-cucunya. Jujur, hancur hati saya! Jejak kasih sayang yang ditorehkan ayah sangat kuat berakar dalam hidup saya. Bagaimana mungkin? Beliau adalah satu-satunya orang yang selalu mengajarkan banyak hal tentang keutamaan dan kebijaksanaan hidup. Celakanya, beliau tidak pernah mengajarkan perpisahan dan sikap bagaimana menghadapi kematiannya.

Dibutuhkan beberapa tahun, bahkan, untuk menerima kenyataan bahwa ia telah pergi. Dibutuhkan
waktu yang cukup lama untuk menerima kenyataan bahwa tidak lagi terdengar suara yang menyapa. Namun, saya ternyata tidak sendiri. Ada begitu banyak teman yang juga pernah mengalami perasaan hampa setelah ayah-ayah mereka tidak lagi menyapa atau memeluk mereka untuk selama-lamanya. Saya dikuatkan dan lambat laun, meski tidak mudah, saya mulai belajar untuk menerima kenyataan itu. 

Ketika saya mendengarkan lagu The Best of Times pertama kali, saya menitikkan air mata. Saya pejamkan mata saya.
Di dalam gelap saya termenung. Ribuan kenangan yang indah bersama ayah pada masa lalu tiba-tiba muncul di hadapan saya seperti sebuah film yang diputar, seperti album foto yang dibuka. Oh Tuhan, saya tahu bahwa saya tidak berkuasa lagi untuk memiliki ayah selamanya. Namun, saya tahu, bahwa sikap hidup, usaha, ketekunan, kelakar, dan senyum ayah akan selalu hidup di dalam diri saya. Semangatnya tidak pernah mati. Ia menjadi inspirasi yang membawa saya berjalan milyaran kilometer untuk mencapai impian yang ingin saya wujudkan. 

Meski saya tidak pernah tahu apa yang dirasakan Mike Portnoy di belakang drum itu, saya sungguh berterima kasih karena lagu yang ia dan Dream Theater ciptakan membuat saya
dapat mengingat kembali segala kasih sayang yang pernah diberikan ayah saya. Kasih itu sungguh terlalu berharga untuk dilupakan. Itulah hal terbaik yang pernah setiap anak miliki.


Sumber gambar :http://galfdom.blogspot.com/2013/09/dream-theatre-black-clouds-and-silver.html


******* 

No comments:

Post a Comment