Poison/Something to Believe in |
Di antara
banyak teman, ia cukup unik. Deritanya cukup berat. Kisah
hidupnya sebenarnya begitu getir. Namun
ia tidak pernah jemu untuk menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah tidur ketika manusia dilanda kesulitan dan masalah. Dua
hari sebelum kerusuhan 1998 ayahnya meninggal dunia karena sakit paru-paru. Beberapa waktu
kemudian toko
kelontongnya habis-habisan dijarah massa. Tidak ada satupun yang tersisa,
kecuali kobaran api yang melumat semua
perabot toko. Adiknya semata wayang yang pada saat itu sedang menjaga tokonya
menjadi salah satu korban perkosaan yang tidak pernah terkabarkan. Gadis muda
ini mengalami goncangan jiwa setelah itu. Tidak lama setelahnya ibunya
meninggal karena tidak tahan melihat penderitaan anak yang sangat dicintainya
itu.
Sebagai
manusia biasa, ia jelas sedih. Selama berbulan-bulan, kami cukup kesulitan
untuk menghiburnya. Ia masih bisa tersenyum ramah kepada kami. Namun,
diam-diam, kami juga melihat ada bongkahan air mata yang menetes tersendat. Ia
beruntung karena dalam situasi pahit demikian, masih ada begitu banyak orang
yang peduli padanya. Lambat laun, laki-laki
ini mulai berdiri
tegap. Rupanya, ia belajar untuk menerima kenyataan meski perlahan-lahan.
Ia pun mulai dapat
menata dirinya.
Kendati terasa
begitu berat, energi itu ia coba tularkan kepada sang adik yang telah
kehilangan harapan untuk hidup.
Di antara
banyak teman, ia memang tampak begitu matang dalam mengolah penderitaan sebagai
kekuatan. Kepercayaannya bahwa Tuhan tidak pernah tidur memang terbukti. Tuhan
ternyata mendengarkan doa orang yang tertindas dan teraniaya. Dua tahun lalu
saya bertemu kembali dengannya dalam sebuah reuni. Wajahnya masih tirus tetapi
matanya berbinar-binar. Senyumnya cerah. Kami pun terlarut dalam pembicaraan
akrab yang panjang. Darinya, saya mendengar
bahwa ia kini tinggal di Malang dan
telah memiliki dua kios
mainan anak-anak
yang dikelola bersama isterinya. Sang adik, setelah menjalani rehabilitasi di
sebuah pertapaan wanita di Jawa Tengah, telah menikah dengan seorang guru yang
baik hati dari Purwokerto empat tahun lalu. Mereka telah dikarunia 2 anak
kembar.
Saya
sungguh tercenung dengan kabar bahagia yang disampaikannya waktu itu. Sikap
pasrah dan sikap positif menghadirkan harapan dalam kehidupannya. Tuhan telah berpihak pada doa-doanya selama
ini. Meski pernah menjalani penderitaan berat,
ia tidak pernah sekalipun mengeluh, menyalahkan, apalagi menyangsikan kerahiman
Tuhan dalam hidupnya dan keluarganya.
Tentu saja,
sikap teman saya itu
bukanlah sikap yang mudah ditiru. Pasalnya, dalam kesesakan, kesulitan, dan
kepahitan hidup,
manusia cenderung menyalahkan dirinya. BahkanTuhan pun kerap dituntut tanggung jawabnya,
dipersalahkan, dan bahkan disangsikan oleh mereka yang pada awalnya justru
dikenal begitu taat kepadaNya. Itulah citraan yang saya tangkap ketika mendengarkan
lagu Something to Believe in milik sebuah band glam rock, Poison pada tahun 1990.
Sebagai lagu bergenre rock balada, Something to
Believe in secara umum ingin memotret arti penderitaan dalam masyarakat
modern. Lagu itu menyoal bagaimana penderitaan berada di sekeliling kita. Ia
datang tanpa permisi kepada siapapun. Tiada pihak yang kebal darinya. Pendeta
yang berkotbah tentang harapan kepada umatnya pun kerap bersifat munafik untuk
menutupi penderitaan yang sedang ia alami. Ketimpangan sosial yang terjadi di
sejumlah kota besar, peperangan keji, pasangan yang berselingkuh, atau kematian
sahabat menjadi sumber penderitaan. Namun, secara khusus, lagu ini sesungguhnya
didedikasikan Bret Michaels, sang vokalis, bagi Kimo, sahabatnya, yang
meninggal di Hotel Palm Spring dan Bob, sepupunya, yang terluka dalam perang
Vietnam.
Bagi manusia modern yang terlalu lama dininabobokan
oleh hiburan duniawi yang artifisial, penderitaan sekecil apapun menjadi awal
dari malapetaka kehidupannya. Manusia modern yang kerap ditunjukkan oleh happy ending yang maya tidak pernah siap
untuk menerima penderitaan sebagai bagian dari konsekuensi kehidupan.
Celakanya, persepsi terhadap agama yang mereka anut pun cenderung bersifat
fungsional dan pragmatis; orang beragama akan bahagia selamanya! Maka, ketika
terjadi penderitaan, mereka menganggap bahwa ada sesuatu yang salah dengan
Tuhan. Mereka protes dan menganggap Tuhan tidak berpihak kepada mereka. Ateisme
pun semakin subur.
Saya tidak tahu apakah melalui lagu itu Poison sedang
melantunkan pencarian true faith
dalam masyarakat modern atau tidak. Namun, jika kita refleksikan kembali,
bukankah kita sebagai orang yang mengaku percaya terhadap penyelenggaraan Ilahi
kerap pula bertanya, meragukan, dan bahkan menyangsikan penderitaan yang kita
alami sebagai kehendak Tuhan? Bukankah
kita yang kerap bersikap rasional ini juga melantunkan lirik berikut ketika ada penderitaan yang harus kita
tanggung? “And give me something to believe in if there's a Lord above.And give me something to believe in Oh,
Lord arise.”
Sampai saat ini lagu berdurasi lebih dari 6 menit ini
masih menyisakan pertanyaan kepada saya. Setiap kali saya mendengarnya, saya
diajak untuk bermeditasi tentang arti penderitaan. Mungkinkah sebagai masa
lalu, penderitaan memang menyakitkan, tetapi sebagai masa depan penderitaan
bisa menjadi harapan? Tentu saja untuk memahami hal itu kita harus menjadi
pengikut Tuhan yang hatinya terbuka, bukan menjadi pengikut Tuhan yang bersifat
fungsional apalagi pragmatis meskipun kita masih juga cepat mengeluh terhadap
situasi yang tidak menyenangkan, yang membebani hidup kita.
Dalam hal ini, saya mungkin kalah set. Teman saya
sudah berlatih dengan keras terlebih dulu untuk menjadi lebih kuat dan lebih
berharap. Ia sudah memahami makna penderitaan itu, tanpa perlu mendengarkan
lirik lagu itu berulang-ulang kali.
Sumber gambar : http://eil.com/shop/moreinfo.asp?catalogid=319762
*******
No comments:
Post a Comment