Wednesday 9 July 2014

Something to Believe in : Tuhan dan Penderitaan Manusia

Poison/Something to Believe in
Di antara banyak teman, ia cukup unik. Deritanya cukup berat. Kisah hidupnya sebenarnya begitu getir. Namun ia tidak pernah jemu untuk menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah tidur ketika manusia dilanda kesulitan dan masalah. Dua hari sebelum kerusuhan 1998 ayahnya meninggal dunia karena sakit paru-paru. Beberapa waktu kemudian toko kelontongnya habis-habisan dijarah massa. Tidak ada satupun yang tersisa, kecuali kobaran api yang melumat  semua perabot toko. Adiknya semata wayang yang pada saat itu sedang menjaga tokonya menjadi salah satu korban perkosaan yang tidak pernah terkabarkan. Gadis muda ini mengalami goncangan jiwa setelah itu. Tidak lama setelahnya ibunya meninggal karena tidak tahan melihat penderitaan anak yang sangat dicintainya itu.

Sebagai manusia biasa, ia jelas sedih. Selama berbulan-bulan, kami cukup kesulitan untuk menghiburnya. Ia masih bisa tersenyum ramah kepada kami. Namun, diam-diam, kami juga melihat ada bongkahan air mata yang menetes tersendat. Ia beruntung karena dalam situasi pahit demikian, masih ada begitu banyak orang yang peduli padanya.  Lambat laun, laki-laki ini mulai berdiri tegap. Rupanya, ia belajar untuk menerima kenyataan meski perlahan-lahan. Ia pun mulai dapat menata dirinya. Kendati terasa begitu berat, energi itu ia coba tularkan kepada sang adik yang telah kehilangan harapan untuk hidup.

Di antara banyak teman, ia memang tampak begitu matang dalam mengolah penderitaan sebagai kekuatan. Kepercayaannya bahwa Tuhan tidak pernah tidur memang terbukti. Tuhan ternyata mendengarkan doa orang yang tertindas dan teraniaya. Dua tahun lalu saya bertemu kembali dengannya dalam sebuah reuni. Wajahnya masih tirus tetapi matanya berbinar-binar. Senyumnya cerah. Kami pun terlarut dalam pembicaraan akrab yang panjang.  Darinya, saya mendengar bahwa  ia kini tinggal di Malang dan telah memiliki dua kios mainan anak-anak yang dikelola bersama isterinya. Sang adik, setelah menjalani rehabilitasi di sebuah pertapaan wanita di Jawa Tengah, telah menikah dengan seorang guru yang baik hati dari Purwokerto empat tahun lalu. Mereka telah dikarunia 2 anak kembar.

Saya sungguh tercenung dengan kabar bahagia yang disampaikannya waktu itu. Sikap pasrah dan sikap positif menghadirkan harapan dalam kehidupannya.  Tuhan telah berpihak pada doa-doanya selama ini. Meski pernah menjalani penderitaan berat, ia tidak pernah sekalipun mengeluh, menyalahkan, apalagi menyangsikan kerahiman Tuhan dalam hidupnya dan keluarganya.

Tentu saja, sikap teman saya itu bukanlah sikap yang mudah ditiru. Pasalnya, dalam kesesakan, kesulitan, dan kepahitan hidup, manusia cenderung menyalahkan dirinya. BahkanTuhan pun kerap dituntut tanggung jawabnya, dipersalahkan, dan bahkan disangsikan oleh mereka yang pada awalnya justru dikenal begitu taat kepadaNya. Itulah citraan yang saya tangkap ketika mendengarkan lagu Something to Believe in milik sebuah band glam rock, Poison pada tahun 1990.

Sebagai lagu bergenre rock balada, Something to Believe in secara umum ingin memotret arti penderitaan dalam masyarakat modern. Lagu itu menyoal bagaimana penderitaan berada di sekeliling kita. Ia datang tanpa permisi kepada siapapun. Tiada pihak yang kebal darinya. Pendeta yang berkotbah tentang harapan kepada umatnya pun kerap bersifat munafik untuk menutupi penderitaan yang sedang ia alami. Ketimpangan sosial yang terjadi di sejumlah kota besar, peperangan keji, pasangan yang berselingkuh, atau kematian sahabat menjadi sumber penderitaan. Namun, secara khusus, lagu ini sesungguhnya didedikasikan Bret Michaels, sang vokalis, bagi Kimo, sahabatnya, yang meninggal di Hotel Palm Spring dan Bob, sepupunya, yang terluka dalam perang Vietnam.

Bagi manusia modern yang terlalu lama dininabobokan oleh hiburan duniawi yang artifisial, penderitaan sekecil apapun menjadi awal dari malapetaka kehidupannya. Manusia modern yang kerap ditunjukkan oleh happy ending yang maya tidak pernah siap untuk menerima penderitaan sebagai bagian dari konsekuensi kehidupan. Celakanya, persepsi terhadap agama yang mereka anut pun cenderung bersifat fungsional dan pragmatis; orang beragama akan bahagia selamanya! Maka, ketika terjadi penderitaan, mereka menganggap bahwa ada sesuatu yang salah dengan Tuhan. Mereka protes dan menganggap Tuhan tidak berpihak kepada mereka. Ateisme pun semakin subur.

Saya tidak tahu apakah melalui lagu itu Poison sedang melantunkan pencarian true faith dalam masyarakat modern atau tidak. Namun, jika kita refleksikan kembali, bukankah kita sebagai orang yang mengaku percaya terhadap penyelenggaraan Ilahi kerap pula bertanya, meragukan, dan bahkan menyangsikan penderitaan yang kita alami sebagai kehendak Tuhan?  Bukankah kita yang kerap bersikap rasional ini juga melantunkan lirik berikut  ketika ada penderitaan yang harus kita tanggung? And give me something to believe in if there's a Lord above.And give me something to believe in Oh, Lord arise.”

Sampai saat ini lagu berdurasi lebih dari 6 menit ini masih menyisakan pertanyaan kepada saya. Setiap kali saya mendengarnya, saya diajak untuk bermeditasi tentang arti penderitaan. Mungkinkah sebagai masa lalu, penderitaan memang menyakitkan, tetapi sebagai masa depan penderitaan bisa menjadi harapan? Tentu saja untuk memahami hal itu kita harus menjadi pengikut Tuhan yang hatinya terbuka, bukan menjadi pengikut Tuhan yang bersifat fungsional apalagi pragmatis meskipun kita masih juga cepat mengeluh terhadap situasi yang tidak menyenangkan, yang membebani hidup kita.

Dalam hal ini, saya mungkin kalah set. Teman saya sudah berlatih dengan keras terlebih dulu untuk menjadi lebih kuat dan lebih berharap. Ia sudah memahami makna penderitaan itu, tanpa perlu mendengarkan lirik lagu itu berulang-ulang kali.

Sumber gambar : http://eil.com/shop/moreinfo.asp?catalogid=319762
  


******* 


   

No comments:

Post a Comment